Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Pemikiran Mahmud Muhammad Thaha

Oleh: R.P.Fida' El-Hijr

       Mahmud Muhammad Thaha, pemikir Islam asal Sudan, yang merupakan guru dari Abdullahi Ahmed An-Naim, memberikan perspektif baru dalam melihat Islam dan produk syariatnya. Beliau membagi Islam pada dua periodesasi, yaitu periode Mekkah (610-622 M) yang disebut dengan “ar-risalah al-ula” (the first message-Misi Pertama) dan periode Madinah (622-632 M) yang disebut dengan “ar-risalah ats-tsaniyah” (the second message-Misi Kedua). Karakter Islam yang terbangun dalam Misi Pertama adalah ajaran-ajaran yang bernuansa universal, substantif, penuh dengan semangat perlindungan HAM, semangat egaliter, dan bercirikan sistem yang demokratis. Sedangkan Islam pada masa Misi Kedua sudah menjadi bangunan keislaman yang cenderung mapan, berorientasi penuh ke dalam (in wordly), dan penuh dengan aturan-aturan “syariat” kolektif.
         Nabi Muhammad SAW adalah utusan bagi Misi Pertama dan juga diutus untuk Misi Kedua. Allah telah menjelaskan secara detil Misi Pertama dan memberikan secara global Misi Kedua. Untuk memahami Misi Kedua secara terinci dibutuhkan pemahaman baru terhadap al-Qur’an. Namun, Thaha memberikan catatan bahwa pada dasarnya al-Qur’an itu tidak mungkin dijelaskan secara final. Islam tidak mungkin selesai. Perjalanan Islam adalah perjalanan secara terus-menerus, tidak mengenal akhir dari proses pencarian. Oleh karena itu, menjalankan al-Qur’an dalam bingkai Islam berarti melakukan perjalanan menuju Allah secara terus-menerus. Agar bisa menangkap pesan wahyu dan realitas yang tengah diamati maka perlu menyertakan upaya kontekstualiasi pemaknaan secara dinamis.

           Melalui penjelasan Thaha tersebut kita bisa memahami bahwa ajaran-ajaran moral atau etika Islam sebagian besar telah ada dalam konstruksi Islam pada masa Mekkah. Etika Islam Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Perdebatan teologi juga berimplikasi pada perdebatan tentang etika dalam Islam. Sebagian besar kontroversi bidang etika dalam filsafat Islam adalah bersumber dari perdebatan-perdebatan teologi yang paling pokok. Perdebatan antara kelompok Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah salah satu contoh yang pernah menghiasi sejarah pemikiran Islam.
            Menurut kalangan Asy’ariyah, makna etika murni bersifat subyektif, bisa mempunyai makna apabila ada subyek (Allah). Satu-satunya tujuan bertindak moral adalah untuk mematuhi Allah. Bagi mereka, makna moralitas hanya bisa dipahami apabila mampu bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah. Sedangkan kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perintah Allah benar adanya, dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah. Dia memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar lantaran memang benar adanya, berdasarkan landasan-landasan obyektif, bukan pada perintah Allah. Allah tidak dapat menunut kita untuk melakukan sesuatu yang benar karena aturan-aturan moralitas bukanlah ha-hal yang berada di bawah kendali-Nya.
           Perdebatan dua madzhab tersebut masih berlanjut hingga kini. Kalangan Asy’ariyah memandang moralitas berada di bawah kontrol Tuhan, atau dengan pengertian lain moralitas itu mengandaikan agama. Akan  tetapi, kalangan Mu’tazilah berpandangan sebaliknya. Mereka memandang moralitas adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh tuntutan agama. Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa. Rupanya, al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam.
           Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama --atau bahkan satu-satunya-- dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia.
           Amin Abdullah melakukan kajian perbandingan tentang filsafat etika al-Ghazali dan Immanuel Kant, sebagai dua tokoh intelektual representatif dari kalangan Muslim dan Kristiani. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.
              Pemikiran etika Islam yang dibangun dengan sistem berpikir rasional adalah madzhab Mu’tazilah. Madzhab ini sering disebut sebagai madzhab rasionalisme dalam pemikiran Islam. Kalangan Mu’tazilah membuktikan kepercayaan-kepercayaan yang hanya diterima lewat perantaraan wahyu dengan argumen-argumen rasional, tapi juga mempercayai akal sebagai pemecah segala persoalan. Misalnya, ketika teks agama bertentangan dengan akal manusia, maka menurut kalangan Mu’tazilah kita harus berpihak pada akal, dan teks agama itu harus ditafsirkan.
            Menurut Mu’tazilah, syariat yang mengajarkan tentang etika, seperti perbuatan baik, harus ditundukkan di bawah kendali akal. Alasannya, wahyu tidak menetapkan nilai tertentu pada sebuah perbuatan baik. Wahyu hanya mengabarkan adanya nilai perbuatan itu, tapi akal-lah yang membuktikan baik-buruknya sebuah perbuatan. Jelas terlihat bahwa Mu’tazilah mengembalikan hukum-hukum etika pada prinsip-prinsip rasionalitas.
            Madzhab Mu’tazilah sangat mementingkan peran akal karena Tuhan memberikan akal pikiran kepada manusia agar ia mau berpikir. Dengan diberikannya akal ini, manusia mampu menentukan perbuatan, karena ia berkuasa. Manusia dapat memilih mana perbuatan yang baik dan taat kepada Tuhan dengan akal pikirannya. Jadi, akal-lah yang membimbing manusia dalam kehidupan praktisnya.

Keadilan dan Kebebasan
          Etika sosial Islam harus berlandaskan pada cita-cita keadilan dan kebebasan bagi individu untuk melakukan kebaikan sosial. Etika sosial Islam adalah sebuah pandangan moralitas agama yang mengarahkan manusia untuk berbuat baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur.
            Bagi madzhab Mu’tazilah, keadilan adalah asas etika. Keadilan Tuhan adalah salah satu lima asas yang diyakini Mu’tazilah. Mereka kerap menerapkan asas keadilan sebelum asas tauhid, sehingga mereka sering disebut sebagai “ahl al-‘adl wa al-tauhid”. Dalam madzhab Mu’tazilah, ada korelasi antara asas keadilan dan asas tauhid. Bagi Mu’tazilah, tauhid adalah sifat terpenting dari zat Tuhan, sedang keadilan adalah sifat terpenting dari perbuatan Tuhan. Dengan pengertian keadilan seperti ini, maka ada relasi antara Tuhan dan manusia, sebuah relasi yang berbasis pada keadilan mutlak dari sisi Tuhan. Mu’tazilah berkeyakinan bahwa seluruh yang dilakukan Tuhan sepenuhnya adalah adil.
             Definisi keadilan menurut Mu’tazilah, seperti dikutip al-Syahrastani, adalah “kebijaksanaan rasional untuk melakukan perbuatan secara benar dan berguna”. Sehingga, dalam pemikiran Mu’tazilah, akal mengharuskan segala perbuatan yang bersumber dari Tuhan dan yang berkaitan dengan manusia mukallaf, berdasarkan pada kebijaksanaan Tuhan dan mengandung maslahat bagi umat manusia. Pengertian keadilan menurut Mu’tazilah juga berarti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia.16 Dengan pengertian demikian, perbuatan manusia perlu didasarkan atas pertimbangan rasional, menuju pada keadilan, dan mengarah pada kepentingan manusia.
             Etika sosial Islam juga harus menjamin adanya kebebasan individu. Menurut Mahmud Thaha, aturan dasar Islam adalah bahwa setiap orang bebas hingga secara praksis dia terlihat tidak mampu dalam menjalankan kebebasannya. Kebebasan itu harus diimbangi dengan keharusan menunaikan kewajiban, yaitu bagaimana menjalankan kebebasan secara baik. Jika tidak mampu menjalankan kebebasannya maka kewajibannya harus dicabut melalui “hukum”, dengan menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif.
               Mengenai hubungan antara individu dan kelompok dalam Islam, Thaha menjelaskan dengan sangat menarik sekali. Islam menjadikan individu sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Individu diberi kebebasan sebagai pengampu moralitas. Kebutuhan individu terhadap kebebasan mutlak individualnya merupakan perpanjangan dari kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial yang menyeluruh. Islam menata masyarakat sebagai sarana untuk menuju kebebasan dengan landasan tauhid. Sehingga, syariat dijadikan “jalan dan metode” yang terbagi atas dua tingkatan, yaitu tingkatan individual yang berbentuk ibadah dan tingkatan kelompok yang dimanifestasikan dalam bentuk mu’amalah.
               Kebebasan dalam Islam adalah mutlak dan menjadi hak setiap individu sebagai manusia, tanpa memandang agama ataupun etnis, dan sebagainya. Undang-undang dalam Islam adalah suatu peraturan untuk menghubungkan antara kebutuhan individu dan kebutuhan kelompok terhadap keadilan sosial. Sehingga, yang menjadi dasar adalah syariat individual, bukan syariat kolektif. Titik pijakan utama adalah pada tingkatan kebebasan individual yang mempengaruhi keberadaan syariat pada tingkatan kolektif. Sehingga unsur dasar pada Misi Kedua adalah penerapan syariat secara dinamis, ada kemungkinan perubahan, dan mengalami proses perkembangan (organis). Syariat pada masa Madinah bersifat sangat dinamis, sedang syariat pada masa Mekkah bersifat universal dan substantif.
                  Jika kita mencoba memahami syariat (Islam) maka pijakannya yang utama pada masa Mekkah karena di sana kebebasan individual sangat diperhatikan. Istilahnya, Islam kafah (sempurna) adalah Islam pada masa periode Mekkah. Masa Madinah adalah “perpanjangan tangan” atas syariat pada masa Mekkah, yang tidak lantas kemudian me-nasakh (menghapus) syariat sebelumnya.
R.P.Fida' El-Hijr, mahasiswa jurusan pendidikan bahasa indonesia FIB Universitas Brawijaya
You have read this article with the title Pemikiran Mahmud Muhammad Thaha. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/07/pemikiran-mahmud-muhammad-thaha.html. Thanks!

No comment for "Pemikiran Mahmud Muhammad Thaha"

Post a Comment