Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Puisi Chairil Anwar dan Post-Modernisme

 Oleh: Yeni Fajar Anggreini
Biografi Singkat Chairil Anwar
               Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha. Ayahnya bekerja sebagai pamongpraja. Ibunya masih mrmpunyai pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Chairil dibesarkan dalam keluarga yang berantakan. Kedua orang tuanya bercerai dan ayahnya menikah lagi dengan wanita lain. Setelah perceraian itu, Chairil mengikuti ibunya merantau ke Jakarta. Saat itu, ia baru lulus SMA.  Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus.

                  Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja, namun tak satu pun puisi awalnya yang ditemukan. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman. Ia mengisi waktu luangnya dengan membaca buku-buku dari pengarang internasional ternama, seperti Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini memberikan kesan lebih pada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia.
                  Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang pedih sebagaimana yang tertulis dalam kutipan (1). (1) Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta. Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil sayangi. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu. Hal itu ia lakukan sebagai tanda bahwa ia yang mendampingi nasib ibunya. Di depan ibunya juga, Chairil sering kali kehilangan sisi liarnya. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Chairil Anwar mulai memiliki perhatian terhadap kesusasteraan sejak sekolah dasar. Di masa itu, ia sudah menulis beberapa sajak yang memiliki corak Pujangga Baru, namun ia tidak menyukai sajak-sajak tersebut dan membuangnya. Begitulah pengakuan Chairil Anwar kepada kritikus sastra HB. Jassin. Seperti yang ditulis oleh Jassin sendiri dalam Chairil  Anwar Pelopor Angkatan 45.
             Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kegigihannya. Seorang teman dekatnya, Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam. Jassin juga pernah bercerita tentang salah satu sifat sahabatnya tersebut, “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
              Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Semua nama gadis itu masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Hapsah adalah gadis kerawang yang menjadi pilihannya untuk menemani hidup dalam rumah tangga. Pernikahan itu tak berumur panjang. Karena kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat itu, anaknya baru berumur tujuh bulan dan Chairil pun menjadi duda. Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya, namun banyak pendapat yang mengatakan bahwa TBC kronis dan sipilislah yang menjadi penyebab kematiannya. Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar yang menjadi notaris di bekasi harus meminta maaf saat mengenang kematian ayahnya di tahun 1999. Ia berkata, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar”, (Haniey:2007).
                Tak sedikit buku-buku karangan Chairil semasa hidupnya, buku-buku itu adalah sebagai berikut. Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949), Tiga Menguak Takdir (1950, dengan Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949, diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986), Derai-derai Cemara (1998), Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide Kena Gempur (1951), dan terjemahan karya John Steinbeck. Selain itu, karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya seperti Sharp gravel, Indonesian poems, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960), Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati (Madrid: Palma de Mallorca, 1962), Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963), Only Dust: Three Modern Indonesian Poets, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969), The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970), The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974), Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978), dan The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993). 

Hubungan Karya Chairil Anwar dan Perkembangan Postmodernisme
                Terminologi postmodernisme itu sendiri menunjuk pada “post-strukturalisme” (1960-an) di Perancis. Sebagai sebuah aliran filsafat, postmodernisme adalah gelombang cara berpikir yang sepintas dapat disebut “sesudah” filsafat modern dengan tokoh-tokohnya antara lain seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, Nietzche, Richard Roty, Umberto Eco dan sebagainya. Postmodernisme memandang bahwa sistem-sistem, prinsip-prinsip, metode-metode, ide-ide yang pasti, sahih dan rasional yang menjadi ciri khas filsafat modern telah rontok dan tidak berlaku lagi dan telah ketinggalan zaman. Seperti diketahui pula filsafat modern adalah cetusan kebudayaan rasionalisme Barat. Postmodernisme memproklamasikan bahwa peradaban rasionalisme Barat telah rontok seiring dengan berkembangnya peradaban baru yang mendobrak bentuk-bentuk kemapanan di segala bidang kehidupan manusia.
               Postmodernisme adalah gelombang filsafat kritis, atau lebih tepatnya filsafat “tidak” Maksudnya, postmodernisme memproklamasikan tidak-sistem, tidak-konstruksi budaya, tidak-keseragaman, tidak-aneka paket-paket, atau pola-pola mati mengenai bidang-bidang kehidupan-kehidupan. Lebih dari itu, postmodernisme mengecam keras segala bentuk ketunggalan , termasuk di dalamnya aneka bentuk pemaknaan tunggal atas sebuah kata, kalimat atau bahkan teks.
                 Postmodernisme dengan sendirinya menyangkal origin. Artinya, postmodernisme menolak suatu realitas di balik fenomena, realitas sumber, realitas terakhir. Dengan demikian, untuk memperoleh makna sebuah kata, kalimat atau teks tidak diperlukan lagi maksud original-nya. Misalnya, untuk memperoleh makna sajak Chairil Anwar yang terkenal “Aku”, seseorang tidak mungkin menghubungi Chairil Anwar karena dia telah meninggal dunia. Lagi pula, andai teks puisi itu sekarang dibaca sebenarnya tidak lagi untuk masyarakat atau generasi saat puisi diciptakan, tetapi untuk generasi saat ini.
                     Bagi postmodernisme, every author is a dead author. Menurut Derrida, ketika sebuah teks selesai ditulis saat itu pula berakhirnya teks itu dan dimulainya makna baru. (that is the end of a text and the beginning of writing). Dengan kata lain, teks sebagai kristalisasi dari maksud origin penulisnya sudah tidak berlaku lagi begitu teks memperoleh pembaca. Tetapi mulai suatu penulisan dan pemahaman-pemahaman baru sesuai konteks yang tidak lagi dibantu oleh maksud-maksud original-nya. Dan pada saat itu pula pembaca baru sebuah teks mulai, tentu dengan makna yang baru.
                 Postmodernisme juga menolak paham unity. Bagi postmodernisme, apa yang kita lihat, rasakan, pandang, mengerti, pikirkan dan lain-lain tidak pernah merupakan suatu eksistensi singular, integral dan uniter. Realitas selalu tidak tunggal, tetapi plural, kompleks dan belum selesai. Misalnya, apa yang disebut dengan terorisme tentu tidak dapat dimaknai dari satu aspek saja. Pemahaman dan pemaknaan atas sebuah realitas harus dilakukan secara komprehensif dari a part ke a whole dan sebaliknya. Artinya, untuk memahami bagian dari sebuah realitas harus dilihat secara keseluruhan (a whole) dan sebaliknya pula untuk memahami keseluruhan realitas harus dimulai dari bagian-bagian (a part). Karenanya, untuk memahami Amrozi misalnya, harus dilihat kehadirannya secara utuh (pikiran, latar belakang kehidupan, pendidikan, keluarga, pikiran, cengengesannya, dan sebagainya).

Analisis Karya Chairil Anwar yang Berjudul “AKU” dengan Perkembangan Postmodernisme
AKU
Oleh : Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943
           Puisi yang sebelumnya berjudul Semangat ini terdapat dua versi yang berbeda. Terdapat sedikit perubahan lirik pada puisi tersebut. Kata ‘ku mau’ berubah menjadi ‘kutahu’. Pada kata ‘hingga hilang pedih peri’, menjadi ‘hingga hilang pedih dan peri’. Kedua versi tersebut terdapat pada kumpulan sajak Chairil yang berbeda, yaitu versi Deru Campur Debu, dan Kerikil Tajam. Keduanya adalah nama kumpulan Chairil sendiri, dibuat pada bulan dan tahun yang sama. Mungkin Chairil perlu uang, maka sajaknya itu dimuat dua kali, agar dapat dua honor (Aidit:1999).
                Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencariannya akan corak bahasa ucap yang baru, yang lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Chairil Anwar pernah menuliskan betapa ia betul-betul menghargai salah seorang penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang telah  mampu mendobrak bahasa ucap penyair-penyair sebelumnya. Idiom ‘binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu  pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung mendayu-dayu. 
               Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah, seperti Chairil sendiri. Pada lirik pertama, chairil berbicara masalah waktu seperti pada kutipan (2).
(2) Kalau sampai waktuku:
               Waktu yang dimaksud dalam kutipan di atas  adalah sampaian dari waktu atau sebuah tujuan yang dibatasi oleh waktu. Seperti yang telah tertulis di atas, bahwa Chairil adalah penyair yang sedang dalam pencarian bahasa ucap yang mampu memenuhi luapan ekspresinya sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa harus memperdulikan bahasa ucap dari penyair lain saat itu. Chairil juga memberikan awalan kata ‘kalau’ yang berarti sebuah pengandaian. Jadi, Charil berandai-andai tentang suatu masa saat ia sampai pada apa yang ia cari selama ini, yaitu penemuan bahasa ucap yang berbeda dengan ditandai keluarnya puisi tersebut.
(3) 'Ku mau tak seorang 'kan merayu’:
               Pada kutipan di atas inilah watak Charil sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia tahu bahwa dengan menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak protes dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan penyair. Memang dasar sifat Chairil, ia tak menanggapi pembuicaraan orang tentang karyanya ini, karena memang inilah yang dicariny selama ini. Bahkan ketidakpeduliannya itu lebih dipertegas pada lirik selanjutnya pada kutipan
(4). Tidak juga kau:
                ‘Kau’ yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk.
                    Berbicara tentang baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara tentang nilai baik atau buruk dan masih tentang ketidakpedulian Chairil atas keduanya.
(5) Tidak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang:
                      Dari kumpulannya terbuang, Zaini, salah seorang Sahabat Chairil pernah bercerita, bahwa ia pernah mencuri baju Chairil dan menjualnya. Ketika Chairil mengetahui perbuatan sahabatnya itu, Chairil hanya berkata, “Mengapa aku begitu bodoh sampai bisa tertipu oleh kau”. Ini menunjukkan suatu sikap hidup Chairil yang tidak mempersoalkan baik-buruknya suatu perbuatan, baik itu dari segi ketetetapan masyarakat, maupun agama. Menurut Chairil, yang perlu diperhatikan justru lemah atau kuatnya orang.
Dalam kutipan (5), ia menggunakan kata ‘binatang jalang’, karena ia ingin menggambar seolah seperti binatang yang hidup dengan bebas, sekenaknya sendiri, tanpa sedikitpun ada yang mengatur. Lebih tepatnya adalah binatang liar. Karena itulah ia ‘dari kumpulannya terbuang’. Dalam suatu kelompok pasti ada sebuah ikatan, ia ‘dari kumpulannya terbuang’ karena tidak ingin mengikut ikatan dan aturan dalam kumpulannya.
(6) Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Peluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya:
             Yang dimaksud di atas yaitu pistol. Sebuah pistol seringkali digunakan untuk melukai sesuatu. Pada kutipan (6), bait tersebut tergambar bahwa Chairil sedang ‘diserang’ dengan adanya ‘peluru menembus kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan peluru yang merobek kulitnya itu, ia berkata “Biar”. Meskipun dalam keadan diserang dan terluka, Chairil masih memberontak, ia ‘tetap meradang menerjang’ seperti binatang liar yang sedang diburu. Selain itu, lirik ini juga menunjukkan sikap Chairil yang tak mau mengalah. Semua cacian dan berbagai pembicaraan tentang baik atau buruk yang tidak ia pedulikan dari sajak tersebut juga akan hilang, seperti yang ia tuliskan pada lirik selanjutnya.
(7) Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi:
                 Inilah yang menegaskan watak dari penyair atau pun dari puisi ini, suatu ketidakpedulian. Pada kutipan (7), bait ini seolah menjadi penutup dari puisi tersebut. Sebagaimana sebuah karya tulis, penutup terdiri atas kesimpulan dan harapan. Kesimpulannya adalah ‘Dan aku akan lebih tidak perduli’, ia tetap tidak mau peduli. Chairil berharap bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi agar ia tetap bisa mencari-cari apa yang diinginkannya. Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya kepada pembaca, dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.
Penutup
               Tampaknya memang sulit memberikan batasan tentang makna, apalagi melalui pendekatan filsafat sebagaimana diuraikan di atas. Para ahli memberikan batasan tentang makna sesuai keinginan dan interest akademiknya masing-masing. Tentu ini bukan hal yang mengherankan sebab makna kata dan kalimat atau teks adalah milik pemakai bahasa. Karena pemakai bahasa bersifat dinamis, maka makna kata pun sewaktu-waktu dapat berubah dan bahkan diperluas sesuai kebutuhan. Seiring dengan perkembangan pemikiran filsafat modern, cara memahami dan memperoleh makna realitas pun juga mengalami perubahan dan perkembangan. Makna kata yang tidak tepat dan sesuai dengan kebutuhan hidup modern diganti dan diperluas dengan makna baru.. Membuat batasan tentang makna secara seragam pun sesungguhnya dapat dipersoalkan. Perbedaan bukan barang haram dalam khasanah ilmu pengetahuan dan sebuah keniscayaan. Menurut hemat saya, yang sangat penting bukan mencari definisi atau batasan tentang makna secara seragam, melainkan bagaimana memaknai setiap realitas untuk menciptakan shared meaning dan shared perspectives untuk memenuhi kebutuhan manusia. Apa artinya, makna tunggal tetapi tidak terjadi kesepahaman di antara pengguna bahasa.
Yeni Fajar Anggreini, mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Univ.Brawijaya
You have read this article with the title Puisi Chairil Anwar dan Post-Modernisme. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/07/puisi-chairil-anwar-dan-post-modernisme.html. Thanks!

No comment for "Puisi Chairil Anwar dan Post-Modernisme"

Post a Comment