Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Showing posts with label Dongeng. Show all posts
Showing posts with label Dongeng. Show all posts
Thursday 14 February 2013

CERITA ISLAMI

KISAH 25 Nabi dan Rasul
Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia pilihan yang bertugas memberi petunjuk kepada manusia tentang keesaan Allah SWT dan membina mereka agar melaksanakan ajaran-Nya. Ciri-ciri mereka dikemukakan dalam Al-Qur’an,

"... ialah orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah. Mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan." (Q.S. Al Ahzab : 39).

Perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah : seorang Nabi menerima wahyu dari Allah SWT untuk dirinya sendiri, sedangkan Rasul menerima wahyu dari Allah SWT guna disampaikan kepada segenap umatnya. Para Nabi dan Rasul mempunyai 4 sifat wajib dan 4 sifat mustahil, serta satu sifat jaiz, yaitu :

1.Shiddiq (benar), Mustahil ia Kizib (dusta).
2.Amanah (dapat dipercaya), mustahil Khianat (curang).
3.Tabliqh (Menyampaikan wahyu kepada umatnya), Mustahil Kitman (menyembunyikan Wahyu).
4.Fathonah (Pandai/cerdas), Mustahil Jahlun (Bodoh).
5.Bersifat jaiz yaitu Aradhul Basyariyah (sifat-sifat sebagaimana manusia).
Di dunia ini telah banyak Nabi dan Rasul telah diturunkan, tetapi yang wajib diketahui oleh umat Islam adalah sebanyak 25 Nabi dan Rasul, yaitu :

Nabi Adam as
Nabi Idris as
Nabi Nuh as
Nabi Huud as
Nabi Shaleh as
Nabi Ibrahim as
Nabi Ismail as
Nabi Luth as
Nabi Ishaq as
Nabi Ya’qub as
Nabi Yusuf as
Nabi Syu’aib as
Nabi Ayyub as
Nabi Dzulkifli as
Nabi Musa as
Nabi Harun as
Nabi Daud as
Nabi Sulaiman as
Nabi Ilyas as
Nabi Ilyasa as
Nabi Yunus as
Nabi Zakaria as
Nabi Yahya as
Nabi Isa as
Nabi Muhammad saw

Jabal Rahmah
Bila Allah berkehendak untuk mengadakan atau menciptakan sesuatu, Allah hanya mengucapkan satu perkataan yang bersifat perintah, iaitu 'kun', yang ertinya 'jadilah'. Dengan mengucapkan kata kata 'kun' itu, maka tercipta apa yang dikehendaki Allah.

Dengan cara begitu, maka terciptalah bumi dengan lautan dan daratannya, bergunung ganang dan jurang, lengkap dengan tumbuh tumbuhan dan segala jenis haiwannya.
Terciptalah matahari dengan cahayanya yang terang benderang, bulan dengan sinarnya yang berkemilauan, dan bintang bintang dengan cahayanya yang gemerlapan. Semuanya beredar diangkasaraya dengan peredaran yang teratur, menurut sunnah (penetapan) Ilahi yang mencipta dan mengaturnya, tanpa cacat celanya.

Kemudian diciptakan Allah pula para Malaikat yang selalu patuh menjalankan segala perintah Allah yang menciptanya, mengerjakan ibadat dan tugas masing masing yang sudah ditetapkan Allah bagi mereka. Diantara mereka ada yang menjadi penjaga bumi, penjaga langit, menurunkan hujan, dan ada pula yang menjadi Pesuruh Allah, sebagai perantara antara Allah dengan makhlukNya. Dalam menjalankan berbagai tugas itu, mereka selalu bertasbih mensucikan Allah.
Setiap sesuatu yang kita lihat sekarang ini dahulunya belumlah ada, dahulu tidak ada manusia dan binatang, tidak ada tumbuh tumbuhan, tidak ada bumi matahari, bulan dan bintang. Dengan kudrat dan iradatNya Allah lalu menciptakan segala apa yang ada dan kita lihat sekarang ini.
Diciptakan Allah langit dan bumi dan apa yang terdapat antara keduanya didalam waktu enam hari. Hari yang bukan bererti siang dan malam seperti yang lazim kita pergunakan sekarang ini. tetapi had yang bererti proses pertumbuhan atau masa, yang lamanya mungkin beribu ribu atau berjuta juta tahun lamanya.



NABI ADAM

Kemudian diciptakan Allah pula ADAM sebagai manusia yang pertama, untuk menghuni dibumi luas yang sudah terbentang, beranak dan berketurunan menjadi manusia banyak, berpuak puak dan berbilang bangsa, berselerak ke seluruh pelosok bumi.
Maksudnya manusia itu diciptakan Allah, ialah agar manusia itu menyembah dan sentiasa mentaati segala perintahNya serta juga menjadi pengatur bumi yang tidak teratur; bercucuk tanam, mendirikan rumah, memelihara ternakan, dan sebagainya.
Allah memberitahu maksudNya kepada para Malaikat, "Aku ingin mencipta manusia untuk menguruskan muka bumi".
Para Malaikat lalu menjawab, "Apakah manusia yang Engkau ciptakan itu untuk mengurus bumi, ya Tuhan kami? Tidakkah manusia itu nanti akan merosakkan bumi dan akan menumpahkan darah berbunuhan? Berbanding dengan kami yang sentiasa patuh dan memuliakan Engkau".
Lalu Allah menjawab. "Aku lebih mengetahui apa yang kamu tidak mengetahui".
Ya, Tuhanlah yang lebih tahu rahsia apa yang terkandung dari kejadian manusia ini. Tuhanlah yang lebih tahu kenapa kita manusia yang diciptakan Tuhan untuk mengatur bumi, sekalipun Tuhan tentu sudah tahu pula, bawah manusia di permukaan bumi ini akan berbuat kerosakan, akan bersilang sengketa, akan berbunuh bunuhan menumpahkan darah.
Tetapi janganlah sampai kita lupakan, bahawa Tuhan juga tahu, bahawa tidak semuanya manusia itu perosak, tidak semua manusia suka bersengketa dan berbunuh bunuhan. Di antara manusia yang banyak itu, ada banyak pula yang baik, yang selalu berbuat kebajikan terhadap sesama manusia, selalu berusaha dan berjuang untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia.
Setelah mendengar jawapan Allah yang pendek, tetapi mempunyai erti dan maksud yang amat dalam itu, semua Malaikat menjadi diam, tidak menjawab lagi. Hanya berkata dengan berbisik antara sesama mereka: "Memang benar! Tuhan kita Maha Mengetahui segala sesuatu, dari perkara yang sekecil kecilnya sampai kepada perkara yang sebesar besarnya. Ia mengetahui segala yang zahir dan yang batin, yang kelihatan oleh mata dan yang tidak kelihatan. Tidak ada satu perkara dan kejadian yang bagaimana juga kecilnya yang terjadi di langit dan di bumi atau antara keduanya yang tak diketahui oleh Tuhan."
Apa saja yang Allah ciptakan, tentu ada guna dan faedahnya, tentu ada maksud dan tujuannya. Tidak satu benda pun yang diciptakan Allah akan sia sia. Hanya kita sendiri yang tidak atau belum mengetahuinya.
Allah meneruskan firmanNya terhadap para Malaikat itu: "Manusia itu, iaitu Adam, akan Aku ciptakan dari tanah. Apabila sudah terbentuk dan selesai, akan Aku hembuskan kepadanya rohKu, agar dia menjadi hidup, dapat bergerak, berperasaan, berpengertian dan berkesedaran. Bila Adam sudah menjadi hidup dengan pengertian dan kesedaran, hendaknya kamu sekalian sujud memberi hormat kepadanya."











You have read this article Dongeng with the title Dongeng. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/02/cerita-islami.html. Thanks!
Monday 7 November 2011

Dongeng Rakyat Aceh: Kisah Geugasa dan Geugasi

Oleh: Nurbaidah Hanifah Al-Banjari
        Zaman dahulu kala ada sebuah kampung yang sangat aman dan damai di daerah Aceh. Di sana tidak pernah terjadi pencurian maupun perampokan. Masyarakatnya pun tidak pernah saling bertengkar. Kalau ada masalah, mereka langsung menyelesaikannya secara musyawarah sehingga suasana di sana hidup penuh rukun dan saling tolong menolong.
           Di kampung itu, hiduplah seorang ibu dengan anaknya yang masih berusia sepuluh tahun. Si ibu dan anak itu sehari-harinya mencari kayu bakar di hutan yang kemudian kayu itu dijual ke pasar. Dari hasil itu, mereka bisa membeli kebutuhan sehari-hari.
           Suatu hari, kampung yang aman itu dikejutkan oleh hilangnya kerbau Mak Yah. Semua masyarakat mencarinya, tapi tak seorang pun yang menemukannya. Kerbau itu hilang bagaikan ditelan rimba. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya sehingga membuat masyarakat bertanya-tanya siapa yang mencuri kerbau itu. Keesokan harinya, tiga ekor kambing Bang Ma’e ikut hilang di tempat pengembalaannya. Di sana yang tinggal hanyalah tulang belulang dan percikan darah di mana-mana. Kejadian ini membuat warga semakin penasaran. Dalam hati mereka bertanya, “Sebenarnya siapa yang telah merusak kedamaian di kampung ini?”
                 Hari-hari berikutnya, makin banyak warga yang kehilangan binatang ternaknya. Bahkan, salah satu anak Wak Minah juga telah hilang ketika dia bermain hingga membuat wak itu terus menangis sepanjang hari. Masyarakat menebak bahwa yang memakan ternak mereka dan mencuri anak Wak Minah adalah geugasi (raksasa) yang tinggal di hutan sana. Karena tapak-tapak yang tertinggal di daerah itu sangatlah besar.
Masyarakat di kampung itu pun mulai resah. Ketakutan mulai melanda di hati mereka. Mereka pun tidak berani lagi keluar rumah. Ahmad yang tidak tahan dengan keadaan itu memberanikan diri untuk mencari sang pembuat onar.
            Keesokan harinya, dia berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke hutan, tetapi sang ibu melarangnya. “Jangan Ahmad, nanti kamu dimakan geugasi,” ucap ibunya gusar.
         “Tidak Bu, aku akan menjaga diriku baik-baik. Ibu berdoa saja agar aku selamat.”
              Akhirnya ibunya hanya bisa mengangguk pasrah menerima permintaan Ahmad, anaknya yang keras kepala. Kemudian pergilah Ahmad ke hutan seorang diri. Dia hanya membawa bekal makanan dan satu pisau yang diselip di pinggangnya. Ahmad terus berjalan hingga dia sendiri tidak tahu lagi sudah sejauh mana dia berjalan. Keringat mulai membasahi tubuhnya, dia pun beristirahat sebentar di bawah pohon. Dari kejauhan, tampaklah sebuah rumah panggung dan semangat Ahmad muncul kembali. Dia menuju rumah itu.
              Rumah panggung itu tidak begitu besar dan juga tidak terlalu kecil. Ahmad mengetuk-ngetuk pintu rumah itu, tapi tidak ada sahutan. Dia pun masuk. Di dalam rumah itu terdapat bermacam kepala binatang dan tulang-belulang yang dijadikan sebagai pajangan. Berbagai jenis tombak dan parang terletak di sudut rumah itu begitu juga dengan barang-barang lainnya.
              “Tolong… tolong…..”
             Ahmad terkejut mendengar suara rintihan minta tolong yang tiba-tiba itu. Dia pun mencari sumber suara itu dan menemukannnya di salah satu kamar di rumah itu. Ternyata itu adalah suara anak perempuan Wak Minah yang hilang. Anak itu meringkuk di sudut sambil menangis tersedu-sedu. Tahulah Ahmad sekarang kalau itu adalah rumah geugasi yang dia cari. Dia pun menenangkan anak wak Minah dan berjanji akan memulangkannya pada ibunya.
             Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang yang berjalan dengan begitu keras. Rasa-rasanya bumi bergoyang ketika tapak-tapak itu menghantam tanah. “Itu pastilah geugasi,” pikir Ahmad. Dia pun memikirkan ide agar mereka selamat.
             Geugasi yang baru saja mencari makanan akhirnya tiba di halaman rumahnya. Lalu dia berhenti dan hidungnya naik-turun berkali-kali. “Aku mencium bau manusia….” ucapnya dengan begitu keras. Tiba-tiba terdengar suara-suara tapak yang begitu keras di dalam rumah. Kening geugasi itu berkerut.
              “Siapa di dalam?” tanyanya penasaran.
                “Geugasa,” jawab Ahmad dengan suara yang keras sambil meloncat-loncat di lantai.
                 Geugasi berpikir bahwa geugasa itu juga sejenis raksasa. Dia pun bertanya lagi, “Coba kulihat gigimu!”
                  Ahmad melempar buah pinang. Si geugasi terkejut melihat gigi geugasa lebih besar dari giginya. Dia pun melanjutkan pertanyaannya, “Coba kulihat kumismu!”
                 Ahmad mengambil satu gumpalan bulu ijuk yang lebat dan melemparnya keluar. Si geugasi lagi-lagi terkejut melihat kumis geugasa yang begitu lebat itu. Dia memegang kumisnya yang hanya setengah dari gumpalan kumis si geugasa itu. Dia pun bertanya lagi, “Coba kulihat tahimu!”
                  Ahmad pun melempar buah kelapa yang besar dan tua. Si gugasi sangat terkejut melihat tahi geugasa yang begitu besar itu. Dia berpikir, kalau gigi dan tahinya sebesar itu dan kumisnya selebat itu, bagaimanakah besarnya geugasa itu. “Oh, pastilah dia amat sangat besar…. Pastilah aku mati kalau berhadapan dengannya,” ucap geugasi pada dirinya sendiri.
               “Aku sangaat lapaarrr…. apakah ada makanan disini?” ucap Ahmad dengan suara yang dikeras-keraskan.
                Mendengar itu, badan geugasi langsung gemetar, keringat dingin mulai keluar, dan mukanya menjadi tegang. Jelas sekali dia ketakutan.
            “Aaarrrgghhhhh…… kenapa tidak ada apa-apa di sini? Lebih baik aku keluar saja. Pasti ada makanan di sana.”
            Tubuh geugasi makin bergetar hebat karena mendengar raungan geugasa. Tanpa menunggu waktu lagi, dia berbalik arah hendak melarikan diri, tapi Ahmad dengan cekatan mengambil tombak dan melemparnya ke arah geugasi. Tombak itu menancap mulus di punggung geugasi hingga tembus ke perutnya. Dia mengerang begitu keras. Ahmad pun mengambil tombak satu lagi dan melemparnya lagi hingga menancap di kepala geugasi yang berambut lebat dan panjang. Geugasi itu pun tersungkur di tanah. Dia mati.
             Ahmad dan anak wak Minah turun dan melihat geugasi yang sudah tak bernyawa itu. Lalu mereka pulang dan setiba di sana mereka mengabarkan pada seluruh warga di kampung bahwa mereka telah membunuh geugasi. Semua orang sangat senang, apalagi Wak Minah dan ibu si Ahmad karena melihat anaknya kembali dengan selamat. Akhirnya kampung itu kembali aman dan damai.
             Kisah ini ditulis ulang Rahmawati dari lisan Bustamam (57 tahun), warga Pulo Lhee, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie
Sumber; blog.harian-aceh.com, dongeng nusantara – Indonesian folktale
You have read this article Dongeng with the title Dongeng. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/11/dongeng-rakyat-aceh-kisah-geugasa-dan.html. Thanks!
Friday 4 November 2011

Hikayat Cabe Rawit

Oleh: Nurbaidah Hanifah Al-Banjari
             Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut.
            Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.
           “Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”
             “Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri pula. Matanya bercahaya di bawah sinar lampu panyot tanda berusaha menahan tangis.
               Malam itu, seusai tahajud, suami-istri tersebut kembali berdoa kepada Tuhan. Keduanya memohon agar dianugerahkan seorang anak. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.
             Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya. Keduanya tak pernah curiga kalau sakit yang dialami si istri adalah sakit orang mengandung. Tak ada ciri-ciri kalau perut istri sedang mengandung. Si istri hanya merasa sakit dalam perut. Sesekali, ia memang merasakan mual.
                Waktu terus berjalan. Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam perutnya teramat sangat. Bukan main gelisahnya kedua suami-istri tersebut. Hendak pergi berobat, tak tahu harus pergi ke mana dan pakai apa. Tak ada sepeserpun uang tersimpan. Namun, kegelisahan itu tiba-tiba berubah suka tatkala ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
               “Sudahlah istriku, betapa pun dan bagaimana pun keadaannya, anak ini adalah anak kita. Ingatkah kau setahun lalu, saat kita berdoa bersama bahwa kita bersedia merawat anak kita kelak kalau memang Tuhan berkenan, walaupun sebesar cabe rawit?” hibur sang suami. Keduanya lalu tersenyum kembali dan menyadari sudah menjadi ibu dan ayah.
              Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati bersama.
                 Syahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe, berkata pada ibunnya, “Ibu aku akan ke pasar. Aku akan bekerja menggantikan ayah.”
                 “Jangan anakku, nanti kalau kau terpijak orang, bagaimana? Ibu tak mau terjadi apa-apa pada dirimu,” sahut ibunya.
                 “Sudahlah, Ibu, yakinlah aku tak kan apa-apa. Aku pasti bisa. Aku kan sudah besar.”
               “Anakku, kau satu-satunya harta yang tersisa di rumah ini. Kau satu-satunya milik ibu sekarang. Ibu tak mau kehilangan dirimu,” kata ibu lagi.
                “Aku akan mencoba dahulu, Bu. Dengan doa ibu, yakinlah kalau aku tidak akan apa-apa. Nanti, kalau memang aku tidak bisa bekerja, aku akan pulang. Tapi, izinkan aku mencobanya dahulu, Ibu,” bujuk cabe rawit berusaha meyakinkan ibunya.
                Cabai rawit terus mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.
                 Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang pisang. Raga pisang pedagang itu nyaris saja menyentuh cabe rawit. “Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini,” kata cabe rawit.
             Spontan pedagang pisang menghentikan langkahnya. Ia melihat ke belakang, lalu ke samping, tapi tak dilihatnya seorang pun manusia.
             “Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini.” Terdengar kembali suara serupa di telinga pedagang pisang. Ia kembali melihat ke belakang dan ke samping. Tapi, tetap tak ditemukannya sesosok manusia pun. Sampai tiga kali ia mendengar suara dan kalimat yang sama, mugè pisang merasa ketakutan. Akhirnya, dia berlari meninggalkan pisang dagangannya. Ia mengira ada makhluk halus. Padahal, si cabe rawit yang sedang bicara. Karena tubuhnya yang mungil, pedagang pisang itu tidak melihat keberadaan cabe rawit di sana.
                Sepeninggalan mugè pisang, pulanglah cabe rawit membawa pisang yang sudah ditinggalkan mugè itu. Sesampainya di rumah, si ibu heran melihat anaknya membawa pisang. “Darimana kau dapatkan pisang-pisang ini, Rawit?” tanya si ibu.
                 Cabe rawit menceritakan kejadian di jalan sebelum ia sempat sampai ke pasar. “Daripada diambil orang atau dimakan kambing, aku bawa pulang saja pisang-pisang ini, Bu,” katanya.
               Keesokan harinya, si cabe rawit kembali minta izn untuk ke pasar. Namun, di tengah jalan, lewatlah pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata sara itu.
                Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya yang teramat mungil.
Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu kembali bertanya. “Tadi, di jalan aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit, kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab cabe rawit.
                Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi. Ketika cabe rawit hendak ke pasar, di pertengahan jalan, ia bertemu dengan pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah. “Tadi pedagang ikan itu tiba-tiba lari meninggalkan ikan-ikannya. Kita kan sudah lama tidak makan ikan. Aku bawa pulang saja ikan-ikan ini sedikit daripada habis dimakan kucing,” kata cabe rawit kepada ibunya saa sang ibu bertanya darimana ia mendapatkan ikan.
                 Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda miskin menjadi hidup bergelimang harta.
                   Orang-orang kampung pun mulai curiga. Didatangilah rumah janda miskin tersebut. “Bagaimana mungkin kau tiba-tiba hidup menjadi kaya sedangkan kami semua tahu, kau tidak memiliki siapa-siapa. Suami pun sudah meniggal,” kata kepala kampung.
               Si janda hanya diam. Kepala kampung mengulangi pertanyaanya lagi. Namun, di janda tetap bungkam. Karena kepala kampung dan orang-orang kampung di rumah itu sudah mulai marah, terdengarlan suara dari balik pintu. “Tolong jangan ganggu ibuku. Kalau kepala kampung mau marah, marahilah aku. Kalau kepala kampung mau memukul, pukullah aku,” kata suara tersebut.
               Kepala kampung dan orang-orang yang ada di rumah tersebut terkejut mendengar suara itu. Beberapa kali suara itu terdengar dari arah yang sama, dari belakang pintu. Salah seorang penduduk melihat ke sebalik pintu. Namun, tak dijumpainya seorang pun di sana. Sedangkan saat itu, suara yang sama kembali terdengar. “Kalau kalian mau marah, marahilah aku. Kalau kalian mau memukul, pukullah aku,” kata suara itu yang tak lain dan tak bukan adalah milik cabe rawit.
                   Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut. Akan tetapi, setiap penduduk berkenan memberikan keluarga cabe rawit apa pun setiap hari. Ada yang memberikan beras, garam, pakaian, dan sebagainya.
                  Ditulis oleh Herman RN berdasarkan tuturan lisan Halimah (80-an), seorang warga Ujung Pasir, Kecamatan Kluet Selatan, Aceh Selatan.
Sumber: blog.harian-aceh.com, dongengshanty.blogspot.com, dongeng nusantara - indonesian folktale
You have read this article Dongeng with the title Dongeng. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/11/hikayat-cabe-rawit.html. Thanks!
Friday 28 October 2011

Dongeng Rakyat Aceh: Kisah Tujuh Anak Lelaki

Oleh: Nurbaidah Hanifah Al-Banjari
  Alkisah, di sebuah kampung di daerah Nanggroe Aceh Darussalam, ada sepasang suami-istri yang mempunyai tujuh orang anak laki-laki yang masih kecil. Anak yang paling tua berumur sepuluh tahun, sedangkan yang paling bungsu berumur dua tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sepasang suami-istri itu menanam sayur-sayuran untuk dimakan sehari-hari dan sisanya dijual ke pasar. Meskipun serba pas-pasan, kehidupan mereka senantiasa rukun, damai, dan tenteram.
                   Pada suatu waktu, kampung mereka dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Semua tumbuhan mati karena kekeringan. Penduduk kampung pun mulai kekurangan makanan. Persediaan makanan mereka semakin hari semakin menipis, sementara musim kemarau tak kunjung usai. Akhirnya, seluruh penduduk kampung menderita kelaparan, termasuk keluarga sepasang suami-istri bersama tujuh orang anaknya itu.
                     Melihat keadaan tersebut, sepasang suami-istri tersebut menjadi panik. Tanaman sayuran yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka tidak lagi tumbuh. Sementara mereka tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali menanam sayur-sayuran di kebun. Mereka sudah berpikir keras mencari jalan keluar dari kesulitan tersebut, namun tidak menemukan jawabannya. Akhirnya, mereka bersepakat hendak membuang ketujuh anak mereka ke sebuah hutan yang letaknya jauh dari perkampungan.

                       Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sedang tertidur pulas, keduanya bermusyawarah untuk mencari cara membuang ketujuh anak mereka.
                    “Bang! Bagaimana caranya agar tidak ketahuan anak-anak?” tanya sang Istri bingung.
                 “Besok pagi anak-anak kita ajak pergi mencari kayu bakar ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Pada saat mereka beristirahat makan siang, kita berpura-pura mencari air minum di sungai,” jelas sang Suami.
                   “Baik, Bang!” sahut sang Istri sepakat.
                    Tanpa mereka sadari, rupanya anak ketiga mereka yang pada waktu itu belum tidur mendengar semua pembicaraan mereka.
Keesokan harinya, sepasang suami-istri itu mengajak ketujuh putranya ke hutan untuk mencari kayu bakar. Sesampainya di hutan yang terdekat, sang Ayah berkata kepada mereka:
                   “Anak-anakku semua! Sebaiknya kita cari hutan yang luas dan banyak pohonnya, supaya kita bisa mendapatkan kayu bakar yang lebih banyak lagi,” ujar sang Ayah.
                    “Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak lelaki itu serentak.
                     Setelah berjalan jauh, sampailah mereka di sebuah hutan yang amat luas. Alangkah gembiranya mereka, karena di hutan itu terdapat banyak kayu bakar. Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar yang banyak berserakan. Ketika hari menjelang siang, sang Ibu pun mengajak ketujuh anaknya untuk beristirahat melepas lelah setelah hampir setengah hari bekerja.
                         Pada saat itulah, sepasang suami istri itu hendak mulai menjalankan recananya ingin meninggalkan ketujuh anak mereka di tengah hutan itu.
                     “Wahai anak-anakku! Kalian semua beristirahatlah di sini dulu. Aku dan ibu kalian ingin mencari sungai di sekitar hutan ini, karena persediaan air minum kita sudah habis,” ujar sang Ayah.
                     “Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak itu serentak.
                     “Jangan lama-lama ya, Ayah... Ibu...!’” sahut si Bungsu.
                   “Iya, Anakku!” jawab sang Ibu lalu pergi mengikuti suaminya.
                     Sementara itu, setelah menunggu beberapa lama dan kedua orangtua mereka belum juga kembali, ketujuh anak itu mulai gelisah.Mereka cemas kalau-kalau kedua orangtua mereka mendapat musibah. Akhirnya, si sulung pun mengajak keenam adiknya untuk pergi menyusul kedua orangtua mereka. Namun, sebelum meninggalkan tempat itu, anak ketiga tiba-tiba angkat bicara.
                “Abang! Tidak ada gunanya kita menyusul ayah dan ibu. Mereka sudah pergi meninggalkan kita semua,” kata anak ketiga.
               “Apa maksudmu, Dik?” tanya si Sulung.
              “Tadi malam, saat kalian sudah tertidur nyenyak, aku mendengar pembicaraan ayah dan ibu. Mereka sengaja meninggalkan kita di tengah hutan ini, karena mereka sudah tidak sanggup lagi menghidupi kita semua akibat kemarau panjang,” jelas anak ketiga.
                “Kenapa hal ini baru kamu ceritakan kepada kami?” tanya anak kedua.
                 “Aku takut ayah dan ibu murka kepadaku, Bang,” jawab anak ketiga.
                 Akhirnya ketujuh anak itu tidak jadi pergi menyusul kedua orangtuanya, apalagi hari sudah mulai gelap. Mereka pun segera mencari tempat perlindungan dari udara malam. Untungnya, tidak jauh dari tempat mereka berada, ada sebuah pohon besar yang batangnya berlubang seperti gua. Mereka pun beristirahat dan tidur di dalam lubang kayu itu hingga pagi hari.
                     “Bang! Apa yang harus kita lakukan sekarang? Ke mana kita harus pergi?” tanya si anak kedua.
                   “Kalian tunggu di sini! Aku akan memanjat sebuah pohon yang tinggi. Barangkali dari atas pohon itu aku dapat melihat kepulan asap. Jika ada, itu pertanda bahwa di sana ada perkampungan,” kata si Sulung.
                    Ternyata benar, ketika berada di atas pohon, si Sulung melihat ada kepulan asap dari kejauhan. Ia pun segera turun dari pohon dan mengajak keenam adiknya menuju ke arah kepulan asap tersebut. Setelah berjalan jauh, akhirnya sampailah mereka di sebuah perkampungan.                 Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat sebuah rumah yang sangat besar berdiri tegak di pinggir kampung.
                     “Hei lihatlah! Besar sekali rumah itu,” seru anak keempat.
                      “Waaahhh... jangan-jangan itu rumah raksasa,” sahut anak keenam.
                       Baru saja kata-kata itu terlepas dari mulutnya, tiba-tiba terdengar suara keras dari dalam rumah itu meminta mereka masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, penghuni rumah itu pun keluar. Rupanya, dia adalah raksasa betina.
                        “Hei, anak manusia! Kalian siapa?” tanya Raksasa Betina itu.
                         “Kami tersesat, Tuan Raksasa! Orang tua kami meninggalkan kami di tengah hutan,” jawab si Sulung.
                          Mendengar keterangan itu, tiba-tiba si Raksasa Betina merasa iba kepada mereka. Ia pun segera mengajak mereka masuk ke dalam rumahnya, lalu menghidangkan makanan dan minuman kepada mereka. Oleh karena sudah kelaparan, ketujuh anak itu menyantap makanan tersebut dengan lahapnya.
                 “Habiskan cepat makanan itu, lalu naik ke atas loteng! Kalau tidak, kalian akan dimakan oleh suamiku. Tidak lama lagi ia datang dari berburu,” ujar Raksasa Betina.
                     Oleh karena takut dimakan oleh Raksasa Jantan, mereka pun segera menghabiskan makanannya lalu bergegas naik ke atas loteng untuk bersembunyi. Tidak lama kemudian, Raksasa Jantan pun pulang dari berburu. Ketika membuka pintu rumahnya, tiba-tiba ia mencium bau makanan enak.
                   “Waaahhh... sedapnya!” ucap raksasa jantan sambil menghirup bau sedap itu.
                   “Bu! Sepertinya ada makanan enak di rumah ini. Aku mencium bau manusia. Di mana kamu simpan mereka?” tanya Raksasa Jantan kepada istrinya.
                  “Aku menyimpan mereka di atas loteng. Tapi mereka masih kecil-kecil. Biarlah kita tunggu mereka sampai agak besar supaya enak dimakan,” jawab Raksasa Betina.
                   Si Raksasa Jantan pun menuruti perkataan istrinya. Selamatlah ketujuh anak itu dari ancaman Raksasa Jantan. Keesokan harinya, ketika si Raksasa Jantan kembali berburu binatang ke hutan, si Raksasa Betina pun segera menyuruh ketujuh anak lelaki itu pergi. Namun, sebelum mereka pergi, ia membekali mereka makanan seperlunya selama dalam perjalanan. Bahkan, si Raksasa Betina yang baik itu membekali mereka dengan emas dan intan.
                    “Bawalah emas dan intan ini, semoga bermanfaat untuk masa depan kalian,” kata Raksasa Betina.
                “Terima kasih, Raksasa Jantan! Tuan memang raksasa yang baik hati,” ucap si Sulung seraya berpamitan.
                Setelah berjalan jauh menyusuri hutan lebat, menaiki dan menuruni gunung, akhirnya tibalah mereka di tepi pantai. Mereka pun segera membuat perahu kecil lalu berlayar mengarungi lautan luas. Setelah beberapa lama berlayar, tibalah mereka di sebuah negeri yang diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Di negeri itu mereka menjual semua emas dan intan pemberian raksasa kepada seorang saudagar kaya. Hasil penjualan tersebut, mereka gunakan untuk membeli tanah perkebunan. Masing-masing mendapat tanah perkebunan yang cukup luas. Ketujuh bersaudara itu sangat rajin bekerja dan senantiasa saling membantu.
                        Beberapa tahun kemudian, mereka pun telah dewasa. Berkat kerja keras selama bertahun-tahun, akhirnya mereka memiliki harta kekayaan yang banyak. Kemudian masing-masing dari mereka membuat rumah yang cukup bagus. Ketujuh lelaki itu pun hidup damai, tenteram dan sejahtera.
                          Pada suatu hari, si Bungsu tiba-tiba teringat dan merindukan kedua orangtuanya. Ia pun segera mengundang keenam kakaknya datang ke rumahnya untuk bersama-sama pergi mencari kedua orangtua mereka.
                      “Maafkan aku, Kakakku semua! Aku mengundang kalian ke sini, karena ingin mengajak kalian untuk pergi mencari ayah dan ibu.  Aku sangat merindukan mereka, dan aku yakin, mereka pasti masih hidup,” ungkap si Bungsu kepada saudara-saudaranya.
                  “Iya, Adikku! Kami juga merasakannya seperti itu. Kami sangat rindu kepada ayah dan ibu yang telah melahirkan kita semua,” tambah anak keenam.
                    “Baiklah kalau begitu! Besok pagi kita bersama-sama pergi mencari mereka. Apakah kalian setuju?” tanya si Sulung.
“Setuju!” jawab keenam adiknya serentak.
                   Keesokan harinya, berangkatlah ketujuh orang bersaudara itu mencari kedua orangtua mereka. Setelah berlayar mengarungi lautan luas, tibalah mereka di sebuah pulau. Di pulau itu, mereka berjalan dari satu kampung ke kampung lain. Sudah puluhan kampung mereka datangi, namun belum juga menemukannya. Hingga pada suatu hari, mereka pun menemukan kedua orangtua mereka di sebuah kampung dalam keadaan menderita. Ketujuh orang bersaudara itu sangat sedih melihat kondisi kedua orangtua mereka. Akhirnya, mereka membawa orangtua mereka ke tempat tinggal mereka untuk hidup dan tinggal bersama di rumah yang bagus.
                 Sejak itu, kedua orangtua itu berkumpul kembali dan hidup bersama dengan ketujuh orang anaknya. Mereka senantiasa menyibukkan diri beribadah kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Segala keperluannya sudah dipenuhi oleh ketujuh orang anaknya yang sudah cukup kaya.


Sumber: dongengshanty.blogspot.com, dongeng nusantara - Indonesian folktale
You have read this article Dongeng with the title Dongeng. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/dongeng-rakyat-aceh-kisah-tujuh-anak.html. Thanks!
Tuesday 18 October 2011

Legenda Bukit Kelam - Cerita Rakyat Kalbar

Oleh: Nurbaidah Hanifah Al-Banjari

                    Bukit Kelam merupakan salah satu obyek wisata alam yang eksotis di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia. Bukit yang telah menjadi Kawasan Hutan Wisata ini memiliki panorama alam yang memesona, yaitu berupa pemandangan air terjun, gua alam yang dihuni oleh ribuan kelelawar, dan sebuah tebing terjal setinggi kurang lebih 600 meter yang ditumbuhi pepohonan di kaki dan puncaknya. Dibalik pesona dan eksotisme Bukit Kelam, tersimpan sebuah cerita yang cukup menarik. Konon, Bukit Kelam dulunya merupakan sebuah rantau.[1] Namun, karena terjadi suatu peristiwa, maka kemudian rantau itu menjelma menjadi Bukit Kelam. Bagaimana kisahnya sehingga rantau itu menjelma menjadi bukit yang indah dan memesona? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Bukit Kelam berikut ini.

       Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.

                 Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
               Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak.
               Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.

               ”Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.
                 Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.
                   Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.
                      Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
                       ”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.
                     Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
                       ”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.
                  ”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
                   Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.
                   Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.
                     Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.
                     Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan.
                  ”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.
                      ”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.
                     ”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.
                       ”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” jelas Raja Beruang.
                   Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat Raja Beruang.
                 Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.
                  ”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”
                Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.
                  ”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.
                   Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.
                        Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.

      Demikian cerita Legenda Bukit Kelam dari daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk dalam cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu akibat yang ditimbulkan dari sikap iri hati dan tamak, dan keutamaan sifat suka bermusyawarah untuk mufakat. Sifat iri hati dan tamak tercermin pada sifat dan perilaku Bujang Beji yang hendak menguasai ikan milik Temenggung Marubai yang ada di Sungai Melawi. Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran, bahwa sifat tamak dan serakah dapat menyebabkan seseorang menjadi iri dan dengki. Sifat ini tidak patut dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

Sumber: Dongeng Nusantara - Indonesian Folktales
You have read this article Dongeng with the title Dongeng. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/legenda-bukit-kelam-cerita-rakyat-kalbar.html. Thanks!
Wednesday 12 October 2011

Lima Humor Gus Dur

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
        Ucapan dan cerita  humor yang dilontarkan Gus Dur selalu membuat orang ketawa dan sekaligus  banyak membuat orang sadar tentang kebenaran di balik cerita lucu itu. Ketika pertama kali menjadi presiden dan menyampaikan pidato di depan DPR/MPR RI, Gus Dur menyebut anggota wakil rakyat itu seperti anak-anak TK. Spontan banyak anggota DPR/MPR yang protes, terutama Priyo Budi Santoso dari Fraksi Golkar. Tapi seiring waktu orang sadar tentang kebenaran dari  ucapan Gus Dur tersebut. Pernyataan-pernyataan Gus Dur yang dilontarkan dalam joke-joke segar memang  memancing orang untuk ketawa tetapi sekaligus ikut berpikir dan merenung. Sekalipun sudah menjadi presiden, Gus Dur tetap dikenal sebagai sosok yang  humoris. Orang yang banyak humor. Saat berbicara, dia selalu menyelipkan joke, cerita lucu yang membuat pendengarnya tertawa. Joke-jokenya itu disukai oleh banyak tokoh dunia. Berikut ini adalah lima contoh, humor yang pernah dilontarkan mendiang Gus Dur:


Sudah di Pasar Glodok
              Suatu hari Gus Dur berkeliling dunia dengan naik pesawat. Dia mengundang Bill Clinton dan Hosni Mubarak untuk menyertainya. Ketika di tengah perjalanan, Bill Clinton memamerkan kebanggaan negerinya dengan berkata, “Wah, kita sedang berada di New York!”
             “Loh sampean kok bisa tahu?” tanya Gus Dur heran.
             “Ini patung Liberty kepegang sama tangan saya,” jawab Bill Clinton bangga.
             Tidak lama kemudian,  Hosni Mubarak yang angkat bicara dengan nada bangga, “Sekarang kita berada di Mesir.”
             “Loh sampeyan kok bisa tahu?” tanya Gus Dur
              “Ini piramidnya sudah menyentuh bokong saya,” jawab Hosni Mubarak.
               Tidak mau kalah, Gus Dur pun angkat bicara,“Lha sekarang kita sudah tiba di Pasar Glodok, Jakarta, Indonesia!”
               “Hah, bagaimana Anda bisa tahu?” tanya Bill Clinton dan Hosni Mubarak bersamaan
                “Ini buktinya, jam tangan saya hilang,” ujar Gus Dur enteng.
Sopir Metromini dan Juru Dakwah
                Di pintu akherat seorang malaikat menanyai seorang sopir Metro Mini. “Apa pekerjaan Anda selama di dunia?”
                “Saya sopir Metro Mini Jakarta, Pak,”jawab sopir Metro Mini.  Lalu malaikat  itu  membawanya ke tempat yang penuh  kamar  mewah  dan peralatan-peralatan indah  yang terbuat dari emas. Dengan sopan malaikat itu mempersilahkan sopir Metro Mini itu masuk ke kamar,”Silahkan, ini kamar untuk Anda!”
              Lalu datang Gus Dur dengan dituntun ajudannya yang setia. Malaikat pun dengan dingin bertanya, “Apa pekerjaan Anda  di dunia?”
             “Saya mantan presiden dan juga juru dakwah, Pal,” jawab Gus Dur.  Malaikat itu membawa Gus Dur ke tempat sederhana dengan  kamar kecil dan peralatan dari kayu dan aluminium.
             Melihat perlakuan diskriminasi itu,  Gus Dur protes,“Pak kenapa kok saya yang mantan presiden sekaligus juru dakwah mendapatkan tempat yang lebih rendah dari seorang sopir Metro Mini?”
                Dengan tenang malaikat itu menjawab: “Begini Pak,  pada saat Bapak berpidato dan ceramah Agama, Bapak sering membuat orang-orang yang mendengar sama mengantuk dan tertidu sehingga melupakan Tuhan. Sedangkan pada saat sopir Metro Mini itu mengemudi dengan ngebut dan ugal-ugalan, membuat orang-orang berdoa, ingat Tuhan.”

Peluru pun Habis
            Ini cerita Gus Dur tentang situasi Rusia tidak lama setelah bubarnya Uni Soviet di mana Sosialisme hancur dan para birokrat  tidak punya pengalaman mengelola sistem ekonomi pasar bebas. Di masa sosialisme, memang rakyat sering antre untuk mendapatkan macam-macam kebutuhan pokok, tetapi manajemennya rapi, sehingga semua orang kebagian jatah. Sekarang ini  masyarakat tetap harus antre, tapi karena manejemennya jelek, antrean umumnya sangat panjang, dan banyak orang yang tidak kebagian jatah.
             Begitulah, seorang aktivis sosial berkeliling kota Moskow untuk mengamati bagaimana sistem baru itu bekerja. Di sebuah antrean roti, setelah melihat banyaknya orang yang tidak kebagian, aktivis itu menulis di buku catatannya, “ROTI HABIS.”
             Lalu dia pergi ke antrean bahan bakar. Lebih banyak lagi yang tak kebagian. Dan dia mencatat “BAHAN BAKAR HABIS!”, kemudian dia menuju ke antrean sabun. Wah pemerintah kapitalis baru ini betul-betul brengsek, banyak sekali masyarakat yang tidak mendapat jatah sabun. Dia menulis besar-besar “SABUN HABIS!”.
             Tanpa dia sadari, selama berkeliling itu  dia diikuti oleh seorang intel KGB. Ketika dia akan meninggalkan antrean sabun itu, si intel menegur “Hey bung! dari tadi kamu sibuk mencatat-catat terus, apa sih yang kamu catat?”.
              Sang aktivis menceritakan bahwa dia sedang melakukan penelitian tentang kemampuan pemerintah dalam mendistribusikan barang bagi rakyat.
            “Untung kamu ya, sekarang sudah jaman reformasi”, ujar sang intel dengan nada mengancam, “Kalau jaman komunis dulu, kamu sudah ditembak”.
           Sambil melangkah pergi, aktivis itu mencatat, “PELURU JUGA HABIS!”

Siapa Lebih dekat dengan Tuhan
            Perbedaan dalam berbagai hal termasuk perbedaan  aliran dan agama, kata Gus Dur,  mantan Presiden RI ini, sebaiknya diterima karena itu bukan suatu masalah rumit.
              Jika sudah bisa menerima perbedaan maka akan lebih terbuka dalam berdialog, bahkan kata Gus Dur, lahir lelucon seperti yang dilontarkan seorang kyai, bhiksu, dan pendeta.
          Pendeta mengatakan, “Kami dekat sekali dengan Tuhan. Buktinya,  kami memanggil Tuhan Anak, Tuhan Bapak.”
          Bhiksu tidak mau kalah menimpali, “Kami juga dekat. Bukan memanggil Bapak, tapi Om.”
            “Lha bagaimana dengan Anda, Pak Kyai?” Tanya pendeta dan bhiksu serentak.
             Pak Kyai menjawab kalem,”Boro-boro dekat,me manggil Tuhan  aja mesti pakai corong di  menara,” uungkap Gus Dur diiringi tawa seisi ruangan.

Kuli dikira Ulama
               Rombongan jamaah haji NU dari Tegal tiba di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah Arab Saudi. Langsung saja kuli-kuli dari Yaman berebutan untuk mengangkut barang-barang yang mereka bawa. Akibat berebut, dua orang di antara kuli-kuli itu terlibat percekcokan serius dalam bahasa Arab.
               Melihat itu, rombongan jamaah haji asal Tegal tersebut spontan merubung mereka, sambil berucap: Amin, Amin, Amin!
                  Gus Dur yang sedang berada di bandara itu menghampiri mereka: “Lho kenapa Anda semua berkerumun di sini?”
            “Mereka sangat fasih berdoa Gus, apalagi pakai jubah dan surban, mereka itu pasti ulama khas,” sahut mereka sambil terus meng-amin-i “doa” kuli-kuli Yaman itu.

You have read this article Dongeng with the title Dongeng. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/lima-humor-gus-dur.html. Thanks!