Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Jejak Sejarah: Ketika Para Kyai Menjadi Komandan Batalyon

              Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Tanggal  3 Oktober 1943, adalah hari yang bersejarah bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan juga bagi kalangan Pesantren. Sebab hari itu, 68 tahun silam,  Saiko Sikikan dari Tentara Pendudukan Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No.44 tentang pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) atau Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai yang terdiri atas 65 Daidan  (batalyon) di Jawa dan 3 Daidan di Bali. Tiap Daidan beranggotakan 535 personil dipimpin Daidancho (komandan batalyon) pangkat setingkat mayor dibantu kepala staf berpangkat shodancho. Setiap Daidan terdiri dari 4 Chudan yang dipimpin seorang Chudancho (komandan kompi) pangkat setingkat kapten. Tiap Chudan terdiri dari 3 shodan yang dipimpin seorang shodancho (komandan peleton) pangkat setingkat letnan. Tiap shodan terdiri dari 4 bundan yang dipimpin seorang bundancho (komandan regu) pangkat setingkat sersan. Tiap bundan (regu) beranggotakan 11 giyuhei – prajurit.


        Tujuan dibentuknya Tentara Sukarela PETA oleh pemerintah pendudukan Jepang selain berkewajiban mempertahankan wilayah teritorial (syuu) di Jawa dan Bali, juga disiapkan untuk melawan sekutu. Oleh sebab itu, Tentara Sukarela PETA dilatih langsung oleh tentara Jepang dan berada di bawah langsung komando Panglima Tentara Jepang.
           Jepang faham bahwa usaha memobilisasi massa guna menghadapi kekuatan sekutu dibutuhkan kekuatan massa sekaligus keberanian moral dalam suasana perang. Itu sebabnya dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang telah memiliki akar di tengah rakyat serta memiliki pengaruh ajaran agama yang diyakini. Perang butuh orang-orang yang memiliki keberanian dan jiwa rela berkorban. Dan berdasar catatan arsip kolonial (colonial archive) yang dimiliki Belanda, Jepang mengetahui bahwa rakyat Indonesia yang memenuhi syarat untuk berperang adalah umat Islam sebagaimana data kolonial arsip yang menyebutkan bahwa antara tahun 1800 – 1900 (100 tahun) telah terjadi usaha-usaha pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan rakyat di bawah pimpinan tokoh-tokoh tarekat sebanyak 112 kali.
                   Atas dasar alasan itu, dalam rekruitmen anggota Tentara Sukarela PETA para kyai, ulama, guru agama Islam diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin PETA dengan diangkat menjadi daidancho. Selain itu, yang bisa diangkat menjadi daindancho adalah pamong praja setingkat wedana, asisten wedana, jaksa, pimpinan partai. Untuk pangkat chudancho diangkat dari kalangan pegawai negeri, guru sekolah. Sedang untuk shodancho dipilih siswa-siswa sekolah menengah atas. 
           Dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang seperti itu dalam rekruitmen Tentara Sukarela PETA, maka sebagian di antara komandan  batalyon PETA yang terpilih  dengan pangkat Daidancho (Mayor) itu adalah para kyai dari komunitas pesantren, yang memiliki latar pendidikan pesantren. Keberadaan para kyai tersebut terlihat saat latihan pertama Tentara Sukarela PETA yang dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat sejumlah nama komandan batalyon dan kepala staf batalyon yang bergelar kyai, yaitu :
1.Daindancho K. Tubagus Achmad Chatib (Daidan I Labuan – Banten);
2.Daidancho K E. Oyong Ternaya (Daidan II Kandangsari – Malingping - Banten);
3.Daidancho K Sjam’oen (Daidan III Cilegon – Serang - Banten);
4.Chudancho K.Zainoel Falah (Kastaf Daidan  III Cilegon – Serang – Banten);
5.Daidancho K.R.M. Moeljadi Djojomartono (Daidan I Manahan – Surakarta);
6.Daidancho K  Idris (Daidan II Wonogiri - Surakarta);
7.Daidancho K. R. Abdoellah bin Noeh (Daidan I Jampang Kulon – Bogor);
8.Daidancho K.M. Basoeni (Daidan II Pelabuhan Ratu – Bogor);
9.Daidancho K Soetalaksana (Daidan I Tasikmalaya – Priangan);
10.Daidancho K. Pardjaman (Daidan II Pangandaran – Priangan);
11.Chudancho K. Hamid (Kastaf Daidan  II Pangandaran – Priangan);
12.Daidancho K. Iskandar Idris (Daidan I Pekalongan)
13.Daidancho K. R. Aroedji Kartawinata (Daidan IV Cimahi – Priangan);
14.Daidancho K Masjkoer (Daidan I Babad -  Bojonegoro);
15.Daidancho K Cholik Hasjim (Daidan IV Gresik-Surabaya);
16.Daidancho K Iskandar Soelaeman (Daidan I Gondanglegi - Malang);
17.Daidancho KH Doerjatman (Daidan II Tegal - Pekalongan);
18.Daidancho K. R.  Amien Djakfar (Daidan I Pamekasan -Madura);
19.Daidancho K Abdoel Chamid Moedhari (Daidan IV Ambunten-Sumenep - Madura);
20.Daidancho K. Tahirroeddin Tjakra Atmadja (Daidan II Bondowoso - Besuki).
            Akibat cukup banyak kyai yang menjabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka  “Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?”
              Peristiwa pembentukan Tentara Sukarela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam dalam bidang kemiliteran. Jika sebelumnya, dalam berbagai perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu dilakukan peperangan dengan teknik-teknik tempur tradisional, maka melalui Tentara Sukarela PETA ini umat Islam memasuki babak baru sejarah perang modern dengan dilatih langsung oleh tentara-tentara professional Jepang yang sejak tahun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Teluk Tchusima dan pada Maret 1942 menghancurkan kekuatan Belanda dalam pertempuran di Laut Jawa. 
              Setahun kemudian, tepatnya pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), K. Mawardi (Solo), K. Zarkasi (Ponorogo), K. Mursyid (Pacitan), K.  Syahid (Kediri), K. Abdul Halim (Majalengka), K. Thohir Dasuki (Surakarta), K. Roji’un (Jakarta), K. Munasir Ali (Mojokerto),  K. Abdullah, K. Wahib Wahab (Jombang), K. Hasyim Latif (Surabaya), K. Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dan lain-lain.
             Fenomena militerisme di lingkungan umat Islam tradisional di  pesantren tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi yang didirikan orang-orang berlatar pendidikan pesantren. Jauh sebelum organisasi Nahdlatul Ulama diproklamasikan pada tahun 1926, telah lahir lebih dulu organisasi kepemudaan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Organisasi  yang didirikan KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansyur itu bergerak di bidang sosial, pendidikan dan dakwah. Tahun 1918 KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, HOS Tjokroaminoto, KH A. Dahlan Ahyad, dan P. Mangun membentuk organisasi Taswirul Afkar (Pertukaran Pikiran). Organisasi ini bagian dari perkumpulan Suryo Sumirat dan sejak didirikan 1918 papan nama Taswirul Afkar ditulis “Suryo Soemirat Afdeeling Taswirul Afkar.” Itu sebabnya, latihan militer yang berat di PETA maupun Hizbullah bukanlah sesuatu yang asing bagi para kyai yang berasal dari kalangan pesantren, apalagi mereka disemangati oleh cerita-cerita perlawanan para ulama pendahulu mereka yang tidak mau tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda.
          Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang salah satunya adalah di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang diketuai KH Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudi, dan pimpinan Hizbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi bintara selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temuguru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945.
        Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat,  Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho),  dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki. Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter.
              Keberadaan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah, menjadi penting karena  saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945  dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk tanggal 18 Agustus 1945, tetapi sampai awal Oktober  belum  memiliki tentara, dan setelah dikritik oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo  dibentuklah  Badan Keamanan Rakyat (BKR), berbondong-bondonglah masyarakat  mendaftarkan diri. Namun yang kompeten memiliki kemampuan militer yang terlatih adalah elemen Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah ditambah  mantan anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang) dan mantan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger –  pribumi yang menjadi  Angkatan Darat Hindia Belanda). Itu sebabnya, elemen-elemen terlatih itu menduduki posisi vital di BKR.
              Sejak awal dibentuknya BKR sampai berkembang menjadi TKR, TRI  dan TNI, para kyai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di   kesatuan PETA dan Hizbullah dan Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan dalam kemiliteran setingkat batalyon. Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai komandan batalyon yang berasal dari  kesatuan PETA, Hizbullah dan Sabilillah   dewasa itu adalah:
           K. Choliq Hasjim, K. Amien Djakfar, K. Abdoel Chamid, K. Iskandar Idris, K. Joenoes Anis, K. Basoeni, K. Doerjatman, K. Abdoellah bin Noeh,   K. Ternaya, K. Idris, K. R.M. Moeljadi Djojomartono, K. Sjam’oen,  K Iskandar Sulaiman, K Zarkasi, K. Mursyid, K. Syahid, K. Abdullah,  K. Zainudin, K. Masjkoer, K. Bisri Sjansoeri, K. Zainal Arifin, K. Sulam Sjamsun, K. Moenasir Ali, K. Wahib Wahab, K. Jasin, K. Mansjoer Sholichy, K. Achjat Chalimi, K. Hasjim Latif, K. Anwar Zen, K. Hasan Sjaifoerrizal, K. Zaini Moen’im, K. Djoenaidi, K. Asnawi Hadisiswoyo,     K. R. Salimoelhadi, K. Bolkin,  K.Abdoellah Abbas, K. Mahfoedz, K. P. Hadisoenarto,  K. Abdoel Moeslim,  K. Moeslim, K. Dimjati Moeid,  K. Moeslich, K. Ridwan, K. Imam Nawawi, K. Zaeni, K. Soedjak, K. Asfani, K. Abdoel Syoekoer, K. Djarkasi, K.Ma’roef, K.Siradj, K.Abdoerrachman, K.Martowikoro,  dan lain-lain serta tokoh-tokoh Ansor seperti . Sulthan Fajar,  Hamid Rusdi, Zein Thoyyib, dll.
            Bertolak dari paparan singkat sejarah pembentukan Tentara Sukarela PETA dan Hizbullah yang berperang penting dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), menjadi sangat wajar jika kalangan pesantren memiliki hubungan historis yang sangat kuat dengan Negara Republik Indonesia dan khususnya TNI. Itu sebabnya, ketika Negara Indonesia menghadapi ancaman, baik ancaman territorial maupun ideologis, kalangan pesantren secara refleks akan terpanggil untuk menjadi bumper yang bersedia syahid untuk negerinya. Sebab tanpa perlu pengakuan formal sejarah, kalangan pesantren memiliki kewajiban moral untuk melindungi dan membela Negara Indonesia, karena mereka ikut membidani lahirnya Negara Indonesia, terutama lahirnya TNI.
You have read this article Sejarah with the title Jejak Sejarah: Ketika Para Kyai Menjadi Komandan Batalyon. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/jejak-sejarah-ketika-para-kyai-menjadi.html. Thanks!

No comment for "Jejak Sejarah: Ketika Para Kyai Menjadi Komandan Batalyon"

Post a Comment