Oleh: Muhammad Ibnu Sirin
Ustadz Abu Sa’ad al-Wa’izh berkata, “Pada prinsipnya mimpi yang baik itu bersumber dari aneka amal yang benar dan mengingatkan akan aneka akibat dari berbagai urusan. Dari mimpi yang baik itu muncullah aneka perintah, larangan, berita gembira, dan peringatan. Dikatakan demikian karena mimpi yang baik merupakan sisa dan bagian dari kenabian, bahkan ia merupakan satu dari dua bagian kenabian, sebab ada nabi yang wahyunya berupa mimpi. Orang yang menerima wahyu melalui mimpi disebut Nabi. Adapun orang yang menerima ucapan malaikat saat dia terjaga disebut Rasul. Inilah yang membedakan antara nabi dan rasul.”
Abu Ali Hamid bin Muhammad bin Abdullah ar-Rafa` memberitahukan kepada kami, dari Muhammad ibnul-Mughirah, dari Makki bin Ibrahim, dari Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika masa semakin dekat, mimpi seorang muslim nyaris tidak pernah dusta. Muslim yang paling benar mimpinya adalah yang paling jujur perkataannya. Mimpi seorang mukmin merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian. Mimpi ada tiga macam: mimpi yang baik sebagai berita gembira dari Allah ‘azza wa jalla, mimpi seorang muslim yang dialami oleh dirinya sendiri, dan mimpi sedih yang berasal dari setan. Jika salah seorang di antara kamu mengalami mimpi yang tidak disukai, janganlah menceritakannya kepada orang lain, bangunlah, kemudian shalatlah.” (Muttafaq ‘alaih)
Beliau bersabda, “Aku menyukai mimpi ihwal rantai, tetapi tidak menyukai mimpi ihwal belenggu.” (Shahih al- Jami’) Rantai ditakwilkan dengan keteguhan pada agama. Abu Abdullah al-Mahlabi dan Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf menceritakan kepada kami dari al-‘Abbas ibnul-Walid bin Mazid, dari ‘Uqbah bin ‘Alqamah al-Mu’arifi, dari al-Auza’i, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Abi Salamah bin Abdurrahman, dari ‘Ubadah ibnush-Shamit bahwa ia bertanya kepada Rasulullah tentang ayat 63-63 surah Yunus, “Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan dalam kehidupan di akhirat.” Maka, Rasulullah menjawab, “Sungguh kamu telah menanyakan sesuatu kepadaku yang belum pernah ditanyakan oleh seorang pun selainmu. Al-busyra ialah mimpi yang baik yang dialami oleh seseorang atau dianugerahkan Allah kepadanya.” (As-Silsilah ash-Shahihah)
Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Hadits-hadits yang kami riwayatkan tersebut menunjukkan bahwa mimpi itu memang sesuatu yang benar secara substansial dan bahwa mimpi itu memiliki ketentuan dan dampak.” Di antara dalil yang menunjukkan kebenaran mimpi ialah bahwa saat Ibrahim tidur, Allah memperlihatkan kepadanya seolah-olah dia menyembelih putranya. Setelah bangun, dia pun melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya saat tidur. Allah Ta’ala mengisahkan kejadian ersebut, “Maka tatkala anak itu mencapai kesanggupan berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah apa pendapatmu!’ Dia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’” (ash-Shaaffat: 102)
Setelah Ibrahim a.s. memahami mimpinya dan berupaya melaksanakannya, lalu Allah memberinya jalan keluar karena kasih-sayang-Nya, dia mengetahui bahwa mimpi itu merupakan hukum. Demikian pula halnya dengan mimpi yang dialami Yusuf a.s., yang dikisahkan Allah dalam Al-Qur`an sebagai kisah yang populer dan terkenal. Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim meriwayatkan kepada kami dari Ali bin Muhammad al-Waraq, dari Ahmad bin Muhammad bin Nashr, dari Yusuf bin Bilal, dari Muhammad bin Marwan al-Kalbi, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas bahwa Aisyah berkata, “Rasulullah terkena sihir. Maka, beliau jatuh sakit, sehingga kami mengkhawatirkannya. Ketika beliau berada antara tidur dan terjaga, tiba-tiba turun dua malaikat: yang satu berada di dekat kepala Rasulullah dan yang lain berada di dekat kaki beliau. Malaikat yang berada dekat kepala berkata kepada malaikat yang berada dekat kaki, ‘Mengapa dia sakit?’ Malaikat bertanya demikian supaya Nabi saw. memahami persoalannya.
Temannya menjawab, ‘Terkena sihir.’
‘Siapa yang melakukannya?’
‘Lubaid bin A’sham, orang Yahudi.’
‘Di mana dia melakukannya?’
‘Di sumur Dzarwan.’
‘Bagaimana mengobatinya?’
‘Kirimlah orang ke sumur itu dan keringkan airnya. Jika tampak sebuah batu besar, singkirkanlah karena di bawahnya terdapat tali busur yang berpintal sebelas dan diletakkan di dalam kantong. Setelah itu bakarlah ia. Insya Allah dia sembuh. Jika dia menyuruh orang, hendaknya dia mengeluarkan kantong itu.’”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Nabi pun bangun dan beliau telah memahami apa yang dikatakan epadanya oleh malaikat. Beliau menyuruh ‘Ammar bin Yasir dan sekelompok sahabatnya ke sumu tersebut yang airnya telah berubah seperti inai. Kemudian sumur itu dikeringkan. Setelah tampak besar, ia pun digulingkan, dan tampaklah di bawahnya kantong yang berisikan tali busur bersimpul ebelas. Kemudian mereka membawanya kepada Rasulullah. Maka, turunlah surah al-Falaq dan surn-Naas. Kedua surah ini berjumlah 11 ayat dan sama dengan banyaknya buhul yang berjumlah 11 ula. Setiap kali beliau membaca satu ayat, lepaslah satu buhul. Setelah seluruh buhulnya terbuka, Rasulullah dapat bangkit dan seolah-olah terlepas dari ikatan. Buhul itu pun dibakar. Nabi menyuruita berlindung kepada Allah melalui kedua surah tersebut. Lubaid mengunjungi Rasulullah.
Meskipun beliau menceritakan kejadian di atas, pada wajah Lubaid tidak tampak perubahan apa pun. Hadits di atas menunjukkan kebenaran masalah mimpi dan keberadaannya di dalam banyak adits, sehingga terlampau panjang untuk menceritakannya.
Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Aku melihat bahwa ilmu itu terdiri atas beberapa jenis, di ntaranya ada yang bermanfaat bagi dunia, tetapi tidak bermanfaat bagi agama; ada yang bermanfaat bagi dunia dan agama. Ilmu tentang mimpi termasuk ilmu yang bermanfaat bagi dunia dan agama. Kemudian aku shalat istikharah sebelum mengumpulkan apa yang berasal dari Allah dan menempuh metode peringkasan seraya memohon pertolongan kepada-Nya dalam menyempurnakan apa yang diridhai dan dicintai-Nya. Juga berlindung kepada-Nya dari ujian dan fitnah-Nya. Allahlah Pemilik aufik. Cukuplah Dia bagi kami. Dia adalah sebaik-baik Pelindung.”
Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Orang perlu menegakkan tata kesopanan agar mimpinya mendekati kebenaran. Di antara adab kesopanan itu ialah membiasakan diri berkata jujur. Nabi bersabda dalam hadits muttafaq alaih, ‘Orang yang paling benar mimpinya ialah yang paling benar perkataannya.’”
Adab lainnya ialah tidur dengan punya wudhu. Abu Dzar berkata, “Kekasihku (Muhammad aw.) memberikan tiga pesan kepadaku yang tidak pernah aku tinggalkan hingga mati. Yaitu, puasa iga hari pada setiap bulan, dua rakaat shalat fajar, dan tidak tidur kecuali punya wudhu.” Demikian yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Adab lainnya ialah tidur dengan berbaring ke sisi kanan tubuh karena Nabi saw. menyukai bagian kanan dalam segala hal. Diriwayatkan bahwa beliau tidur pada sisi kanan tubuhnya seraya meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanan, lalu berdoa, “Ya Allah, lindungilah aku dari azab-Mu pada saat Engkau mengumpulkan hamba-hamba-Mu.” (HR Tirmidzi dan Abu Dawud)
Mimpi terbagi dua: mimpi yang benar dan yang batil. Mimpi yang benar ialah yang dialami manusia tatkala kondisi psikologisnya seimbang dan keadaan cuaca sedang seperti ditandai oleh bergoyangnya pepohonan hingga berjatuhannya dedaunan. Mimpi yang benar tidak didahului dengan adanya pikiran dan keinginan akan sesuatu yang kemudian muncul dalam mimpi. Kebenaran mimpi juga tidak ternodai oleh peristiwa junub dan haid. Adapun mimpi yang batil ialah yang ditimbulkan oleh bisikan nafsu, keinginan, dan hasrat.
Mimpi demikian tidak dapat ditakwilkan. Demikian pula mimpi “basah” dan mimpi lain yang mewajibkan mandi dikategorikan sebagai mimpi yang batil karena tidak mengandung makna. Sama halnya dengan mimpi yang menakutkan dan menyedihkan karena berasal dari setan. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicarana itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.” (al-Mujaadilah: 10)
Jika seseorang mengalami mimpi yang tidak disukai, disunnahkan melakukan lima perbuatan. Yaitu, mengubah posisi tidur, meludah ke kiri sebanyak tiga kali, memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, bangun dan shalat, dan tidak menceritakan mimpinya kepada siapa pun. Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Pelaku mimpi hendaknya memelihara etika yang perlu dipegang eguh dan memiliki batasan-batasan yang selayaknya tidak dilampaui. Demikian pula halnya dengan pentakwil.”
Etika pelaku mimpi ialah, pertama, dia tidak menceritakan mimpinya kepada orang yang hasud sebagaimana dikatakan Ya’kub kepada Yusuf, “Ayahnya berkata, ‘Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka akan membuat makar untuk membinasakanmu.’” (Q.S.Yusuf: 5)
Kedua, jangan menceritakan mimpinya kepada orang yang bodoh. Nabi saw. bersabda, “Janganlah kamu menceritakan mimpimu kecuali kepada orang yang dicintai atau kepada orang yang pandai.” Ketiga, janganlah menceritakan mimpi kecuali secara rahasia karena dia pun melihatnya secara rahasia pula. Jangan menceritakannya kepada anak-anak dan wanita. Sebaiknya mimpi itu diceritakan menjelang awal tahun dan pada pagi hari, bukan sesudah keduanya lewat. Adapun etika pentakwil ialah sebagai berikut.
Pertama, jika saudaranya menceritakan mimpi kepadanya, maka katakanlah, “Aku kira mimpi itu baik.” Kedua, hendaknya menakwilkan mimpi dengan cara yang paling baik. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Mimpi akan terjadi sebagaimana ia ditakwilkan.” Juga diriwayatkan bahwa eliau bersabda, “Mimpi itu bagaikan kaki yang menggantung selama belum diungkapkan. Jika telah iungkapkan, maka terjadilah.” Demikian yang disebut dalam as-Silsilah ash-Shahihah. Ketiga, menyimak mimpi dengan baik, kemudian menjawab si penanya dengan jawaban ang mudah dipahami. Keempat, jangan tergesa-gesa menakwilkan mimpi. Lakukanlah dengan hati-hati. Kelima, menyembunyikan mimpi dan tidak menyebarkannya sebab ia merupakan amanat. angan menakwilkan mimpi ketika matahari terbit, ketika tergelincir, dan ketika terbenam. Keenam, memperlakukan pelaku mimpi secara berbeda. Janganlah menakwilkan mimpi raja eperti menakwilkan mimpi rakyat, sebab mimpi itu berbeda karena perbedaan kondisi pelakunya. Ketujuh, merenungkan mimpi yang dikemukakan kepadanya. Jika mimpi itu baik, maka takwilkanlah dan sampaikanlah kabar gembira kepada pelakunya sebelum mimpi itu ditakwilkan. ika mimpi itu buruk, maka janganlah menakwillkannya atau takwilkanlah bagian mimpi yang takwilnya paling baik. Jika sebagian mimpi itu merupakan kebaikan dan sebagian lagi keburukan, maka bandingkanlah keduanya, lalu ambillah mimpi yang paling tepat dan paling kuat pokoknya. Jika entakwil mengalami kesulitan, bertanyalah kepada pelaku mimpi ihwal namanya, lalu takwilkannya erdasarkan namanya itu.
Sumber: tafsirul ahlam/muhammad ibnu sirin/ maktabah ash-shafa/ kairo – tafsir mimpi/ muhammad ibnu sirin/gema insani/jakarta
You have read this article Primbon
with the title Primbon. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/tafsirul-ahlam-tafsir-mimpi-menurut-al.html. Thanks!