Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Wariga – Jalan Menuju Yang Sempurna

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto

    Satu malam Rakean Jambri menyampaikan pelajaran Wariga kepada siswa-siswa seperti Rake Bhramara, Mas Bhrangga, Ki Bhramanta, dan Raden Bramaga. Wariga adalah istilah yang paling diperhatikan oleh sebagian masyarakat Jawa, Bali dan Sunda dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam kaitan dengan upaya-upaya  untuk  mencapai kesempurnaan dan keberhasilan dalam hidup. Wariga sering dihubungkan dengan ilmu palintangan (astronomi) dan dianggap sebagai salah satu cara untuk  memberikan petunjuk seputar baik dan buruknya hari dalam hubungan dengan  ikhtiar tertentu manusia dalam  mengatasi kehidupan agar  berhasil.
             Yang awal sekali dipaparkan adalah yang menyangkut Wewaran, istilah yang berasal dari kata “wara”, yang  diartikan sebagai hari, dengan satuan-satuannya seperti  Radite (Ahad), Soma (Senin), Anggara (Selasa), Budha (Rabu), Wrespati (Kamis), Sukra (Jum’ar), Saniscara (Sabtu). Masa perputaran satu siklus wara dalam kalender Nusantara tidak sama cara menghimpunnya dengan kalender Masehi maupun Hijriyah. Siklus wara ini dikenal dalam sistim kalender Hindu Jawa – Bali  dengan satuan-satuan istilah sebagai berikut;
1.    Eka wara; Luang
2.    Dwi wara; Menga, Pepet.
3.    Tri wara; Pasah, Beteng, Kajeng.
4.    Catur wara; Sri, Laba, Jaya, Menala.
5.    Panca wara; Manis (Legi), Paing, Pon, Wage, Kliwon.
6.    Sad wara; Tungle, Aryang, Wurukung, Paningron, Uwas, Mawulu.
7.    Sapta wara; Radite, Soma, Anggara , Budha, Wrespati, Sukra, Saniscara. Jejepan; Mina, Taru, Sato,
       Patra, Wong, Paksi.
8.    Asta wara; Sri, Endra, Guru, Yama, Rudra, Brama, Kala, Uma.
9.    Sanga wara; Dangu,  Jangur,  Gigis, Nohan, Wogan, Karangan, Wurung, Tulus, Dadi.
10.    Dasa wara; Pandita, Pati, Suka, Duka, Sri, Manuh, Manusa, Eraja, Dewa, Raksasa.
               Mas Bhrangga yang heran melihat banyaknya pembagian satuan hari dalam system kalender Nusantara menanyakan hal itu,”Romo guru, kenapa pembagian satuan hari dalam kalender Nusantara sangat banyak? Bukankah kalender Masehi yang disebut Gregorian itu hanya punya satu satuan hari di mana waktu dibagi menjadi tujuh, yaitu Sunday, Monday,  Tuesday, Wednesday, Thursday, Friday, Saturday?”
              Rakean Jambri dengan sabar menjelaskan,”Masing-masing bangsa memiliki cara menalar yang berbeda satu sama lain. Tapi dengan memahami bagaimana suatu rentangan waktu dibagi-bagi sedemikian rupa rincinya dalam satuan-satuan hari dari satu satuan sampai sepuluh satuan, kelak engkau akan mengetahui kelebihannya jika mengaplikasinya dalam penghitungan waktu dan letak benda-benda langir.”
    “Apakah masing-masing satuan wara itu memiliki makna simbolik, romo?” tanya Mas Bhrangga ingin tahu.
    “Tentu saja semua ada makna simboliknya,” sahut Rakean Jambri menjelaskan,”Satuan hari Ekawara yang membagi satuan hari dalam satu satuan yang disebut Luang, bermakna Tunggal. Maksudnya, setiap sesuatu berasal dari Yang Tunggal. Itulah satuan mutlak dari Swarupa  yang tidak memiliki tandingan dan bandingan. Tetapi dari yang tunggal itu justru muncul satuan berikut yang disebut Dwiwara yang satuannya disebut Menga (terbuka) dan Pepet (tertutup). Dwiwara ini melambangkan dwirupa yang menjadi hakikat di balik alam semesta yang tergelar, demikianlah dari Menga (terbuka) dan Pepet (tertutup) itu termaknai hakikat kehidupan makhluk ciptaan lelaki-perempuan, siang-malam, baik-buruk, halal-haram, terang-gelap, dan seterusnya.”
    “Mohon dijelaskan makna simbolik Triwara romo,” kata Mas Bhrangga penasaran.
    “Kelanjutan dari Dwiwara adalah Triwara  yang meliputi: Pasah (pemisahan), Beteng (pertahanan), Kajeng (kehendak),” kata Rakean Jambri menguraikan, “Jika Dwiwara melambangkan keserba-gandaan ciptaan, maka Triwara melambangkan terjadinya pemisahan (pasah) yang tegas antara dua hal yang berbeda itu di mana masing-masing memiliki kehendak (kajeng) untuk mempertahankan (beteng) keberadaan masing-masing. Demikianlah, baik pasha, beteng maupun kajeng memiliki peran yang sama dalam memisahkan perbedaan ciptaan yang ada.“
    “Kelanjutan Triwara adalah Caturwara yang terdiri dari Sri (kemakmuran), Laba (anugerah), Jaya (unggul), Menala (wilayah) yang melambangkan bagaimana setelah terpisah itu masing-masing pihak yang berbeda itu berusaha  untuk memperoleh wilayah (Menala), mencapai keunggulan (Jaya), meraih kemakmuran (Sri), dan mendapatkan anugerah (Laba) dari Yang Tunggal Tak Terbandingkan.”
            “Setelah itu dilanjut Pancawara yang terdiri dari Umanis (penggerak), Paing (mencipta, berkarya), Pon (menguasai), Wage (memelihara), Kliwon (pelebur) yang memiliki makna betapa manusia tidak cukup memperoleh anugerah (Laba), kemakmuran (Sri), wilayah (Menala), dan kemenangan (Jaya) dari Yang Tunggal Tak Terbandingkan. Kajeng (kehendak, hasrat) yang tersembunyi pada masing-masing pihak dilambangkan mendorong manusia untuk menginginkan yang lebih dari yang sudah dianugerahkan Yang Tunggal Tak Terbandingkan, di mana manusia dengan hasrat kehendaknya menciptakan (Paing) segala sesuatu kemudian bergerak (umanis) untuk menguasai (Pon), memelihara (Wage) yang tunduk setia dan melebur-hancurkan (Kliwon) yang menentang.”
    “Mohon maaf, romo guru,” sahut Rake Bhramara meminta penjelasan,”Menurut hemat saya, symbol wewara ini seperti berhubungan dengan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Yang Tunggal Tak Terbandingkan. Apa memang demikian, romo?”
    “Lha wewara ini kan memang diciptakan untuk kepentingan manusia, jadi sudah pasti bahwa lambang-lambang yang digunakan berhubungan erat dengan manusia beserta kompleksitas kehidupannya,” kata Rakean Jambri.
    “Mohon dijelaskan tentang Sadwara, romo,” sahut Rake Bhramara penasaran.
    :Sadwara terdiri dari satuan Tungle (fana, tidak kekal), Aryang (kurus), Wurukung (Punah), Paningron (gemuk), Uwas (kuat), Mawulu (berkembang-biak). Sadwara melambangkan tumbuhnya kesadaran manusia setelah mengikuti kehendak hasratnya dengan menyadari makna kefanaan yang tiada kekal (Tungle), kesengsaraan (Aryang), kehancur-binasaan (Wurukung), kekuatan (Uwas), dan kesejahteraan (Paningron), serta keberlangsungan hidup manusia yang sambung-menyambung dari generasi ke generasi (Mawulu) yang saling berkaitan satu sama lain dalam lingkaran karma. Sadwara melambangkan tingkat kesadaran di mana manusia mulai menyadari bahwa kejahatan akan berbuah kejahatan dan kebaikan akan berbuah kebaikan pula, yang siklus hukumnya berlipat-lipat dan mengenai anak keturunan,” ujar Rakean Jambri.
You have read this article Budaya with the title Wariga – Jalan Menuju Yang Sempurna. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/wariga-jalan-menuju-yang-sempurna.html. Thanks!

No comment for "Wariga – Jalan Menuju Yang Sempurna"

Post a Comment