Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Sastra Panji yang Asing di Tanah Kelahirannya

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
         Di dalam kesusasteraan yang menyebar di Asia Tenggara, kisah Pangeran Kahuripan dengan puteri Daha yang dikenal dengan sebutan Cerita Panji, adalah tema yang sangat digemari dalam waktu yang lama di berbagai tempat di Nusantara. Sejumlah naskah Panji berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Jawi (Arab pegon) yang tersimpan di Lee Kong Chian Reference Library Singapore, adalah fakta bahwa Cerita Panji telah dikenal  di  berbagai tempat di Asia Tenggara. Meski subyek naskah Panji di perpustakaan Lee Kong Chian digolongkan sebagai  Singaporean literature - Malay poetry Singapore, namun sebagai judul utama disebut ‘Syaer Panji Semirang Cerita Tanah Jawa.’
Menurut kronologi, Cerita Panji memang berasal  dari  zaman Kerajaan Kediri dan Jenggala tetapi menurut Poerbatjaraka (1931) cerita tersebut baru disalin secara tertulis  pada zaman Kerajaan Mojopahit. Untuk waktu yang lama, Cerita Panji dikenal masyarakat Jawa melalui berbagai pementasan wayang seperti Wayang Gedhog, Wayang Klithik, Wayang Krucil, Wayang Wasana, Kentrung, dan Wayang Beber (Karebet). Semenjak zaman Majapahit hingga zaman Mataram, cerita Panji dijadikan sumber utama bagi pementasan wayang-wayang tersebut.
Poerbatjaraka (1931) menyatakan bahwa Cerita Panji  berkaitan dengan kisah raja Kediri bernama Sri Maharaja Sri Kameswara, yang namanya disebut dalam Kakawin Smaradahana karya pujangga Pu Dharmaja. Sri Kameswara dalam kenyataan sejarah memiliki seorang permaisuri berasal dari Kerajaan Janggala bernama Sasi Kirana atau Kirana Ratu. Perkawinan antara Sri Kameswara dengan Sasi Kirana itulah, menurut Poerbatjaraka, yang  menjadi dasar lahirnya cerita-cerita Panji dengan berbagai variannya.
           Sekalipun cerita  Panji memiliki  varian yang berbeda-beda satu sama lain, namun secara mendasar  memiliki tema dan alur cerita yang sama yang berkisar pada kisah percintaan antara putera raja Kahuripan dengan puteri raja Daha. Di dalam pelbagai cerita Panji, misal, nama tokoh utama Panji sering disebut secara berbeda-beda seperti Makaradwaja dalam cerita Wangbang Wideya, Wira Namtani dalam kisah Wasengsari, Raden Ino Kertapati dalam kisah Panji Semirang, Nusapati dalam kisah Malat. Nama kekasih Sang Panji pun disebut secara berbeda-beda seperti Amahi Lara dalam kisah Wasengsari, Warastrasari dalam kisah Wangbang Wideya, Anrang Kesari dalam kisah Malat, Galuh Candrakirana dalam kisah Panji Semirang. Namun secara tematik, kisah Panji memiliki kemiripan-kemiripan klise, baik yang berhubungan dengan cerita percintaan tokoh utama yang protagonis yang mengalami penderitaan akibat tindakan tokoh antagonis, latar belakang masalah, setting tempat, konflik, klimaks, dan akhir cerita yang cenderung bahagia (happy ending).  

*        *        *
           Berbeda dengan kisah-kisah epik dan purana-purana asal India yang secara tradisi ditulis dalam bentuk kakawin dan bahasa Kawi, kisah-kisah Panji lazimnya ditulis dalam bentuk kidung dan bahasa Jawa Pertengahan. Menurut Zoetmulder, ia belum pernah menemukan satu pun kakawin yang menampilkan kisah Panji (1983).     Sarjana pertama yang mengkaji cerita-cerita Panji adalah W.H. Rassers (1922). Rasser meneliti kemungkinan bagi adanya latar mitologis di balik kisah-kisah Panji. Hal itu disebabkan oleh terdapatnya unsur-unsur romantik yang dicampur dengan legenda-legenda absurd dan deskripsi yang realistik tentang dunia orang Jawa.
Di dalam sejumlah cerita Panji yang digemari masyarakat seperti  “Hikayat Panji Kuda Semirang, Syair Panji Semirang, Cekel Waneng Pati, Syair Ken Tambuhan, Hikayat Dalang Indera Kusuma, Wangbang Wideya, Panji Wilakusuma, Mesa Lara Kusuma Cabut Tunggal, Panji Jayeng Tilam, Anrang Kesari, Mesa Urip Panji Jayalelana, Undakan Panurat,  Dewa Asmara, Endang Malat, Mesa Taman Wilakusuma,  Jaran Kinanti Asmarandana, Hikayat Noyokusumo” terdapat penggambaran secara deskriptif latar cerita yang  benar-benar khas Jawa. Berbeda dengan kakawin yang menggambarkan kisah ksatria-ksatria dan kerajaan-kerajaan India seperti Arjuna, Bhima, Gatotkaca, Sri Krishna, Rama, Hanuman, keraton Lokapala, Ayodhya, Indraprastha, Hastinapura, Dwarawati, Angga, kidung-kidung Panji selalu menggambarkan ksatria-ksatria dan keraton-keraton Jawa seperti Raden Inu Kertapati, Wira Namtani, Warastrasari, Panji Semirang, Keraton Janggala, Daha, Gagelang, Kahuripan, dsb.
             Gambaran khas lain yang terdapat di dalam  kisah-kisah Panji, adalah tampilnya tokoh-tokoh panakawan sebagai pembantu, kawan, penasehat, pengasuh bagi tokoh Panji maupun pasangannya. Dalam kisah Panji, misal, dikenal sahabat-sahabat dekat Sang Panji yang setia seperti Jurudeh, Punta, Prasanta, Kertala. Sedang sahabat-sahabat dekat puteri Galuh Candrakirana yang terkenal kesetiaannya adalah Bayan, Sanggit, Pangunengan, dan Pasiran. Terdapatnya gambaran unsur lokal dalam semua kisah Panji menunjukkan bahwa kisah-kisah tersebut adalah berasal dari Jawa khususnya dari wilayah kerajaan kuno Daha (Kediri),  Janggala (Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Malang, Tuban),  Gagelang (Nganjuk), Kahuripan (Madiun) meski kisah-kisah Panji kemudian berkembang ke luar Jawa sampai ke Bali, Banjarmasin, Palembang, Malaka, Siam, Kamboja, Vietnam, bahkan sampai ke Jepang.
*        *        *
          Memasuki dekade 1970-an, cerita Panji masih bisa diakses lewat buku-buku dan komik-komik yang relatif laris pada masa itu. Namun memasuki dekade 1990-an apalagi setelah berlangsungnya reformasi, cerita Panji seperti  lenyap dari bumi Indonesia, bahkan dari daerah Kediri di mana merupakan tempat kelahiran cerita Panji. Beberapa upaya mengangkat cerita Panji lewat pergelaran Wayang Beber seperti yang dilakukan RRI, TVRI dan sejumlah Taman Budaya pada dekade 1990-an kurang mendapat respon positif dari masyarakat. Bahkan pada dekade itu tercatat bahwa jumlah Wayang Beber di Jawa yang tersisa hanya dua saja,  yaitu di Karang Talun, Pacitan, Jawa Timur  dan di Gelaran, Gunung Kidul, Jogjakarta.
          Di tengah gemerlap pengaruh globalisasi yang penuh diliputi percepatan gerak di segala aspek kehidupan, dinamika perkembangan dan pertumbuhan cerita Panji yang disampaikan lewat kesenian wayang beber, wayang krucil, wayang gedhog, kentrung, dan wayang klithik dapat dikata mengalami stagnasi. Sebab kesenian tradisional yang makin lama makin tersingkir dari kehidupan sehari-hari masyarakat itu, tidak mampu lagi bersaing dengan produk kesenian modern yang dipadukan dengan teknologi. Itu sebabnya, usaha-usaha menghidupkan kembali dan mengembangkan cerita Panji di tengah menguatnya pengaruh globalisasi, hendaknya mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam kehidupan modern. Maksudnya, cerita Panji sudah saatnya disampaikan lewat media yang mudah diterima masyarakat seperti teater, sendratari, sinetron, film layar lebar, VCD, film animasi, komik, novel, kartun sebagaimana hal itu sudah terbukti berhasil melestarikan cerita-cerita legenda Eropa, Amerika, Jepang, dan Cina seperti “Puteri Salju,  Hercules, Peterpan, Flying Dutchman, Beowolf, Gadis dan Korek Api, Pocahontas, Momotaro, Sam Kok, dsb.”
          Tanpa adanya usaha keras untuk menghidupkan kembali dan mengembangkan cerita-cerita Panji, dipastikan salah satu khazanah kekayaan budaya Nusantara yang sudah meng-internasional itu akan punah digilas zaman.  Akibatnya, bangsa Indonesia akan kalah dalam mengklaim cerita Panji sebagai sastera yang lahir dan berkembang dari Nusantara khususnya Kediri. Sebab bukan mustahil, cerita Panji yang sudah tak dikenal di tanah kelahirannya itu, akan diklaim oleh bangsa lain sebagai karya sastera dan seni milik mereka.  

Lampiran I.
Kisah Wasengsari
             Di dalam kisah Wasengsari, cerita dimulai ketika Pangeran Wira Namtani dari Koripan bertunangan dengan Raden Galuh, puteri Daha. Raja Magadha yang melamar Raden Galuh marah waktu mengetahui bahwa sang puteri idaman sudah ditentukan waktu pernikahannya dengan Pangeran Koripan. Ia mengutus seorang mantrinya untuk membunuh Pangeran Koripan. Karena sulit membunuh, Pangeran Koripan Wira Namtani diculik dan dibawa ke Magadha. Tubuh sang pangeran diikat dengan akar-akar pohon lalu dihanyutkan ke sungai. Sepuluh hari hanyut di sungai, tubuh Pangeran Wira Namtani terdampar di tepi sungai di dekat pangabetan (tempat ibadah) di daerah Daha, tepat saat rombongan dari keraton datang ke situ. Tubuh Pangeran Wira Namtani ditemukan oleh dua orang dayang puteri Daha, Bayan dan Sanggit. Pangeran Wira Namtani diangkat menjadi pengalasan dan diberi nama baru Undakan Wasengsari.
           Raja Magadha beserta sekutu yaitu Raja Putrasena dan Pawon-awon menyerang Daha. Balatentara Daha mengalami kerugian besar dengan korban sangat banyak. Wasengsari dengan dibantu oleh panakawannya Jurudeh, Punta, Prasanta, Kartala, Wangbang, Widasaka beserta duabelas orang kadehan ikut mengambil bagian dalam peperangan. Raja Magadha bertempur dengan Wasengsari dan berhasil dibunuh. Raja Putrasena juga dibunuh. Raja Pawon-awon menyerah. Wasengsari kemudian mengubah nama panakawannya. Jurudeh menjadi Rangga Tangguli, Punta Menjadi Kebo Kanigara, Prasanta menjadi Rangga Kabiri, Kartala menjadi Rangga Srigading, Wangbang menjadi Lembu Tigaron, Widasaka menjadi Rangga Bakung. Kemudian bersama-sama mereka menghadap Raja Daha yang bersukacita menyambut kedatangan Wasengsari. Selain memberi hadiah-hadiah, Raja Daha mengangkat Wasengsari menjadi bekel ing wwang anarawita, yakni sekelompok kadehan yang mengawal sang puteri.
            Ketika Wasengsari beserta panakawan kembali ke Koripan, Daha diserang Raja Wirabhumi yang membalaskan kematian saudara-saudaranya, Raja Magadha dan Raja Puterasena.  Serbuan berhasil dihalau dan Raja Wirabhumi tewas. Namun dalam kekacauan, Raden Galuh bersama pengawalnya, Bramita, menghilang. Raden Galuh memakai nama Amahi Lara dan tinggal di gunung Arga Manik, ia diangkat anak oleh seorang pertapa. Ketika Wasengsari datang ke Daha untuk membantu, sudah terlambat. Musuh sudah terhalau tetapi sang puteri menghilang. Wasengsari sangat terpukul mendapati kenyataan itu. Ia pergi mencari sang puteri dengan menggunakan nama Panji Pamasah. Dan cerita khas Panji, pada episode ini dideskripsikan sangat panjang, yakni episode perjalanan Raden Galuh dan  pencarian Wasengsari atas Raden Galuh kekasih yang dicintainya itu.
Kisah Wasengsari diakhiri dengan kedatangannya ke Gagelang guna membantu kerajaan itu dari serangan Raja Pajang dan Paguhan. Karena bantuan Wasengsari, Gagelang menang. Raja Gagelang yang tidak tahu bahwa Wasengsari sejatinya adalah Pangeran Wira Namtani, kemenakannya sendiri, meminta agar Wasengsari mau tinggal di Gagelang dan dihadiahi Amahi Lara, anak pertapa, sebagai garwa tariman. Ketika Raja Koripan, ayahanda Pangeran Wira Namtani datang ke Gagelang, tahulah semua bahwa Wasengsari sejatinya adalah putera mahkota Koripan yang sudah ditunangkan dengan puteri Gagelang, Angrurah Arsa. Sewaktu pernikahan berlangsung, Amahi Lara pingsan. Ia dibawa ke Koripan.
Di Koripan, hadir Raja Daha yang akan menyerahkan tahta kepada Raja Koripan karena ia akan bertapa. Tetapi ia justru menemukan puterinya yang hilang, Raden Galuh, yang menyamar menjadi Amahi Lara. Akhirnya, diambil keputusan, Pangeran Wira Namtani menikah   dengan Raden Galuh, Angrurah Arsa puteri Raja Gagelang, dijadikan prameswari anom (isteri kedua). 

Lampiran II.
Panji Semirang
             Di dalam kisah Panji Semirang, cerita diawali dengan pemaparan tentang Raja Daha yang memiliki dua orang putri. Dari permaisuri, raja memiliki putri bernama Galuh Candra Kirana, yang cantik rupawan dan lemah-lembut tutur katanya. Dari selir bernama Paduka Liku, raja memiliki putri bernama Galuh Ajeng, yang kurang cantik, tabiatnya  tidak baik dan selalu iri hati terhadap kakak tirinya, Galuh Candra Kirana. Para dayang dan sentana keraton  tidak ada yang senang kepada Galuh Ajeng.
              Raja Daha memiliki tiga orang saudara. Pertama, Raja Kahuripan. Kedua, Raja Gagelang. Ketiga, seorang pertapa perempuan bernama Gandasari yang tinggal di Gunung Wilis. Raja Kahuripan dikisahkan mempunyai seorang putra yang tampan dan baik perangainya, yang dikenal dengan nama Raden Inu Kertapati. Raja Kahuripan ingin agar  putranya menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Galuh Candra Kirana. Lalu dikirimlah utusan ke Daha untuk meminang. Raja Daha dengan sukacita menerima pinangan itu. Hanya Paduka Liku, selir raja  yang tidak senang karena ia menginginkan puterinya, Galuh Ajeng dipersunting  Raden Inu Kertapati.
               Untuk memenuhi keinginannya, Paduka Liku membuat rencana jahat. Mula-mula, ia menyuruh adiknya untuk menghubungi seorang pertapa sakti guna meminta ilmu pengasihan agar raja sayang kepadanya. Setelah itu, ia membuat tapai beracun yang dikirimkan  kepada permaisuri. Permaisuri dengan senang hati menerima pemberian Paduka Liku. Tanpa curiga, tapai itu dimakan. Seketika itu, permaisuri keracunan dan meninggal. Raja sangat marah dengan Paduka Liku. Anehnya, waktu berhadapan, Raja justru menjadi lunak dan tak berdaya.
            Galuh Candra Kirana sangat sedih dengan kejadian itu. Untuk menghibur, Raja Kahuripan mengirim dua boneka. Satu dari emas dan satu lagi dari perak. Boneka emas dibungkus jelek. Boneka perak dibungkus kain sutera yang bagus. Lalu Raden Inu Kertapati disuruh mengirim ke Daha. Setelah bingkisan tiba di Daha, Raja Daha menyuruh Galuh Ajeng memilih lebih dahulu. Tentu Galuh Ajeng memilih  bungkusan sutera yang bagus. Bungkusan kain yang jelek,  diberikannya  kepada Galuh  Candra Kirana.
              Sewaktu bungkusan dibuka, boneka milik Galuh  Candra Kirana yang terbuat dari berkilau-kilau indah. Sedang boneka Galuh Ajeng yang terbuat dari perak, terlihat kusam. Galuh Ajeng ingin menukar bonekanya dengan boneka Galuh Candra Kirana. Dan atas bujuk-rayu Paduka Liku, Raja Daha  meminta agar Galuh Candra Kirana bersedia  menukarkan bonekanya  dengan boneka Galuh Ajeng. Tentu saja Galuh Candra Kirana menolak menyerahkan bonekanya. Baginda marah. Galuh Candra Kirana pun  diusir dari keraton.
              Setelah menangis semalaman, menjelang subuh Galuh Candra Kirana dengan para pengiringnya meninggalkan keraton. Setelah berjalan menembus hutan dan gunung dan lembah, sampailah mereka di perbatasan  Daha dan Kahuripan. Mereka memutuskan untuk menetap di situ. Mereka  membangun kerajaan kecil dan Galuh Candra Kirana didaulat menjadi rajanya dengan menyamar sebagai laki-laki bernama Panji Semirang. Untuk membiayai  kerajaan, mereka melakukan perampokan dan pembegalan. Orang-orang yang ditawan, dipaksa tinggaldi tempat itu. Demikianlah, kerajaan menjadi kuat karena rakyatnya bertambah.
                Kabar kemunculan kerajaan Panji Semirang sampailah ke Kahuripan, terutama setelah  utusan raja Kahuripan yang membawa barang-barang dan uang jujuran (mas kawin)  untuk meminang Galuh Candra Kirana, dirampok oleh tentara Panji Semirang. Dan semua barang rampasan itu  akan dikembalikan jika  Raden Inu Kertapati, putera mahkota Kahuripan datang menghadap Panji Semirang.
           Raden Inu Kertapati yang menghadap Panji Semirang sangat heran dan takjub, sebab Panji Semirang ternyata  seorang raja yang lemah lembut, simpatik, cantik, dan suaranya sangat merdu. Selama di keratonnya,  Panji Semirang menjamu Raden Inu Kertapati dengan baik. Keesokan hari,  semua barang dan uang dikembalikan. Raden Inu Kertapati dengan rombongan berangkat ke Daha untuk menyerahkan uang jujuran (mas kawin) kepada raja Daha.
               Panji Semirang yang tahu bahwa Raden Inu Kertapati kekasihnya akan menikah dengan Galuh Ajeng,  sangat sedih hatinya. Ia kemudian pergi Gunung Wilis dengan berpakaian wanita, menemui bibinya, Biku Gandasari. Biku Gandasari terharu mendengar kisah penderitaan kemenakannya. Biku Gandasari menganjurkan  Candra Kirana untuk pergi ke Gagelang dengan rombongan yang berpakaian laki-laki. Ia diminta menyamar sebagai pemain gambuh (pengamen) bernama Gambuh Warga Asmara, yang dalam waktu singkat sangat disukai semua orang.
            Sementara itu, sejak menikahi  Galuh Ajeng, Raden Inu Kertapati berubah menjadi pendiam dan selalu bersedih hati. Sebab isterinya  bukanlah Galuh Candra Kirana, melainkan Galuh Ajeng. Ia merasa tertipu oleh Paduka Liku. Di tengah kegundahan hatinya, ia bersama pengiringnya  pergi ke kerajaan pamannya di Gagelang. Di Gagelang, ia bertemu dengan para pemain gambuh yang dipimpin Warga Asmara. Ia sangat tertarik dengan permainan gambuh mereka. Tetapi ia juga curiga, karena semua pemain gerak-geriknya mirip perempuan. Bahkan ia merasa seperti pernah mengenal wajah-wajah mereka.
              Karena waktu selesai bermain gambuh hari telah malam, rombongan  diminta untuk menginap di keraton. Di penginapannya Galuh Candra Kirana mengenakan pakaian wanita. Hatinya yang dirundung kerinduan akan  kekasih, menyebabkan tanpa sadar menimang-timang boneka emas pemberian Raden Inu kertapati. Pada saat yang sama, Raden Inu Ketapati yang ingin tahu rahasia keanehan anggota rombongan gambuh itu mengintip tempat menginap  mereka. Alangkah terkejutnya ia ketika  melihat Galuh Candra Kirana yang dicarinya sedang menimang-nimang boneka emas pemberiannya. Raden Inu Kertapati segera membuka pintu kamar.  Bertemulah  dua orang kekasih yang saling merindukan itu.
               Setelah saling melepas rindu, Raden Inu Kertapati kemudian membawa Galuh Candra Kirana  ke keraton  Kahuripan dan menyampaikan kepada ayahandanya tentang apa yang sebenamya telah terjadi. Galuh Candra Kirana meminta maaf atas kekeliruan yang telah dilakunya. Setelah Raja Kahuripan faham, disiapkanlah segala sarana bagi upacara pernikahan antara Raden Inu Kertapati dengan Galuh Candra Kirana. Raja Daha, ayahanda Galuh Candra Kirana yang diberitahu duduk masalah yang sebenarnya merasa menyesal. Sementara itu, Paduka Liku yang mengetahui kabar bakal menikahnya Galuh Candra Kirana menjadi kecut hatinya. Ia bahkan sangat takut karena suaminya, Raja Daha  tak lagi mau memperhatikannya. Untuk memperoleh perhatian Raja Daha, ia menyuruh adiknya datang ke  pertapa yang dulu pernah memberinya ilmu guna-guna. Tetapi di tengah perjalanan,  adiknya  tewas disambar petir. Paduka Liku putus asa lalu bunuh diri.

You have read this article Sastra with the title Sastra Panji yang Asing di Tanah Kelahirannya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/sastra-panji-yang-asing-di-tanah.html. Thanks!

No comment for "Sastra Panji yang Asing di Tanah Kelahirannya"

Post a Comment