Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Sadruddin Shirazi Sang Mullah sadra

                                                              Oleh: Husni Iskandar

Ilustrasi Gambar Mullah Sadra
   Sadr-Al-Din Muhammad Ibnu Ibrohim, dikenal sebagai Mulla Sadra lahir di Shiraz (Iran) pada tahun 979 H/1572 M dan meninggal pada tahun 1050 H/1641 M. Sadra lahir dari sebuah keluarga yang berpengaruh dan terkenal yaitu keluarga Qawam. Ayahnya bernama Ibrohim Ibnu Yahya, konon adalah menteri dalam negeri istana Shafawiyah, sekaligus seorang ulama. Sadra sejak menjadi seorang murid telah menunjukkan ketertarikan dan pengabdian pada permasalahan teosofi atau teologi filosofis. Ia mempelajari hikmah dari tradisi peripatetisme dan iluminisme. Di samping itu juga dengan penemuan intelektualnya sendiri, ia ingin menyatukan pencapaian para guru pendahulunya.
Upaya ini mendapat kritik perlawanan kuat dari para agamawan yang menganut paham tradisional, karena sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Ridha Al Muzhaffar, bahwa pandangan ontologis Sadra yang tertuang dalam Risalah Tarh Al-Kaunain menunjukkan dukungan Sadra terhadap ajaran wahdah al- wujud (kesatuan wujud).


Mulla Shadra belajar di Isfahan di bawah asuhan filsuf-filsuf ternama pada masa itu. Sadra belajar al-‘ulum al-naqliyah (transmitted sciences) seperti tafsir Al Qur’an dan fiqih kepada Baha Al-Din ‘Amili (wafat 1621), al ‘ulum Al-aqliyah (intelectual sciences), yaitu perpaduan antara prinsip-prinsip filsafat Ibnu Sina dengan doktrin iluminasi Suhrawardi kepada Mir Damad/Sayyid Bagir Muhammad Astarabadi (wafat 1631) serta belajar tentang filsafat peripatetik dan asketisme sufi pada Mir Abdul Qasim Federeski (wafat 1641).
Setelah menyelesaikan studi, Mulla Shadra mengasingkan diri dan menghabiskan beberapa tahun untuk meditasi dan latihan spiritual. Pengaruh dari pengasingan itu adalah karir filsafatnya yang luar biasa. Perubahan besar pemikirannya adalah dari esensialisme kepada eksistensialisme. Setelah masa ini, Mulla Shadra kembali ke Shiraz dan mengajar di universitas yang didirikan gubernur Shiraz. Ia menjadi kepala universitas hingga meninggal di Basra pada perjalanan hajinya yang ketujuh pada tahun 1641 M. Kehidupan seorang filsuf memberikan corak dan pengaruh yang besar terhadap filsafatnya. Dalam hal ini, Muhammad Ridha Al-Muzhaffar membagi kehidupan Sadra dalam tiga fase. Fase pertama adalah studinya di Isfahan (sekitar tahun 1587-1610). Selama periode ini ia mendalam filsafat peripatetik, Neo-platonisme, dan berbagai pemikir-filsuf Muslim seperti Ibnu Sina dan Al Tusi, filsuf iluminasionis seperti Suhrawardi dan filsuf mistik Ibnu Arabi. Seluruh tokoh ini mempengaruhi karir filsafatnya.
Fase kedua, merupakan pengasingan diri dan uzlah-nya di desa kecil bernama Kahak, di sekitar wilayah Qum selama 15 tahun. Sebagaimana dikatakan sendiri, Shadra memulai pengasingannya sendiri berangkat dari kekecewaan secara total dengan dunia dan kegagalan spekulasi filosofis. ia menyerahkan kehendaknya kepada Tuhan dan  memulai meditasi dan kontemplasi atas berbagai kesulitan fundamental tentang Yang Ada melalui sesuatu yang diistilahkan dengan “intuitive invasion from without”. Keluhan ini terutama kehidupan masyarakatnya yang telah kehilangan sifat terpuji, berperilaku biadab dan kehilangan semangat intelektual, sehingga mendorongnya untuk mengundurkan diri dari masyarakat guna melakukan mujahadah dan riyadhah. Pada fase ini, Shadra belajar secara langsung melalui intuisi dan “pemahaman langsung” yang selama ini hanya ia ketahui secara teoritis. Dia menemukan metode yang memberikan kepastian dan membuka kebenaran-kebenaran filosofis sebagai sesuatu yang tidak murni rasional tetapi sebagai kebenaran yang dialami. Dalam dunia pengasingannya ia selalu berdoa dan bertawakkal kepada Allah. Shadra memiliki prinsip bahwa berfilsafat bukan merupakan seni penalaran logika namun merupakan perenungan secara mendalam atas masalah-masalah fundamental tentang Tuhan dan wujud alam semesta yang disertai dengan praktek-praktek keagamaan yang berat. Hasilnya, sebagaimana perkataannya sendiri, adalah pikiran yang senantiasa dibanjiri oleh berbagai pandangan baru dan kebenaran baru yang tidak pernah diimpikan sebelumnya.
Fase ketiga, yakni pada tahun (1625-1641), Mulla Shadra mulai mengajar di madrasah yang dibangun dan ditunjang oleh bangsawan Shafawiyah, Allahwirdi Khan di Shiraz dan mulai menulis karya-karya filofis dan religiusnya. Termasuk karya magnum opus nya yaitu Al Hikmah Al-Muta’aliyah fi’l Asfar Al-‘Aqliyah al-Arba’ah (kearifan puncak dalam empat perjalanan intelektual. 
Pemikiran Filsafatnya
   Karakter utama dari pemikiran Mulla Shadra adalah “sintesis”. Shadra secara harmonis telah memadukan -teologi (kalam) yang diskursusnya pada saat itu telah mencapai tahap filosofis terutama sekali oleh tokohnya Nashr Al-Din Al-Thusi, -peripatetisme Ibnu Sina, -Mistisisme Ibnu ‘Arabi dan -iluminisme Suhrawardi. Dalam hal ini, Shadra mempertemukannya dalam bingkai kajian yang mendalam tentang kebenaran AlQur’an dan hadist.
Sebagai penjelasan singkat, teologi Islam atau dikenal juga sebagai ilmu kalam merupakan kajian khusus yang dilakukan oleh para ulama tentang akidah Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan Hadist. Tujuan pengkajian ini adalah untuk menetapkan, menjelaskan  atau membela akidah Islam serta menolak akidah yang salah atau bertentangan dengan akidah dasar Islam. Sedangkan filsafat peripatetisme atau yang juga dikenal sebagai teologi dialektik adalah penyusunan premis-premis dari kebenaran umum (primary truth) untuk menghasilkan kesimpulan (silogisme) baru; metode yang demikian dikenal sebagai metode deduktif; pada dasarnya peripatetisme sudah dikenal melalui filsuf Aristoteles, di mana filsafatnya disadari atau tidak telah banyak mempengaruhi alur pemikiran para ulama Islam. Tokoh penting dalam peripatetisme ini adalah Ibnu Sina. Karakteristik filsafat peripatetik sebagaimana disarikan dari pemikiran Ibnu Sina terletak pada pandangan bahwa ide abstrak secara intrinsik telah mewujud dalam pikiran. Wahana apapun yang dapat digunakan untuk memperoleh ide-ide tersebut pada dasarnya berasal dari ide itu sendiri, bukan dari pikiran kita tentang alam.
Sedangkan pandangan filsafat mistisisme (irfan) yang berasal dari Ibnu Arabi menekankan pada satu pandangan bahwa yang ada adalah Allah semata. Manusia, dunia, dan alam semesta tidaklah benar-benar ada. Maksudnya, kesemuanya tidak terpisah dari Allah dan keberadaannya sepenuhnya tergantung kepada Allah. Pandangan demikian tidaklah bisa disamakan dengan panteisme yang menyatakan : jika semua tidak terpisah dari Allah maka adalah sah untuk mempertuhankan apapun. Akar peyimpulan ini tidaklah tepat, karena konsepsi yang sebenarnya adalah tauhid wujudi (monisme eksistensial), yaitu bukan antara Allah dan selainNya tidak ada perbedaan, melainkan tidak ada perbedaan. Manusia dan alam semesta adalah Pengejewantahan (tajalli) dari Allah. Analogi yang lazim dipakai adalah antara matahari dan sinarnya, di mana keduanya adalah berbeda namun tidak bisa dipisahkan satu sama dengan yang lainnya.
Mulla Shadra tidak hanya mengkaji seluruh warisan pemikiran Islam dan menggabungkannya. Tetapi dia juga menghasilkan satu sintesis yang genuine dari semua arus tersebut. karena itu sebagian orang menyebut filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al-Muta’aliyah yang bermakna kebijaksanaan agung atau tertinggi. Sebutan ini pertama kali dikenalkan sebagai suatu aliran filsafat oleh murid sekaligus menantu Mulla Shadra yaitu ‘abd Al-Razzak Lahiji, yang kemudian lebih dipopulerkan lagi oleh seorang filsuf dan mistikus terbesar Persia abad 13 H/ 19 M, Mulla Hadi Sabzahari.
Pandangan Mulla Shadra menunjukkan bahwa filsafat tidak bertujuan hanya untuk menemukan kebenaran pengetahuan yang orisinal dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat, namun filsafat juga mengandung makna spiritual, yaitu mengembangkan kemampuan untuk memahami kebenaran sebagaimana Tuhan memahami kebenaran. Berfilsafat berarti menyempurnakan potensi jiwa yang di dalamnya terkandung unsur rasio, empiri, rasa, dan intuisi. 
Salah satu karya filsafat Mulla Shadra yang paling monumental adalah tentang empat perjalanan intelektual/batin yang mengikuti aliran mistik Abd Razzaq Al-Kashani. Penjelasan singkat tentang hal ini adalah sebagai berikut :
Perjalanan pertama, dari makhluk (khalq) yang terikat dengan berbagai masalah keduniawian menuju Kebenaran (Haqq). Perjalanan ini menggambarkan manusia yang masih dalam taraf hewaniah yang hanya mengurusi makan dan minum saja. Karakteristik jiwanya yang diliputi oleh nafsu, marah, rakus iri, dan sebagainya menuju pada kesadaran spiritual akan Hakikat Kebenaran. Dalam perjalanan ini, manusia akan menghindari setiap rintangan dan halangan bagi dirinya sendiri dari segala pemikiran yang mencegah pikirannya terhadap Hakikat Kebenaran.
Dengan melepaskan diri dari jiwa duniawi, hati manusia akan tercerahkan oleh cahaya spiritual dan disucikan kehidupannya. Manusia secara berangsur-angsur merasakan kenikmatan karena semakin dekat kepada Tuhan. Ia akan melepaskan diri dari dunia materi dan akan masuk ke dunia ide (‘alam al mitsal  atau al-barzakh). Hanya saja meskipun ia telah menghilangkan tirai kegelapan dan menggantinya dengan cahaya hati, ia tetap harus meloloskan diri dari cahaya dan spiritualitas tersebut karena semua itu masih memiliki keterbatasan yang menjadi tirai dan menghalangi seseorang untuk mencapai kesempurnaan dan kedudukan yang lebih tinggi, yaitu meraih Hakikat Kebenaran.
Setelah melalui dunia ide selanjutnya akan memasuki dunia intelek, yaitu Hakikat dan cahaya intelektual akan sering muncul pada dirinya dan dengan segera akan hilang kembali. Kondisi ini kemudian akan digantikan dengan sifat ketuhanan yang menjadikan cahaya dan keadaan sebagai habitat baginya. Cahaya kesatuan ketuhanan dan Hakikat Kebenaran akan muncul pada dirinya. Proses pendakian akan terus berlangsung hingga mencapai stasiun kefanaan dalam Hakikat Kebenaran dan menyatu denganNya. Inilah akhir dari perjalanan pertama.
Perjalanan kedua, dari Kebenaran menuju Kebenaran oleh Kebenaran (minal-haqq ilal-haqq bil-haqq). Perjalanan ini merupakan perjalanan dari Esensi menuju Kesempurnaan, hingga ia mengkomtemplasikan seluruh Kesempurnaan Ketuhanan dan mengetahui seluruh Nama-namaNya satu-persatu sehingga ia dapat melihat seluruh sifat-sifatNya, kecuali yang Dia jaga dalam diriNya sendiri. Ia menjadi sempurna dan esensinya, tindakan dan kualitasnya melebur dalam esensi Tuhan, Tindakan Tuhan dan Kualitas Tuhan. Ia mendengar melalui pendengaranNya, ia melihat melalui PenglihatanNya.
Perjalanan ketiga, dari Kebenaran menuju makhluk, yang dilakukan oleh Kebenaran (minal-haqq ilal-khalq bil-haqq). Dalam perjalanan ini peleburan dengan Kebenaran datang dan pergi, dan ia mencapai ketenangan yang sempurna. Ia hidup melalui kekekalan Tuhan. Ia mendapatkan aroma “kenabian” dan mendapatkan pengetahuan tentang ilmu ketuhanan dari Esensi, Sifat, dan Tindakan Ketuhanan, namun ia tidak memiliki fungsi kenabian yang membawa misi suci. Ia melakukan perjalanan menuju dunia descent (yang turun), yaitu makhluk ghaib, jiwa, dan makhluk materi. Ia menginformasikan segala hal yang berkaitan dengan Esensi, Sifat, dan Tindakan Ketuhanan meskipun ia bukan seorang nabi.
Perjalanan keempat, dari makhluk  menuju makhluk  melalui Kebenaran (minal-khalq ilal-khalq bil-haqq¬). Ia menyelidiki makhluk-makhluk, kemudian mengetahui kelebihan, kekurangan dan sifat-sifatnya, setelah itu ia benar-benar menjadi sadar terhadap sebab-sebab kebahagiaan dan penderitaan serta mengetahui proses kembali kepada Kebenaran. Orang seperti ini sebagaimana nabi yang akan memberikan bimbingan dan pendidikan terhadap masyarakat tentang gelapnya dunia dan membawa mereka kepada cahaya dan kehidupan yang benar.
Sumber : “Integrasi Ilmu Dan Agama : Perpektif Filsafat Mulla Shadra”, Dr. Arqom Kuswanjono


You have read this article Filsafat with the title Sadruddin Shirazi Sang Mullah sadra. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/09/sadruddin-shirazi-sang-mullah-sadra.html. Thanks!

No comment for "Sadruddin Shirazi Sang Mullah sadra"

Post a Comment