Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

KH Wachid Hasyim: Pribadi Otodidak Pahlawan Nasional

Oleh: Pujie Rahayu
Biografi KH. Wachid Hasyim
                    KH. Abdul Wachid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara ini lahir pada hari Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H, bertepatan dengan 1 Juni 1914 M. Wachid Hasyim adalah anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara, ia salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan MAtaram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng. Kesepuluh putra KH. Hasyim Asy’ari itu adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wachid, A. Khaliq, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf. Sementara itu, dengan Nyai Masrurah, KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai empat putera, yakni Abdul Kadir, Fatimah, Khodijah dan Ya’kub. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wachid, diambil dari nama datuknya.

                     KH. Wachid Hasyim adalah Pemimpin dan pengasuh kedua Pesantren Tebuireng (1947 – 1950), merupakan reformis dunia pendidikan pesantren dan pendidikan Islam Indonesia. Ia dikenal juga sebagai pendiri IAIN (sekarang UIN).
               Pada tahun 1939, ia ikut berperan pada saat NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Pada 24 Oktober 1943 ia terpilih menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebuah organisasi menggantikan MIAI.
                 Saat pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang aktif membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Tahun 1944, ia ikut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (UIN) di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Tahun 1945 ia pun menjadi anggota BPUPKI dan PPKI.
                  Masa kecilnya diisi dengan pengasuhan di Madrasah Tebuireng hingga usi 12 tahun. Sejak kecil sudah hobi membaca dan giat memelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah buku.
               Pada usia 13 tahun, ia sempat mondok dan belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo, selama 25 hari, mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan. Kemudian pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya.
                Kemudian, pada usia 15 tahun, ia kembali ke Tebuireng dan baru mengenal huruf latin. Setelah mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. JUga rajin membaca koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab.
                   Ia pun mulai belajar Bahasa Arab dan Belanda ketika berlangganan majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Setelah itu belajar Bahasa Inggris.
             Ketika umurnya baru 18 tahun, pada tahun 1932, Abdul Wachid pergi ke tanah suci Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Mereka berdua, selain menjalankan ibadah haji, juga memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis. Ia menetap di tanah suci selama 2 tahun.

Terobosan Kurikulum Pesantren
               Sepulang dari tanah suci, ia membantu ayahnya mengajar di pesantren. Juga giat terjun ke tengah-tengah masyarakat. Pada usianya baru menginjak 20-an tahun, Kiai Wachid sudah membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh.
Beliau sudah menggantikan membaca kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para ulama dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.
                Dia pun melakukan terobosan-terobosan besar di Tebuireng. Dia mengusulkan untuk merubah sistem klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren. Namun, usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan masalah antar sesama pimpinan pesantren. Tetapi kemudian pada tahun 1935, usulannya tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70 persen kurikulum berisi materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.
              Pada tahun 1936, Kiai Wachid mendirikan Ikatan Pelajar Islam. Ia juga mendirikan taman bacaan (Perpustakaan Tebuireng) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku. Perpustakaan ini juga berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Ini merupakan terobosan pertama yang dilakukan pesantren manapun di Indonesia.
            Lalu, ia menikah dengan Munawaroh (lebih dikenal dengan nama Sholichah), putri KH. Bisyri Sansuri (Denanyar Jombang) pada hari Jumat, 10 Syawal 1356 H./1936 M. Pada prosesi pernikahan ini, ia hanya berangkat seorang diri ke Denanyar dengan hanya memakai baju lengan pendek dan bersarung. Bukan lantaran tidak ada yang mau mengantar, akan tetapi ia sendiri yang meninggalkan para pengiringnya di belakang.
               Pernikahan Wachid-Sholichah dikaruniai enam orang putra-putri, yaitu Abdurrahman Wachid, Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan yang bungsu Muhammad Hasyim.
                Sembilan tahun kemudian, 1947, ayahnya KH. M. Hasyim Asy’ari meningal dunia. Kiai Wachid pun terpilih secara aklamasi sebagai pengasuh Tebuireng menggantikan ayahandanya. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan musyawarah keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang.

Pokok-pokok Pemikiran KH Wachid Hasyim
             Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wachid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wachid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.
                Mendudukkan para santri dalam posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok pesantren asuhan ayahnya.
                Pertama-tama ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena itu ia kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren.
                Untuk pendidikan pondok pesantren Wachid Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode pengajarannya.
                    Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut:
* Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
* Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
* Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.
               Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam khususnya di lingkungan pesantren lebih berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia). Dengan seperti itu, pesantren didominasi oleh mata ajaran yang berkaitan dengan fiqh, tasawuf, ritual-ritual sakral dan sebagainya.
                 Meski tidak pernah mengenyam pedidikan modern, wawasan berfikir Wachid Hasyim dikenal cukup luas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Berkembangnya pendidikan madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya yang dilakukan oleh cendikiawan muslim, termasuk Wachid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam (pesantren) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
               Apa yang dilakukan oleh Wachid Hasyim adalah merupakan inovasi baru bagi kalangan pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap tabu bagi kalangan pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah membuat pesantren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti halnya memakai pantolan, dasi dan topi, dan dalam konteks luas pengetahuan umum.
                 Dalam metode pengajaran, sekembalinya dari Mekkah untuk belajar, Wachid Hasyim mengusulkan perubahan metode pengajaran kepada ayahnya. Usulan itu antara lain agar sistem bandongan diganti dengan sistem tutorial yang sistematis, dengan tujuan untuk mengembangkan dalam kelas yang menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan menghafal mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau berdikusi. Secara singkat, menurut Wachid Hasyim, metode bandongan akan menciptakan kepastian dalam diri santri.
                  Perubahan metode pengajaran diimbangi pula dengan mendirikan perpustakaan. Hal ini merupakan kemajuan luar biasa yang terjadi pada pesantren ketika itu. Dengan hal tersebut Wachid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis. Dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga pendapatnya bisa dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri (murid). Proses belajar mengajar berorientasi pada murid, sehingga potensi yang dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri.

Empat Tahun Sebelum Masuk Organisasi
              Jangan ada orang yang memasuki suatu organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran kritisnya. Pada umumnya orang yang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau keluarga lain, karena ikut-ikutan atau karena semangat primordial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan warga NU. Sudah lazim orang masuk NU karena keturunan; ayahnya aktif di NU, maka secara otomatis pula anaknya masuk dan menjadi aktivis NU. Kelaziman seperti itu agaknya tidak berlaku bagi Wachid Hasyim. Proses ke-NU-an Abdul Wachid Hasyim berlangsung dalam waktu yang cukup lama, setelah melakukan perenungan mendalam. Ia menggunakan kesadaran kritis untuk menentukan pilihan organisasi mana yang akan dimasuki.
               Waktu itu April 1934, sepulang dari Mekkah, banyak permintaan dari kawan-kawannya agar Abdul Wachid Hasyim aktif dihimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun-tahun itu di tanah air banyak berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan. Baik yang bercorak keagamaan maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha memperkuat basis organisasinya dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dari tokoh-tokoh berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Wachid Hasyim ke tanah air disambut penuh antusias para pemimpin perhimpunan dan diajak bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tidak satupun tawaran itu yang diterima, termasuk tawaran dari NU.
               Apa yang terjadi dalam pergulatan pemikiran Abdul Wachid Hasyim, sehingga ia tidak kenal secara cepat menentukan pilihan untuk bergabung di dalam satu perkumpulan itu? Waktu itu memang ada dua alternatif di benak Abdul Wachid Hasyim. Kemungkinan pertama, ia menerima tawaran dan masuk dalam salah satu perkumpulan atau partai yang ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai sendiri.
                Di mata Abdul Wachid Hasyim perhimpunan atau partai yang berkembang waktu itu tidak ada yang memuaskan. Itulah yang menyebabkan ia ragu kalau harus masuk dan aktif di partai. Ada saja kekurangan yang melekat pada setiap perhimpunan. Menurut penilaian Abdul Wachid Hasyim, partai A kurang radikal, partai B kurang berpengaruh, partai C kurang memiliki kaum terpelajar, dan partai D pimpinannya dinilai tidak jujur.
              ”di mata saya, ada seribu satu macam kekurangan yang ada pada setiap partai,” tegas Abdul Wachid Hasyim ketika berceramah di depan pemuda yang bergabung dalam organisasi Gerakan Pendidikan Politik Muslim Indonesia.
              Setelah beberapa lama melakukan pergulatan pemikiran Wachid Hasyim akhirnya menjatuhkan pilihannya ke NU. Meskipun belum sesuai dengan keinginannya, tapi dianggap NU memiliki kelebihan dibanding yang lain. Selama ini organisasi-organisasi dalam waktu yang pendek tidak mampu untuk menyebar keseluruh daerah. Berbeda dengan NU dalam waktu yang cukup singkat sudah menyebar hingga 60% di seluruh wilayah di Indonesia. Inilah yang dianggap oleh Wachid Hasyim kelebihan yang dimiliki oleh NU.

Masuk Organisasi
              Di tengah kesibukannya mengelola Tebuireng, Kiai Wachid aktif menjadi pengurus NU. Dimulai jadi Sekertaris NU Ranting Cukir, kemudian terpilih sebagai Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang, 1938 dan Pengurus PBNU bagian ma’arif (pendidikan), 1940. Ia giat mengembangkan dan mereorganisasi madrasah-madrasah NU di seluruh Indonesia. Ia menerbitkan Majalah Suluh Nahdlatul Ulama dan juga aktif menulis di Suara NU dan Berita NU.
                Kemudian tahun 1946, Kiai Wachid terpilih sebagai Ketua Tanfidiyyah PBNU menggantikan Kiai Achmad Shiddiq yang meninggal dunia. Pada bulan November 1947, Wachid Hasyim bersama M. Natsir menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres itu diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai Hasyim Asy’ari. Namun Kiai Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada Wachid Hasyim.
              Dalam Masyumi tergabung tokoh-tokoh Islam nasional, seperti KH. Wahab Hasbullah, KH. Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Zainul Arifin, Mohammad Roem, dr. Sukiman, H. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto, Mohammad Natsir, dan lain-lain.
               Sejak awal tahun 1950-an, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Kiai Wachid terpilih sebagai Ketua Umum Partai NU. Keputusan ini diambil dalam Kongres ke-19 NU di Palembang (26-April-1 Mei 1952). Secara pribadi, Kiai Wachid tidak setuju NU keluar dari Masyumi. Akan tetapi karena sudah menjadi keputusan bersama, maka Kiai Wachid menghormatinya. Hubungan Kiai Wachid dengan tokoh-tokoh Masyumi tetap terjalin baik.

 Pahlawan Nasional
             Pada tahun 1939, NU masuk menjadi anggota Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), sebuah federasi partai dan ormas Islam di Indonesia. Setelah masuknya NU, dilakukan reorganisasi dan saat itulah Kiai Wachid terpilih menjadi ketua MIAI, dalam Kongres tanggal 14-15 September 1940 di Surabaya.
                Di bawah kepemimpinan Kiai Wachid, MIAI melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat membatasi aktivitas guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia sebagai komite Nsional yang menuntut Indonesia berparlemen.
                Menjelang pecahnya Perang Dunia ke-II, pemerintah Belanda mewajibkan donor darah serta berencana membentuk milisi sipil Indonesia sebagai persiapan menghadapi Perang Dunia. Sebagai ketua MIAI, Wachid Hasyim menolak keputusan itu.
                   Ketika pemerintah Jepang membentuk Chuuo Sangi In, semacam DPR ala Jepang, Kiai Wachid dipercaya menjadi anggotanya bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Sartono, M. Yamin, Ki Hajat Dewantara, Iskandar Dinata, Dr. Soepomo, dan lain-lain. Melalui jabatan ini, Kiai Wachid berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk sebuah Badan Jawatan Agama guna menghimpun para ulama.
                    Pada tahun 1942, Pemerintah Jepang menangkap Hadratusy Sayeikh Kiai Hasyim Asy'ari dan menahannya di Surabaya. Wachid Hasyim berupaya membebaskannya dengan melakukan lobi-lobi politik. Hasilnya, pada bulan Agustus 1944, Kiai Hasyim Asy'ari dibebaskan. Sebagai kompensasinya, Pemerintah Jepang menawarinya menjadi ketua Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima tawaran itu, tetapi karena alasan usia dan tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya dilimpahkan kepada Kiai Wachid.
                  Bersama para pemimpin pergerakan nasional (seperti Soekarno dan Hatta), Wachid Hasyim memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan RI. Dia membentuk Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus kepada para santri, serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri. Inilah cikal-bakal terbentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah yang, bersama PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
                  Pada tanggal 29 April 1945, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Wachid Hasyim menjadi salah satu anggotanya. Dia merupakan tokoh termuda dari sembilan tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi negara. Dia berhasil menjembatani perdebatan sengit antara kubu nasionalis yang menginginkan bentuk Negara Kesatuan, dan kubu Islam yang menginginkan bentuk negara berdasarkan syariat Islam. Saat itu ia juga menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman.
                Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wachid ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Wachid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946.
                 Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wachid mengeluarkan tiga keputusan yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini, yaitu :
1. Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta.
2. Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.
3. Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.
              Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI). Kiai Wachid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.
               Pada tahun 1950, Kiai Wachid diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga Kiai Wachid tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman.

KH Wachid Hasyim Wafat
             Hari itu, Sabtu 18 April 1953, Kiai Wachid bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Kiai Wachid ditemani tiga orang, yakni sopirnya dari harian Pemandangan, rekannya Argo Sutjipto, dan putera sulungnya Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Kiai Wachid duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto. Daerah di sekitar Cimahi waktu itu diguyur hujan lebat sehingga jalan menjadi licin. Lalu lintas cukup ramai.
            Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, mobil yang ditumpangi Kiai Wachid selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakangnya banyak iringan-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan, sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya. Kiai Wachid dan Argo Sutjipto mengalami luka parah tetapi sang sopir dan Gus Dur tidak cedera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.
                Karena lukanya dianggap sangat parah Kiai Hasyim dan Argo Sutjipto kemudian dibawa ke Rumah Sakit Boromeus Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, keduanya tidak sadarkan diri. Keesokan harinya, Ahad, 19 April 1953 pukul 10.30, KH. Abdul Wachid Hasyim dipanggil menghadap ke hadirat Allah SWT. dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00 Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik. Inna liLlahi wa Inna ilayhi Raji’un.
               Jenazah Kiai Wachid kemudian dibawa ke Jakarta, lalu diterbangkan ke Surabaya, dan selanjutnya dibawa ke Jombang untuk disemayamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. Atas jasa-jasanya beliau juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah, karena Wachid Hasyim dikenal sebagai sosok yang mempunyai banyak sumbangsih terhadap negara Indonesia, khususnya dalam memperjuangkan kemerdekaan.
            Selain dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, Wachid Hasyim aktif dibeberapa organisasi kemasyarakatan seperti MIAI, Masyumi, Liga Muslimin Indonesia, hingga di organisasi terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Di beberapa organisasi tersebut ia selalu dipercaya untuk menjadi Rais Akbarnya. Namun yang paling banyak memberikan sumbangsih dan mengabdi terhadap organisasi yaitu di jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi yang didirikan oleh ayahnya, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.
              Karirnya di NU dimulai dari pengurus ranting NU Cukir Jombang, ketua NU Cabang Jombang, hingga kemudian pada tahun 1940 dipilih menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif (pendidikan). Dari sinilah, perjuangan di NU mulai banyak peningkatan sampai akhirnya pada tahun 1946 Wachid Hasyim diberikan amanah sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU menggantikan Kiai Ahmad Shiddiq.
                Pada masa kepemimpinannya di NU, Wachid Hasyim tidak hanya berkiprah memajukan serta meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan. Beliau juga mampu berkiprah dalam perjuangan politik. Namun perjuangan politiknya bukan perjuangan politik pragmatis untuk memperoleh sebuah kekuasan dan kepentingan pribadi, melainkan ia mampu berkiprah memperjuangkan politik kebangsaan dan kerakyatan. Kiprah Wachid Hasyim di NU benar-benar mengabdi untuk NU, sehingga pada tahun 1939 atas nama wakil NU, ia mampu membawa NU masuk bergabung dalam MIAI sebuah perkumpulan dari berbagai organisasi Islam dalam satu wadah. Jadi, pada usia 25-26 tahun Wachid Hasyim sudah menjadi ketua pergerakan dengan skala nasional dalam dua organisasi.
               Selain itu, Wachid Hasyim pernah mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dengan mengajak M Natsir dan Anwar Cokrominoto, mereka menggerakkan pemuda Islam yang militan, berani berjihad untuk agama, bangsa, dan tanah airnya. Gerakan ini ini diberi nama GPPI (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), yang lahir  pada tanggal 2 Oktober 1945. GPPP ini lahir, sebagai organisasi gerakan kepemudaan Islam yang bergerak dalam lapangan politik dan memiliki kecenderungan radikal (hal. 37).
              Sejak itulah, kita mengetahuai bahwasanya Wachid Hasyim adalah tokoh pergerakan yang mampu membangkitkan NU di pentas nasional. Ia juga mampu meningkatkan bidang pendidikan dan sosial-politik NU. Dengan semua ini, Wachid Hasyim bisa menunjukkan bahwa NU mempunyai kualitas dan bisa berkiprah walaupun warganya mayoritas berlatar belakang kalangan tradisionalis (pesantren).
                Meskipun berlatar belakang dari kalangan tradisionalis, ia tetap konsisten, ikhlas, dan sabar dalam mengabdi pada NU. Dengan kekonsistenan, keikhlasan, dan kesabaran dalam mengabdi di NU, akhirnya NU memberikan sebuah “barokah” (nilai tambah), pada tahun 1949-1952 Wachid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama. Dengan bermodal perjuangan dan mengabdi pada bangsa Indonesia khususnya NU, akhirnya Wachid Hasyim mampu menjadi seorang yang sukses, diterima oleh banyak kalangan, memimpin organisasi terbesar di Indonesia seperti, jam’iyah Nadlatul Ulama (NU) dan organisasi terbesar lainnya yang berskala nasional hingga dipercaya menjadi Menteri Agama.
Salah satu pemikiran Wachid Hasyim yang menarik adalah tentang pemikiran politiknya. Pemikiran dan gerakan politik Wachid Hasyim adalah kebangsaan, kerakyatan, membela negara mengayomi masyarakat. Politik bagi Wachid Hasyim bukanlah sebagai kendaraan untuk meraih sebuah kekuasaan dan jabatan, melainkan ia untuk mengabdi untuk negara, mengayomi masyarakat dari semua golongan. Namun kenyataannya sampai sekarang justru politik dianggap sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan, jabatan, demi kepentingannya sendiri.

KH Wachid Hasyim  Contoh Pribadi Otodidak
                 Kalau di dalam ilmu pendidikan terdapat konsep pendidikan otodidak, maka hal  itu telah dialami oleh KH. Wachid Hasyim. Putra Kyai besar,  pendiri organisasi NU ini, hanya belajar di pesantren dan madrasah yang diasuh oleh orang tuanya sendiri. Menurut catatan sejarahnya,  KH Wachid Hasyim pernah belajar di pesantren  Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo, tempat ayahnya dahulu belajar, namun kesempatan ini tidak berlangsung lama, yakni hanya sebulan.
                    Setelah dari pondok pesantren Siwalan,  beliau  kemudian belajar ke Lirboyo, Kediri, tetapi lagi-lagi hanya dijalani beberapa hari saja. Ayah dari KH Abdurrahman Wachid ini kemudian juga berpindah-pindah dari pesantren satu ke pesantren berikutnya, namun selalu saja dijalani hanya beberapa saat. Menurut penuturan   beberapa penulis,  kebanyakan orang pesantren berkeyakinan bahwa belajar di  pondok pesantren,    yang dipentingkan  bukan ilmunya, tetapi adalah berkah kyai.  Ilmu bisa dicari di mana dan kapan saja, tetapi berkah guru atau kyai harus didapatkan langsung dari guru atau kyai yang bersangkutan.
               Ilmu dan wawasan luas  yang dimiliki oleh KH Wachid Hasyim  diperoleh dari kegiatan membaca sendiri.  Ia  memandang bahwa  bahasa  adalah jendela ilmu.  Oleh karena itu, ia selain belajar Bahasa Arab,  juga belajar  Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda.  Kedua bahasa asing  tersebut diperoleh  melalui  kursus  dari  orang Belanda yang sehari-hari bekerja di pabrik tebu   yang bertempat tinggal  tidak jauh dari rumahnya. Dengan cara itu  putra kyai besar ini mampu berkomunikasi dengan tiga bahasa, yaitu Bahasa Arab,  Bahasa Belanda, dan Bahasa Inggris.
               Berbekalkan kemampuan bahasa asing itu, maka KH Wachid Hasyim berpeluang menambah wawasan pengetahuannya dengan cara membaca buku-buku,  majalah,  dan lain-lain  yang berbahasa asing itu. Kegemarannya membaca dan ditunjang oleh penguasaan bahasa,  sehingga beliau bisa memperkaya pengetahuannya secara mandiri. Bersama Kyai Ilyas, KH Wachid Hasyim pergi ke Saudi Arabia, untuk menunaikan ibadah haji, sekalligus belajar di sana hingga dua tahun lamanya, persis seperti pengalaman ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari.
                Hal yang menarik, sejak  belia, yakni umur tujuh tahun, beliau sudah  membaca al Qurán hingga tamat dan hafal seluruh isi Al-Qur’an saat usia sepuluh tahun. Rupanya orang tua Ir. Salahuddin Wachid, pengasuh pesantren yang dirintis oleh kakeknya sendiri, itu,  sejak awal sudah diperkenalkan dan didekatkan  dengan kitab suci al Qurán.  Selain itu, sejak  usia muda, ia  sudah diperkenalkan dengan kegiatan mengajar. Adik-adiknya dan juga santri yang belajar di pesantren ayahnya, juga belajar kepadanya. Dan sepanjang kegiatan sehari-hari di tengah kesibukan, senantiasa diikuti dengan kebiasaan membaca hafalan Al-Qur’an.
               Kisah pendidikan yang dialami oleh KH Wachid Hasyim ini sebenarnya sangat menarik,  karena sangat berlawanan dengan kebijakan pendidikan yang diberlaklukan oleh pemerintah pada saat ini. Pada saat itu, orang lebih menghargai ilmu dari mana pun  asalnya, termasuk  melalui otodidak. Pada saat sekarang, pemerintah hanya mengakui kegiatan pendidikan yang diselenggarakan secara formal,  sehingga umpama KH Wachid Hasyim hidup pada zaman sekarang, ilmu dan kecakapannya yang sedemikian tinggi dan luas, terpaksa  tidak akan mendapatkan tempat di institusi pemerintahan,  apalagi menjadi seorang menteri, hanya karena tidak memiliki ijazah pendidikan formal.
               Pada saat sekarang ini, apa saja dan tidak terkecuali  pendidikan dijalankan melalui peraturan yang cukup ketat. Menyimpang  dari  peraturan dianggap salah, sekalipun bernilai tinggi. Kreativitas menjadi tersumbat dan apa saja dijalankan dengan pendekatan formal, walaupun akibatnya tidak lebih dari sekadar  formalitas.  Dengan mudah dapat kita lihat, banyak lembaga pendidikan hanya memenuhi syarat formal,  dan bahkan ijazah dan gelar lulusannya pun berbau formalitas. Kualitas yang bersifat substansial malah tersingkirkan.
                 Pemerintah pada saat itu lebih fleksibel, dan mampu melihat sesuatu justru dari aspek substansinya.  Seorang seperti KH Wachid Hasyim tidak dipersoalkan tentang asal muasal pengetahuannya, tetapi dilihat realitasnya. Dilihat dari perspektif administrasi modern mungkin harus begitu, akan tetapi semestinya ada ruang untuk melihat  kenyataan secara jernih. Umpama pemerintah ketika itu kebijakannya sama dengan sekarang, maka  KH Wachid Hasyim yang sedemikian cerdas  tidak akan bisa terlibat sebagai anggota BPUPKI, PPKI, memimpin organisasi besar tingkat nasional, ketua MIAI, kemudian ketua Masyumi  dan bahkan juga diangkat sebagai menteri agama pada periode yang pertama.
                  Sebenarnya, yang sudah sekian lama dituntut oleh para kyai pesantren agar lulusannya diakui oleh pemerintah, melalui program mu’adalah atau penyetaraan, adalah didasarkan atas bukti empirik seperti yang dialami oleh KH Wachid Hasyim ini. Banyak alumni  pesantren sebagaimana  yang dialami oleh KH Wachid Hasyim berhasil menguasai berbagai bahasa asing, tidak saja bahasa Arab yang memang sehari-hari dijadikan bahan kajiannya memahami sumber-sumber ajaran Islam, tetapi juga mampu  berbahasa Inggris untuk memahami ilmu-ilmu lainnya; namun selama ini tidak ada pintu untuk mendapatkan pengakuan pemerintah.
                  Akibatnya, orang-orang yang berpengetahuan luas yang diperoleh melalui otodidak, tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah.  Maka resikonya,  orang yang tergolong pintar, yang kebanyakan berasal dari pesantren,  tidak mendapatkan peluang untuk berpartisipasi di masyarakat sebagaimana yang diharapkan.  Sebaliknya, terdapat banyak sekali orang yang memiliki ijazah formal dan bahkan hingga tingkat tinggi, katakanlah hingga master (S2) dan bahkan Dokitor (S3), namun tidak berhasil menunjukkan kemampuannya yang setara dengan gelar yang disandangnya.

KH. Wachid Hasyim Memprakarsai Lahirnya Perguruan Tinggi Islam Pertama
               Berbekalkan ilmu yang diperoleh dari pesantren orang tuanya sendiri dan ditambah dari nyantri yang tidak terlalu lama dari beberapa pesantren, ternyata KH Wachid Hasyim berhasil membaca dan memahami ajaran Islam serta persoalan umatnya secara lebih jernih. Dengan  bahasa sekarang, ia berhasil membaca ayat-ayat qawliyah, yakni al-Qur’an dan al-Hadis, sekaligus ayat-ayat kawniyah, yakni ayat-ayat Allah yang tersebar luas di alam semesta. Sadar bahwa terjadi semacam diskriminasi terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren, KH Wachid Hasyim memprakarsai lahirnya Perguruan Tinggi Islam, yang menjadi cikal-bakal bagi lahirnya IAIN dan STAIN di Indonesia.
Pujie Rahayu, Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya   
You have read this article Sejarah with the title KH Wachid Hasyim: Pribadi Otodidak Pahlawan Nasional. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/11/kh-wachid-hasyim-pribadi-otodidak.html. Thanks!

No comment for "KH Wachid Hasyim: Pribadi Otodidak Pahlawan Nasional"

Post a Comment