Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Sepintas Tentang Misteri Titik NUN di Jawa

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Islam  sudah masuk ke Indonesia sejak perempat akhir abad ke-7 Masehi, yakni saat  Ratu Simha berkuasa di Kalingga sebagaimana diberitakan sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang. Namun Islam kurang mendapat tanggapan baik, karena orang Arab (tazhi) yang datang di Kalingga menimbulkan tindakan tidak simpatik yang mengakibatkan kaki putera mahkota Kalingga dipotong (Groeneveldt, 1960). S.Q. Fatimy (1963) mencatat bahwa pada abad ke-9 Masehi, terdapat migrasi suku-suku dari Persia ke Indonesia yaitu suku Lor, Yawani dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan pemukiman-pemukiman di Jawa yang disebut Loram atau Leran. Terdapatnya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang menunjuk kronogram abad ke-10 Masehi adalah salah satu bukti kebenaran berita tersebut. Sementara pada skhir abad ke-13, Marcopolo yang kembali dari Cina lewat lautan, mencatat bahwa di negeri Perlak saat itu sudah ada pemukim muslim Cina,  Persia dan Arab tetapi penduduk pribumi disebutkan masih memuja berhala (Hambis, 1955).
Historiografi Jawa mengungkapkan  bahwa dalam usaha mengislamkan Jawa, Sultan Al-Gabah (nama daerah dekat Samarkand-pen) dari negeri Rum mengirim 4000 keluarga muslim untuk menghuni Pulau Jawa. Namun dikisahkan bahwa semua keluarga muslim itu tewas dibunuh para siluman penghuni pulau. Sultan al-Gabah mengirim lagi 2000 keluarga, tetapi semuanya kembali tewas dibunuh para siluman. Lalu Sultan al-Gabah mengutus Syaikh Subakir untuk menanam tumbal agar Jawa bisa dijadikan hunian umat Islam. Setelah menumbali Jawa, Syaikh Subakir dikisahkan kembali ke Persia.
            Istilah menumbali Pulau Jawa yang dilakukan oleh Syaikh Subakir, dapat dijelaskan sebagai suatu  upaya  “membersihkan” bumi Jawa dari pengaruh tidak baik yang merugikan dan mengancam keselamatan manusia, di mana dalam konteks masyarakat lokal upaya  itu dikenal dengan sebutan Bhumi Soddhana dan Bhutasuddhi. Upacara Bhumisodhana dan Bhutasuddhii adalah suatu upaya yang berhubungan dengan  pemujaan masyarakat petani terhadap  Dewi Bhumi (Prthiwi, Kali, Hyang Lmah, Sang Tanah) dan Dewi Kesuburan (Sri, Sadana, Manting). Upacara Bhumi Soddhana dan Bhutasuddhi dilakukan untuk mensucikan bumi agar bisa memberi kesuburan sekaligus berkah bagi manusia, sebaliknya meniadakan pengaruh tidak baik dari Dewi Bhumi dan pengiring-pengiringnya. Pemujaan terhadap anasir kekuatan bumi ini, dikenal sebagai ajaran tantris dengan berbagai mazhab dan sektenya. Tempat-tempat lama yang dianggap berkaitan dengan pemujaan Dewi Bhumi dewasa ini tersisa pada nama-nama lama yang berhubungan dengan makna bhumi seperti Kabhumian (Kebumen), Plemahan, Patanahan, Dara, Setro (Ksetra), Troloyo (Ksetralaya), Batang, Gunung Wangkai, dsb. Sementara para pendeta tinggi tantris lazimnya menggunakan gelar-gelar kebesaran yang terkait dengan bumi seperti Wisesadharani, Pangraksabhumi, Cakrabhumi, Cakradhara, Jaladhara, dsb.   
Upacara “membersihkan” bumi ini, dalam tradisi lama dihubungkan dengan keberadaan pulau Jawa di masa silam yang digambarkan kacau karena mengambang dan hanyut di tengah lautan. Oleh sebab itu, pulau Jawa yang dewasa itu disebut Pulau Kendhang (hanyut)  harus diberi “pasak” supaya stabil dan tidak terombang-ambing dan dapat tenang  agar bisa dihuni manusia.  Naskah kuno Tantu Panggelaran,  menuturkan bagaimana proses masuknya ajaran Syiwaisme di Jawa, dengan  menggambarkan secara simbolik  kedatangan para dewa yang beramai-ramai  memikul Gunung Mandaragiri  untuk dijadikan “pasak” bagi Pulau Jawa yang saat itu terombang-ambing diseret gelombang lautan tidak bisa dihuni manusia. Selama  memikul gunung itu, jatuhlah bagian demi bagian dari gunung tersebut ke tanah yang menjadi gunung-gunung yang berderet dari barat ke timur seperti gunung  Pulasari, Pangrango, Ciremai, Tidar, Candrageni, Candramukha, Lawu, Kamput, Mahameru, dan bagian atasnya yang berpuncak 5 (lima) jatuh sebagai Gunung Pananggusama. Legenda kehadiran dewa-dewa membawa gunung suci ke Jawa, setidaknya menandai keyakinan adanya “pasak” untuk mengukuhkan kedudukan pulau Jawa yang tidak stabil. Legenda kuno  itu, diabadikan pada  nama Desa Turun Hyang yang terletak di sebelah utara Gunung Pananggusama.
            Legenda dalam Tantu Panggelaran yang  menunjuk pada adanya suatu “pasak” bersifat gaib yang meneguhkan Pulau Jawa itu, hendaknya diketahui letak ruhaninya jika orang seorang akan melakukan “pembersihan” bumi dengan tumbal.  Sebab  “pasak” bersifat gaib itulah, yang dalam tradisi tumbal-menumbal di kalangan muslim tradisional Jawa disebut dengan titik NUN. Istilah titik NUN jelas bernuansa Islam. Sebab  bagi pemeluk Syiwaisme, “pasak” gaib tersebut disebut sebagai Windu (titik bulat) dan Ardachandra (bulan sabit). “Pasak” gaib itu ada tiga. Satu di barat dengan titik di bawah (seperti huruf ba’). Satu di tengah dengan bagian atas titik NUN terdapat tanda NADA. Dan satu lagi di timur mirip huruf NUN. Namun pemaknaan huruf itu, tergantung dari arah mana orang melihat karena hal itu menentukan bagi pemaknaan selanjutnya.
            Di dalam naskah kuno Sunda berjudul Sanghyang Siksa Kandha (ng) Karesian, yang berkaitan dengan perundagian disebutkan berbagai jenis tanah beserta pengaruhnya terhadap manusia. Sementara dalam naskah  Lontar Bhumi Kamulan digambarkan Syiwa mencipta Pratanjala yang diperintah-Nya untuk mencipta alam semesta. Guna membantu tugas Pratanjala, Syiwa mencipta Uma dari nafas-Nya. Mula-mula tercipta dewa-dewa, widyadara-widyadari, gandharwa, kinnara penghuni surga. Setelah itu tercipta makhluk-makhluk halus berperangai kasar seperti raksasa, danawa, pisaca, daitya, bragala, memedi, tonyo, dan makhluk-makhluk menyeramkan yang lain. Selama penciptaan itu, Uma tanpa sadar menjelma menjadi Durga yang menyeramkan. Menyaksikan Uma menjadi Durga, Pratanjala merubah wujud yang juga menyeramkan sebagai Mahakala. Makhluk-makhluk halus berperangai kasar yang menyeramkan itu kemudian menjadi bawahan Durga-Mahakala. Menurut Sanghyang Siksa Kandha (ng) Karesian maupun Lontar Bhumi Kamulan, Durga-Mahakala dan makhluk-makhluk menyeramkan pengikutnya itu tinggal di tempat-tempat angker seperti jurang, tebing, hutan, kuburan, dsb. Upacara Bhumi Soddhana, adalah suatu upaya yang dilakukan untuk menetralisasi pengaruh tidak baik dari keberadaan makhluk-makhluk halus menyeramkan yang lahir dari Durga. Upacara inilah yang di kalangan muslim tradisional dikenal sebagai murwakala atau meruwat bumi, yang dalam skala kecil dilakukan secara rutin setiap tahun dalam acara Sedekah Bumi atau Ruwatan Desa.  
            Di dalam tradisi tumbal-menumbal yang terdapat dalam ajaran Syaikh Siti Jenar, bumi diyakini sebagai makhluk hidup yang anasir “tubuhnya” terdiri dari Tanah, Air, Api, Angin, Akasha (aether), Akasha Agung (Ruh bumi). Anasir Tanah adalah lambang dari Nafs al-Lwammah bumi yang berwarna hitam. Anasir Air adalah lambang dari Nafs al-Sufliyyah bumi yang berwarna kuning. Anasir Api adalah lambang dari Nafs al-Amarrah bumi yang berwarna merah.  Anasir Angin adalah lambang dari Nafs al-Muthmainnah bumi yang berwarna putih. Anasir Akasha adalah lambang dari Nafs al-Radliyyah yang berwarna kehijauan. Sementara anasir Akasha Agung tidak dilambangkan. Di dalam upacara menumbali tanah, yang utama dilakukan adalah mensucikan pengaruh anasir Api atau Nafs al-Amarrah bumi yang berkaitan dengan keberadaan makhluk-makhluk halus yang tercipta dari anasir api.
             Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa 2000 tahun sebelum Adam a.s. dicipta, bumi dihuni oleh bangsa Jin keturunan Banu al—Jann. Bangsa Jin ini suka berperang dan menumpahkan darah di bumi. Menjelang Adam a.s. diturunkan ke bumi, dikisahkan  bangsa Jin diusir oleh para malaikat dari bumi. Mereka menghuni lautan dan tinggal di pulau-pulau di tengah lautan. Kisah dari hadits ini mengindikasikan bahwa pulau-pulau adalah hunian para jin sebelum dihuni manusia. Itu berarti, terjadi hubungan timbal-balik baik langsung maupun tidak langsung antara penghuni lama pulau-pulau (jin) dengan penghuni baru pulau-pulau yang datang kemudian (manusia). Mengikuti tradisi penumbalan dalam rangka menjadikan Pulau Jawa bisa dihuni manusia beragama Islam, diketahui bahwa Sunan Kalijaga – menenatu Syaikh Siti Jenar -- telah menyusun sebuah naskah yang oleh R. Tanojo diberi judul “Kidungan Purwajati” (1966)  yang berisi nama-nama bangsa jin yang menjadi penguasa wilayah di daerah-daerah tertentu di Jawa. Para jin penguasa itu, memiliki wilayah kekuasaan gaib yang sangat mempengaruhi perilaku manusia-manusia yang hidup di sekitarnya. Sejumlah nama penguasa gaib dari bangsa jin, yang selalu disebut dalam upacara murwakala, numbali, ruwatan desa, berkaitan dengan wilayah kekuasaan masing-masing seperti penguasa gaib Giri bernama Prabu Yaksa, penguasa gaib Surabaya bernama Prangmukha, Sedayu bernama Dhandhang Murti, Rajegwesi bernama Palered, Kediri bernama Buto Locaya, Jenggala  bernama Tunjungpuri, Lamongan bernama Carubawor, Jipang  bernama Sapujagat, dsb. Pulau Jawa dalam naskah Kidunganjati tersebut dibagi tidak kurang dari 185 buah wilayah, di mana masinmg-masing wilayah dikuasai para penguasa bangsa  jin.
            Fakta sejarah menunjuk bahwa Islam yang sudah masuk ke Jawa sejak pertengahan abad ke-7 pada era Kalingga, tidak bisa diterima secara luas di Nusantara terutama di Jawa. Baru pada pertengahan abad ke-15 hingga awal abad ke-16 – di era penyebar Islam yang dikenal dengan nama Wali Songo – Islam dapat diterima di Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara. Salah satu upaya ruhani yang dilakukan para penyebar Islam tersebut (yang sangat langka dibahas), adalah dilakukannya upacara “membersihkan” bumi Jawa melalui penumbalan, murwakala, ruwatan, Caru Bhumi, Sedekah Bumi, yang bertujuan agar Pulau Jawa bisa dihuni manusia yang beragama Islam. Itu sebabnya, dalam menyusun kebijakan dakwah Islam selanjutnya setelah upaya “pembersihan” bumi dilakukan,  dibutuhkan kompromi-kompromi kultural bersifat ruhani dalam memaknai ajaran Islam agar bisa diterima oleh masyarakat. Demikianlah, Islam yang berkembang  di Nusantara terutama di Jawa sangat kental dengan istilah-istilah lokal dalam memaknai peribadatan dan amaliah keagamaan yang lain seperti istilah sembahyang (shalat), upawasa (shaum), langgar (mushala), swarga (jannah), neraka (naar), widadari (huriin), riyaya/bada (idul fitri), besar (idul adha), tahlilan, kenduri, kupatan, grebeg suro, grebeg maulud, nyadran, dsb. Bahkan nama-nama yang digunakan oleh para penyebar Islam era Wali Songo, terkesan sangat lokal seperti Sunan Ampel, Sunan Giri alias Prabu Satmoto, Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung, Sunan Gunung Jati, Sri Mangana, Kian Santang, Syaikh Siti Jenar, Ki Ageng Banyubiru, Ki Ageng Tingkir, Sunan Geseng, dsb. Fakta menunjuk, bahwa sekalipun hampir lima abad penduduk mayoritas Jawa memeluk Islam, satu-satunya nama tempat di Jawa yang dipungut dari bahasa Arab hanya Kudus yang menggantikan nama lama Ngudung.
            Berbagai hal yang terkait dengan “pasak” gaib, huruf NUN, upacara Penumbalan atau Bhumi Soddhana dan Bhutasuddhi, Murwakala,  adalah pengetahuan yang muncul dari rana kaweruh atau ilmu qalbu atau jnana. Itu sebabnya, kaidah-kaidah dari pengetahuan tersebut harus difahami  berdasar  kaidah-kaidah pengetahuan kaweruh atau ilmu qalbu. Upaya membawa pengetahuan kaweruh ini ke ranah ilmu akal yang rasional, justru akan menutup dan menyelimuti keberadaan pengetahuan itu ke dalam misteri yang tak akan pernah terpecahkan. Seperti menanyakan kenapa Syaikh Siti Jenar membawa tanah merah dari Karbala untuk ditanam di desa-desa Lemah Abang? Kenapa Sunan Giri jauh-jauh ke Pasai hanya pulang membawa tanah untuk menjadi tanda bagi tempat yang akan dijadikannya sebagai tempat tinggal? Kenapa Sri Sultan Hamengkubuwono IX menunjuk Mbah Maridjan untuk menjaga Gunung Merapi dan bukannya pakar geologi? Kenapa dari jaman kuno sampai jaman modern ini masyarakat masih menyelenggarakan upacara “pembersihan” bumi atau Bhumi Suddhana  secara sederhana yang disebut Sedekah Bumi atau ruwatan desa? Semua pertanyaan itu tidak akan bisa dijawab secara memadai oleh ilmu akal yang keabsahannya membutuhkan paradigma, dogma, doktrin, dan mitos yang disepakati secara konvensional. Lepas dari percaya dan tidak percaya terhadap ilmu warisan leluhur yang hanya bisa difahami dengan pengetahuan kaweruh atau ilmu qalbu atau jnana, terselenggaranya seminar sehari dengan tema “menguak tabir misteri titik Nun Pulau Jawa” dapat dimaknai sebagai tengara dari kalangan terpelajar muda Indonesia yang merasa terhegemoni pengetahuan nalar dan jiwanya oleh pengetahuan Barat yang sangat rasional, sekuler, empirik, materialistik, impersonal, dan terspesialisasi yang menyebabkan mereka kehilangan jati diri sebagai bangsa yang bebas dan merdeka dalam mencipta kebudayaan dan peradaban sendiri.   

You have read this article Misteri with the title Sepintas Tentang Misteri Titik NUN di Jawa. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/sepintas-tentang-misteri-titik-nun-di.html. Thanks!

1 comment for "Sepintas Tentang Misteri Titik NUN di Jawa"