Oleh: Anandya Andriani
Pengertian dan Sejarah Munculnya Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan adalah kata majemuk dari teologi dan pembebasan. Secara etimologis, teologi berasal dari theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan (development) yang kemudian menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung liberal dan kapitalistik dan umum digunakan di negara dunia ketiga sejak tahun 60-an.
Teologi Pembebasan muncul di kawasan Amerika Latin sebagai respon atas kondisi sosial, ekonomi dan politik saat itu. Sejak tahun 1950-an negara-negara kawasan Amerika Latin ini melakukan proses industrialisasi di bawah arahan modal multinasional. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Urbanisasi meningkat tajam. Kaum proletar –kelas buruh– tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator militer. Pada saat yang sama, otoritas gereja Katholik mulai terbuka terhadap perubahan dan pandangan-pandangan dari luar.
Teologi Pembebasan merupakan gerakan yang telah dilakukan oleh para Romo, Uskup, dan bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun 60-an. Mereka ini memimpin “Gereja untuk Orang Miskin”. Akan tetapi baru pada tahun 1971, Gustavo Gutierrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan secara tertulis lewat bukunya, Teologia de la Liberacion. Tokoh setelah Gustavo, Juan Louise Segundo (Uruguay), Hugo Asmann (Brazil) dan John Sabrino (El-Salvador), adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika Latin.
Pemahaman Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional, menurut para uskup Amerika Latin menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masalah-masalah kongkret. Teologi Barat, dianggap hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.
Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku..
Dalam konteks Teologi Pembebasan, Yesus adalah Sang Pembebas. Yesus lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas orang Yahudi.
Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxian. Peranan marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan ketidakadilan dan praktek kekerasan. Sementara pada sisi lain mereka menolak filsafat materialisme, ideologi ateis dan pengertian agama sebagai candu masyarakat.
Kesadaran tentang keperluan teologi serupa, rupanya juga muncul di kalangan umat Isslam. Kita bisa menyebut Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan Al-Yasar Al-Islami (Kiri Islam), Ziaul Haque (Pakistan, bukan Zia ul Haq yang mantan Presiden) yang menulis buku yang cukup provokatif, “Revelation and Revolution in Islam” (Wahyu dan Revolusi dalam Islam), Ali Syari’ati (Iran) yang dianggap sebagai ideolog Revolusi Iran dan harus pula disebut nama Asghar Ali Engineer (India) yang akan kita bahas pemikirannya tentang Teologi Pembebasan.
Biografi Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer adalah seorang Muslim India. Ia adalah seorang pemikir, penulis dan aktivis sekaligus. Pemikirannya yang paling dikenal adalah mengenai Islam dan Teologi Pembebasan. Asghar lahir pada 10 Maret 1939 di Salumbar, Rajastan India. Ayahnya, Shaikh Qurban Hussain adalah seorang ulama pemimpin kelompok Daudi Bohras. Sewaktu belajar Tafsir dan Ta’wil Al-Qur’an, Fiqh, Hadis, dan Bahasa Arab, ia juga banyak membaca karya-karya Bettrand Russel dan Karl Marx. Ia mengaku telah membaca buku Das Kapital karya Marx. Bacaan ini terbukti sangat berpengaruh dalam cara dia menganalisis dan membahasakan gagasannya dengan bahasa-bahasa “khas kiri” seperti ketidakadilan, penindasan, revolusi, perubahan radikal, dan sebagainya.
Ia mendapatkan gelar kesarjanaan di bidang tekhnik sipil dari Vikram University, Madhya Pradesh. Selama 20 tahun ia sempat menjadi pegawai Kota Mumbay sampai memilih menjadi aktivis gerakan Bohra pada tahun 1972. Pada tahun 1980, ia membentuk Institute of Islamic Studies, di Mumbai, guna mendorong pandangan Islam Progresif di India. Pada tahun 1993 ia mendirikan Center for Study of Society and Secularism untuk mempromosikan kerukunan komunal (agama).
Pemahaman keagamaan Asghar Ali, terkait kelompok Daudi Bohras ini. Daudi Bohras adalah sekte Syi’ah Isma’iliyah yang dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi. Saat ini Kepemimpinannya dilanjutkan oleh para Da’i. Untuk diakui sebagai seorang Da’i harus mempunyai 94 kualifikasi yang diringkas dalam 4 kelompok: (1) kualifikasi-kualifikasi pendidikan; (2) kualifikasi-kualifikasi administratif; (3) kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal, dan (4) kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian. Yang menarik adalah bahwa di antara kualifikasi itu seorang Da’i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Asghar Ali adalah seorang Da’i.
Dengan memahami posisi ini, tidak heran mengapa Asghar Ali sangat peduli dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Baginya, orang yang benar-benar relijius akan sensitife terhadap penderitaan orang lain, terutama penderitaan orang-orang yang tertindas. Seorang relijius akan menentang ketidakadilan. Orang yang diam dan membisu ketika melihat ketidakadilan dan penindasan, menurut Asghar tidak pantas disebut relijius. Dari telaah kesejarahan Asghar Ali menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad sebagai sosok yang relijius, adalah seorang revolusioner yang berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat pada zamannya.
Kritik Asghar Ali Terhadap Teologi Konvensional
Menurut Asghar Ali, Islam datang dengan semangat pembebasan, akan tetapi sepeninggal Nabi Muhamad, Islam kehilangan elan vitalnya. Salah satunya terlihat dalam konsep teologinya. Teologi Islam yang pada awalnya dekat dengan keadilan sosial dan ekonomi, mulai beralih ke masalah-masalah eskatologi dan masalah yang bersifat duniawi. Teologi Islam kemuddian berkembang dengan metode skolastik dan spekulatif.
Menurut Asghar, ini dimulai pada zaman Muawiyah. Teologi Islam mulai bergulat dengan masalah kehendak bebas vis a vis ketundukan pada takdir. Pandangan kehendak bebas ini kemudian dikenal sebagai pandangan kaum qadariyah. Sedangkan pandangan ketundukan pada takdir adalah pandangan kaum jabbariyah. Dalam pandangan Asghar, pandangan jabbariyah ini sengaja diintrodusir oleh penguasa karena lebih cenderung mendukung status qua. Menurutnya, kaum Sunni banyak menganut faham jabbariyah ini. Sedangkan kaum Khawarij, Syi’ah dan Mu’tazilah yang oposan terhadap Dinasti Umayyah memilih faham qadariyah.
Teologi Islam kemudian menjadi sebatas Ilmu Kalam yang skolastik dan spekulatif. Tema kehendak bebas dan ketundukan pada takdir, menjadi dominan terkait dengan upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat persoalan politik. Kekacauan politik yang melanda umat Islam menimbulkan pertanyaan tentang dosa besar, mukmin dan kafir. Inilah yang ingin diselesaikan secara intelektual oleh Teologi Islam saat itu.
Asghar juga menilai, Islam yang dekat dengan penguasa ini kemudian kehilangan aspek pembebasan. Para Khalifah Umayyah lebih sering bersama para penguasa yang tiran, sekaligus menindas siapa yang menentang. Jumlah budak berlipat ganda. Harem menjadi budaya istana Khalifah. Sedangkan orang non-Arab diperlakukan secara diskriminatif.
Dari konteks inilah, maka Teologi Islam, menurut Asghar semakin jauh dari perhatian kepada masyarakat lemah. Teologi Islam hanya berbicara tentang keesaan Tuhan, Sifat-sifat Tuhan, ketidakmungkinan adanya Tuhan selain Allah, tentang polemik kehendak bebas dan takdir, dan masalah-masalah eskatologis. Teologi Islam tidak lagi berbicara tentang bagaimana membantu fakir miskin, memelihara anak yatim, bersikap kritis terhadap kekuasaan, membebaskan budak dan orang tertindas, mempromosikan kesetaraan jender, dan tema-tema pembebasan lainnya. Selain itu, keberpihakannya juga cenderung kepada penguasa. Maka, dalam kondisi demikian, Asghar bisa memahami kritik Marx bahwa agama adalah candu masyarakat.
Gagasan Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer
Spirit Pembebasan dalam Islam
Asghar Ali melihat Islam sebagai agama yang mengandung semangat pembebasan. Oleh karena itu, Asghar mencoba untuk merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam dan merumuskan Islam sebagai Teologi Pembebasan. Upaya revitalisasi dan perumusan itu dia dasarkan pada dua hal. Pertama, berdasarkan pada analisis kesejarahan pembebasan yang pernah dilakukan Nabi Muhamad. Dalam hal ini keyakinan Asghar terhadap nabi Muhamad sama dengan keyakinan penganut Teologi Pembebasan di Amerika Latin terhadap Yesus. Nabi Muhamad lahir untuk melakukan proses pembebasan manusia dari penindasan dan ketidakadilan. Struktur masyarakat Arab di mana Nabi Muhamad lahir waktu itu mencerminkan ketimpangan sosial. Ada segolongan elit ekonomi dan penguasa yang kaya raya. Sedangkan mayoritas lainnya adalah orang miskin dan para budak yang tertindas. Ajaran Nabi Muhamad, ditolak semata-mata bukan karena ajarannya untuk menyembah Allah, tapi karena implikasi sosialnya yang akan secara radikal merubah tatanan yang tidak adil itu.
Selain itu, dalam sejarah, Nabi juga telah melakukan upaya-upaya radikal untuk memberi posisi yang layak pada perempuan, setelah sebelumnya posisi perempuan dalam budaya waktu itu berada pada tempat yang sangat rendah.
Kedua, dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit mendorong proses pembebasan seperti Ayat tentang pemerdekaan budak, kesetaraan umat manusia, kesetaraan jender, kecaman atas eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagian ayat perlu ditafsir ulang karena penafsiran yang ada saat ini terhadap sebagian ayat itu, menurut Asghar tidak sesuai lagi dengan semangat pembebasan awal, semisal ayat-ayat tentang keadilan jender.
Dalam pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an ini Asghar menggunakan pendekatan sosio-historis sebagaimana double movement-nya Fazlur Rahman. Asghar mencoba kembali ke masa lalu di mana ayat-ayat itu turun, mengambil esesnsi dasar dari maksud ayat itu, kemudian dikontekstualisasikan pada problem-problem kontemporer.
Dari dua hal inilah Asghar ingin menggali Teologi Pembebasan dari nilai-nilai Islam. Berbeda dengan Gustavo Guiterez yang tinggal menuliskan apa yang baru saja terjadi, Asghar mencoba untuk merekonstruksi kembali apa yang terjadi, terutama, pada praksis pembebasan yang dilakukan Nabi Muhamad empat belas abad yang lalu.
Pembebasan dari ketidaksetaraan manusia
Pada zaman Nabi Muhamad dulu, masyarakat Arab dikenal fanatik terhadap suku mereka. Sikap fanatisme atau ashabiyah ini terekspresikan dengan memandang rendah orang di luar kelompoknya. Selain itu, sebagaimana di belahan bumi lainnya, perbudakan adalah sesuatu yang lazim. Tindakan nabi memilih sahabat Bilal sebagai muazzin pada waktu itu sungguh merupakan tindakan yang menurut Asghar cukup revolusioner sebab sebelumnya, bilal yang berasal dari etnis berkulit hitam tersebut adalah bekas budak. Dengan cara ini nabi menunjukkan bahwa harkat martabat manusia melampaui batas-batas etnis, suku, warna kulit, merdeka atau hamba sahaya.
Selain itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa sesungguhnya semua umat manusia berasal dari satu keturunan yang sama. Tidak ada yang lebih mulia satu dari lainnya berdasarkan etnis, suku ataupun warna kulitKemulian itu hanya bisa dicapai lewat kualitas ketakwaan. Al-Qur’an menyatakan:
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Al-hujurat: 13).
Ayat di atas diperuntukkan tidak hanya bagi orang Arab, tetapi bagi seluruh umat manusia. Dewasa ini, persoalan kesetaraan umat manusia masih menjadi persoalan dunia. Rasisme masih menghinggap di banyak pikiran orang, sehingga PBB perlu untuk meneguhkan ide-ide persamaan ini.
Pembebasan dari Ketidakadilan Jender
Pada zaman Nabi, untuk pertama kalinya perempuan Arab mendapatkan banyak hak yang sebelumnya tak terbayangkan. Perempuan pada masa itu dalam posisi sub-ordinat yang sangat lemah. Nabi menetapkan, Perempuan bisa mewarisi, bisa mempunyai hak milik sendiri, bisa menta cerai dan bisa menentukan dirinya sendiri. Pada sisi lain, poligini yang sebelumnya tanpa batas, kemudian dibatasi maksimal empat istri. Itupun dengan persyaratan yang ketat. Sedangkan poliandri dengan tegas dilarang.
Selain itu, Nabi Muhamad merubah perlakuan masyarakat terhadap anak perempuan. Jika sebelumnya masyarakat Arab mempunyai tradisi mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena rasa malu, maka Nabi kemudian melarang tradisi itu sekaligus merubah stigma negatif terhadap anak perempuan.
Selain itu, Islam juga memberikan hak yang sama bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, hak untuk memimpin, hak untuk bekerja dan hak untuk terlibat aktif pada urusan publik. Untuk itu, pada sisi lain, Asghar mengkritik Negara-negara yang mengatasnamakan Islam melakukan pengekangan terhadap hak-hak perempuan.
Pembebasan dari ketidakadilan ekonomi
Ketidakadilan ekonomi adalah persoalan yang paling banyak disinggung oleh Asghar Ali. Dalam Al-Qur’an, kata kunci keadilan adalah ‘adl dan qist. Ádl dalam bahasa Arab mengandanung arti sawiyyah atau persamaan/kesetaraan. Kata itu juga mengandung arti pemerataan dan kesamaan. Sedangkan qist mengandung arti distribusi, jarak yang merata, kejujuran dan kewajaran.
Dengan konsep ini, maka yang diinginkan oleh Al-qur’an adalah pemerataan kekayaan. Oleh karena itu Islam melarang konsentrasi harta pada pihak-pihak tertentu. Dan menentang bermewah-mewahan dengan harta, sementara pada saat yang sama banyak orang lain yang membutuhkan. Konsentrasi ini dalam konteks saat ini bisa pada diri perseorangan atau kelompok dalam satu wilayah atau Negara, bahkan bisa lintas Negara. Polaritas antara Negara Utara dan Negara Selatan di mana kebanyakan negara berpenduduk Islam berada di situ, adalah juga bentuk konsentrasi kekayaan. Negara Utara, teerutama G-8, mewakili negara dengan kekayaan berlimpah sedangkan Negara Selatan mewakili Negara dunia ketiga yang miskin.
Satu praktik ekonomi yang saat itu sangat dikecam adalah praktik riba yang banyak ditafsirkan sebagai bunga. Dalam konteks kehidupan modern, riba selalu dikonotasikan dengan dunia perbankan dan praktik rentenir. Asghar tidak setuju dengan penafsiran ini. Menurutnya riba tidak sekedar bunga bank. Riba kebih dari sekedar bank. Oleh karena itu, menghilangkan bunga bank tidak akan berpengaruh banyak terhadap praktek riba. Menurut Asghar, riba adalah praktik eksploitasi ekonomi yang harus dipahami dalam konteks sistem ekonomi kapitalistik sekarang ini. Maka, kemunculan bank-bank tanpa bunga tidak mempengaruhi eksploitasi ekonomi tersebut.
Asghar lalu menunjuk pada struktur ekonomi yang timpang antara Negara Utara dan Negara Selatan, aturan-aturan perdagangan seperti WTO, atau aturan bantuan oleh World Bank dan IMF yang menciptakan ketergatungan negara miskin dan menguntungkan Negara kaya. Selain itu Asghar juga menunjuk dominasi Multinational Corporation (MNC) dan Transnational Corporation (TNC) yang banyak mengeksploitasi buruh dan sumberdaya alam di negara dunia ketiga. Kondisi eksploitatif ini sampai sekarang belun ada tanda-tanda akan mereda, bahkan seiring dengan menguatnya madzhab ekonomi neo-liberal, Negara-negara kuat semakin kuat untuk mengekspresikan naluri-naluri eksploitatifnya dengan menekan Negara-negara lemah agar membuat kebijakan yang menguntungkan mereka.
Hanya saja, tawaran Asghar mengenai masalah ketidakadilan ekonomi ini sangat problematis. Pada masalah bunga bank, ia tidak setuju dengan upaya pendirian perbankan tanpa bunga, karena cara seperti itu hanya artificial semata dan tidak menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya, yaitu system ekonomi kapitalistik yang eksploitatif.
Akan tetapi ia belum memberi solusi yang jelas atas problem perbankan ini. Pada sisi lain, kritiknya atas sistem ekonomi kapitalis tidak disertai dengan tawaran yang kongkrit tentang sistem ekonomi alternatif. Gagasannya yang cenderung sosialistik tidak serta merta diikuti dengan tawaran sistem ekonomi sosialis atau system ekonomi lainnya yang menjadi alternative dari kapitalisme. Untuk konteks sekarang ada banyak contoh dari Amerika Latin yang secara kebetulan merupakan basis Teologi Pembebasan. Di sana kapitalisme mendapat goyangan yang cukup hebat karena semakin banyaknya tokoh-tokoh “kiri” yang menjadi presiden. Mereka kemudian membawa negaranya beralih ke sistem yang popular dengan sebutan ‘neo-sosialisme’ yang merupakan revisi dari sosialisme yang dinilai kurang mampu membawa kemakmuran.
Anandya Andriani, Mahasiswi Jurusan Bahasa Jepang FIB Universitas Brawijaya
You have read this article with the title Teologi Pembebasan Ali Asghar Engineer. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/06/teologi-pembebasan-ali-asghar-engineer.html. Thanks!
No comment for "Teologi Pembebasan Ali Asghar Engineer"
Post a Comment