Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Showing posts with label Padhepokan. Show all posts
Showing posts with label Padhepokan. Show all posts
Wednesday 2 April 2014

Pendidikan Watak di Pesantren, Berorientasi Mengendalikan Nafsu

              Logika pemikiran dalam pendidikan di pesantren adalah logika berpikir kaum sufi, yang   berbanding terbalik dengan logika berpikir yang diterapkan dalam pendidikan disekolah. Jika di sekolah seorang siswa dididik dan dilatih agar terbiasa mencapai kenyamanan dan kenikmatan hidup bersifat jasmaniah seperti  memakan makanan yang lezat, sehat dan bergizi, pakaian bagus yang nyaman dipakai, tidur di  ranjang empuk minimal 8 jam sehari semalam, dan hal-hal bersifat mapan  dengan konsep ideal lainnya. Sementara di pesantren, sejak awal para santri diajari untuk terbiasa tidur di atas lantai dengan alas keras dan kasar, makan bersama-sama dengan lauk seadanya,  antri bergiliran saat mandi, berwudlu, mengisi bak mandi,  dan mencuci pakaian sendiri dengan air secukupnya. “Di balik fasilitas seadanya di pesantren dan pembiasaan hidup sederhana, pada dasarnya adalah pendidikan watak yang berpijak pada konsep pendidikan sufisme,” ujar K Ng H Agus Sunyoto dalam kajian Selasa malam di Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin (1/4). 

             Seperti salik menjal;ani suluk, ungkap Agus Sunyoto, para santri dididik untuk tidak berlebih-lebihan dalam hidup apalagi mencari kenyamanan dalam segala aspek kehidupan. Di sepertiga malam terakhir misalnya, saat enak-enaknya tubuh terbalut kehangatan selimut dalam mimpi, tiba-tiba  pengurus pondok memukul lonceng yang memekakkan telinga dan mengusik nyenyaknya tidur. Lonceng tak akan berhenti hingga semua santri beranjak dari tempat tidur menuju pancuran air wudlu dan berkumpul di mushola untuk sembahyang tahajjud berjama’ah. Jika ada yang tidak mengikuti jama’ah, baik itu disengaja maupun tidak akan mendapat ganjaran keesokan harinya. Ganjaran dapat berupa kerja bakti membersihkan aula, mengisi bak mandi, menggantikan teman piket, menghapal surat-surat penting dalam al-Qur’an, atau digundul kepalanya bagi santri putra. Beragam ganjaran bersifat mendidik agar santri disiplin dan bertanggungjawab telah menanti santri yang malas ibadah.
               Sembahyang tahajjud yang dilanjut dengan wirid dan tafakkur tak akan berhenti hingga adzan shubuh berkumandang diikuti dengan  sederet aktivitas lainnya sampai  siang datang yang dilanjut sampai malam kembali datang di mana para santri  dapat beristirahat memejamkan mata. Dari sekian banyak aktivitas santri di pondok pesantren, dapat dikatakan 80%nya merupakan aktivitas olah ruhani. Selebihnya barulah olah pikir alias olah akal. Hal ini berpedoman bahwa  ilmu itu bersifat intuitif yang tersembunyi di dalam dada; shodrun. Ketika hati seorang hamba telah tersingkap, maka secara otomatis ilmu Tuhan akan dengan mudah merasuk dalam diri orang tersebut. Semua kecenderungan buruk dari nafsu seperti ingin nyaman, malas, gampang marah, iri hati, suka membual, kikir, hasut harus dihindari.  Para santri harus membiasakan berakhlak kariimah seperti jujur, suka bershodaqoh, saling menolong, tidak menyakiti, menghindari  berbagai tindak laku yang tergolong maksiat, dan  ta’dzim kepada guru, “Karena “al-ilmu nuurun wa nuurullahi laa yuhdaa lil ‘aashi; ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak akan diturunkan kepada ahli maksiat,” kata Agus menegaskan.
                 Menurut Agus Sunyoto, salah satu akhlak dasar yang harus dipatuhi dan diamalkan oleh santri adalah ta’dzim kepada guru. Akhlak kiai-guru-murid di pesantren ditandai kesopanan dan kesantunan. Ketika guru datang, seluruh santri berebut untuk mencium tangan guru. Ketika kiai lewat, maka semua kegiatan santri dihentikan, yang berjalan berhenti sejenak, yang belajar menghentikan belajarnya dan yang naik sepeda turun seketika, mereka berdiri sembari membungkukkan badan menanti sang kiai berjalan terlebih dahulu barulah seluruh aktivitas berjalan sebagaimana sebelumnya.
                Perilaku di atas bukan lantas bertujuan mengkultuskan guru atau kiai. Lebih dari itu, tradisi ini sebagaimana disampaikan  Agus Sunyoto,  sudah dikenal dalam pendidikan Dukuh dan Padhepokan yang merupakan pendidikan Syiwa-Buddha dan Kapitayan, di mana menurut tatakrama belajar  seorang siswa (seseorang yang sudah disucikan dengan diksha) haruslah hormat-ta’dzim  kepada tiga  orang guru (Bapa-babu, guru, ratu) yang dalam wedharan kitab Silakramaning Wiku dikenal dengan istilah triguru, yakni (1) Guru Rupaka; orang tua yang melahirkan ke dunia, ayah-ibu, (2) Guru Pangajyan; guru yang mengajarkan pengetahuan ruhani, (3) Guru Wisesa; raja yang sedang berkuasa. Dari ketiga guru tersebut, siswa dianjurkan untuk memberikan penghormatan paling utama kepada Guru Pangajyan karena guru inilah yang akan menuntun siswa membuka kesadaran dirinya hingga sampai pada tahap moksha atau dapat disebut maqom ma’rifat dalam ajaran Islam.
                Untuk mencapai tahap wiku, para siswa di dukuh harus melakukan pengendalian terhadap nafsu diri. Mereka dididik untuk menganut beberapa prinsip hidup seperti ahimsa (tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak membunuh), menjauhi sifat krodha (marah), moha (gelap pikiran), mana (angkara murka), mada (takabbur), matsarya (iri dan dengki) dan raga (mengumbar nafsu). Di samping itu, mereka dituntut pula untuk bersifat satya; jujur, tidak berbicara kotor, ucapannya tidak menyakitkan hati, tidak memaki, tidak menggerutu, tidak menyumpahi dan tidak berdusta. Jika siswa ingin sukses dalam memperoleh ilmu pengetahuan di padukuhan, maka wajib baginya untuk mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan Sang Wiku, termasuk larangan menyantap makanan lezat, makan berlebihan, minum arak, berjudi, mencuri, melakukan riba, berbohong, dan perilaku buruk yang lain.
               Aturan tatakrama dalam belajar yang wajib dipatuhi siswa di dukuh, ungkap Agus Sunyoto, dilanjutkan oleh pendidikan Islam yang disebut pesantren, yang memadukan tatakrama Silakramaning Wiku dengan kitab Ta’limul Muta’alim di mana kepatuhan santri kepada sang kiai merupakan sebuah kemutlakan agar mereka  memperoleh ilmu pengetahuan yang barokah dan manfaat  sehingga menjadi insan yang ‘arofa nasfah ’arofa robbah, karena hakikat dari tarbiyyah adalah pendidikan yang berorientasi kepada ke-Tuhan-an dan sekali-kali bukan money atau job oriented.(Tina Siska Hardiansyah)

You have read this article Padhepokan with the title Padhepokan. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/pendidikan-watak-di-pesantren_2.html. Thanks!
Wednesday 30 November 2011

Mengubah Kalender Jawa-Islam Sultan Agung, Mampukah?

      Oleh: Ki Mas Badaruddin Manconegara
           Sabtu sore di Padhepokan Grind Punk yang diasuh Kyai Semar Puzz, terjadi peristiwa aneh  tetapi lucu yang membuat para cantrik tertawa terpingkal-pingkal. Awalnya, Tualen Puss  membeli Kalender Jawa yang aneh di sebuah Kongres Bahasa Jawa. Dikatakan aneh, karena kalender itu menetapkan usia  kalender tahun Jawa 2923.  Tanpa pikir panjang Tualen Puss, sarjana sejarah  yang asal Bali tapi sangat ingin tahu sejarah kebudayaan Jawa itu membeli kalender aneh tersebut  seharga Rp 25.000. Tualen Puss berharap, ia menemukan rumusan baru kalender Jawa yang benar-benar akurat dan sesuai dengan fakta historis dalam kaitan dengan penyusunan sistem penanggalan Jawa kuno.
    Betapa terkejut Tualen Puss sewaktu membuka dan membaca kalender Jawa yang aneh itu. Sebab disebutkan di situ  bahwa kalender Jawa didasarkan pada gagasan “Sangkan Dumadining Bawana” yang berkaitan dengan Huruf Jawa yang didasarkan pada gagasan “Sangkan Paraning Dumadi”. Entah darimana sumber historisnya, penyusun kalender itu menetapkan bahwa kalender Jawa pertama kali diperkenalkan oleh Mpu Hubayun pada tahun 911 SM (Sebelum Masehi) sehingga pada tahun 2011 ini sudah berusia 2923 tahun. Tualen Puss yang terbiasa berpikir ilmiah dengan epistemologi kesejarahan mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala berulang-ulang, berusaha memahami penjelasan yang sangat tidak masuk akal sehat (common sense) apalagi nalar akademik. Tualen Puss, pertama-tama tidak menemukan hubungan korelasional antara kalender Jawa yang disusun sejak tahun 911 SM itu dengan huruf Jawa yang baru digunakan pada abad ke-12 Masehi (sebelum itu prasasti-prasasti menggunakan huruf asal India: Pallawa, Dewanagari). Pada tahun 50 SM Prabu Sri Maha Punggung atau Ki Ajar Padang mengadakan perubahan pada huruf dan sastra Jawa.

    Lebih terkejut lagi Tualen Puss mendapati klaim pada kalender itu bahwa Aji Saka adalah orang Jawa asli dan kalender yang diperkenalkan Aji Saka yang  dimulai tanggal 21 Juni 77 M dimulai dari angka nol (das), dimulai pada tanggal 1 Badrawarna (Suro) tahun Sri Harsa, Windu Kuntara tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1tepat hari Radite Kasih (Minggu Kliwon) sebagai permulaan tahun Jawa, yang bertepatan dengan 21 Juni 78 M. Kalender Jawa memakai pedoman peredaran Matahari (Solar). Klaim ini mengejutkan, karena semua sejarawan sedunia sudah mengetahui dan faham jika kalender yang digunakan orang Jawa sejak tahun 78 M itu adalah kelender Saka, yaitu kalender yang dicanangkan oleh Raja Kaniska, raja di kerajaan Sakya di India, yang menetapkan kalender berdasar solar system (sistem matahari) pada tanggal 1 bulan Aniani atau Badrapada tahun 1 Saka, yang bertepatan dengan 21 Juni 78 M. Nah bagaimana nalar historisnya, kalender Saka bikinan Raja Kaniska yang sudah diketahui para sejarawan sedunia itu  bisa disulap oleh pembuat kalender aneh itu sebagai kalender asli Jawa kelanjutan dari kalender bikinan Mpu Hubayun? Bagaimana tokoh simbolik Aji Saka yang  dijadikan simbol pengaruh budaya Sakya di India yang menandai digunakannya kalender Saka oleh orang Jawa pada tahun 78 M itu diklaim sebagai orang Jawa asli? Tidakkah penyusun kalender itu mengetahui jika dongeng Aji Saka dengan dua orang abdinya bernama Dora dan Sembada itu baru muncul pada masa akhir era Mentaram abad ke-17 M? Bagaimana pula muncul dongeng baru bahwa abdi Aji Saka itu empat orang, selain Dora dan Sembada masih ada Duga dan Prayoga?
    Ketika sampai di padhepokan, Tualen Puss mengumpulkan teman-temannya untuk membincang kalender Jawa yang menurutnya aneh itu. Dalam sekejap sudah berkumpul Bagong Purr, Sangut Pull,  Gareng Punk, Petruk Puff, Delem Putt, Merdah Pupp, Bancak Punn, Doyok Pudd, Besut Muff, Udel Lull, Cepot Mudd, dan Dawala Mugg mengitari Tualen Puss. Secara bergiliran para cantrik itu membaca lembar demi lembar kalender aneh itu dengan ujung mereka tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut. Bagong Purr saking gelinya sampai ketawa terkentut-kentut.
          “Hihihi,” kata Sangut Pull ketawa sambil menepuk-tepuk perutnya,”Kalau kalender Jawa berdasar sistem matahari (solar system), bagaimana dengan sistem hitungan kalender Jawa kuno berdasar rembulan yang disebut Candrasengkala? Apa dia tidak tahu bagaimana prasasti-prasasti sejak zaman Tarumanagara sampai Majapahit ditulis dengan menggunakan kelender sistem rembulan Candrasengkala?”
    “Halaah Ngut Sangut,” sahut Petruk Puff  mencibir,”Kamu lihat lembar terakhir kelender itu. Dari situ saja orang sudah tahu bahwa penyusun kalender itu wong sing ora pinter tapi keminter.”
    Sangut Pull membuka lembar akhir kalender dan membaca isinya. Dengan mata mendelik dan kepala geleng-geleng ia menggumam,”Lhadalah, ini ada nama hari dalam kalender Jawa yang terdiri dari tujuh satuan hari (Radite/Rawiwara/Minggu; Soma/Sumawara/Senin; Anggara/Manggala/Selasa; Buda/Pertala/Rabu; Respati/Wrehaspati/Kamis; Sukra/Wiku/Jum’at; Tumpak/Saniscara/Sabtu) yang disebut macrocosmos dan lima satuan hari (Manis/Legi/Pethakan; Jenar/Pahing/Abritan; Palguna/Pon/Jenean; Langking/Wage/Cemengan/ Kasih/Kliwon/Gesang) yang disebut microcosmos. Walah-walah, memang ini bukti kang, kalau orang yang menyusun kalender ini tidak faham benar dengan wewaran. Jelas dia tidak tahu bahwa dalam kalender Jawa yang disebut Wewaran itu ada sepuluh, yaitu Ekawara, Dwiwara, Triwara, Caturwara, Pancawara, Sadwara, Saptawara, Astawara, Sangawara, dan Dasawara.”
          “Ya begitu itulah Ngut,” sahut Petruk Puff sinis,”Dengan menetapkan bahwa kalender Jawa berdasar sistem matahari (solar system), penyusun kalender itu tidak akan mengetahui sedikit pun rumus hitungan Tanggal dan Palong dalam kalender Jawa Candrasengkala. Dia juga tidak akan tahu apa itu yang disebut Purnama dalam Tanggal atau Suklapaksa maupun apa yang disebut Tilem dalam Panglong yang disebut Krsnapaksa.”
         “Kayaknya orang ini pakai rujukan tulisan Ir H Wibatsu Harianto S,” kata Sangut Pull,”Soalnya kalendernya mirip dengan uraian dalam Qomarul Syamsi Adamakna halaman 21 yang cetakan wukunya terbalik akibat salah cetak. Wah, wah, wah…”
    “Tapi lihat kang Petruk,” sahut Delem Putt menyela sambil  menunjuk cover kalender,”Dia menyatakan kalau kalender yang disusun Sultan Agung Hanyakra Kusuma sudah waktunya disesuaikan atau diadakan perubahan karena selain memunculkan istilah tahun ABOGE (Tahun Alip, 1 Suro jatuh hari Rebo Wage) dan istilah tahun ASAPON (Tahun Alip, 1 Suro jatuh hari Seloso Pon) akibat disatukannya kalender Jawa yang berdasar  sistem matahari (solar system) dengan kalender Islam yang berdasar sistem rembulan (lunar system), orang-orang Jawa harus kembali kepada kalender Jawa yang asli bikinan  Mpu Hubayun tahun 911 SM.”
    “Itulah masalahnya,” sahut Petruk Puff sinis,”Penyusun kalender itu tidak cukup kompeten menguasai sistem kalender Jawa Candrasengakala, sistem kalender Saka Suryasengkala, sistem kalender Kala Sanjaya yang disebut Pawukon, sistem kalender pranatamangsa, dan sistem kalender Hijriyyah yang sangat dikuasai Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Bagaimana kita mempercayakan sebuah perubahan kalender Jawa yang rumit yang merupakan gabungan mathematical calendar dengan astronomical calendar kepada orang tidak lebih cerdas dari Sultan Agung Hanyakra Kusuma?”
    “Justru karena kekagumanku pada rumus-rumus mathematis yang ditetapkan Sultan Agung Hanyakra Kusuma dalam memadukan secara selaras Kalender Jawa Candrasengkala (lunar system), kalender Saka Suryasengakala (solar system), kalender Hijriyyah Qomariyyah (lunar system), dan pranatamangsa yang membuatku belajar khusus masalah itu di padhepokan ini. Jika bukan manusia jenius, mana mungkin Sultan Agung Hanyakra Kusuma bisa memadukan  mathematical calendar dengan astronomical calendar yang begitu rumit. Jadi menurutku, masih sangat rasional aku meyakini kalender Sultan Agung hanyakra Kusuma daripada mempercayai kalender aneh yang tidak jelas rumusan sistematiknya itu,” kata Tualen Puss menimpali.
    “Asal kamu tahu saja Len,” sahut Sangut Puff mengomentari kata-kata Tualen Puss,”Penyusun kalender ini menetapkan 1 Suro sebagai awal tahun baru Jawa yang asli Jawa. Itu menunjukkan penyusun kalender ini buta sejarah, karena dia tidak tahu kosa kata SURO itu darimana. Dia tidak tahu bahwa sepanjang sejarah kalender Jawa sejak tahun 1 Saka yang bertepatan dengan tahun 78 Masehi hingga masa Majapahit tidak dikenal kosa kata SURO sebagai nama bulan. Ini sungguh tragis.”
           “O iya ya,” sahut Tualen Puss manggut-manggut,”Penyusun kalender itu rupanya tidak tahu bahwa kosa kata SURO itu berasal dari bahasa Arab logat Persia Asy-Syuro yang digunakan  oleh orang-orang Syi’ah untuk menyebut bulan Muharram karena di dalam bulan Muharram terdapat tanggal kesepuluh (Asy-Syaro) yang keramat, yaitu tanggal terbunuhnya Sayyidina Husein putera Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad Saw di Karbala. Atas latar historis itulah orang-orang Syi’ah sedunia pada tiap-tiap bulan Asy-Suro memperingati peristiwa itu dengan membuat bubur Asy-Suro. Orang-orang Syiah juga melarang bulan Asy-Syuro itu untuk perhelatan nikah, khitan, pindah rumah, dan lain-lain. Nah kata Asy-Syuro itulah dalam lidah Jawa dilafalkan SURO.”
        “Ya, ya, rupanya dia mengira SURO itu kosa kata asli Jawa.”
        “Itu namanya otak-atik mathuk. Kalender ini jadinya  kalender yang pas untuk petungan pedukunan tapi tidak mungkin untuk kalender menghitung sistem satuan waktu yang ilmiah dan masuk akal sebagaimana warisan para leluhur kita yang terbukti tidak saja arif dan bijaksana tetapi juga cerdas dan jenius serta ambeg paramarta.”
        “He he he…bener itu.”
You have read this article Padhepokan with the title Padhepokan. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/11/mengubah-kalender-jawa-islam-sultan.html. Thanks!
Tuesday 22 November 2011

Wahahabihi Salahafihi Dustahaha Soal Tradisi NU

Oleh: Ki Mas Badaruddin Manconegara
       Suatu Kamis sore di Padhepokan Grind Punk yang diasuh Kyai Semar Puzz para cantrik terheran-heran melihat cantrik Gareng Punk tertawa terpingkal-pingkal dengan suara gaduh. Saking gelinya, Gareng Punk ketawa sampai jungkir-balik di lantai dengan memegangi perutnya.
            Cantrik-cantrik lawas seperti Petruk Puff, Bagong Purr, Sangut Pull, Delem Putt, Tualen Puss, Merdah Punt, Bancak Punn, Doyok Pudd yang terheran-heran melihat tingkah Gareng Punk beramai-ramai mendekat. Petruk Puff sebagai cantrik paling senior dengan suara tinggi bertanya,"Ada apa Kang Gareng, ketawa kok sampai jungkir balik kayak orang edan. Memangnya ada yang lucu banget?"
              "Whuahahaha..," teriak Gareng Punk menahan geli,"Apa kamu sudah baca buku humor paling lucu sejagad raya ini, Truk?" tawa Gareng Punk sambil mengacungkan-acungkan sebuah buku ke atas.
           "Buku apa itu kang?" tanya Petruk Puff ingin tahu.
               "Ini buku Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah para Wali tulisan KH Makhrus Ali yang mengaku Kyai," sahut Gareng Punk geli.

                "Hmm, memang apanya yang lucu?" tanya Petruk Puff penasaran.
             "Dia membuat statemen fiktif imajiner bahwa tradisi tahlilan adalah budaya Hindu," sahut Gareng Punk berusaha menahan tawa,"Makhrus Ali mengarang cerita fiktif imajiner untuk membenarkan statemennya. Whahahaha, kalau ustadz secara sepihak mengklaim diri sebagai kyai dan kemudian mengajarkan kebenaran palsu yang dibangun di atas dusta dan kebohongan, itu lawakan paling lucu sejagad kan jika dipercaya membuta oleh pengikut- pengikutnya yang fanatik buta?"
               "Statemen fiktif imajiner yang mana, kang?" tanya Bagong Purr menyela.
                "Nih baca halaman 23!" sahut Gareng Punk menyodorkan buku ke depan.
               Bagong Purr dengan suara keras membaca, "Tahlilan merupakan budaya agama Hindu, hal ini dibuktikan dengan ungkapan syukur dari pendeta dalam sebuah acara berikut ini, "Tahun 2006 silam bertempat di Lumajang, Jatim diselenggarakan kongres Asia penganut agama Hindu. Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang cukup mendalam kepada Tuhan mereka karena bermanfaatnya ajaran agama mereka yakni peringatan kematian pada hari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 dan hari matinya tiap tahun yang disebut geblak dalam istilah Jawa (atau haul dalam istilah NU-ed) untuk kemaslahatan manusia yang terbukti dengan diamalkannya ajaran tersebut oleh sebagian umat Islam."
            "Hwarakadah," seru Sangut Pull dengan mata berkilat-kilat,"Kalau ada pendeta Hindu membuat pernyataan seperti itu, yakinlah jika itu pendeta palsu. Jika tahun 2006 ada Kongres Asia penganut agama Hindu di Lumajang, itu sumbernya dari mana? Sungguh, itu kebohongan terang-terangan seorang pendusta bodoh berjiwa Iblis yang berpedoman pada statemen "ana khoiru minhu" dan "ana robbukumul a'la", sehingga berdusta pun tetap suci dan mulia."
             "Itu sih bukan dusta Ngut," kata Gareng Punk,"Tapi sejenis schizoprenia, paranoia,delirium."
         "Lha Kang Sangut Pull, kalau peringatan kematian pada hari 1,2,3,4,5,6,7,40,100, 1000 itu apa tidak dari ajaran Hindu?" tanya Doyok Pudd ingin penjelasan.
              "Mana ada Hindu mengenal peringatan kematian hari 1,2,3,4,5,6,7,40,100,1000?" sergah Sangut Pull mengelus-elus janggutnya yang panjang,"Sebagai orang Bali yang pernah sekolah di pendidikan-pendidikan Hindu, belum pernah ada sumber menunjuk peringatan hari kematian yang dijalankan umat Islam di Indonesia itu adalah berasal dari ajaran Hindu. Kakek-nenekku, bapak-ibuku, paman-bibiku, tetangga-tetanggaku, dan seluruh masyarakat Hindu yang pernah kukenal belum pernah mengadakan upacara peringatan hari kematian 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000," kata Sangut Pull dengan nada protes.
            "Lha orang Hindu kalau meninggal dunia diperingati dengan cara apa dan bagaimana?" tanya Doyok Pudd minta penjelasan.
            "Orang Hindu kalau meninggal disempurnakan dengan upacara Ngaben," sahut Sangut Pull menjelaskan,"Lalu ada upacara Sraddha yang diselenggarakan 12 tahun setelah kematian seseorang. Jadi kalau ada pernyataan peringatan hari kematian 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 adalah ajaran Hindu, Haqqul Yaqiin itu dusta. Dan Haqqul Yaqiin pula, ustadz bodoh itu pasti tidak faham sama sekali tentang apa itu Agama Hindu. Jadi itu ustadz ASBUN, ASOM, ASBAL, ASNGOB, ASJEP saja."
          "Halaah kang," sahut Bagong Purr menyela,"Ada lagi istilah baru. Apa itu yang sampean maksud dengan ASBUN, ASOM, ASBAL, ASNGOB, ASJEP?"
            "ASBUN = Asal Bunyi," kata Sangut Pull menjelaskan istilah-istilah barunya,"ASOM = Asal Omong; ASBAL = Asal Membual; ASNGOB = Asal Ngobos; ASJEP = Asal Jeplak mulutnya... He he he he," kata Sangut Pull ketawa terkekeh-kekeh.
               "Lha kalau peringatan hari kematian yang dijalankan umat Islam Nusantara itu bukan dari pengaruh Hindu, darimana asalnya kang?" tanya Doyok Pudd penasaran.
              "Menurut Romo Kyai Semar Puzz," sahut Petruk Puff menjelaskan,"Peringatan hari kematian 3, 7, 40, 100, 1000 itu dibawa oleh penyebar Islam asal negeri Campa yang berduyun-duyun hijrah ke Nusantara akibat negerinya diserbu Raja Vietnam Le Nan-tonh pada 1446 dan 1471 Masehi. Peringatan itu sendiri didapat muslim Campa akibat pengaruh dari orang-orang Syi'ah Zaidiyyah dan Ismailiyyah."
               "Jadi itu pengaruh muslim Syi'ah toh?" gumam Doyok Pudd,"Yang bawa muslim Campa ya."
              "Iya, termasuk kalau bulan Suro atau Muharram orang-orang bikin bubur, itu juga pengaruh Syi'ah yang dibawa orang-orang Campa. Orang mati ditalqin, diperingati dengan haul, diperingati dengan kenduri, itu semua pengaruh Syi'ah. Istilah kenduri saja dari bahasa Persia, kanduri, yaitu peringatan mengirim doa sambil makan-makan untuk memperingati Fatimah Az-Zahrah yang merupakan leluhur imam-imam Syi'ah. Selain itu, orang Campa kalau belajar membaca Qur'an masih menggunakan bahasa Persia seperti penggunaan sebutan JABAR untuk fathah, JER (Zher) untuk katsroh dan PES (Fyez) untuk dlommah," kata Petruk Puff.
            "Tapi sumber sampean itu benar-benar dari Romo Kyai Semar Puzz?" tanya Doyok Pudd memastikan untuk tidak tertipu seperti statemen uztadz lepus Makhrus Ali.
              "Itu memang dari Romo Kyai Semar Puzz," kata Petruk menegaskan,"Tapi sumbernya bisa kamu baca di tulisan-tulisan ilmiah seperti "Notes sur l'Islam dans l'Indochine Francaise" tulisan Antoine Cabaton dalam Revue du Monde Musulman terbitan tahun 1906; "Les Chams musulmans de l'Indochine Francaise" tulisan Antoine Cabaton juga di dalam Revue du Monde terbitan tahun 1907; tulisan J. Baccot dalam On G'mu et Cay a O Russei. Syncrerisme religieux dans un village cham du Cambodge (1968);P.Y.Manguin dalam "L'introduction de l'Islam au Campa" terbitan BEFEO tahun 1979; "Les Musulmans de l'Indonchine francaise" (1971) tulisan M.Ner dan banyak lagi sumber lainnya."
             "Jadi penjelasan Romo Kyai Semar Puzz itu didukung data ilmiah, ya kang?"
             "Ya pasti toh, romo kyai itu kan orang jujur. Tidak pernah dusta, apalagi mengada-ada untuk tujuan menista orang lain demi mensucikan dan memuliakan diri sendiri dan agamanya. Karena itu sejak zaman purba, gelar kyai yang disandang romo tidak pernah ada yang menyoal karena beliau memang benar-benar kyai yang menurunkan para kyai," jelas Petruk Puff.
             "Yang pasti ke-kyai-an Romo Semar bukan bandingan ke-kyai-an palsu Makhrus Ali, benar begitu kang?" kata Bagong Purr berkomentar.
             "Yo pasti Gong, mana bisa manusia jujur dibandingkan dengan pendusta?" sahut Petruk Puff disambut tepuk-tangan cantrik-cantrik yang lain.
            "O iya kang, ternyata ustadz pendusta itu punya murid yang juga tidak kalah kepakarannya dalam hal dusta," sahut Doyok Pudd.
            "Apa iya dia punya murid?" tanya Petruk Puff.
            "Itu ustadz palsu Abdul Aziz yang ditangkap dan ditahan polisi Kulon Progo gara-gara mengaku mantan pendeta Hindu," sahut Doyok Pudd.
            "O begitu ya?' Petruk Puff mengangguk-angguk,"Bagaimana ceritanya?"
            "Ya waktu ceramah di Masjid Agung Kulon Progo, ustadz palsu itu mengaku mantan pendeta Hindu dan menghujat amaliah tradisi NU yang disebutnya warisan Hindu yang sesat. Rupanya, ustadz palsu itu pakai rujukan bukunya ustadz pendusta yang penampilannya kayak wong mbambung itu," kata Doyok Pudd.
            "Terus?" tanya Petruk Puff penasaran.
           "Ya saat itu maju ke muka Professor Ida Bagus Agung, Ketua Parisada Hindu Dharma Yogyakarta, mengajak ustadz palsu itu untuk berdebat masalah Agama Hindu. Ternyata, ustadz palsu itu mengajak bersitegang karena dia  memang tidak tahu apa-apa soal Agama Hindu kecuali dari bukunya ustadz pendusta itu," kata Doyok Pudd menjelaskan.
          "Akhirnya?" tanya Petruk Puff.
           "Ustadz palsu itu ditangkap polisi," sahut Doyok Pudd,"Setelah diinterogasi, ternyata tidak punya KTP. Pengakuannya sebagai mantan pendeta Hindu juga dusta. Dia mengaku bernama Ida Bagus Oka tapi bapaknya bernama Ketut Jeglong, nah kelihatan kan bahwa dia dusta. Mana ada Ketut menurunkan Ida Bagus? Akhirnya Dajjal kecil pembohong itu ditahan dengan tuduhan penistaan agama."
            "Oo gitu ya," kata Petruk Puff manggut-manggut,"Bagaimana itu ya, ada agama disiarkan dengan dusta. Itu pasti agama dusta."
            "Mudah-mudahan Allah menjauhkan kita dan anak keturunan kita dari agama sesat penuh dusta itu."
            "Aamiiin.." sahut para cantrik serentak
You have read this article Padhepokan with the title Padhepokan. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/11/wahahabihi-salahafihi-dustahaha-soal.html. Thanks!
Wednesday 5 October 2011

Humor Wahahabihihi Salahahafihihi Tentang Tahlil

Ki Mas Badaruddin Manconegara  



 
             Satu sore di Padhepokan Grind Punk yang diasuh Kyai Semar Puzz para  cantrik terheran-heran melihat  cantrik  Gareng Punk tertawa terpingkal-pingkal dengan suara gaduh. Saking gelinya, Gareng Punk ketawa sampai jungkir-balik di lantai dengan memegangi perutnya.
    Cantrik-cantrik  lawas seperti Petruk Puff, Bagong Purr, Sangut  Pull, Delem Putt, Tualen Puss, Merdah Punt, Bancak Punn, Doyok Pudd yang  terheran-heran  melihat tingkah Gareng Punk beramai-ramai mendekat. Petruk Puff sebagai cantrik  paling senior dengan suara tinggi bertanya,”Ada apa Kang Gareng, ketawa kok sampai jungkir balik kayak orang edan. Memangnya ada yang lucu banget?”
    “Whuahahaha..,” teriak Gareng Punk menahan geli,”Apa kamu sudah baca buku humor paling lucu sejagad raya ini, Truk?” tawa Gareng Punk sambil mengacungkan-acungkan sebuah buku ke atas.
    “Buku apa itu kang?” tanya Petruk Puff ingin tahu.

    “Ini buku Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah para Wali tulisan KH  Makhrus Ali yang mengaku Kyai,” sahut Gareng Punk geli.
    “Hmm, memang apanya yang lucu?” tanya Petruk Puff penasaran.
    “Dia membuat statemen fiktif imajiner bahwa tradisi tahlilan adalah budaya Hindu,” sahut Gareng Punk berusaha menahan tawa,”Makhrus Ali mengarang cerita fiktif  imajiner untuk membenarkan statemennya. Whahahaha, kalau ustadz secara sepihak mengklaim diri sebagai kyai dan kemudian mengajarkan kebenaran palsu yang dibangun di atas dusta dan kebohongan, itu lawakan paling lucu sejagad kan jika dipercaya membuta oleh pengikut- pengikutnya yang fanatik buta?”
    “Statemen fiktif imajiner yang mana, kang?” tanya Bagong Purr menyela.
    “Nih baca halaman 23!” sahut Gareng Punk menyodorkan buku ke depan.
    Bagong Purr dengan suara keras membaca, “Tahlilan merupakan budaya agama Hindu, hal ini dibuktikan dengan ungkapan syukur dari pendeta dalam sebuah acara berikut ini, “Tahun 2006 silam bertempat di Lumajang, Jatim diselenggarakan kongres Asia penganut agama Hindu. Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang cukup mendalam kepada Tuhan mereka karena bermanfaatnya ajaran agama mereka yakni peringatan kematian pada hari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 dan hari matinya tiap tahun yang disebut geblak dalam istilah Jawa (atau haul dalam istilah NU-ed) untuk kemaslahatan manusia yang terbukti dengan diamalkannya ajaran tersebut oleh sebagian umat Islam.”
    “Hwarakadah,” seru Sangut Pull dengan mata berkilat-kilat,”Kalau ada pendeta Hindu membuat pernyataan seperti itu, yakinlah jika itu pendeta palsu. Jika tahun 2006 ada Kongres Asia penganut agama Hindu di Lumajang, itu sumbernya dari mana? Sungguh, itu kebohongan terang-terangan seorang pendusta bodoh  berjiwa Iblis yang berpedoman pada statemen “Ana khoiru minhu”, sehingga berdusta pun tetap suci dan mulia.”
    “Lha Kang Sangut Pull, kalau peringatan  kematian pada hari  1,2,3,4,5,6,7,40,100, 1000 itu apa tidak dari ajaran Hindu?” tanya Doyok Pudd ingin penjelasan.
    “Mana ada Hindu mengenal peringatan kematian hari 1,2,3,4,5,6,7,40,100,1000?” sergah Sangut Pull mengelus-elus janggutnya yang panjang,”Sebagai orang Bali yang pernah sekolah di pendidikan-pendidikan Hindu, belum pernah ada sumber menunjuk peringatan hari kematian yang dijalankan umat Islam di Indonesia itu adalah berasal dari ajaran Hindu. Kakek-nenekku, bapak-ibuku, paman-bibiku, tetangga-tetanggaku, dan seluruh masyarakat Hindu yang pernah kukenal belum pernah mengadakan upacara peringatan hari kematian 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000,” kata Sangut Pull dengan nada protes.
    “Lha orang Hindu kalau meninggal dunia diperingati dengan cara apa dan bagaimana?” tanya Doyok Pudd minta penjelasan.
    “Orang Hindu kalau meninggal disempurnakan dengan upacara Ngaben,” sahut Sangut Pull menjelaskan,”Lalu ada upacara Sraddha yang diselenggarakan 12 tahun setelah kematian seseorang. Jadi kalau ada pernyataan peringatan hari kematian 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 adalah ajaran Hindu,  Haqqul Yaqiin itu dusta. Dan Haqqul Yaqiin pula, ustadz bodoh itu pasti tidak faham sama sekali tentang apa itu Agama Hindu. Jadi itu ustadz ASBUN, ASOM, ASBAL, ASNGOB, ASJEP saja.”
    “Halaah kang,” sahut Bagong Purr menyela,”Ada lagi istilah baru. Apa itu yang sampean maksud dengan ASBUN, ASOM, ASBAL, ASNGOB, ASJEP?”
    “ASBUN = Asal Bunyi,” kata Sangut Pull menjelaskan,”ASOM = Asal Omong; ASBAL = Asal Membual; ASNGOB = Asal Ngobos; ASJEP = Asal Jeplak mulutnya… He he he he,” kata Sangut Pull ketawa.
    “Lha kalau peringatan hari kematian yang dijalankan umat Islam Nusantara itu bukan dari pengaruh Hindu, darimana asalnya kang?” tanya Doyok Pudd penasaran.
    “Menurut Romo Kyai Semar Puzz,” sahut Petruk Puff menjelaskan,”Peringatan hari kematian 3, 7, 40, 100, 1000 itu dibawa oleh penyebar Islam asal negeri Campa yang berduyun-duyun hijrah ke Nusantara akibat negerinya diserbu Raja Vietnam Le Nan-tonh pada 1446 dan 1471 Masehi. Peringatan itu sendiri didapat muslim Campa akibat pengaruh dari orang-orang Syi’ah Zaidiyyah dan Ismailiyyah.”
    “Jadi itu pengaruh muslim Syi’ah toh?” gumam Doyok Pudd.
    “Iya, termasuk kalau bulan Suro atau Muharram orang-orang bikin bubur, itu juga pengaruh Syi’ah yang dibawa orang-orang Campa. Orang mati ditalqin, diperingati dengan haul, diperingati dengan kenduri, itu semua pengaruh Syi’ah. Istilah kenduri saja dari bahasa Persia, kanduri,yaitu peringatan mengirim doa sambil makan-makan untuk memperingati Fatimah Az-Zahroh yang merupakan leluhur imam-imam Syi’ah. Orang Campa kalau belajar membaca Qur’an masih menggunakan bahasa Persia seperti penggunaan sebutan JABAR untuk fathah, JER (Zher) untuk katsroh dan PES (Fyez) untuk dlommah,” kata Petruk Puff.
    “Tapi sumber sampean itu benar-benar dari Romo Kyai Semar Puzz?” Tanya Doyok Pudd memastikan untuk tidak tertipu seperti statemen uztadz  lepus Makhrus Ali.
    “Itu memang dari Romo Kyai Semar Puzz,” kata Petruk menegaskan,”Tapi sumbernya bisa kamu baca di tulisan-tulisan ilmiah seperti “Notes sur l’Islam dans l’Indochine Francaise” tulisan Antoine Cabaton dalam Revue du Monde Musulman terbitan tahun 1906; “Les Chams musulmans de l’Indochine Francaise” tulisan Antoine Cabaton juga di dalam Revue du Monde terbitan tahun 1907;  tulisan J. Baccot dalam On G’mu et Cay a O Russei. Syncrerisme religieux dans un village cham du Cambodge (1968);P.Y.Manguin dalam “L’introduction de l’Islam au Campa” terbitan BEFEO tahun 1979; “Les Musulmans de l’Indonchine francaise” (1971) tulisan M.Ner dan banyak lagi sumber lainnya.”
    “Jadi penjelasan Romo Kyai Semar Puzz itu didukung data ilmiah, ya kang?”
    “Ya pasti toh, romo kyai itu kan orang jujur. Tidak pernah dusta, apalagi mengada-ada untuk tujuan menista orang lain demi mensucikan dan memuliakan diri sendiri. Karena itu sejak zaman purba, gelar kyai yang disandang romo tidak pernah ada yang menyoal karena beliau memang benar-benar kyai yang menurunkan para kyai,” jelas Petruk Puff.
    “Yang pasti ke-kyai-an Romo Semar bukan bandingan ke-kyai-an palsu Makhrus Ali, benar begitu kang?” kata Bagong Purr berkomentar.
    “Yo pasti Gong, mana bisa manusia jujur dibandingkan dengan pendusta?” sahut Petruk Puff disambut tepuk-tangan cantrik-cantrik yang lain.
You have read this article Padhepokan with the title Padhepokan. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/humor-wahahabihihi-salahahafihihi.html. Thanks!