Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Masyarakat Majnun Sudrun


oleh:Agus Sunyoto

Fakta tentang hegemoni wacana global yang Barat mempengaruhi  sikap, perilaku dan citarasa warga bangsa Indonesia terhadap  norma-norma, ide-ide, gagasan-gagasan, konsep-konsep, dan nilai-nilai, ternyata tidak berdiri sendiri sebagai fenomena tunggal. Sebab dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia berlangsung pula fenomena lain berupa usaha resistensi terhadap hegemoni global yang Barat, tetapi dengan hegemoni lain yang tetap memposisikan unsur lokal sebagai inferior. Hegemoni yang meresisten hegemoni Barat itu adalah hegemoni Arab yang digiatkan kalangan fundamentalis yang lazimnya menganut faham Wahabi.

Fenomena hegemoni Arab ini terlihat pada usaha-usaha mengubah istilah-istilah baku yang secara tradisional digunakan dalam hubungan keluarga dan kerabat seperti ”bapak, ayah, ibu, paman, kakek, nenek”  diubah menjadi ”abah, abuya, umi, ammi, jiddah” yang lebih superior dan Islami. Nama-nama lokal yang dinilai tidak bernuansa Arab akan diubah menjadi ke-Arab-an seperti nama Suryadi menjadi Syamsuddin, Condro menjadi Qomaruddin, Lintang menjadi Najmuddin, Samudro menjadi Bahruddin, Sugiharto menjadi Abdul Mughni, bahkan digunakan nama-nama kota di Timur Tengah  untuk menamai anak seperti Jailany, Misri, Nawawi, Bukhari, Riyadhi, Bustami, Badri. Dalam hal berpakaian, mereka menolak pakaian tradisional maupun Barat seperti ”jarit, baju surjan, sarung, kerudung, celana, jas, dasi” untuk diganti yang Islami yaitu bernuansa Arab seperti ”jubah, ghamis, surban, kafiyeh, jilbab, cadar”.
  Warisan budaya peninggalan leluhur seperti wayang purwa, genjring,  wayang orang, lenong, wayang klithik, ketoprak, ludruk, kentrung, jatilan, tari topeng, jaran kepang,  reog, bantengan ditolak sebagai produk budaya tidak Islami yang harus dibasmi, untuk digantikan oleh budaya yang Islami, yaitu yang bernuansa Arab seperti ”jafin, hadrah, tari perut, gambus, nasyid.” Dongeng anak-anak  tradisional khas Nusantara seperti ”Timun Emas, Malin Kundang, Joko Kendil, Si Bicik, Sawunggaling, Pak Pandir, Sang Kancil, Sangkuriang, Roro Jonggrang” dinilai sebagai dongeng tidak Islami dan harus diganti dengan cerita-cerita baru bernuansa Arab seperti ”Aladdin, Ali Baba, Masyithoh, Yusuf, kisah Nabi-nabi”.  
  Dalam hal selera makan dan minum, selera tradisional dan global ditolak sebagai makanan tidak Islami dan harus diubah agar menjadi Islami yaitu yang Arab. Demikianlah, makanan tradisional  seperti ”pecel, tumpang, sayur asam, rawon, gudeg, mangut, soto, tiwul, gethuk, cenil, geplak, nagasari, onde-onde, wajit, jadah,  lemper, ronde, bandrek, kopi tubruk, angsle, kolak, dawet, tuak, badek, legen” maupun masakan dan minuman global  seperti ”Hamburger, Hot Dog, Pizza, Spaghetti, Fried Chicken, Donat, Beefsteak, Kebab, Soup, Brownies, Spikoe, Rolade, Coke, Root Beer, Cappuccino, Moccaccino, Beer, Wishkey, Vodka, Wine, Gin” harus diganti dengan makanan yang Islami seperti ”kurma, roti maryam, sambosa, kebab, gule kambing, kambing guling, nasi goreng Arab, nasi kebuli”
Hegemoni Arab ini makin menguat jika sudah mencakup masalah-masalah yang terkait dengan ajaran keagamaan yang menyangkut mu’amalah dan ubudiyyah yang distandarkan dengan faham tertentu. Rokok adalah haram kecuali rokok Arab yang disebut Shisa; berbuka dengan kurma membawa barokah daripada makan makanan lain yang tidak dari Arab; bersiwak dengan ranting kurma lebih barokah daripada dengan sikat gigi; berdoa harus dengan bahasa Arab; ilmu filsafat dan ilmu logika haram diajarkan karena yang benar adalah ilmu dalil; siapa yang mati di tanah suci akan menjadi suci dan dijamin masuk surga; ilmu astronomi Copernican sesat karena berteori bahwa bumi dan planet-2 mengitari matahari; makan menggunakan sendok adalah bid’ah; orang mengadakan kenduri bid’ah; orang percaya petungan hari baik dan hari buruk, kurafat; orang tidak mencukur kumis dan tidak memanjangkan jenggot tidak ikut sunnah; kening harus ditandai warna hitam sebagai tanda ahli ibadah; ziarah ke kubur wali-wali adalah sesat; pendek kata segala sesuatu yang tidak ditandai ke-Arab-an adalah inferior dan bahkan sesat.  
Kecenderungan bagi terjadinya perubahan sosial dan budaya masyarakat Indonesia sebagai terurai di atas, pada gilirannya telah menjadi gaya hidup (life style) yang berbeda dengan gaya hidup yang terhegemoni global Barat, di mana bangsa Indonesia pada sisi yang lain terseret ke arah hegemoni Arab yang menggunakan term-term keagamaan dalam rangka hegemoninya. Keadaan ini, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang beragama Islam, sangat membingungkan. Sebab dalam fakta kehidupan sehari-hari, komunitas Arab beserta keturunannya di Indonesia bukan komunitas tunggal, di mana satu sama lain saling tarik-menarik dalam proses hegemoni. Bagi kelompok komunitas beridentitas sayyid, habib, syarif terdapat keyakinan hegemonic bahwa semua orang bisa benar dan masuk ke dalam surga kecuali orang-orang Arab Badui penganut Wahabi. Sebaliknya, kelompok Arab Badui Wahabi menganggap bahwa merekalah yang paling benar dan bisa masuk ke surga kecuali para sayyid, habib, syarif beserta pengikutnya. Nah, orang-orang Indonesia yang terhegemoni Arab pun harus bingung, karena sepatuh dan setaat apa pun mereka terhadap tokoh-2 Arab panutannya, mereka tidak akan pernah diakui sebagai manusia yang setaraf dan sederajat dengan orang Arab.
Dalam konteks tarik-menarik hegemonik antara global Barat dengan Arab ini telah menjadikan masyarakat Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, mereka sudah tercabut dari akar budaya bangsanya yang mereka nilai inferior. Di sisi lain, mereka tidak tahu harus ke mana – ke Barat yang liberalis atau ke Arab yang fundamentalis yang superior – karena mereka tidak tahu lagi arah yang benar. Walhasil, kondisi masyarakat Indonesia yang kebingungan tidak tahu arah dan tujuan itu, dalam teori sosiologi disebut dengan istilah anomie, yaitu masyarakat yang sudah kehilangan jati diri dan tercabut dari norma-norma. Inilah zaman majnun alias jaman edan. Ciri-ciri masyarakat anomie, menurut Emile Durkheim dan Robert K Merton, adalah tingginya tingkat bunuh diri ketika masyarakat tidak mampu memecahkan persoalan hidup yang dihadapinya. Apakah sekarang ini masyarakat kita sudah sampai pada tahap anomie? Jika begitu apa tidak lebih cocok jika pada tahap ini masyarakat Indonesia disebut sebagai Masyarakat Majnun Sudrun?
You have read this article with the title Masyarakat Majnun Sudrun. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/04/masyarakat-majnun-sudrun.html. Thanks!

No comment for "Masyarakat Majnun Sudrun"

Post a Comment