Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Bersama Pejuang Persiapkan Kemerdekaan (Ki Ageng Suryomentaram-2)

Oleh: Dian Pratiwi
           Ki Gede Suryomentaram dan Ki Hajar Dewantara beserta beberapa orang sering mengadakan sarasehan. Kegiatan ini rutin dilakukan setelah Perang Dunia I baru selesai. Acara sarasehan ini rutin dilakukan setiap malam Selasa Kliwon dan dikenal dengan nama Sarasehan Selasa Kliwon. Tokoh- tokoh yang biasa hadir dalam Sarasehan Selasa Kliwon ada sembilan orang diantaranya Ki Gede  Suryomentaram, Ki Hajar Dewantoro, Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, BRM Subono (adik Ki Gede Suryomentaram), Ki Suryodirjo, Ki Sutatmo, dan Ki Suryoputro.
           Dalam sarasehan tersebut tokoh- tokoh tersebut membahas keadaan sosial- politik di Indonesia yang terjadi pada saat itu. Setelah Perang Dunia I selesai, negara- negara Eropa mengalami krisis ekonomi. Hal ini juga dialami oleh Belanda yang pada saat itu masih menjajah Indonesia. Menurut peserta sarasehan, krisis ekonomi yang dialami Belanda merupakan saat yang sangat baik untuk Indonesia melepas diri dari penjajahan Belanda. Mereka memiliki gagasan awal untuk melakukan gerakan fisik melawan Belanda. Tetapi pada akhirnya mereka menyadari gerakan fisik tersebut belum mungkin dijalankan karena Belanda masih cukup kuat untuk dilawan.

          Di lain pihak Indonesia tidak mempunyai kekuatan apa- apa sehingga dikhawatirkan Belanda akan mudah menumpas Indonesia. Meskipun perlawanan fisk dirasa tidak mungkin, tetapi semangat perlawanan untuk merebut kemerdekaan tetap membara. Untuk mengganti perlawanan fisik melawan Belanda, peserta sarasehan sepakat untuk membuat suatu gerakan moral bagi rakyat Indonesia. Gerakan moral ini bertujuan memberikan landasan dan menanam semangat kebangsaan kepada pemuda- pemudi Indonesia melalui pendidikan kebangsaan. Pendidikan kebangsaan yang berhasil mereka dirikan adalah Taman Siswa pada tahun 1922. Ki Hajar Dewantara terpilih sebagai ketuanya. Sedangkan Ki Gede Suryomentaram sendiri diberi tugas sebagai pengajar orang- orang tua. Ki Hajar Dewantara merubah nama Ki Gede Suryomentaram menjadi Ki Ageng Suryomentaram.
               Pada tahun 1925 Ki Ageng Suryomentaram menikah lagi setelah 10 tahun beliau menduda karena ditinggal mati oleh istri pertamanya. Setelah menikah, Ki Ageng Suryomentaram beserta keluarganya pindah ke Bringin sedangkan rumahnya yang  di Yogyakarta digunakan sebagai asrama dan sekolah Taman Siswa.  Pada suatu malam di tahun 1927 beliau terbangun dari tidur dan tiba- tiba beliau menyadari apa yang selama ini beliau cari, apa yang telah membuat beliau resah, gelisah, dan kecewa. Ki Ageng Suryomentaram membangunkan istrinya dan menjelaskan bahwa selama ini yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas, yang diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, dan menjadi petani kecewa adalah Suryomentaram, dirinya sendiri. Suryomentaram adalah orang yang suka kecewa, tidak puas, tidak kerasan, dan bingung. Sekarang beliau sudah tahu bahwa beliau sudah dapat dan selalu bertemu orang dan tinggal mengawasi dan menjaga dirinya sendiri. Beliau menyadari bahwa orang yang ingin ditemui itu adalah dirinya sendiri. 
                Sejak saat itu Ki Ageng Suryomentaram senang bepergian lagi. Tetapi keluyuran beliau bukan untuk tirakat seperti dulu lagi, tetapi untuk mendatangi teman- temannya untuk mengutarakan hasilnya bertemu orang- bertemu diri sendiri. Mereka pun kemudian merasa bertemu orang- bertemu diri sendiri masing- masing. Setiap kali bertemu orang (diri sendiri) timbul rasa senang. Rasa senang tersebut dinamakan "rasa bahagia", bahagia yang bebas tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan. Pada tahun 1928 semua hasil "mengawasi dan menjajagi rasa diri sendiri" itu ditulis dalam bentuk tembang (puisi), kemudian dijadikan buku dengan judul "Uran-uran Beja”. Kisah-kisah tentang laku Ki Ageng yang menjajagi rasa diri sendiri tersebut ada banyak sekali.
            Ki Ageng Suryomentaram mulai rajin melakukan ceramah dan pertemuan. Di setiap ceramah dan pertemuan yang dilakukan beliau, selalu ada PID (Politzeie Inlichtingen Dienst). PID adalah reserse milik Belanda. Belanda mencurigai gerak- gerik Ki Ageng Suryomentaram. Sekitar tahun 1926, ketika aksi bangsa kita menentang bangsa Belanda semakin marak, PKI melakukan pemberontakan. Banyak  perintis kemerdekaan yang ditangkap dan dibuang ke Digul dengan tuduhan sebagai agen atau anggota komunis. Suatu ketika Ki Ageng Suryomentaram bepergian dari Bringin ke Yogya, sesampainya di desa Gondangwinangun ia ditahan oleh polisi kemudian dibawa ke Yogya dan dimasukkan ke dalam sel tahanan. Setelah ditanggung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Ki Ageng kemudian dibebaskan.
           Ki Ageng Suryomentaram pernah melangsungkan pertemuan “Manggala Tiga Belas” bersama- sama dengan teman- teman yang lain. Pertemuan "Manggala Tiga Belas" yang pertama diadakan di pendapa Taman Siswa, dan yang kedua diadakan di rumah Pangeran Suryodiningrat. Pertemuan tersebut baru sempat diadakan dua kali ketika Jepang sudah keburu mendarat di Jawa. Pada pertemuan-pertemuan "Manggala Tiga Belas" persoalan-persoalan yang dibicarakan berkisar pada bagaimana cara menolak peperangan bila Indonesia menjadi gelanggang perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng mengemukakan bahwa bangsa Indonesia dalam peperangan itu mempunyai tiga pilihan. Tiga pilihan tersebut adalah membela majikan lama yaitu Belanda, ganti majikan baru yaitu Jepang, atau menjadi majikan sendiri yaitu negara sendiri Indonesia. Beliau juga berpendapat perang itu sendiri bukanlah persoalan kita melainkan persoalan pihak Belanda dan Jepang yang akan melibatkan rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia tinggal di negeri sendiri tetapi negerinya dipakai untuk gelanggang perang. Jika tidak mau menerima hal itu, rakyat bisa pergi meninggalkan Indonesia. Tetapi pertanyaan berikutnya akan pergi kemana rakyat Indonesia. Dan jika tanah air ditinggalkan begitu saja, negara lain pasti akan mengambilnya.
            Pada waktu pendudukan Jepang, Ki Ageng berusaha keras untuk membentuk tentara, karena ia berkeyakinan bahwa tentara adalah tulang punggung negara. Hal ini dikemukakan Ki Ageng dalam pertemuannya dengan Empat Serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, Kiai Haji Mas Mansoer, Ki Hadjar Dewantara). Ki Ageng Suryomentaram juga menyusun suatu tulisan tentang dasar-dasar ketentaraan yang diberinya nama "Jimat Perang", yaitu pandai perang dan berani mati dalam perang. Jimat Perang ini diceramahkan oleh Ki Ageng Suryomentaram ke mana-mana. Pada suatu kesempatan bertemu Bung Karno, beliau memberikan Jimat Perang ini, yang kemudian dipopulerkan oleh Bung Karno dalam pidato-pidatonya di radio. Maka Jimat Perang ini segera tersebar luas di kalangan masyarakat sehingga membangkitkan semangat berani mati dan berani perang.
              Dalam usaha mewujudkan gagasannya, Ki AgengSuryomentaram mengajukan permohonan kepada gubernur Yogya yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel Yamauchi, untuk membentuk tentara sukarela, akan tetapi permohonan tersebut ditolak. Kemudian seorang anggota dinas rahasia Jepang yang bernama Asano menyanggupi akan membawa permohonan itu langsung ke Tokyo. Untuk membuat surat permohonan tersebut Ki Ageng membentuk panitia 9 yang disebut "Manggala Sembilan", masing-masing adalah: Ki Suwarjono, Ki Sakirdanarli, Ki Atmosutidjo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, Ki Darmosugito, Ki Asrar, Ki Atmokusumo, Ki Ageng Suryomentaram. Setelah ditandatangani dengan darah masing-masing oleh kesembilan orang di atas, surat tersebut diserahkan kepada Asano yang membawanya sendiri langsung ke Tokyo. Permohonan ini tidak diketahui oleh pemerintah Jepang di Indonesia. Tidak lama kemudian diterima berita bahwa permohonan tersebut dikabulkan. Maka pemerintah Jepang yang ada di Indonesia terkejut, tetapi karena itu adalah izin langsung dari Tokyo maka Tentara Sukarela tetap harus dibentuk.
             Kemudian Ki Ageng Suryomentaram mengadakan pendaftaran. Maka berduyun-duyunlah yang mendaftarkan diri. Akhirnya pendaftaran diambil alih oleh pemerintah dan nama Tentara Sukarela diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air, disingkat PETA. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tentara PETA inilah yang merupakan modal kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan selanjutnya menjadi inti Tentara Nasional Indonesia (TNI).
                 Pada waktu perang kemerdekaan, Ki Ageng Suryomentaram memimpin pasukan gerilya yang disebut Pasukan Jelata, daerah operasinya di sekitar Wonosegoro. Setelah ibu kota RI Yogyakarta diduduki Belanda, Ki Ageng bersama keluarga meninggalkan kota, mengungsi ke daerah Gunung Kidul. Di tempat pengungsian ini Ki Ageng masih selalu berhubungan dengan tentara gerilya.
              Ki Ageng Suryomentaram memuali lagi mengadakan ceramah- ceramah Kawruh Beja (Kawruh Jiwa) setelah adanya penyerahan kedaulatan. Beliau ikut mengisi kemerdekaan dengan cara membangun jiwa rakyat melalui ceramah- ceramah yang disampaikan beliau. Pada tahun 1957 beliau pernah diundang oleh Presiden Soekarno ke Istana Merdeka. Bung Karno meminta pendapat tentang wawasan berbagai macam masalah negara. Meskipun seorang presiden yang mengundang beliau, Ki Ageng Suryomentaram tetap mengenakan pakaian biasa yang selalu dipakainya sehari- hari.
                 Ki Ageng Suryomentaram menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan kurang lebih selama 40 tahun. Setelah 40 tahun penyelidikan beliau, ketika sedang mengadakan ceramah di desa Sajen di daerah Salatiga, Ki Ageng Suryomentaram jatuh sakit. Kemudian beliau dibawa pulang ke Yogyakarta dan dirawat di rumah sakit. Pada saat dirawat di rumah sakit, beliau masih sempat menemukan kawruh yang berbunyi “Puncak belajar kawruh jiwa ialah mengetahui gagasannya sendiri”. Ki Ageng Suryomentaram beberapa hari dirawat di rumah sakit tetapi sakitnya tidak kunjung berkurang. Kemudian beliau dibawa pulang ke rumah. Karena sakitnya yang semakin parah, akhirnya beliau meninggal dunia pada hari Minggu Pon tanggal 18 Maret 1962 pada pukul 16: 45 di rumah beliau sendiri. Ki Ageng Suryomentaram dimakamkan di pemakaman keluarga di desa Kranggotan yang terletak di sebelah selatan kota Yogyakarta. Ki Ageng Suryomentaram menutup usia pada usia 70 tahun dengan seorang istri, dua orang anak laki- laki, dan empat orang anak perempuan. Dan yang paling penting, beliau telah mewariskan hasil pemikirannya yang membawa pengaruh baik bagi khalayak banyak.
Dian Pratiwi, mahasiswi Jueusan Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya
You have read this article Filsafat with the title Bersama Pejuang Persiapkan Kemerdekaan (Ki Ageng Suryomentaram-2). You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/12/bersama-pejuang-persiapkan-kemerdekaan.html. Thanks!

No comment for "Bersama Pejuang Persiapkan Kemerdekaan (Ki Ageng Suryomentaram-2)"

Post a Comment