Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Memaknai ASWAJA dan ASWAJA NUSANTARA

Memaknai ASWAJA dan ASWAJA NUSANTARA

Firqah-2 Berpecah-belah untuk Saling Berperang
Membincang Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Aswaja), selama ini belum ada pemahaman yang tuntas karena itu  tidak heran jika golongan yang dikatakan sebagai al-Firqoh an-Najiyah (kelompok yang selamat) ini menjadi rebutan antara golongan satu dengan golongan yang lain. Klaim “Golonganku adalah Ahlu Sunnah wal-Jama’ah” yaitu  penganut dan pengamal ajaran Aswaja selalu bermunculan dari waktu ke waktu. “Bahkan tidak jarang label tersebut sering  digunakan untuk kepentingan sesaat tanpa memahami makna substansial dari Aswaja itu sendiri,” ungkap Alamul Huda. Pengajar Fakultas Tarbiyyah UIN Maliki Malang pada Ngaji Jum’at (18/4) lalu di Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin Malang.
            Alamul Huda, dosen syari’ah UIN Maliki Malang mengajak para mahasiswa santri (mantri) Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin membincang lebih dalam mengenai aswaja (Jum’at, 18/04). Mengajak para Mantri (Mahasiswa Santri) Pesantren Global untuk memahami lebih dalam tentang Aswaja, Alamul Huda mengutip  Kitab al-Kawakib al-Lamma’ah karya Syaikh Abi Fadl Bin Abdussyakur yang menegaskan bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah wal-Jama’ah adalah golongan  yang selalu berpedoman kepada Sunnah Nabi Muhammad saw dan jalan para sahabat Nabi Saw  dalam hal keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlak dan pensucian hati. Sedangkan dalam ranah sejarah, papar Alamul Huda, lahirnya Aswaja diawali dengan adanya pergulatan intens antara pemikiran doktriner dengan fakta sejarah. “Di wilayah doktrin,” ungkap Alamul Huda, “Kita menemukan adanya perdebatan antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah mengenai status al-Qur’an apakah al-Qur’an itu  makhluk atau bukan, kemudian diikuti pula dengan perdebatan dalam memaknai sifat-sifat Allah.”
Perang antar Firqah Memecah-belah Islam
            Untuk memudahkan pemahaman para Mantri terkait pemahaman sifat-sifat Allah, Alamul Huda menyodorkan contoh sederhana  pemaknaan nash al-Qur’an pada lafadz Yadun dalam kalimat  Yadullahi fauqo aidiihim. Yadun secara harfiah memiliki arti tangan, kalau yadun dimaknai tangan (ansich), maka berarti dzat Allah tersusun dari bagian-bagian sebagaimana lazimnya makhluk, di mana kalau ada tangan pasti ada kaki, pasti ada tubuh, kepala dan seterusnya. Jika pemaknaan ini dibenarkan demikian, maka  itu akan berakibat  menyamakan Allah dengan manusia, padahal Allah punya sifat laisa kamitslihi syai’un (tidak bias dimisalkan dengan sesuatu). Maka yadun oleh ulama’ kholaf dimaknai sebagai ‘Kekuasaan’ Allah agar tidak menyamakanNya dengan makhluk. Pendapat  ulama’ kholaf ini, menurut Alamul Huda,  sangatlah  bijaksana dengan mentakwil (takwil: mengartikan lafadz secara majazi) nash al-Qur’an karena  mereka takut manusia salah menafsiri bahwa Dzat Tuhan itu terdiri dari bagian-bagian sehingga  memaknainya dengan ‘kekuasaan’ untuk  disesuaikan dengan  dalil aqli, “Karena menurut akal, mustahil Gusti Allah itu punya tangan, karena kalau Allah punya tangan berarti tersusun dari bagian-bagian,” ujar Alamul Huda.

             Pada  wilayah sejarah,  lanjut Alamul Huda, proses pembentukan Aswaja dimulai sejak terjadinya perang shiffin yang melibatkan Khalifah Ali Bin Abi Thalib ra dengan Muawiyah. Dalam  perang yang sudah dimenangkan Khalifah Ali ra itu, ungkap Alamul Huda, dengan melalui taktik arbitrase (tahkim) golongan Muawiyah berhasil mengalahkan pihak Khalifah Ali ra. Dari sinilah, umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Di antara mereka ada golongan yang mengaku sebagai pengikut setia Ali Bin Abi Thalib ra, yakni golongan syi’ah. Ada juga golongan pendukung Ali Bin Abi Thalib  yang membelot  karena tidak sepakat dengan tahkim, mereka ini dikenal sebagai  golongan khawarij. Di samping kedua golongan itu, masih ada golongan Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah sebagai kehendak Allah. “Yang lain adalah  golongan Murji’ah – Qodariyah yang memiliki paham dan keyakinan bahwa segala apa yang terjadi adalah karena perbuatan manusia semata, tanpa adanya campur tangan Tuhan,” ujar Alamul Huda.

Tanpa Perang Walisongo Berdakwah Islamkan Nusantara
          Sementara itu di antara kelompok-kelompok dari golongan  tersebut, ungkap Alamul Huda, sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Hasan Al-Bashri (639-728M) cenderung mengembangkan berbagai kegiatan keagamaan yang bersifat kultur (tsaqofiyyah) namun disertai dengan metode ilmiah guna mencari kebenaran secara jernih. Golongan ini merupakan mayoritas yang berusaha  menghindari pertikaian politik yang tengah berkecamuk antara berbagai firqoh tersebut. “Nah golongan komunitas ini justru menghidupkan sistem keberagamaan, pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim apalagi sampai mengkafir-kafirkan golongan lain,” ujar Alamul Huda menjelaskan.
           Seiring berjalannya waktu, lanjut Alamul Huda, pandangan Hasan Al-Bashri itu diteruskan oleh  generasi-generasi  pemikir sesudahnya seperti Imam Abu Hanifah Al-Nu’man, Imam Malik Ibn Anas, Imam Syafi’I  Ibn Kullab, Ahmad Ibn Hanbal hingga pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. “Kepada dua ulama’ terakhir inilah – Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi -- permulaan paham Aswaja sering dinisbatkan, meskipun sejatinya benih-benihnya telah tumbuh sejak dahulu yaitu sejak Imam Hasan Bashri,” kata Alamul Huda.
            Tentang lahirnya Aswaja  yang khas Indonesia, ungkap Alumnus Magister Malaya Universiti Malaysia  itu, sangat jelas memiliki kesinambungan dengan  alur geneologi, sosial dan politik (geosospol) dengan sejarah Islam Nusantara, di  mana peran walisongo sangat besar.  Yang penting dicatat dan tidak boleh dilupakan bahwa Walisongo-lah yang membawa dan mengembangkan Islam sehingga mampu membumi di bumi Nusantara ini. “Walisongo telah berhasil  melakukan kontekstualisasi  ajaran dan paham Aswaja dengan kebudayaan dan tradisi keagamaan masyarakat Indonesia yang telah mengakar dan mendarah daging,” papar Alamul Huda menegaskan.
              Sejak masa Walisongo  itulah, kata Alamul Huda, paham Aswaja khas Indonesia berkembang  sebagaimana termaktub dalam Qonun Asasi yang telah dirumuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari bahwa paham Aswaja adalah faham yang dalam ilmu aqidah atau teologi menganut kepada salah satu dari ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari atau Abu Mansyur Al-Maturidi, dalam syari’ah atau fiqih mengikuti salah satu dari Al-Imam Al-Arba’ah (Abu Hanifah, Malik Bin Anas, Muhammad Bin Idris Asy-syafi’I dan Ahmad bin Hanbal), dan dalam tasawuf berkiblat pada salah satu dari dua imam; Junaid Al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali. Bahkan untuk yang terakhir, dalam tasawuf diakui juga ajaran-ajaran dari tokoh-tokoh sufi yang lain seperti Syaikh Baha’uddin Naqsyabandi, Syaikh Abu Hasan as-Syadzily, Syaikh Abdul Qadir al-Jailany, Syaikh Akbar Ibnu Araby, Syaikh Syattari, dan lain-lain. ”Dengan berpegang pada Qonun Asasi di atas, hari ini banyak kita saksikan bagaimana masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang moderat dan  penuh toleransi terhadap berbagai agama dan aliran keagamaan,” ungkap Alamul Huda mengakhiri ceramahnya.
Diposting oleh Tina Siska Hardiansyah







You have read this article Agama with the title Memaknai ASWAJA dan ASWAJA NUSANTARA. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/04/memaknai-aswaja-dan-aswaja-nusantara.html. Thanks!

No comment for "Memaknai ASWAJA dan ASWAJA NUSANTARA"

Post a Comment