Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Bersyukur Dimaki 'Anjing!'

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto

                  Setelah mendengar ceramah Ustadz Abul Wahab As-Salaf yang membandingkan orang-orang yang memakan secuil  harta orang mati seperti  anjing, Baduwi al-Wahab, murid ustadz  Abul Wahab As-Salaf dengan dua orang temannya,  usai shalat Isyak  berdiri di depan rumah ustadz mereka,  menunggu orang-orang pulang tahlil  memperingati  tujuh hari  wafatnya  Pak Supeno. Pada saat Guru Sufi, Dullah, Sufi tua, dan tiga orang santri pulang tahlilan lewat di depan rumah ustadz Abul Wahab As-Salaf, Baduwi  al-Wahab sambil meludah berteriak lantang,”Lihat kawan,  ada barisan anjing lewat. Rupanya anjing-anjing itu  kekenyangan habis makan  tumpeng .
              Terhina gurunya dihina sebagai   “anjing makan tumpeng”, Dullah dan tiga orang santri meraung  keras dan serentak  melompat akan  menyerang Badui al-Wahab. Namun Guru Sufi dan Sufi tua buru-buru menghalangi mereka.  Lalu dengan suara ditekan tinggi Guru Sufi berkata,”Sudahlah, untuk apa kalian marah?”

            “Tapi guru, badui goblok itu menghina guru sebagai anjing. Mana bisa dibiarkan?” sahut Dullah.
            “Lha kita semua ini nyatanya masih cinta dunia seperti  anjing, kenapa kita harus marah disebut anjing?” kata Guru Sufi menyitir Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 176 sekaligus menerjemahkan maknanya,”Orang yang cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya itu, adalah seibarat anjing. Jika dihalau ia menjulurkan lidah dan jika dibiarkan pun ia menjulurkan lidah. Jadi sepanjang kita sadar bahwa hati kita ini masih cenderung kepada duniawi, maka kita sama dengan  anjing.”
                “Berarti ada anjing teriak anjing, guru?” tanya Dullah menyindir.
            “Jangan engkau keburu menilai rendah makhluk Allah yang disebut anjing,” kata Guru Sufi dengan suara direndahkan,”Sebab di dalam diri seekor anjing, terdapat sifat-sifat yang harus dimiliki oleh orang beriman terutama yang menjalani laku tasawuf.”
            “Orang beriman yang menjalankan laku tasawuf harus  meniru sifat-sifat anjing?” sergah Dullah dengan nada  keheranan,”Bagaimana itu penjelasannya, wahai guru?”
            “Sufi Hasan al-Bashri telah berwasiat tentang sepuluh sifat di dalam diri anjing yang mesti dimiliki oleh seorang beriman,” kata Guru Sufi menerangkan,”Pertama,  lapar, di mana keadaan lapar selalu menjadi kegemaran dan  kebiasaan hidup Orang-orang Shalih. Kedua, tidak memiliki tempat tinggal tertentu, di mana itu merupakan  ciri-ciri dan tanda Orang-orang  Tawakkal. Ketiga, tidak tidur pada malam hari kecuali sedikit, itulah tanda-tanda kehidupan para Pecinta Tuhan. Keempat, waktu meninggal dunia tidak meninggalkan warisan,  itulah ciri dan tanda  Orang-orang  Zuhud. Kelima, tidak pernah meninggalkan tuannya meski  dihardik dan dijauhi, itulah tanda muriid (yang mengharap Al-Muriid) yang benar terhadap gurunya (citra dari Al-Muriid).  Keenam, rela ditempatkan di tempat yang paling rendah sekali pun di muka bumi, itulah tanda dan ciri Orang-orang Tawadhu’.  Ketujuh, saat diusir dari satu tempat, dia akan meninggalkannya dan pindah ke tempat lain dengan sukarela, itulah tanda dan ciri Orang-orang Ridho. Kedelapan, jika dipukul, diusir, diasingkan, dan dikecewakan, dia menerimanya dengan tulus dan tidak merasa dendam atas apa yang diterimanya, itu adalah tanda dan ciri Orang-orang Khusyuk. Kesembilan, saat makanan dihidangkan, dia selalu duduk menunggu, itu ciri Orang-orang Fakir. Kesepuluh, saat mengembara tidak pernah menengok ke tempat asalnya, itulah tanda dan ciri Musafir sejati.”  
            “Demikianlah, wahai para murid, bahwa sejatinya kita harus bersukacita saat  digolongkan sebagai anjing sebagaimana  dimaksud di dalam  ayat Allah SWT. Sebaliknya, kita harus  berdukacita jika kita secara sepihak  menggolongkan diri sebagai orang beriman yang paling benar, tetapi dengan dasar pengakuan diri sendiri, sebagaimana dilakukan Iblis yang mengatakan ‘ana khoiru minhu’, memproklamasikan diri sendiri sebagai yang terbaik,” kata Guru Sufi sambil melangkah, mengajak   Dullah, Sufi tua dan tiga orang santri untuk melanjutkan perjalanan ke pesantren.  
               Baduwi al-Wahab menghentakkan kaki ke lantai keras-keras, karena kali ini dia merasa disindir keras oleh Guru Sufi sebagai orang yang mengakui sepihak kebenaran dan kemuliaan diri sendiri seperti Iblis. Hmm pelopor kaum bid’ah itu masih menganggap dirinya lebih mulia, kata Baduwi al-Wahab dengan hati mendongkol dan dada sesak serta kepala berdenyut-denyut.
You have read this article Pesulukan with the title Bersyukur Dimaki 'Anjing!'. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/bersyukur-dimaki.html. Thanks!

No comment for "Bersyukur Dimaki 'Anjing!'"

Post a Comment