Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Showing posts with label Budaya. Show all posts
Showing posts with label Budaya. Show all posts
Thursday 29 January 2015

Jose Mujica, Presiden Termiskin


Mengenakan jas dengan penampilan serba eksklusif biasanya terlihat pada sosok presiden di berbagai Negara di dunia. Namun, tampilan tersebut  jarang terlihat pada Presiden Uruguay, Jose Mujica, yang sudah berusia 77 tahun.
Memang berbeda dengan sebagian besar politisi di seluruh dunia, termasuk  Indonesia, yang biasanya memiliki gaya hidup  berbeda 180 derajat dengan rakyatnya. Yang biasa tinggal di rumah mewah, berpakaian mahal, bermobil mewah, dan bergaji besar. Sebab semua hal itu tidak berlaku bagi Presiden Uruguay, Jose Mujica, yang sejak dilantik menjadi presiden pada 2010 lalu itu layak mendapat gelar presiden termiskin di dunia.

Kehidupan Mujica sangat jauh dari gemerlap harta dan kekayaan duniawi. Pria tua bernama lengkap José Alberto Mujica Cordano ini mendonasikan 90 persen gajinya setiap bulan, yaitu 12.000 dollar AS atau hampir Rp 120 juta, untuk berbagai kegiatan amal. Tak hanya itu, pria yang oleh kawan-kawannya dipanggil Pepe ini juga menolak tinggal di kediaman resmi kepresidenan di ibu kota Uruguay, Montevideo. Mujica lebih memilih tinggal di tanah pertanian di luar ibu kota. Bahkan, jalan menuju kediaman Mujica belum dilapisi aspal.
Tak ada penjagaan ketat pasukan elite kepresidenan. Hanya dua polisi dan anjingnya yang hanya memiliki tiga kaki, Manuela, yang terlihat mengawasi di pintu masuk pertaniannya. Di pertaniannya, Mujica dan istrinya bahkan menanam sendiri bunga-bunga yang menjadi pemasukan baginya. Menurut The Richest, BBC News, gaji Mujica tercatat 33 kali lipat di bawah pendapatan Barack Obama yang menjabat  presiden Amerika Serikat. Mujica tak pernah mempermasalahkan gajinya tapi tetap bekerja keras dan melakukan banyak perubahan di negaranya.
Apa alasan Mujica memilih hidup sederhana meski jabatannya adalah seorang presiden?
"Hampir seluruh hidup saya habiskan dengan cara seperti ini. Saya bisa hidup baik dengan apa yang saya miliki saat ini," kata Mujica sambil duduk di sebuah kursi tua di kebunnya.
Dengan mendonasikan sebagian besar gajinya sebagai presiden untuk rakyat miskin dan pengusaha kecil, maka setiap bulan Mujica hanya menerima kurang dari Rp 7.000.000.
Pada 2010, ketika kekayaan pribadinya diumumkan—yang merupakan kewajiban pejabat publik Uruguay, saat itu total kekayaan Mujica hanya 1.000 dollar AS atau kurang dari Rp 10 juta. Uang sebanyak itu hanya bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil VW Beetle keluaran 1987.
Setelah dua tahun menjadi presiden, kekayaan Mujica memang bertambah. Itu pun setelah dia menambahkan aset milik istrinya berupa tanah, beberapa traktor, dan sebuah rumah. Kekayaannya mencapai 215.000 dollar AS atau sekitar Rp 2 miliar, masih terbilang miskin untuk seorang kepala negara. Bahkan, kekayaan Wapres Daniel Astori dua pertiga kali lebih besar ketimbang orang nomor satu di negeri juara dunia sepak bola pertama kali itu.

Mujica Bekas pemberontak

Apa penyebab Mujica begitu miskin? Ternyata, selama 1960-an sampai 1970-an, dia adalah anggota pemberontak Tupamaros, kelompok bersenjata Uruguay  yang terinspirasi revolusi Kuba. Dia pernah enam kali tertembak dan mendekam 14 tahun di  penjara. Sebagian besar masa penahanannya dilalui dalam kondisi yang sangat buruk dan dalam sel isolasi. Namun, masa-masa dia dalam penjara itulah yang menurut Mujica membentuk kepribadian dan pandangan hidupnya.
"Saya disebut presiden termiskin di dunia, tetapi saya tak merasa miskin. Orang miskin adalah mereka yang bekerja hanya untuk menjaga gaya hidup mewahnya dan selalu menginginkan lebih," ujarnya berfilsafat.
"Ini adalah masalah kebebasan. Jika Anda tak memiliki banyak barang, maka Anda tak perlu bekerja keras untuk mempertahankannya dan bekerja seumur hidup layaknya budak. Dengan cara seperti ini, Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri. Banyak yang mengatakan saya orang tua gila atau eksentrik, tapi ini adalah masalah pilihan," lanjutnya menambahkan.
Meski banyak mengundang pujian, tetap saja banyak yang mengkritik. Kelompok oposisi mengatakan, pemerintahan Mujica tak bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperbaiki pelayanan publik, khususnya kesehatan dan pendidikan. Akibat gencarnya kritikan oposisi, popularitas Mujica menurun hingga 50 persen saat ini.
Namun, Mujica tak perlu khawatir soal popularitas karena Undang-undang Uruguay membatasi masa jabatan presiden hanya satu kali. Itu berarti, pada 2015 ini Mujica akan pensiun dan tidak lagi bisa dipilih lagi menjadi presiden. Kalau pun kalangan oposisi menang menjadi presiden Uruguay menggantikan Mujica, belum tentu gaya hidup dan kebijakannya sama dengan Mujica. 




You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2015/01/jose-mujica-presiden-termiskin.html. Thanks!
Monday 12 January 2015

Naik Motor Tanpa Busana Bule Diusir dari Kamboja

VIVAnews - Tiga warga negara asing, dua pria dan satu wanita, dideportasi dari Kamboja karena dianggap melanggar adat dan budaya Kamboja yang indah dan santun, setelah dihentikan oleh polisi saat mengendarai motor tanpa busana.
Dikutip dari laman Daily Mail, Senin 12 Januari 2015, tiga orang asing itu adalah Crawford Bworn (24) dari Inggris, Giancarlo Allocca (30) dari Italia, dan seorang perempuan 22 tahun dari Finlandia, Catarina Aarnio.

Mereka bertiga  melepas busana, saat mengendarai motor di Distrik Leuk Daek, 50 mil dari ibukota Phnom Penh.
"Kami melihat mereka berkendara di depan kantor polisi. Saya meminta petugas mengikuti dan menghentikan mereka," kata polisi bernama Chuon Chomkol.
Namun, para bule itu tidak segera berhenti saat polisi mengejar, karena mereka merasa tidak melakukan kesalahan.
Kepala kepolisian Kandal, Eav Chamroen, mengatakan bahwa ini pertama kalinya ada orang asing mengendarai sepeda motor tanpa busana di Kamboja. "Tindakan mereka itu pelanggaran serius bagi  integritas Kamboja. Kami tidak dapat membiarkan mereka melakukan pornografi seperti ini di negara kami," kata Sok Phal, kepala departemen imigrasi Kementerian Dalam Negeri Kamboja.
Selain di deportasi, para dua jantan dan satu betina bule itu juga akan dilarang berkunjung lagi ke Kamboja secara permanen.
You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2015/01/naik-motor-tanpa-busana-bule-diusir_12.html. Thanks!

Humanomic Manusia Diperdagangkan Sebagai Komoditas

Sekali pun "UNODC on human trafficking and migrant smuggling" (Unodc.org. 2011-03-22) member batasan definitive bahwa perdagangan manusia atau  human trafficking is the trade in humans, most commonly for the purpose of sexual slavery, forced labor or commercial sexual exploitation for the trafficker or others, di mana perdagangan manusia umumnya berkaitan dengan perbudakan seks, kerja paksa atau eksploitasi perdagangan seks pada perkembangannya telah mengalami perluasan makna menjadi perdagangan fisik dan organ tubuh manusia melalui bisnis plastination. Fenomena era global berupa perdagangan manusia dan organ-organ tubuhnya – termasuk bayi-bayi kembar siam dan janin yang tumbuh kurang sempurna – menjadi perbincangan sewaktu The Epoch Times menerbitkan artikel pada 10 Agustus silam.
Akibat artikel The Epoch Times, muncul artikel-artikel yang menanggapi fenomena kemanusiaan yang aneh – memperdagangkan organ tubuh manusia, bayi, janin, dan embrio yang diawetkan – yang sebagian di antaranya mengaitkan perusahaan plastination Premier Exhibition dengan Gu Kailai, istri  mantan anggota Politbiro Bo Xilai yang tersingkir, yang diduga berperan penting dalam penyediaan jasad praktisi Falun Gong yang dieksekusi ke pabrik-pabrik yang didirikan di Kota Dalian untuk plastination atau pengawetan-penggantian cairan tubuh dengan polimer untuk tujuan mengubah mayat menjadi objek  pameran.


Reaksi atas artikel-artikel yang menindak-lanjuti artikel The Epoch Times muncul dari perusahaan plastination, Premier Exhibition, yang pernah berurusan dengan Kantor Kejaksaan New York pada Mei 2008 saat memamerkan organ tubuh, bayi, janin dan embrio yang diawetkan. Dalam disclaimer atau sangkalannya, Premier Exhibition menyatakan: "Pameran ini menampilkan jasad  manusia warga negara atau warga China, yang awalnya diterima oleh Biro Polisi China. Sehubungan dengan itu, organ tubuh manusia, janin dan embrio yang dipamerkan, Premier Exhibition hanya mengandalkan representasi mitra dari China. Premier tidak dapat secara independen memverifikasi bahwa mereka yang dipamerkan itu tidak termasuk orang yang dieksekusi ketika  di penjara China."
Berbeda dengan disclaimer atau sangkalan Premier Exhibition, perusahaan plastination, Body Worlds, tidak mengeluarkan disclaimer atau sangkalan. Body Worlds hanya mengatakan dalam situsnya bahwa tubuh yang dipajang dalam pameran disumbangkan oleh "orang-orang yang menyatakan selama hidup mereka bahwa tubuh mereka harus dibiarkan utuh setelah kematian mereka untuk kualifikasi petugas instruksi dan dokter ."
Alasan Body Worlds tidak menghentikan orang untuk mencari tahu asal-usul mayat manusia, bayi, janin, embrio, dan organ tubuh mayat yang dipamerkan itu. Para netizen dan pers terus memburu penjelasan dari Body World, perusahaan plastination yang didirikan oleh Gunther von Hagens, orang Jerman yang diduga pendukung Neo-Nazi tentang asal usul mayat yang ia gunakan untuk plastination.

Dalam pengantar laporan empat halaman investigasi pada 16 Agustus, China Finance Online bertanya, "Dari dunia mana mayat asli Gunther von Hagens berasal? Mengapa Dalian meng-otorisasi ini sebagai perusahaan baru  berteknologi tinggi? Apa keuntungan dan kepentingan di balik rantai kebohongan mengerikan dalam pameran mayat ini?"
Dalam sebuah wawancara Gunther von Hagens membuat perbedaan antara tubuh yang digunakan oleh perusahaannya untuk pameran dan tubuh yang digunakan untuk penelitian. Untuk penelitian, ungkap von Hagens,  ia di masa lalu mengaku telah menggunakan tubuh warga yang tidak diambil di bawah hukum China, polisi bebas untuk membuang berdasar kebijaksanaan mereka.
China Finance Online setelah mengajukan pertanyaan tentang kepentingan dan keuntungan di belakang bisnis mayat yang diawetkan di Dalian, tidak menyebutkan apa yang telah The Epoch Times temukan berupa peranan penting Gu Kailai dan Bo Xilai. China Finance Online menyatakan bahwa Bo Xilai, sebagai kepala Partai Komunis di Kota Dalian kemudian Gubernur Provinsi Liaoning, telah memperluas penjara dan kamp kerja paksa di Kota Dalian dan Provinsi Liaoning, dan kemudian mengisinya dengan aktivis Falun Gong yang pergi ke Beijing untuk memprotes penindasan rezim. Bo Xilai secara pribadi menyetujui pembangunan pabrik plastination milik Gunther Von Hagens di Dalian. Sementara Gu Kailai bekerja dengan warga Inggris Neil Heywood sebagai asisten terpercaya, melihat potensi untuk membuat keuntungan dari para aktivis yang dipenjara.

Perdagangan mayat manusia, bayi, janin, embrio yang diawetkan belakangan telah berkembang di Asia Tenggara ketika usaha-usaha penyelundupan mayat diungkap oleh pihak berwajib di Thailand. Meski pihak imigrasi menggagalkan penyelundupan mayat-mayat bayi yang dilakukan warga Amerika Serikat, namun di negeri gajah putih itu perdagangan mayat bayi masih dilakukan warga untuk kepentingan ilmu hitam. Di Indonesia sendiri tengara perdagangan mayat manusia, bayi, janin, embrio, dan organ tubuh sudah mengemuka meski dilatari unsur penelitian dan pendidikan di berbagai laboratorium. Namun bukan hal mustahil terdapat unsur kepentingan bisnis dan kepentingan lain di balik perdagangan mayat yang diawetkan, sehingga diperlukan kewaspadaan bagi warga masyarakat yang kehilangan anggota keluarganya dengan berbagai kemungkinan buruknya termasuk kemungkinan dibunuh dan diawetkan untuk diperdagangkan sebagai komoditas.
Posted by Agus Sunyoto
You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2015/01/humanomic-manusia-diperdagangkan_12.html. Thanks!
Monday 5 January 2015

ORANG JERMAN DUKUNG MUSLIM HADAPI ISLAMOPHOBIA

REPUBLIKA.CO.ID, DRESDEN-- Setidaknya 18 ribu orang di kota timur Jerman, Dresden, mengambil bagian dalam aksi unjuk rasa yang menentang pengaruh Islam di negara-negara Barat. Hal tersebut mendorong kontra-protes besar-besaran di beberapa kota di Jerman. Jumlah tersebut mencatat rekor demostran yang turun menggelar aksi ke jalan. Mereka mendukung gerakan sayap kanan poulis yang dikenal sebagai, Patriot Eropa Melawan Islamisasi di Barat (PEGIDA).
Namun aksi PEGIDA ternyata ditentang banyak orang., ini  membuat terciptanya demonstrasi tandingan yang menentang mereka. Demonstran di Berlin, Stuttgart, Cologne dan Dresden mengatakan mereka berkumpul melawan diskriminasi dan xenophobia. Aksi PEGIDA menurut mereka tak mencerminkan pesan toleransi. Sejumlah tempat usaha, gereja dan perusahaan listrik di kota Cologne berencana tetap mematikan lampu di bangunan dan fasilitas lain. Aksi tersebut sebagai bentuk solidaritas terhadap protes menentang PEGIDA.
Kepala Katerdal Cologne Nobert Feldhoff kepada n-tv mengatakan, mematikan lampu merupakan upaya untuk membuat demonstran PEGIDA berpikir dua kali untuk melakukan protes. "Kamu mengambil bagian dalam tindakan itu, dari akar dan pidatonya, orang dapat melihat itu sebagai Nazi-izt, rasis, dan ekstremis. Anda mendukung orang-orang yang benar-benar tak ingin didukung?" ujarnya.

Selama tiga bulan terakhir, demonstrasi oleh PEGIDA dilakukan di kota Dresden yang memiliki beberapa imigran Muslim. Jumlah demonstran PEGIDA membengkak dari beberapa ratus hingga 17.500 orang sebelum Natal. Polisi mengatakan jumlah itu kembali meningkat pada Senin malam.
Sementara itu sekitar 10.000 orang kontra-demonstran diperkirakan akan berada di Berlin. Tak hanya itu 2.000 demonstran yang menentang PEGIDA juga turun ke jalan-jalan di Cologne dan 5.000 lainnya di Sttutgart. Pada 15 Desember sekitar 15 ribu orang ambil bagian dalam aksi yang digelar PEGIDA. Salah satu demonstran Paul mengatakan, penting untuk menunjukkan bahwa demonstran PEGIDA berasal dari orang-orang biasa.
"Pada prinsipnya saya tak menentang Muslim. Tapi saya mengatakan kami tak ingin banyak Muslim, budaya kami bisa berubah. Kami ingin menjadi orang Jerman, kami ingin menjadi orang Eropa, kami tak ingin terlalu banyak orang datang ke sini dan mencoba mendapatkan uang dari sistem sosial kami," ujar Paul pada Aljazirah.
Kanselir Angela Merkel mengutuk aksi demonstrasi dan mengatakan, tak ada tempat di sini untuk kebencian dan kebohongan mengenai orang-orang yang datang ke Jerman dari negara lain. Menteri Kehakiman Jerman Heiko Maas mengatakan, demonstrasi sebagai aksi memalukan bagi Jerman.
Pengelola PEGIDA Kathrin Oertel menyampaikan pada rapat Senin, bahwa mereka kembali mengalami penindasan politik. "Bagaimana Anda melihat ketika kami dihina atau disebut rasis atau Nazi secara terbuka oleh semua pihak politik mainstream dan media, untuk kritik kami pada kebijakan pencari suaka Jerman dan kebijakan imigrasi," ungkapnya.
PEGIDA telah berupaya menjauhkan diri dari sayap kanan. Mereka mengatakan dalam postingan di laman Facebooknya bahwa mereka menentang pengkhotbah yang menyerukan kebencian, terlepas dari apa agamanya dan radikalisme, terlepas apakah bermotif politik atau agama.
"PEGIDA melawan ideologi politik anti-wanita yang menekankan pada kekerasan, tapi tak menentang integrasi Muslim di sini," kata kelompok tersebut.
Mereka juga melarang penggunaan simbol maupun slogan neo-Nazi dalam aksi demonya. Meski mereka mendapat pujian dan dukungan dari kelompok neo-Nazi.
Ketua Partai Hijau Cem Ozdemir yang merupakan keturumam imigran Turki mengatakan, ia juga menentang segala bentuk ekstremisme. Menurutnya intoleransi tak bisa dilawan dengan intoleransi. "Ini bukan antara Kristen dan Muslim, ini masalah antara yang tidak toleran dan lain-lain, mayoritas," kata Ozdemir.
Di Berlin, salah satu demonstran anti-PEGIDA Ursula Wozniak mengatakan ia telah bergabung dengan aksi kerena merasa kelompok PEGIDA menyalahgunakan tradisi demokrasi Jerman. "Apa yang sekarang terjadi di Jerman sangat mengejutkan," ujarnya.






You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2015/01/orang-jerman-dukung-muslim-hadapi.html. Thanks!
Friday 23 May 2014

Sekolah Tanpa Arah Tanpa Tujuan

SEKOLAH TANPA ARAH TANPA TUJUAN, MASYARAKAT JADI KORBAN



Sejak SMP Belajar Tawuran
    Anda kan sudah mau lengser, pak,  kenapa kok justru membuat kebijakan banyak sekali? Padahal kebiasaan buruk pendidikan kita ini kan ganti menteri ganti kebijakan Pak,” tanya Abdul Aziz, ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkar Studi Wacana mengawali Ngaji Rutin Selasa Malam  (20/05) di Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin, menyampaikan ulang percakapannya bersama Prof. Dr M. Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan beberapa waktu lalu. Saat itu, lanjut Abdul Azis, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menjawab ringan,”Yang penting hari ini saya sudah berbuat baik.”
           Bertolak dari percakapan di atas, ungkap Abdul Azis melanjutkan, dapat disimpulkan  akar permasalahan pendidikan di Indonesia hari ini bermula dari kebijakan-kebijakan elit pendidikan yang cenderung semena-mena dan tanpa pertimbangan matang. Padahal, membincang pendidikan merupakan satu proses untuk menghapuskan kebodohan dan membentuk insan-insan yang cerdas, pandai, dan berbudi luhur.
                  Sebagai salah satu contoh betapa ruwetnya pendidikan di Indonesia hari ini, ungkap Abdul Azi, terlihat dari  peraturan UNAS yang menekankan kejujuran, kedisiplinan dan yang tak kalah penting tingkat kelulusan harus tinggi. Maka demi untuk mencapai tingkat kelulusan yang tinggi itu, lanjut Abdul Azis, pihak kementerian pendidikan menekan gubernur, kemudian gubernur menekan pemerintah kota, demikian seterusnya terjadi penekanan demi penekanan berantai sampai  guru pun menekan murid-muridnya. Salah satu akibatnya, tingkat kelulusan justru menurun. “Tidak jarang anak-anak yang dalam keseharian terlihat pandai, selalu mengikuti proses belajar-mengajar dengan baik, bernasib naas ketika mengikuti UNAS karena nilainya anjlok drastis. Hal ini dikarenakan kondisi psikis yang tertekan,” ujar Abdul Azis
             Di lain sisi, ungkap Abdul Azis, penyamarataan soal UNAS tanpa memandang kondisi pendidikan siswa yang sangat beragam, berakibat lebih fatal. Fakta menunjuk  masih banyak sekolah-sekolah gurem yang berada di pelosok-pelosok desa di luar Jawa yang  belum terjangkau akses informasi dengan dunia luar, sehingga penyama-rataan ini menjadi tidak adil bagi mereka untuk mengerjakan soal dengan kualitas yang sama dengan mereka yang mengenyam pendidikan di kota-kota besar dengan segala fasilitasnya.

Menuntut Ilmu Malah Jadi Korban Kekerasan
         Nampaknya ada sesuatu yang salah, tutur Abdul Aziz, di mana dapur pendidikan kita hari ini banyak dihuni oleh ‘koki-koki’ peramu kurikulum dengan gelar insinyur, sarjana peternakan, sarjana perikanan, sarjana perairan dan bukan sarjana pendidikan. Oleh karenanya, sangat dimaklumi jika konsep yang disusun melenceng jauh dari kebutuhan pendidikan yang sesungguhnya.  “Karena kokinya sudah salah menu sejak awal,” ungkap Aziz menekankan, diiringi tatapan heran para mantri (mahasiswa santri).
   Pandangan Abdul Azis ditanggapi oleh Makmun,  salah seorang  mantri Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin yang  menyatakan bahwa ketidak-sesuaian antara kompetensi dengan jabatan yang dipegang ‘koki-koki’ pendidikan  tidak terlepas dari proses pemilihan lembaga legislatif dan eksekutif yang sarat akan politik deal-dealan dalam power sharing kekuasaan, di mana para elit pemerintah yang berkuasa hanya memikirkan egoisme diri dan golongan, maka tidak terelakkan bahwa rakyat adalah korban utama dari politik ‘dagang sapi’ itu.
               Sementara  jika ditinjau dari aspek guru, lanjut Makmun Pembina Mahasiswa Bidik Misi itu, berapa banyak guru hari ini yang mengajar dengan penuh keikhlasan? Rasa-rasanya, gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang dulu pernah disematkan untuk para guru, kini tak lagi pantas untuk disandang. “Saya pernah mengisi seminar guru-guru,” papar Abdul Aziz berkisah seputar pengalamannya, “Waktu itu saya tanya, apa kesulitan utama yang dihadapi oleh Bapak dan Ibu Guru? Tiba-tiba mereka serentak menjawab, “Anak-anak didik sekarang nakal-nakal semua Pak.”
              Jawaban itu sungguh menyedihkan, ungkap Abduil Azis, karena  sesungguhnya dari jawaban itu kita sejatinya sudah tahu bahwa alasan itu hanya alibi belaka. “Saat itu saya katakan kepada para guru itu bahwa tidak ada anak yang tidak bisa diajari, dibina dan dididik. Yang ada adalah  gurunya yang tidak bisa mengajar, malas, kurang serius dalam membina,  dan tidak ikhlas dalam mendidik,” ungkap Abdul Azis.
Belajar Jadi Preman Diamankan Polisi
          Guru, menurut Abdul Azis,  bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa melainkan profesi yang oleh undang-undang telah disetarakan dengan profesi-profesi lainnya. Ada semacam profesi pendidikan guru (PPG), sertifikasi dan hal-hal lainnya yang itu justru menjebak guru pada formalitas belaka. Mengajar anak didik sekenanya, yang penting sudah masuk golongan PNS mengajar atau tidak, mengajar serius atau sekedarnya tidak menjadi masalah, karena semuanya tidak penghambat gaji yang mengalir tiap bulan.
Tentang buruknya kualitas mengajar guru, ungkap Abdul Azis, masih lumayan guru tidak kompeten mau mengajar.”Saya pernah melakukan riset, ada seorang guru, yang tidak pernah sekolah, tiba-tiba dapat ijazah, lalu secara ajaib menjadi guru, dan dapat gaji rutin setiap bulan padahal dia tidak pernah ngajar. Usut punya usut, ternyata dia masih memiliki relasi kekerabatan dengan pejabat pemerintah setempat. Ini adalah fakta! Apa ini tidak kurang ajar?” ucap Abdul Aziz geram.
        Nanang, mahasiswa lulusan S-2 Pendidikan Agama Islam yang resah dengan kondisi pendidikan nasional mengajukan pertanyaan seputar kelayakan lembaga pendidikan yang pantas untuk diberi kepercayaan mendidik. “Melihat kondisi pendidikan kita yang jelas-jelas tak memiliki arah dan  tujuan ini, lembaga pendidikan yang mana dan yang bagaimana yang masih bisa dipercaya untuk mendidik anak Pak?”
“Benar Pak,” sahut Yudi mengungkapkan  kekhawatiran para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya bukan saja akibat bullying namun juga akibat  semakin maraknya kasus-kasus amoral di dunia pendidikan seperti aksi para pedofilia menyodomi anak-anak sebagaimana yang terjadi di Jakarta International School, Santa Monica, SD di Bogor, SD di Bandung, SDI di Malang, yang mana sekolah-sekolah itu bisa dikatakan sekolah unggulan.”
Guru Bisa Jadi Predator Anak
          Setelah berbagai tanggapan dan pertanyaan muncul dari para mantri, Abdul Aziz kembali mengambil alih diskusi. Ia menjelaskan bahwa dalam menghadapi carut-marut dan jungkir-baliknya dunia pendidikan yang makin bobrok ada beberapa hal yang bisa dilakukan: pertama, sebagai orang tua, kaum muda, insan peduli pendidikan, sudah seharusnya memiliki optimisme yang tinggi bahwa seberapa pun merosotnya dunia pendidikan, harus yakin masih bisa diperbaiki asalkan semua pihak mengambil peran di dalamnya. Yang sering terjadi, lanjut Abdul Azis, orang sering mencaci-maki bahwa pendidikan sudah bobrok, guru tidak berkualitas, biaya mahal selangit dan seterusnya dan seterusnya, namun pada saat  yang sama, semua  lupa untuk turut serta berpartisipasi untuk membenahi pendidikan..
           Kedua, orang tua memiliki tanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak di luar sekolah. Mereka tidak bisa memasrahkan anak sepenuhnya kepada pihak sekolah. Pendidikan di rumah harus menanamkan nilai-nilai moral dan budi pekerti kepada anak. Bahkan jika perlu ada semacam punish and reward, tentu yang tidak menekan psikis anak. Dari sini, ungkap Abdul Azis, untuk menjadi orang tua, para kaum muda harus mencerdaskan dirinya terlebih dahulu, karena menjadi orang tua memiliki tanggung jawab besar terhadap keberlangsungan hidup putra-putrinya.
          Ketiga, kita harus pula mengubah mindset berpikir orang tua terhadap definisi sekolah yang baik. Banyak orang tua yang mengalami demam Full Day School, demam Sekolah bertaraf Internasional, Sekolah Plus, dan sekolah-sekolah sejenis di mana sekolah yang baik versi mereka adalah sekolah yang gedungnya megah, biayanya mahal, berangkat pagi pulang sore sehingga orang tua bisa bekerja penuh, dan sebagian diantar jemput pihak sekolah.
William J Vahey Hewan Predator Anak
           Para orang tua, ungkap Abdul Azis, tidak menyadari bagaimana Full Day School merupakan proses pemiskinan sistematis; pemiskinan terhadap keuangan orang tua dan yang lebih mengerikan adalah pemiskinan kreativitas anak. Anak seolah dipasung dan dibatasi ruang geraknya. Rutinitas berangkat pagi pulang sore, di mana saat pulang sekolah yang mereka pikirkan adalah besok harus mengumpulkan PR, membuat mereka tak memiliki waktu bermain walau sebentar. Bagaimana tidak? Begitu sampai di rumah, anak-anak itu mandi, istirahat sejenak, les untuk mengerjakan PR dan  tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Tidurlah ia. Dan ketika pagi menjelang, rutinitas yang sama kembali berulang dan begitu seterusnya. Padahal di usia mereka yang masih anak-anak, bermain merupakan kebutuhan mutlak. Kita harus mulai berpikir tentang dunia anak,  karena sekolah adalah menikmati dunia sesuai usianya. Bahkan sudah menjadi kelaziman, anak-anak yang terproses dalam pembelajaran di sekolah-sekolah unggul, umumnya berkacamata tebal. “Jangan renggut waktu mereka dengan pembelajaran menurut ukuran orang tua,” pungkas Abdul Aziz mengakhiri ngaji malam itu.
Posted by Tina Siska Hardiansyah






You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/05/sekolah-tanpa-arah-tanpa-tujuan_23.html. Thanks!
Wednesday 7 May 2014

Bisnis di balik Kabar Media Massa

              Media massa makin menjadi primadona masyarakat kita sampai hari ini. “Mengapa demikian?” tanya Kholid Amrullah, wartawan senior Radar Malang dalam diskusi rutin Selasa (06/05) di Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin, Mangliawan,  Pakis, Malang, “Karena media massa selalu membawa kabar. Dan apa yang lebih ditunggu oleh manusia kecuali kabar?,” lanjutnya kepada para mahasiswa santri (mantra) yang tengah menyimak penjelasannya dengan seksama.
             Dalam kehidupan sehari-hari saja, ungkap Kholid,  saat seseorang bertemu dengan teman, sahabat, kaum kerabat, dan  keluarga yang jauh, hal pertama yang dipertanyakan adalah, “Bagaimana kabarmu? Apakah semua keluarga sehat?” yang biasanya akan disambung pertanyaan,”Bagaimana ibu, makin cantik saja tentunya!” dan pertanyaan-pertanyaan serupa yang semuanya menanyakan kabar. Kenyataan ini menunjukkan betapa keingin-tahuan manusia untuk mengetahui kabar orang-orang terdekat yang berkaitan dengannya merupakan kebutuhan dasar yang tak terelakkan. Bahkan, lanjut Kholid, dalam lingkup lebih besar, individu sebagai bagian masyarakat selalu pula ingin tahu informasi, berita atau kabar tentang kondisi lingkungan di mana ia berada, termasuk mengenai agama yang dianut dan diyakininya, bangsa dan Negara sebagai tanah kelahirannya yang juga menjadi tempatnya  mencari penghidupan. “Inilah salah satu alasan mengapa sampai saat  ini media masih terus hidup, yaitu  untuk membawakan kabar, informasi atau berita yang dibutuhkan dan selalu dinanti-nanti masyarakat luas,” ungkap alumnus PBA UIN Maliki itu.


                 Media massa pada hakikatnya telah ada sejak dahulu kala, papar Kholid. Sebagai contoh di Nusantara, pada masa berjayanya kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Sunda, Singosari, Majapahit, dan Demak berbagai media telah digunakan oleh penduduk masa itu untuk menebarkan kabar, pengumuman, informasi yang disebut pariwara. Bukti-bukti media masa dahulu yang masih dapat dijumpai misalnya prasasti, naskah lontar, kronik, cerita tutur,  dan media massa lainnya yang tentu berbeda dengan format media massa hari ini. Dalam perkembangannya, ungkap Kholid, seiring berjalannya waktu, media massa pun turut mengalami perkembangannya. Berdasarkan catatan-catatan ilmuwan barat, awal munculnya media masa di Indonesia adalah di masa kolonialisme Belanda. Padahal, jauh sebelum itu, masyarakat kita telah memiliki peradaban yang hebat, yang tentunya tidak lepas pula dari peran media massa. Hanya saja, demikianlah yang sering terjadi, siapa yang berkuasa, ia yang menang menjadi penentu kebenaran, di mana  jika yang menang yang berkuasa telah menulis maka itu yang dijadikan pijakan dan acuan. “Itu pula mengapa sebenarnya menulis itu penting, karena sah dan tidaknya kebenaran sejarah ditentukan oleh pemenang yang menulis,” pesan mantan aktivis PMII itu memotivasi para mantri untuk giat  menulis.
                Sebagaimana wujud dan format media massa yang terus mengalami perkembangan, ujar Kholid, sejarah dari tujuan penulisan media massa pun tumbuh sangat dinamis. Jika dulu di masa kolonialisme media massa dijadikan sebagai satu alat untuk menguasai dan mengekang rakyat di satu pihak dan dijadikan sebagai sarana pemberontakan dan perlawanan terhadap kaum kolonial di pihak lainnya, atau di masa pasca kemerdekaan media massa digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kemerdekaan, dewasa ini media massa tidak lagi memiliki fungsi dan tujuan sebagaimana masa-masa itu. Berdasarkan undang-undang pers tahun 1999 telah jelas dan nyata bahwa media massa  hari ini berstatus sebagai lembaga sosial dan lembaga bisnis. Maka ideology yang diusung adalah ideology pasar, lebih tegas lagi ideology kapitalis. Mana yang menguntungkan dan tetap mampu menjaga keberlangsungan media massa, maka itulah yang dikabarkan. itulah yang diberitakan dan diinformasikan yang sering kali ditandai tawar-menawar,”Wani piro?”, termasuk kasus JILBAB HITAM di media TEMPO..

                  Meski demikian, lanjut Kholid, dalam ‘kitab suci’ media massa pembaca tetap harus dinomorsatukan. Apa yang menarik bagi masyarakat pembaca, apa yang mencuri perhatian masyarakat, maka itulah yang dimuat dalam media massa, mengingat masyarakat sebagai pembaca adalah konsumen utama.
                 “Karenanya, di sinilah politik media massa dimainkan,” ujar Kholid menjelaskan,”Misalkan dalam media lokal Radar Malang, menang atau kalah, berita tentang Aremania harus diliput dan diberitakan karena jika Aremania tidak diberitakan, sangat mungkin para aremania dan aremanita akan menggruduk kantor Radar Malang. Sebaliknya, jika Aremania diberitakan  omset penjualan akan dapat naik sampai 10 kali lipat dibanding hari-hari biasanya. Karena warga kota Malang tak pernah ingin ketinggalan membaca berita tentang arema,” ungkap Kholid.
                 Lalu contoh lain, mengapa media masa hari ini jarang sekali menyediakan kolom untuk berita-berita seputar keislaman misalnya, hal itu dikarenakan orang Islam tidak terlalu konsumtif terhadap media massa, terutama media massa cetak . Terbukti dari survey Jawa-Pos saja 40 – 60% yang berlangganan Koran Jawa Pos adalah orang-orang etnis China yang rajin memasang iklan. Dari beberapa contoh di atas, jelas bahwa tidak semua yang disajikan oleh media massa itu objektif. “Bagaimana menyikapi fenomena seperti ini?” tanya Kholid, “Ya kita harus kritis dalam membaca dan menerima informasi dari media massa, sehingga bisa membedakan mana berita yang benar dan mana berita yang bermuatan bisnis,” Pungkas Kholid mengakhiri pembahasan diskusi malam itu.
                Sebelum beranjak meninggalkan pesantren, Kholid  menambahkan, agar para mantri meniru jejak guru mereka; Romo Kyai Agus Sunyoto,  yang  terus menulis. “Mendengar dan mencatat  itu baik, namun jika apa yang didengar itu kemudian ditulis, tulisan itu akan abadi dan memberi manfaat bagi yang membacanya. Lihat saja, tulisan-tulisan berkualitas karya Agus Sunyoto akan berumur lebih panjang ketimbang usia penulisnya sendiri. Karenanya, jika kau ingin hidup abadi  sepanjang masa, menulislah!” pungkas Kholid mengakhiri pesannya.

Posted by Tina Siska Herdiansyah




You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/05/bisnis-di-balik-kabar-media-massa_7.html. Thanks!
Saturday 26 April 2014

Suluk Linglung dan Perjalanan Ruhani Sunan Kalijaga

  
Ular lambang Nafsu Lwammah
            Berbeda dengan biasanya, Ngaji Suluk ngAllah Sabtu Kliwonan (26/4) kali ini diawali dengan tembang Ana Kidung Rumeksa ing Wengi gubahan Sunan Kalijaga yang dikumandangkan DR Riyanto Hangendali, MM, dosen FIA Universitas Brawijaya Malang, Setelah menguraikan makna tembang itu, dengan mengutip beberapa pupuh tembang dari Wedhatama, Riyanto Hangendali menguraikan sekilas perjalanan ruhani yang digambarkan yang penuh  dengan lambang-lambang dan pasemon yang sangat rahasia yang hanya bisa difahami dengan kewaskitaan. Sunan Kalijaga sebagai maestro kebudayaan Nusantara, ungkap Riyanto, telah meninggalkan warisan peradaban dan kebudayaan yang adiluhung yang dewasa ini justru dipelajari oleh orang-orang dari Negara lain. 
              Kisah Sunan Kalijaga sendiri,  diketahui tersebar di sejumlah naskah yang menggambarkan  kisah perjalanan ruhani Sunan Kalijaga dengan berbeda satu sama lain meski terdapat kemiripan dan kesamaan esensi. “Sedikitnya ada tiga naskah  yang  menuturkan perjalanan ruhani Sunan Kalijaga dalam bentuk cerita naratif,” papar K. Ng. H. Agus Sunyoto melengkapi penjelasan Riyanto.


            Kisah pertama diriwayatkan dalam serat Nawaruci/Dewaruci, yang dimainkan lewat seni pertunjukan wayang purwa, di mana pengalaman ruhani Sunan Kalijaga digambarkan secara simbolik sebagai perjalanan tokoh Bima atau Werkudara mencari susuhing angin . Dalam bahasa Sansekerta Bhima memiliki arti kuat, sedangkan Werkudoro dari bahasa Sansekerta Wrekodara bermakna serigala. Panggilan serigala dilekatkan padanya oleh karena ia adalah insan yang kuat dan tangguh, mampu mengalahkan  dua orang anak  Dristarasta, yaitu Duryudana dan Dursasana. Bahkan usai membunuh Dursasana, Bhima meminum darahnya dengan lahap. Sangkuni pun dibunuh Bhima dengan cara dirobek mulutnya sampai rahang terbelah ke leher.

Raksasa Kembar Lambang Nafsu Ammarah
         Dalam perjalanan mencari iar pawitra sari, Bhima digambarkan melawan raksasa di hutan dan sewaktu masuk ke lautan bertarung dengan seekor  ular naga yang semuanya mampu dikalahkan dengan kekuatannya  sampai ia berada di tengah laut. Di sinilah Bima bertemu dengan Dewaruci, di mana sosok Dewaruci sangat mirip dengan Bima namun memiliki ukuran tubuh lebih kecil. “Masuklah ke dalam diriku!” perintah Dewaruci kepada Bhima. Sontak Bima menyanggah, “Bagaimana mungkin? Ukuran tubuhmu lebih kecil dibanding dengan tubuhku yang kekar dan kuat.”
               “Masuk saja tanpa memikirkan masuk akal dan tidaknya.”
                Akhirnya masuklah Bima ke dalam diri Dewaruci melalui telinga kiri. Di sana ia takjub dengan pemandangan yang disaksikannya, bahwa ia tengah berada di lautan bebas tanpa batas. Di sana ia menyaksikan cahaya empat warna; hitam, kuning, merah dan putih. Dalam tafsir, warna hitam melambangkan nafsu Lwammah, di mana itu merupakan nafsu dalam diri manusia yang dipenuhi dengan keserakahan dan kerakusan,nafsu kepemilikan, sehingga bila perlu dunia digenggam sendiri menjadi miliknya. Warna kuning merupakan simbol nafsu Sufliyah; nafsu yang bersemayam dalam diri manusia, yang merupakan sumber  sifat erotis dan syahwat manusia. Warna merah melambangkan nafsu Ammarah, nafsu yang membawa manusia pada api dendam, benci, iri, dengki dan sejenisnya. Warna putih melambangkan nafsu Muthma’innah, yaitu nafsu yang menghendaki ketentraman, kenikmatan dan kenyamanan. Tidak berhenti pada pemandangan atas empat warna, naik setingkat lebih tinggi, Bhima memasuki alam ruh yang membuatnya tak ingin kembali ke dunia. Namun oleh karena perintah Dewaruci, Bima kembali ke Amarta dan turut membantu saudara-saudaranya dalam perang Bharatayudha.
Membelah dua gunung lambang Nafsu Sufliyah
           Kisah kedua, lanjut Agus Sunyoto, disajikan dalam Suluk Syekh Malaya dan Serat Kandaning Ringgit Purwa. Dalam versi ini, Sunan Kalijaga dikisahkan berguru kepada Syekh Daraputih di Malaka di kampung Pulau Upih. Sunan Kalijaga diperintahkan untuk mencari  hidayah Allah Swt dengan melakukan ibadah haji. Maka berangkatlah Sunan Kalijaga ke Mekah. Sesampainya di Negeri Pasai, Sunan Kalijaga bertemu dengan Syekh Maulana Al-Maghribi. Ditanyalah ia, “Wahai Sahid, sudah tahukah engkau hakikat dari perjalanan haji? Jika engkau belum memahaminya, niscaya kamu hanya akan menemukan sebongkah batu yang mana jika engkau menyembahnya, itu berarti engkau sama dengan orang-orang musyrik.” Dari pertemuan itu, kembalilah Sunan Kalijaga ke Malaka dengan membawa bekal amalan wirid  dari Syekh Al-Maghribi yang diamalkan untuk mencari Allah di dalam diri sendiri. Pandangan Syekh Maulana Maghribi adalah khas pandangan sufisme, yaitu pandangan yang berbeda dengan kebanyakan manusia yang meyakini  Allah Swt hanya dari “katanya ini, katanya itu, kata  mereka, katanya guru” dan seterusnya. Padahal Allah Swt lebih dekat dari urat leher  manusia, yang itu berarti hakikat Dia sejatinya Ada di dalam diri manusia itu sendiri. Sebuah hadits Qudsi berbunyi, “Aku tidak bisa berada di bumi, tidak pula bisa berada di langit, tapi aku bisa berada dalam hati hambaKu yang mukmin.”  Maka selama hati belum terbuka, akan menjadi kesulitan yang pasti bagi manusia untuk mengenal Tuhannya.
               Kisah ketiga perjalanan Sunan Kalijaga dihadirkan dalam naskah Suluk Linglung, di mana dalam suluk ini, Sunan Kalijaga digambarkan berguru kepada Sunan Bonang dan sebagaimana dikisahkan dalam Suluk Syekh Malaya, Sunan Kalijaga diperintah oleh Sunan Bonang melaksanakan ibadah haji untuk mencari  hidayah Allah Swt. Di tengah perjalanan, ketika sampai di lautan yang luas, ia bertemu dengan seorang manusia yang  berjalan di atas air. Manusia ini dikenal dengan nama Nabi Khidir. Lalu Khidir bertanya, “Hendak kemana engkau?” “Menunaikan Haji ke Mekah,” jawab Sunan  Kalijaga singkat. “Apakah kamu sudah benar-benar memahami hakikat haji? Jika belum, engkau hanya akan bertemu dengan  batu, tanpa tahu siapa pemiliknya,” lanjut Khidir sembari memerintahkan Sunan Kalijaga untuk masuk ke dalam dirinya. Maka masuklah ia melalui telinga kiri Khidir, di sana ia mendapati lautan luas tanpa batas, tetapi ia melihat cahaya empat warna yang merupakan simbol nafsu yang ada dalam diri manusia.
Dewaruci Lambang Ruh Idhofi
            Dari tiga kisah di atas, dapat dipahami bahwa dalam diri manusia terdapat hakikat ruhani dari ruh suci yang ditiupkan Allah saat penciptaan Adam. Ruh suci itulah yang tersembunyi di dalam qalbu manusia. Setelah melewati keempat nafsu yang digambarkan berwarna hitam-merah-kuning-putih, maka akan ketemu dengan cahaya hijau simbol dari ruh idhofi, di mana ruh idhofi inilah yang disebut dengan nama Khidir, Khodir, Dewaruci, Ruh Suci yang menjadi selubung dari   Ruh al-Haqq yang akan menjadi barzakh sekaligus penghubung antara Yang Ilahi dengan alam ciptaan. Ruh Idhofi inilah yang pemberi petunjuk jalan menuju Sang Pencipta, ruh yang disebut  mursyid sejati, ruh ilahi yang bersemayam dalam diri manusia yang telah Tuhan tiupkan sebagaimana firmanNya dalam al-Qur'an surah Shod:
“Maka apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; Maka hendaklah kamu sekalian  bersujud kepadanya".
                Maka hanya melalui ruh inilah manusia akan benar-benar sampai pada Tuhannya. Namun, untuk mencapai ruh idhofi bukan perkara yang mudah. Ungkap Agus Sunyoto memperingatkan, karena manusia masih harus melewati berlapis-lapis nafsu yang menyelubung diri. Akan banyak aral melintang menghalangi. Kita ambil contoh sahabat Nabi Saw,  Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang sangat bijaksana dan waskita, setelah 13 tahun lamanya bersama Rasul Saw. Pada saat  diajak hijrah, dikejar-kejar kaum Quraisy. Abu Bakar  bersembunyi di Gua Tsur bersama Nabi Saw. Saat itu  seorang pemuda  Quraisy masuk dengan sebilah pedang di tangan. Menyaksikan itu  Abu Bakar gemetar dan menangis sambil berucap, “Yang aku khawatirkan adalah keselamatanmu wahai Nabi Allah.” Melihat Abu Bakar ketakutan Nabi Saw yang beroleh wahyu berkata, innallaha ma’anaa, “Saat itulah, Abu Bakar menyaksikan Allah dalam makna araftu robbi birobbi, menyaksikan Allah dengan kuasa Allah dalam makna ma’rifat sehingga lenyaplah semua ciptaan yang tergelar di sekitar, yang Ada hanya Allah semata sebagai Yang Wujud. Saat itulah, Abu Bakar baru benar-benar mengenal Allah dalam makna yang sebenarnya. “Oleh karena itu  jangan seperti orang yang  sok sudah kenal Allah, baru belajar Islam 2-3 minggu sudah merasa dirinyalah yang paling benar  lalu mengkafir-kafirkan yang lainnya. Sungguh, jalan menuju Allah membutuhkan jihad (perjuangan) yang luar biasa. Jika manusia bisa melampaui ujian-ujian dengan jihadnya, niscaya terbukalah jalan-jalan sebagaimana firman Allah Swt dalam al-Qur’an;
           “Dan orang-orang yang berjihad  menuju Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.”
             “Semoga sepintas ngaji dengan menggali khazanah warisan Wali Songo ini dapat memberikan manfaat dan barokah kepada kita semua. Al Fatihah,” ujar  Agus Sunyoto mengakhiri ngaji Suluk ngAllah.
Posted by Tina Siska Hardiansyah




You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/suluk-linglung-dan-perjalanan-ruhani_26.html. Thanks!
Saturday 5 April 2014

Warlord dan Rekayasa Hasil Pemilu

              Setelah mengendap-endap dan menyelinap di tengah kegelapan malam, dengan nafas tersengal-sengal dan dada berdegup-degup seorang anggota KPU daerah bernama samaran  Tulus-Lurus menemui Guru Sufi yang sedang berbincang dengan Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Azumi, Dullah, Daitya, dan Marholy di teras musholla. Sambil celingukan takut diketahui orang, Tulus-Lurus dengan suara bergetar menceritakan pengalaman mengerikan yang membuatnya ketakutan setengah mati. Secara singkat, cerita Tulus-Lurus itu sebagai berikut:
    “Anu.. anu Mbah Kyai, saya ingin menceritakan pengalaman mengerikan yang telah saya alami dalam  kaitan dengan pekerjaan saya sebagai anggota KPU daerah. Maksud saya, saya dipaksa oleh seorang ‘penguasa daerah’ untuk  menjalankan skenario manipulasi hasil pemilu legistlatif maupun presiden. Saya dan kawan-kawan tidak saja akan dikasi uang satu orang 500 juta tapi juga akan dikasi rumah satu orang satu. Bahkan ketua saya, sudah dijanjikan dikasi tambahan mobil.”
    “Skenario yang diajukan ‘sang penguasa daerah’ sebenarnya sangat sederhana dan gampang dilaksanakan. Pertama-tama, KPU harus memasukkan suara pemilih ke dalam hitungan suara partai. Misalnya, suara pemilih untuk caleg nomor urut 5 bernama Kampret dari Partai Demokrasi Perjuangan tidak perlu dihitung sebagai suara pemilih untuk Kampret, melainkan dihitung sebagai suara untuk Partai Demokrasi Perjuangan. Jadi pada akhir penghitungan, suara terbesar terakumulasi pada partai karena masing-masing caleg mendapat suara sangat sedikit. Begitulah partai memiliki kewenangan mutlak untuk menentukan siapa di antara caleg-caleg yang dipilih menjadi anggota legislatif mewakili partai.”
    “Maaf Lus,” sahut Dullah  menyela,”Siapa yang kau maksud ‘penguasa daerah’ itu? Apakah bupati dan  gubernur?”

    “Wan Ji Hong, kang,” sahut Tulus-Lurus gemetar,”Konglomerat daerah kita.”
     “Lha dia kan pengusaha?” sergah Sufi Sudrun mengerutkan kening,”Untuk apa dia ikut ngatur kemenangan partai di daerah? Apa keuntungan dia ikut ngatur kemenangan partai?”
    “Kalau suara terbanyak terakumulasi pada partai, maka yang menentukan siapa yang akan jadi wakil partai di daerah adalah ketua partai,” sahut Tulus-Lurus.
    “Lha iya,” tukas Dullah penasaran,”Apa keuntungan dia kalau yang menentukan para caleg menjadi legislatif terpilih adalah ketua partai?”
    “Wan Ji Hong sudah punya kaki-tangan, begundal, jongos, kacung, dan babu yang menjadi caleg di berbagai partai. Nah, kalau yang menentukan caleg  menjadi anggota DPRD adalah ketua partai karena partai menang dalam pemilu, maka yang akan dijadikan  anggota legislatif adalah caleg-caleg yang merupakan kaki-tangan, jongos, kacung, centeng, begundal, dan babunya Wan Ji Hong,” kata Tulus-Lurus menjelaskan.
    “Berarti ketua-ketua partai sudah ‘dibeli’ Wan Ji Hong?” sahut Dullah tercekat,”Berarti ketua-ketua partai sudah jadi kaki-tangannya, begitukah?”
    Tulus-Lurus mengangguk. “Tapi tolong jangan bilang dari saya, kang,” katanya tak bersemangat.
    “Berarti DPRD kita nanti semuanya merupakan kaki-tangan Wan Ji Hong yaa?” Dullah menarik nafas panjang sambil geleng-geleng.
    “Itu artinya,” sahut Sufi tua menyela,”Seperti pemilu yang sudah-sudah, kebijakan legislatif di daerah akan diatur dan dikendalikan Wan Ji Hong, termasuk eksekutifnya. Itu artinya pula, semua proyek vital di kabupaten dan provinsi akan dimonopoli Wan Ji Hong.”
    “Itu berarti, pemilu hanya jadi ajang sandiwara saja oleh para konglomerat dalam proses memperkaya diri dan meraksasakan perusahaan multi-nasional dan trans-nasionalnya,” sahut Sufi Sudrun.
    “Itu artinya,” tukas Sufi kenthir menyela,”Pemenang pemilu bukanlah individu-individu yang menang dengan memperoleh suara terbanyak, melainkan ‘penguasa’ di balik layar yang membuat aturan dan mengendalikan para pemenang itulah sejatinya pemenang.”
    “Maaf kang,” kata Azumi menyela,”Kedudukan Wan Ji Hong itu kan sama dengan Warlord-warlord jaman dulu?”
     “Ya seperti itulah faktanya.”
    “Kalau dulu kaisar hanya berkuasa di ibukota, bahkan hanya di sekitar istana karena seluruh negeri sudah dibagi-bagi dalam kekuasaan para warlord, kayaknya sekarang ini keadaannya sama di mana presiden kekuasaannya sangat lemah di daerah karena daerah-daerah dikuasai warlord-warlord yang tidak saja dijadikan ‘yang mahakuasa’ di daerah oleh penduduk melainkan sudah menjadi sesembahan baru yang menjadi gantungan harapan penduduk yang sudah kehilangan iman. Naudzubillah tsumma naudzubillah,” kata Sufi Sudrun mengomentari.
    “Ya jelas itu kang,” sahut Azumi,”Lhawong koruptor yang sudah disidik kejaksaan bisa lolos karena keikut-sertaan Wan Ji Hong dalam meloby perkara.”
    “Maaf paklik,” sahut Marholy menyela,”Kalau keadaannya seperti itu, untuk apa ikut pemilu?”
    “Hmm, ternyata sebagian kekuatan yang menentukan keberhasilan caleg menjadi anggota DPRD di daerah bukanlah rakyat melainkan warlord-warlod seperti Wan Ji Hong.”
    “Maaf-maaf Mbah Kyai,” sahut Tulus-Lurus gemetaran.
    “Ya ada apa?” sahut Guru Sufi sabar.
    “Saya sudah dikasi rumah dan uang, Mbah Kyai,” kata Tulus-Lurus,”Apakah itu boleh saya kembalikan? Karena saya tidak mau dilempar ke dalam jahannam di akhirat nanti.”
    “Tidak!” sahut Guru Sufi,”Jangan dikembalikan. Kau diam saja. Biar saja semua berlalu sampai semua kelihatan yang haqq maupun yang bathin. Setelah itu, baru kau ambil keputusan.”
    “Tapi ini barang haram, Mbah Kyai. Ini suap. Yang menyuap dan disuap sama-sama masuk neraka,” kata Tulus-Lurus.
    “Dengan berpegang pada kaidah ushul fiqh – dar al mafasid muqaddamu ‘ala jalabil masholih – mendahulukan menghindari hal-hal yang mudlarat harus didahulukan daripada berbuat kebaikan,” kata Guru Sufi menjelaskan.
    “Tapi apa yang saya terima adalah sesuatu yang haram. Bukankah saya harus mengutamakan mengembalikan pemberian yang haram ini?” tanya Tulus-Lurus.
    “Mana yang lebih utama, engkau mengambalikan uang dan rumah pemberian Wan Ji Hong dengan akibat mendapat pujian atau engkau menyelamatkan nyawamu dan nyawa keluargamu? Mana yang lebih utama bagimu?” sergah Guru Sufi mendesak,”Kau jangan main-main dengan warlord.”
    “Baik Mbah Kyai, saya faham,” kata Tulus-Lurus dengan mata berkaca-kaca dan dada sesak.

Posted by Agus Sunyoto.



You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/warlord-dan-rekayasa-hasil-pemilu_5.html. Thanks!