Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Tafsirul Ahlam - Tafsir Mimpi Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah

Oleh: Muhammad Ibnu Sirin
           Ustadz Abu  Sa’ad  al-Wa’izh  berkata,  “Pada  prinsipnya mimpi  yang  baik  itu  bersumber  dari  aneka amal yang benar dan mengingatkan akan aneka akibat dari berbagai urusan. Dari mimpi yang  baik  itu  muncullah  aneka  perintah,  larangan,  berita  gembira,  dan  peringatan.  Dikatakan  demikian karena mimpi yang baik merupakan sisa dan bagian dari kenabian, bahkan ia merupakan satu dari dua  bagian  kenabian,  sebab  ada  nabi  yang  wahyunya  berupa  mimpi.  Orang  yang  menerima  wahyu  melalui mimpi disebut Nabi. Adapun orang yang menerima ucapan malaikat saat dia  terjaga disebut  Rasul. Inilah yang membedakan antara nabi dan rasul.”
                  Abu  Ali  Hamid  bin  Muhammad  bin  Abdullah  ar-Rafa`  memberitahukan  kepada  kami,  dari   Muhammad    ibnul-Mughirah, dari Makki bin Ibrahim, dari Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin  Sirin, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda,  “Jika masa  semakin  dekat, mimpi  seorang muslim  nyaris  tidak  pernah  dusta. Muslim  yang  paling benar mimpinya adalah yang paling  jujur perkataannya. Mimpi seorang mukmin merupakan satu  bagian  dari  46  bagian  kenabian.  Mimpi  ada  tiga  macam:  mimpi  yang  baik  sebagai  berita  gembira  dari Allah  ‘azza  wa  jalla, mimpi  seorang muslim  yang  dialami  oleh  dirinya  sendiri,  dan  mimpi  sedih  yang  berasal  dari  setan.  Jika  salah  seorang  di  antara  kamu mengalami mimpi  yang  tidak  disukai,  janganlah  menceritakannya  kepada  orang  lain,  bangunlah,  kemudian  shalatlah.”  (Muttafaq ‘alaih)

                  Beliau bersabda,  “Aku menyukai mimpi ihwal rantai, tetapi tidak menyukai mimpi ihwal belenggu.” (Shahih al- Jami’)  Rantai ditakwilkan dengan keteguhan pada agama. Abu Abdullah  al-Mahlabi  dan Muhammad  bin Ya’qub  bin Yusuf menceritakan  kepada  kami  dari  al-‘Abbas  ibnul-Walid  bin Mazid,  dari  ‘Uqbah  bin  ‘Alqamah  al-Mu’arifi,  dari  al-Auza’i,  dari  Yahya  bin Abi Katsir,  dari Abi  Salamah  bin Abdurrahman,  dari  ‘Ubadah  ibnush-Shamit  bahwa  ia  bertanya kepada Rasulullah  tentang ayat 63-63 surah Yunus, “Yaitu orang-orang yang beriman dan  mereka  selalu  bertakwa.    Bagi  mereka  berita  gembira  di  dalam  kehidupan  di  dunia  dan  dalam  kehidupan di akhirat.” Maka, Rasulullah menjawab,   “Sungguh  kamu  telah  menanyakan  sesuatu  kepadaku  yang  belum  pernah  ditanyakan  oleh seorang  pun  selainmu.  Al-busyra  ialah  mimpi  yang  baik  yang  dialami  oleh  seseorang  atau  dianugerahkan Allah kepadanya.” (As-Silsilah ash-Shahihah)
                 Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Hadits-hadits yang kami riwayatkan  tersebut menunjukkan bahwa  mimpi    itu memang sesuatu yang benar secara substansial dan bahwa mimpi  itu memiliki ketentuan  dan dampak.”  Di  antara  dalil  yang  menunjukkan  kebenaran  mimpi  ialah  bahwa  saat  Ibrahim  tidur,  Allah  memperlihatkan  kepadanya  seolah-olah  dia  menyembelih  putranya.  Setelah  bangun,  dia  pun  melaksanakan  apa  yang  diperintahkan  kepadanya  saat  tidur.  Allah  Ta’ala  mengisahkan  kejadian ersebut,  “Maka  tatkala  anak  itu  mencapai  kesanggupan  berusaha  bersama-sama  Ibrahim,  Ibrahim  berkata,  ‘Hai  anakku  sesungguhnya  aku melihat  dalam mimpi  bahwa  aku menyembelihmu. Maka,  pikirkanlah  apa  pendapatmu!’ Dia menjawab,  ‘Hai  bapakku,  kerjakanlah  apa  yang  diperintahkan  kepadamu;  insya Allah kamu akan mendapatiku  termasuk orang-orang yang sabar.’” (ash-Shaaffat:  102)
                      Setelah Ibrahim a.s. memahami mimpinya dan berupaya melaksanakannya, lalu Allah  memberinya jalan keluar karena kasih-sayang-Nya, dia mengetahui bahwa mimpi itu merupakan hukum. Demikian pula halnya dengan mimpi yang dialami Yusuf a.s., yang dikisahkan Allah dalam  Al-Qur`an sebagai kisah yang populer dan terkenal.  Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim meriwayatkan kepada kami dari Ali bin  Muhammad al-Waraq, dari Ahmad bin Muhammad bin Nashr, dari Yusuf bin Bilal, dari Muhammad  bin Marwan al-Kalbi, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas bahwa Aisyah berkata, “Rasulullah terkena  sihir. Maka, beliau jatuh sakit, sehingga kami mengkhawatirkannya. Ketika beliau berada antara tidur  dan terjaga, tiba-tiba turun dua malaikat: yang satu berada di dekat kepala Rasulullah dan yang lain  berada di dekat kaki beliau. Malaikat yang berada dekat kepala berkata kepada malaikat yang berada  dekat kaki, ‘Mengapa dia sakit?’  Malaikat bertanya demikian supaya Nabi saw. memahami  persoalannya. 
                  Temannya menjawab, ‘Terkena sihir.’   
                  ‘Siapa yang melakukannya?’
                  ‘Lubaid bin A’sham, orang Yahudi.’
                  ‘Di mana dia melakukannya?’
                  ‘Di sumur Dzarwan.’
                  ‘Bagaimana mengobatinya?’
                 ‘Kirimlah orang ke sumur itu dan keringkan airnya. Jika tampak sebuah batu besar, singkirkanlah karena di bawahnya terdapat tali busur yang berpintal sebelas dan diletakkan di dalam kantong. Setelah itu bakarlah ia. Insya Allah dia sembuh. Jika dia menyuruh orang, hendaknya dia  mengeluarkan kantong itu.’”
               Ibnu Abbas melanjutkan, “Nabi pun bangun dan beliau telah memahami apa yang dikatakan epadanya oleh malaikat. Beliau menyuruh ‘Ammar bin Yasir dan sekelompok sahabatnya ke sumu tersebut yang airnya telah berubah seperti inai. Kemudian sumur itu dikeringkan. Setelah tampak besar, ia pun digulingkan, dan tampaklah di bawahnya kantong yang berisikan tali busur bersimpul ebelas. Kemudian mereka membawanya kepada Rasulullah. Maka, turunlah surah al-Falaq dan surn-Naas. Kedua surah ini berjumlah 11 ayat dan sama dengan banyaknya buhul yang berjumlah 11 ula. Setiap kali beliau membaca satu ayat, lepaslah satu buhul. Setelah seluruh buhulnya terbuka,  Rasulullah dapat bangkit dan seolah-olah terlepas dari ikatan. Buhul itu pun dibakar. Nabi menyuruita berlindung kepada Allah melalui kedua surah tersebut. Lubaid mengunjungi Rasulullah.
             Meskipun beliau menceritakan kejadian di atas, pada wajah Lubaid tidak tampak perubahan apa pun. Hadits di atas menunjukkan kebenaran masalah mimpi dan keberadaannya di dalam banyak adits, sehingga terlampau panjang untuk menceritakannya.
              Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Aku melihat bahwa ilmu itu terdiri atas beberapa jenis, di ntaranya ada yang bermanfaat bagi dunia, tetapi tidak bermanfaat bagi agama; ada yang bermanfaat  bagi dunia dan agama. Ilmu tentang mimpi termasuk ilmu yang bermanfaat bagi dunia dan agama. Kemudian aku shalat istikharah sebelum mengumpulkan apa yang berasal dari Allah dan menempuh  metode peringkasan seraya memohon pertolongan kepada-Nya dalam menyempurnakan apa yang  diridhai dan dicintai-Nya. Juga berlindung kepada-Nya dari ujian dan fitnah-Nya. Allahlah Pemilik aufik. Cukuplah Dia bagi kami. Dia adalah sebaik-baik Pelindung.”
               Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Orang perlu menegakkan tata kesopanan agar mimpinya mendekati  kebenaran. Di antara adab kesopanan itu ialah membiasakan diri berkata jujur. Nabi bersabda dalam  hadits muttafaq alaih, ‘Orang yang paling benar mimpinya ialah yang paling benar perkataannya.’”
                   Adab lainnya ialah tidur dengan punya wudhu. Abu Dzar berkata, “Kekasihku (Muhammad aw.) memberikan tiga pesan kepadaku yang tidak pernah aku tinggalkan hingga mati. Yaitu, puasa iga hari pada setiap bulan, dua rakaat shalat fajar, dan tidak tidur kecuali punya wudhu.” Demikian  yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
                     Adab lainnya ialah tidur dengan berbaring ke sisi kanan tubuh karena Nabi saw. menyukai  bagian kanan dalam segala hal. Diriwayatkan bahwa beliau tidur pada sisi kanan tubuhnya seraya  meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanan, lalu berdoa,   “Ya Allah, lindungilah aku dari azab-Mu pada saat Engkau mengumpulkan hamba-hamba-Mu.” (HR Tirmidzi dan Abu Dawud)
                     Mimpi terbagi dua: mimpi yang benar dan yang batil. Mimpi yang benar ialah yang dialami  manusia tatkala kondisi psikologisnya seimbang dan keadaan cuaca sedang seperti ditandai oleh  bergoyangnya pepohonan hingga berjatuhannya dedaunan. Mimpi yang benar tidak didahului dengan  adanya pikiran dan keinginan akan sesuatu yang kemudian muncul dalam mimpi. Kebenaran mimpi  juga tidak ternodai oleh peristiwa junub dan haid.  Adapun mimpi yang batil ialah yang ditimbulkan oleh bisikan nafsu, keinginan, dan hasrat.
                    Mimpi demikian tidak dapat ditakwilkan. Demikian pula mimpi “basah” dan mimpi lain yang  mewajibkan mandi dikategorikan sebagai mimpi yang batil karena tidak mengandung makna. Sama  halnya dengan mimpi yang menakutkan dan menyedihkan karena berasal dari setan. Allah Ta’ala berfirman,    “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman  itu berduka cita, sedang pembicarana itu tiadalah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka,  kecuali dengan izin Allah dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.” (al-Mujaadilah: 10)
                      Jika  seseorang  mengalami  mimpi  yang  tidak  disukai,  disunnahkan  melakukan  lima perbuatan. Yaitu, mengubah posisi tidur, meludah ke kiri sebanyak tiga kali, memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, bangun dan shalat, dan tidak menceritakan mimpinya kepada siapa pun. Ustadz Abu Sa’ad  berkata,  “Pelaku mimpi  hendaknya memelihara  etika  yang  perlu  dipegang eguh dan memiliki batasan-batasan yang selayaknya tidak dilampaui. Demikian pula halnya dengan  pentakwil.” 
                    Etika pelaku mimpi ialah, pertama, dia tidak menceritakan mimpinya kepada orang yang hasud  sebagaimana dikatakan Ya’kub kepada Yusuf,  “Ayahnya  berkata,  ‘Hai  anakku,  janganlah  kamu  ceritakan  mimpimu  itu  kepada  saudara-saudaramu, maka mereka akan membuat makar untuk membinasakanmu.’” (Q.S.Yusuf: 5)
                    Kedua,  jangan  menceritakan  mimpinya  kepada  orang  yang  bodoh.  Nabi  saw.  bersabda,  “Janganlah  kamu menceritakan mimpimu  kecuali  kepada  orang  yang  dicintai  atau  kepada  orang  yang pandai.”  Ketiga, janganlah menceritakan mimpi kecuali secara rahasia karena dia pun melihatnya secara rahasia pula. Jangan menceritakannya kepada anak-anak dan wanita. Sebaiknya mimpi itu  diceritakan menjelang awal tahun dan pada pagi hari, bukan sesudah keduanya lewat.  Adapun etika pentakwil ialah sebagai berikut.  
                   Pertama,  jika  saudaranya  menceritakan  mimpi  kepadanya,  maka  katakanlah,  “Aku  kira  mimpi itu baik.”  Kedua, hendaknya menakwilkan mimpi dengan cara yang paling baik. Diriwayatkan bahwa  Nabi  saw.  bersabda, “Mimpi  akan  terjadi  sebagaimana  ia  ditakwilkan.”  Juga  diriwayatkan  bahwa eliau bersabda, “Mimpi itu bagaikan kaki yang menggantung selama belum diungkapkan. Jika telah iungkapkan, maka terjadilah.” Demikian yang disebut dalam as-Silsilah ash-Shahihah.    Ketiga,  menyimak  mimpi  dengan  baik,  kemudian  menjawab  si  penanya  dengan  jawaban ang mudah dipahami.     Keempat, jangan tergesa-gesa menakwilkan mimpi. Lakukanlah dengan hati-hati.  Kelima, menyembunyikan mimpi  dan  tidak menyebarkannya  sebab  ia merupakan  amanat. angan menakwilkan mimpi ketika matahari terbit, ketika tergelincir, dan ketika terbenam.  Keenam, memperlakukan pelaku mimpi secara berbeda. Janganlah menakwilkan mimpi raja eperti menakwilkan mimpi rakyat, sebab mimpi itu berbeda karena perbedaan kondisi pelakunya.   Ketujuh,  merenungkan  mimpi  yang  dikemukakan  kepadanya.  Jika  mimpi  itu  baik,  maka  takwilkanlah  dan  sampaikanlah  kabar  gembira  kepada  pelakunya  sebelum  mimpi  itu  ditakwilkan. ika  mimpi  itu  buruk,  maka  janganlah  menakwillkannya  atau  takwilkanlah  bagian  mimpi  yang takwilnya  paling  baik.  Jika  sebagian mimpi  itu merupakan  kebaikan  dan  sebagian  lagi  keburukan,  maka bandingkanlah keduanya, lalu ambillah mimpi yang paling tepat dan paling kuat pokoknya. Jika entakwil mengalami kesulitan, bertanyalah kepada pelaku mimpi ihwal namanya, lalu takwilkannya erdasarkan namanya itu.  

Sumber: tafsirul ahlam/muhammad ibnu sirin/ maktabah ash-shafa/ kairo – tafsir  mimpi/ muhammad ibnu sirin/gema insani/jakarta

You have read this article Primbon with the title Tafsirul Ahlam - Tafsir Mimpi Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/tafsirul-ahlam-tafsir-mimpi-menurut-al.html. Thanks!

No comment for "Tafsirul Ahlam - Tafsir Mimpi Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah"

Post a Comment