Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

Oleh: Widyayu Kusumawati
             Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesuI panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan. Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya.
       Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani.  Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan.
           Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib AL-Minangkabawy (1855).  Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda.

       Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai.Limbak Urai adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.
          Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek.
          Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo. Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya.
         Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya.
Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya.
         Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafi'i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir.

PERMASALAHN AHLI WARIS di MINANGKABAU
         Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya.
          Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai.
            Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya.
               Walaupun pemikiran Ahmad Khatib yang mengarah pada pembaruan pemikiran Islam menemui banyak perlawanan karena tidak sejalan dengan adat Minangkabau. Salah satunya saat ia secara tegas menolak aturan Minangkabau tentang pembagian harta waris. Menurut adat, harta pusaka diwariskan pada kemenakan perempuan dari garis kerabat perempuan, sedangkan kemenakan laki-laki hanya menjadi pembantu dalam menggarap dan memelihara harta pustaka itu.
     Adat tersebut berlawanan dengan hukum Islam yang mengatur bahwa harta waris diberikan kepada anak kandung, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh dua kali lipat bagian anak perempuan. Tanpa kompromi, Ahmad Khatib menolak adat yang telah mengurat nadi dalam masyarakat Minang itu. Semua harta benda yang diwariskan kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib, dianggap sebagai harta rampasan.
          Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
           Ia menulis buku yang secara khusus membahas perihal harta pusaka tersebut, berjudul Ad-Dail Masmu fir Raddi ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat maa Wujudil Ushul wal Furu’ (dengan versi terjemahan berjudul Al-Manhajul Masyru). Buku tersebut membahas pembagian harta waris menurut Islam dan membantah aturan harta pusaka menurut adat Minangkabau.
     Ia juga menyanggah beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan, dan matahari, serta peredaran planet yang ia anggap bertentangan dengan pemikiran ulama-ulama Islam dalam bidang tersebut. Dalam aspek teologis, ia adalah penentang keras ajaran Kristen, terutama tentang konsep trinitas.
     Polemik yang paling hebat muncul setelah Ahmad Khatib secara terbuka menentang tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Ia menyampaikannya dalam buku Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulisnya pada 1906.
                Tak pelak, seluruh pengikut tarekat Naqshabandiyah dan penganut tasawuf dari berbagai tarekat lainnya marah dengan tulisan Ahmad Khatib itu. Syekh Muhammad Saad Mungka, guru besar tarekat Naqshabandiyah yang juga sahabat Ahmad Khatib, meresponsnya dengan menulis buku berjudul Irghamu Unufi Mutaannitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang rampung pada 1907.
     Dalam beberapa karyanya, Ahmad Khatib menegaskan, barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga kafir, ia termasuk kafir dan akan masuk neraka. Selain pengikut Naqshabandiyah, banyak pula guru agama yang tidak menyetujui pendirian Ahmad Khatib yang dinilai tidak kenal damai.
     Namun demikian, perbedaan pendapat yang muncul pada masanya disebut-sebut melahirkan gerakan di Tanah Minang untuk berkembang dan maju meninggalkan keterbelakangan. Kecamannya soal harta waris, misalnya, menumbuhkan kesadaran masyarakat Minangkabau bahwa tradisi matrilineal tidak dapat disejajarkan dengan hukum agama.
     Pada 1881, Ahmad Khatib meninggalkan kampung halamannya. Ia dibawa ayahnya ke Makkah untuk menunaikan haji. Setelah menyelesaikan ibadah haji pada 1882, Ahmad Khatib tak pernah kembali pulang ke Indonesia. Ia memperdalam pengetahuan Islamnya dari bebe -rapa ulama, seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki. Setelah menyelesaikan studinya, sekitar 1889, ia menikahi wanita Makkah bernama Siti Khadijah, putri dari Syekh Shaleh al-Kurdi, dan mengajar di sana.
     Di Makkah, kesadaran Ahmad Khatib tentang pentingnya persatuan Islam terbangun. Ia merasa persatuan Muslim di Indonesia harus diperkuat untuk membebaskan negara dari kolonialisme. Pemikiran tersebut diwariskan pada murid-muridnya, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947), Haji Abdullah Karim Amrullah (1879-1945, ayah dari Buya Hamka), Haji Abdullah Ahmad (1878-1933), dan KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Di Indonesia, murid-muridnya itu kemudian dikenal sebagai para pemimpin perjuangan kemerdekaan terhadap kolonialisme di daerah mereka masing-masing.
     Selain itu, meski berada di Makkah, Ahmad Khatib tetap memainkan peran penting dalam mengubah dan mentransformasi pengetahuan Islam. Hal itu ia lakukan melalui dakwah yang disampaikannya kepada jamaah haji Indonesia serta penanaman nilai-nilai Islam kepada mahasiswa Indonesia yang menimba ilmu di Makkah. Di Minangkabau, melalui tangan-tangan para muridnya, visi Ahmad Khatib dilanjutkan dengan gerakan-gerakan pembaruan, seperti tablig, diskusi, muzakarah ulama dan zuama, penerbitan brosur dan surat kabar pergerakan, hingga pendirian sekolah-sekolah, seperti madrasah Thawalib dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau. Gerakan-gerakan tersebut menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
     Selama hidupnya, Ahmad Khatib menulis sekitar 17 buku, sebagian berbahasa Arab dan sebagian lainnya berbahasa Melayu. Sumber lain mengatakan, karyanya mencapai 49 judul dan tersebar hingga Suriah, Turki, dan Mesir. Di antara karya-karyanya adalah Al-Jauharun Naqiyah fil Amali Jaibiyahyang membahas ilmu miqat, Hasyiyatun Nafahat ala Syarhil Waraqat (tentang ushul fikih), Raudhatul Hussab fi A'mali Ilmil Hisab (tentang hisab), Alamul Hussab fi Ilmil Hisab, Dhau-us Siraj (tentang Isra Mi'raj), Shulhul Jamaatain bi Jawazi Ta'addudil Jumatain(berisi sanggahan terhadap sebuah karya Habib Utsman Betawi).
     Ditinjau dari buku-bukunya, Ahmad Khatib tidak hanya pakar dalam masalah teologi keislaman. Ia mahir di beberapa bidang lain, seperti ilmu fikih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung (hisab), ilmu ukur (geometri), juga mawarits (ilmu waris) yang telah membawa pembaruan pada adat Minang.
     Atas pengetahuannya yang dalam dan pemahamannya yang luas mengenai Islam, Ahmad Khatib ditunjuk menjadi Mufti Besar Mazhab Syafi". Kata "syekh" di depan namanya bukan sekadar panggilan, melainkan gelar yang diperolehnya saat menjadi ulama di Makkah sekaligus imam di Masjidil Haram. Ia wafat di Makkah pada 13 Maret 1916 (9 Jumadil Awal 1334) dalam usia 56 tahun.

SANGGAHAN THARIQAT
                Sungguhpun Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau sangat terkenal menyanggah thariqat, namun dalam penelitian didapati bahwa yang disanggah ialah beberapa perkara yang terdapat dalam Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Belum ditemui sanggahannya terhadap thariqat yang lain seumpama Thariqat Syathariyah, Thariqat Qadiriyah dan lainnya.
             Mengenai Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, catatan sejarah yang diperoleh ternyata Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau yang mendahului pertikaian. Mengenainya dimulai sepucuk surat yang menanyakan kepadanya, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau pun menulis:
`       Maka adalah pada tahun 1324 daripada hijrah Nabi kita alaihis shalatu was salam datang kepada yang faqir Ahmad Khathib bin Abdul Lathif, Imam Syafie di Mekah, satu masalah dari negeri Jawi menyatakan beberapa ehwal yang terpakai pada Thariqat Naqsyabandiyah pada masa kita ini. Adakah baginya asal pada syariat Nabi kita ? Atau tiada ? Kerana telah bersalah-salahan orang kita Jawi padanya. Maka hamba lihat, menjawab soal ini ialah terlampau masyaqqah atas hamba, kerana pekerjaan itu telah menjadi pakaian pada negeri hamba hingga menyangka mereka itu akan bahawasanya segala itu thariqat Nabi kita. Dan orang yang mungkir akan dia ialah memungkiri akan agama Islam. Padahal sangka itu adalah tersalah, tiada muthabaqah dengan waqi’…”
           Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menuangkan sanggahan terhadap thariqat. Beliau menulis dalam kitab yang berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulis pada malam Ahad, 4 Rabiulakhir 1324 H/1906 M.
              Kitab tersebut telah mengundang kemarahan seluruh penganut Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan penganut-penganut tasawuf daripada pelbagai thariqat yang lainnya. Akibatnya, Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka menanggapi karangan tersebut dengan mengarang sebuah kitab berjudul Irghamu Unufi Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang beliau selesaikan pada akhir bulan Muharam tahun 1325 H/1907 M.
             Kemunculan kitab Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau berjudul Izhharu Zaghlil Kazibin itu hanya beberapa bulan saja mendahului kitab Mir-atul -’ajib karya Syeikh Ahmad al-Fathani menjawab pertanyaan Sultan Kelantan, iaitu sama-sama dikarang dalam tahun 1324 H/1906 M.
           Syeikh Muhammad Sa’ad bin Tanta’ Mungka itu tidak membantah karya gurunya Syeikh Ahmad al-Fathani, tetapi secara serius karya Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau dipandang sangat perlu ditanggapi dan beliau membantah dengan hujah-hujah berdasarkan al-Quran, hadis dan pandangan para ulama shufiyah.
Dengan terbitnya kitab Irghamu Unufi Muti’annitin oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka itu, Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau menyerang lagi dengan kitabnya yang berjudul Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafati Ba’dhil Muta’ashshibin.
             Kitab ini disanggah pula oleh Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka dengan karyanya berjudul Tanbihul `Awam `ala Taqrirati Ba’dhil Anam. Sesudah karya ini tidak terdapat sanggahan Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau.
          Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang berpendirian keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak bidang ilmu, namun beliau masih tetap berpegang (taklid) pada Mazhab Syafie dalam fikih dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut Mazhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah/i’tiqad.
         Selain masalah teologi yaitu ilmu ketuhanan, beliau juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintangtsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
            Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuan dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab
       Semasa hidupnya, beliau menulis 49 buku tentang masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Publikasinya tersebar hingga ke wilayah Syiria, Turki dan Mesir.
           Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A'mali al-Jaibiyah. Kitab tentang ilmu Miqat ini diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H. Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih. Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A'mali Ilmil Hisab yang selesai dirulis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah. Kitab-kitab lainnya adalah al-Da'il Masmu'fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad al-Akhawat ma'a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru', Dhau al-Siraj dan Shulh al-Jama'atain bi Jawazi Ta'addud al-Jum'atain.
Widyayu Kusumawati, Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya
Sumber: ulama-nusantara.blogspot.com, pondokhabib.blogspot.com, ulama.blogspot.com
You have read this article Sejarah with the title Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/11/syaikh-ahmad-khatib-al-minangkabawi.html. Thanks!

No comment for "Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi"

Post a Comment