Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Antara Cinta dan Kemuliaan. Tanpa Cinta Merana

     Dalam pengajian   Rabu malam bertema “Cinta dan Kemuliaan” yang diawali pemutaran film berjudul CONQUEST 1453 yang menggambarkan secara kolosal dan dramatik  episode akhir dari rangkaian panjang penaklukan Constantinopel  oleh kekuatan Islam di bawah Sultan Muhammad Al-Fatih, Obeth yang hanyut terbawa pesona  film garapan sutradara Farouk Aksoy itu dengan tidak sabar bertanya kepada Sufi tua tentang relevansi film itu dengan tema pengajian. “Maaf pakde, dari awal menonton, saya tidak melihat adegan cinta-cintaan di film itu. Tayangan filmnya perang terus. Apa hubungan film itu dengan tema pengajian “Cinta dan Kemuliaan”?” tanya Obeth heran.
    Para sufi seketika tertawa bersamaan mendengar pertanyaan Obeth yang mereka nilai naif karena tidak mampu menangkap makna di balik film itu. Tapi Sufi tua dengan arif menjawab bahwa menangkap hikmah dari suatu rangkaian peristiwa tidak bisa dilihat hanya dari apa yang paling banyak muncul dan terlihat pada peristiwa tersebut. Sebaliknya, episode-episode pendek yang kelihatan tidak penting justru mengandung makna yang dalam jika orang pandai mengambil hikmah di dalamnya. “Kita semua tadi melihat, bagaimana sikap Sultan Muhammad Al-Fatih yang sedang sibuk memikirkan strategi perang disela oleh kehadiran permaisuri dan putera mahkota Bayazid yang masih balita. Menurutmu bagaimana episode itu?” tanya Sufi tua,”Penting atau tidak?”
    “Ee menurut saya tidak penting, pakde, karena tidak ada hubungan dengan penaklukan Constantinopel,” sahut Obeth.
    “Padahal justru episode pertemuan Sultan dengan permaisuri dan putera mahkota yang sudah melakukan perjalanan jauh itulah episode yang sangat penting, karena  episode itu justru  menjadi salah satu kunci kemenangan, keagungan, kebesaran, dan kemuliaan Kesultanan Turki Usmani,” kata Sufi tua memaparkan.
             “Hah, episode penting?” sergah Obeth heran,”Bagaimana penjelasannya, pakde?”
    “Bagaimana menurutmu sikap Sultan saat ditemui permaisuri dan putera mahkota?”
    “Dingin sekali dan acuh tak acuh, tidak sedikit pun menunjukkan keramahan apalagi kemesraan. Dengan mengucap satu dua kata, Sultan memerintahkan permaisuri untuk istirahat,” kata Obeth mengungkapkan kesannya.
    “Apa komentar putera mahkota yang masih kecil itu?”
    “Pangeran Bayazid kecil menganggap Sultan tidak mencintai anak-anaknya.”
    “Apa komentar permaisuri?”
    “Menjelaskan kepada putera mahkota bahwa Sultan sanghat mencintai puteranya.”
    “Itu benar,” sahut Sufi tua dilanjutkan dengan bertanya,”Tapi tahukah kamu, kenapa Sultan bersikap seperti itu?”
    “Karena Sultan tidak ingin konsentrasi kerjanya diganggu.”
    “Sebenarnya, pada episode itu Sultan tidak sekedar ingin berkonsentrasi dan tidak ingin diganggu, melainkan menunjukkan fakta betapa besar kecintaan Sultan terhadap Daulah Turki Usmani yang ditegakkan leluhurnya. Sepanjang rentangan episode demi episode film itu, kita semua menyaksikan bagaimana para menteri, panglima, perwira sampai prajurit rendahan menunjukkan kecintaan yang sangat besar terhadap negara. Semua rela berkorban untukl kejayaan Islam di bawah Daulah Turki Usmani, sampai urusan pribadi terabaikan,” kata Sufi tua.
    Obeth mengangguk-angguk mulai menangkap makna di balik penjelasan Sufi tua tentang film yang sepintas banyak menayangkan adegan-adegan kekerasan itu. Sebentar kemudian Obeth bertanya,”Tapi apa hubungannya antara cinta dan kemuliaan dalam film itu?”
    “Daulah Turki Usmani menjadi lebih besar, agung dan mulai pada masa Muhammad al-Fatih berkuasa daripada saat pertama ditegakkan oleh Usman, leluhurnya. Sebab pada masa Muhammad al-Fatih, kecintaan seluruh unsur  terhadap Daulah Usmani mencapai puncak. Maksudnya, jika pada awal daulah ditegakkan warga negara mendukung karena kecintaan mereka kepada diri sendiri dan keluarga yang butuh perlindungan institusi negara yang ditegakkan Sultan Usman. Kecintaan warga negara terhadap daulah mekin meningkat pada masa sultan-sultan pengganti Usman, karena daulah tidak saja memberi perlindungan tetapi juga memberi keadilan dan kemakmuran. Dan pada masa Muhammad al-Fatih, warganegara yang sudah hidup dilimpahi kemakmuran, keadilan, pengayoman dan kehormatan, kecintaan warganegara pun makin melimpah kepada daulah dengan merelakan diri untuk berkorban demi kejayaan dan kemuliaan daulah yang mereka banggakan,” kata Sufi tua.
    “Oo begitu ya, pakde,” Obeth manggut-manggut mulai faham.
    “Nah sekarang kamu renungkan, apa yang sedang terjadi dengan negara kita? Kenapa daulah rakyat yang disebut Indonesia ini sekarang terpuruk?” gumam Sufi tua dengan nada tanya.
    “Mmm kayaknya nasib negara kita sekarang ini terpuruk karena tidak lagi dicintai oleh orang-orang yang menjadi aparaturnya,” sahut Obeth menyimpulkan.
    “Maksudnya tidak dicintai aparaturnya, bagaimana?”
    “Aparatur daulah rakyat Indonesia lebih cinta kepada diri dan keluarganya daripada kepada daulah, sehingga semua kekayaan daulah rakyat Indonesia dikeruk dan digaruk habis-habisan untuk kekayaan diri sendiri dan keluarga. Itu perbedaan daulah rakyat Indonesia dengan daulah Turki Usmaniyyah,” kata Obeth menyimpulkan.
    “Nah sekarang kamu faham kan, kenapa pengajian dengan tema “Cinta dan Kemuliaan” yang diputar sebagai introduksi adalah film CONQUEST 1453?” tanya Sufi tua.
    “Saya faham pakde,” sahut Obeth dengan mata berkaca-kaca,”Malang sekali nasib negara saya karena dipimpin dan dijalankan orang-orang yang sangat mencintai diri sendiri dan keluarga, yang menghalalkan semua cara untuk kekayaan, kebesaran, keagungan, dan kemuliaan diri sendiri dan keluarga. Semua bersedkongkol untuk mengobrankan kepentingan negara demi kepentingan diri sendiri dan keluarga. Kasihan sekali negaraku.”
    “Kasihan sekali memang,” sahut Sufi Sudrun menyela,”Sudah tidak dicintai para abdinya, malah dijerumuskan menjadi negara miskin banyak utang untuk memperkaya abdi-abdinya.”
    “Kasihan engkau wahai Indonesia,” seru Sufi Jadzab sambil menangis,”Para pendiri negara sekarang ini sama menangis di alam kubur. Semua menangisi nasib malang negara yang mereka tegakkan yang tidak lagi dicintai, dihormati, dimuliakan, dan dijadikan tumpuan harapan melainkan justru dieksploitasi untuk kepentingan orang-orang rendah  berjiwa kerdil yang sangat egois, hedonis, narsis.”   
Posted by Agus Sunyoto
You have read this article Filsafat with the title Antara Cinta dan Kemuliaan. Tanpa Cinta Merana. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/02/antara-cinta-dan-kemuliaan-tanpa-cinta.html. Thanks!

No comment for "Antara Cinta dan Kemuliaan. Tanpa Cinta Merana"

Post a Comment