Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Siklus Tauhid Dalam Kehidupan di balik Sistem Kalender Nusantara

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
    Penasaran dengan penjelasan Rakean Jambri tentang makna kehidupan di dalam perhitungan kalender Nusantara sampai dengan penetapan Sadwara yang membagi satuan hari dalam enam rangkaian hari, Rake Bhramara menanyakan lebih lanjut tentang satuan hari yang disebut Saptawara,”Apakah di balik Saptawara, yaitu satuan hitungan hari Radite , Soma, Anggara, Budha, Wrespati, Sukra, Saniscara atau Tumpak juga memiliki makna dengan siklus kehidupan manusia, romo guru?”
    “Tentu saja, semua ada makna simboliknya,” sahut Rakean Jambri menjelaskan,”Radite (raditya, matahari) adalah perlambang matahari sebagai penerang dunia manusia. Pergeseran letak matahari dari timur ke barat melahirkan satuan waktu yang disebut pagi, siang dan sore yang satuan-satuannya disebut Jamanika (tirai) yang disingkat Jam. Satuan Jam pada saat munculnya Sang Raditya (matahari) meliputi: Saput Lmah (pukul 05.00), Gagat Rahina (pukul 06.00), Byar (pukul 07.00), Gumatel (pukul 08.00), Saput Rahina (pukul 09.00), Pecat Sawet (pukul 10.00), Tengange (pukul 11.00), Tenga-i-Tepet atau Bedhug Rahina (pukul 12.00), Lawur (pukul 13.00), Lingsir Kulwan (pukul 14.00), Saput Sore atau Dauh (pukul 15.00), Tunggang Gunung (pukul 16.00), Tibra Layu (pukul 17.00), Sandikala (pukul 18.00), begitulah siklus satuan waktu yang berkaitan dengan matahari yang sangat menentukan siklus kehidupan manusia di dunia. Oleh karena Sanghyang Raditya adalah penerang pertama dan utama bagi dunia, maka kemunculannya dijadikan sebagai hari pertama dalam siklus Saptawara.”    “Soma (rembulan) adalah perlambang rembulan sebagai penerang dunia setelah tenggelamnya Sang Raditya. Pergeseran letak rembulan dari timur ke barat melahirkan satuan waktu yang disebut wengi, lingsir wengi dan titi yoni yang satuan-satuannya juga disebut Jamanika (tirai) yang disingkat Jam. Satuan Jam pada saat munculnya Sang Soma (rembulan) meliputi Saput Wengi (pukul 19.00), Sirep Sato (pukul 20.00), Sirep Rare (pukul 21.00), Gagat Wengi (pukul 22.00), Sirep Wwang (pukul 23.00), Tenga-i-Kembeng atau Bedhug Dawa (pukul 24.00), Lingsir Wengi (pukul 01.00), Titi Yoni (pukul 02.00), Bedhug Tiga (pukul 03.00), Jago Kluruk Pindho (pukul 04.00), begitulah siklus satuan waktu yang berkaitan dengan rembulan yang juga menentukan siklus kehidupan manusia di dunia. Oleh karena Sanghyang Soma adalah penerang kedua bagi dunia, maka kemunculannya dijadikan sebagai hari kedua dalam siklus Saptawara.”
    “Anggara (langgara, lingkaran purnama, bulan kalangan) melambangkan anggota badan semesta, yaitu simbol penciptaan alam oleh Brahma yang mengembangkan (brh) diri-Nya Sendiri (Swayambhu) menjadi segala ciptaan. Seperti saat langgara di mana rembulan dilingkari kalangan, begitulah lambang Sang Pencipta menciptakan ciptaan dari cahaya-Nya Sendiri yang cemerlang. Itu juga bermakna, rembulan purnama itulah lambang Sang Pencipta Yang Ada (Wujud) sedang lingkaran yang mengitarinya adalah bayangan maya (maujud). Oleh karena Sang Anggara menciptakan makhluk setelah kemunculan Sang Soma, maka Anggara dijadikan sebagai hari ketiga dalam siklus Saptawara. Sang Anggara juga dihubungkan dengan peperangan (planet Mars), di mana pada saat itu diyakini sebagai hari yang kurang baik untuk melakukan sesuatu pekerjaan.”
    “Budha (planet Merkurius) perlambang dari planet terang yang disebut sebagai lambang Mahadewa yang terletak di langit barat. Arah barat merupakan arah ke mana semua gerak menuju dan berakhir, yaitu lambang kekuasaan Syiwa sebagai Sang Penghancur. Kepada Syiwa Sang Mahadewa itulah dalam samadhi dipusatkan pikiran kepada Syiwa  Mahadewa (budhasmarana). Inilah perlambang tahapan makhluk ciptaan mengenal Penciptanya, yakni makhluk mengetahui darimana berasal dan akan kemana kembali. Oleh karena Sang Budha sebagai lambang Syiwa Mahadewa penguasa alam semesta yang disembah seluruh makhluk berkedudukan di langit barat yang dituju semua makhluk, maka kemunculannya dijadikan sebagai hari keempat dalam Saptawara.”
    “Wrespati (Wrhaspati, planet Jupiter) perlambang dari planet terang yang disebut sebagai perlambang purohita para dewa, seorang wiku penghuni swarga yang disebut Bhagawan Wrhaspati. Sang Bhagawan Wrhaspati adalah manusia utama, karena telah belajar kulatattwa langsung kepada Syiwa. Sebagai manusia suci (bhagawat), Sang Wrhaspati melambangkan keberadaan wahana yang bisa digunakan manusia untuk menuju Syiwa Mahadewa. Begitulah, kemunculan Wrespati (Wrhaspati, planet Jupiter) dijadikan hari kelima dalam Saptawara.”
    “Sukra (air mani, planet Venus) perlambang dari planet terang yang melambangkan Bhattara Sakra (Indra). Oleh karena Sukra dalam makna air mani berhubungan dengan hasrat berketurunan yang mencakup karmendria (karma-Indra) dan jnanendria (jnana-Indra), yakni sepuluh Indra yang dimiliki manusia, maka tahap sukra inilah yang disebut tahap cikal bakal manusia dilahirkan  (sukraja). Begitulah kemunculan sukra dijadikan hari keenam dalam Saptawara.”
    “Saniscara (bergerak perlahan, planet Saturnus) perlambang perjalanan naik ke puncak, yaitu ke arah Raditya. Oleh karena Saniscara memiliki makna bergerak perlahan sampai ke puncak dan berdiri pada kedudukan paling tinggi menuju Raditya – Sang Rawi, yaitu Syiwa – maka Saniscara juga disebut Tumpak. Begitulah, siklus Saptawara menempatkan Saniscara atau Tumpak sebagai hari ketujuh, karena pada hari ke tujuh itu akan masuk kembali kepada hari ke satu (Radite). Ada juga yang mengaitkan Saniscara dengan bintang tani (planet Saturnus), yang dihubungkan dengan lambang kesuburan pertanian.”
    “Kami faham dengan penjelasan mengenai makna perlambang kehidupan di balik siklus Saptawara, romo guru,” sahut Rake Bhramara dengan rasa ingin tahu makin meningkat,”Tapi kami masih belum faham dengan apa yang dimaksud dengan Jejepan dalam siklus Saptawara? Apakah itu tidak semakin membingungkan?”
    “Yang dimaksud Jejepan adalah sistem kalender jaman purwakala sewaktu penduduk Nusantara menganut agama Kapitayan, jauh sebelum pengaruh Hindu dari India datang. Orang-orang pada masa itu, untuk mengetahui saat tahu waktu melakukan dengan cara Jejep – mengintai, mencuri dengar, merasakan, menghayati – gejala alam yang ada di sekitar mereka. Itu sebabnya, mereka mengetahui ada siklus waktu yang bergerak meliputi tujuh satuan waktu yang mereka bagi menurut obyek-obyek alam di sekitar mereka, yaitu meliputi: Iwak  (ikan), Wwit  (kayu), Burwan  (binatang), Patra (tanaman menjalar), Wwang (manusia), Jaran (kuda), dan Manuk (burung). Bagi sebagian orang, hitungan siklus Jejepan masih digunakan untuk mengetahui kapan hari yang baik untuk  mencari ikan, hari yang baik untuk berburu binatang, hari yang baik untuk menebang kayu, hari yang baik untuk menanam tanaman menjalar, hari yang baik untuk  menjerat burung, dan hari yang baik untuk berniaga dengan sesame manusia.”
    “Woo jadi sebelum ada pengaruh India, leluhur bangsa Indonesia sudah mengenal kalender toh,” kata Rake Bhramara mengangguk-angguk dengan mata berkilat-kilat diliputi kebanggaan,”Berarti leluhur kita bukan bangsa terbelakang seperti digambarkan sejarawan Barat selama ini, ya romo.”
    “Bahkan hitungan siklus hari yang kita kenal sebagai Ekawara, Dwiwara, Triwara, Caturwara, Pancawara, sampai Dasawara pada dasarnya adalah sistem kalender yang sudah digunakan leluhur kita jauh sebelum pengaruh kalender Saka datang memberikan pengaruh dengan mengubah nama-nama khas Nusantara dengan nama-nama India,” kata Rakean Jambri memaparkan.
    “Oo begitu ya,” sahut Rake Bhramara mendecakkan mulut.
    “Karena itu, Ekawara tetap menggunakan istilah bahasa lokal Luang atau Tu, yang bermakna Tunggal perlambang dari Sanghyang Tunggal. Dwiwara juga tetap menggunakan istilah bahasa lokal, yaitu  Menga (terbuka) dan Pepet (tertutup). Triwara juga pakai istilah lokal Pasah, Beteng, Kajeng. Caturwara tetap dengan bahasa lokal, yaitu Sari (tetap) atau Sri, Laba, Pamenang atau Jaya, dan Menala di mana istilah Pamenang diganti menjadi Jaya. Pancawara yang meliputi Pahing, Pwan, Wagai, Kliwwuan, dan Legi atau Manis tetap pada istilah lokal. Begitu pula dengan Sadwara yang meliputi   Tungleh, Aryang, Wurukung, Paningron, Uwas , dan  Mawulu.”
    “Oleh karena kalender Saka hanya mengenal sistem kalender dengan satuan waktu dibagi tujuh (saptawara), maka dilakukanlah perubahan istilah-istilah dalam Saptawara dari bahasa lokal menjadi bahasa India, Iwak diganti Mina dan kemudian Raditya, Wwit diganti Taru dan kemudian Soma, Burwan diganti Sato dan kemudian Anggara, Patra diganti Budha, Wwang diganti Wrespati, Jaran diganti Saniscara.”
    “O berarti siklus wewaran itu asli Nusantara, romo. Sebab saat saya pelajari kelender Saka, saya sempat bingung karena tidak ada sistem wewaran kecuali Saptawara, yaitu satuan hari terdiri dari tujuh satuan hari,” kata Rake Bhramara menyimpulkan.
    “Ya kenyataannya memang seperti itu.”
You have read this article Budaya with the title Siklus Tauhid Dalam Kehidupan di balik Sistem Kalender Nusantara. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/siklus-tauhid-dalam-kehidupan-di-balik.html. Thanks!

No comment for "Siklus Tauhid Dalam Kehidupan di balik Sistem Kalender Nusantara"

Post a Comment