Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Syaikh Ahmad Nafis Al-Banjari

Oleh: Wahyu Nila Wardani

BIOGRAFI
Muhammad Nafis al Banjari nama aslinya adalah Muhammad Nafis bin Idris bin Husein. Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Musta’in Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah. Beliau  lahir sekitar tahun 1148 H.1735 M., di kota Martapura, sekarang ibukota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Ia dari keluarga bangsawan  kesultanan Banjar yang garis silsilah dan keturunannya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.) Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam, yang dahulu bergelar Pangeran Samudera.
Sejak kecil beliau sudah menunjukan bakat dan kecerdasan yang tinggi dibandingkan teman teman sebayanya. Bakat yang beliau miliki ini membuat sultan Banjar tertarik, sehingga pada akhirnya beliau pun dikirim ke Makkah untuk mendalami dan mempelajari ilmu agama. Disana beliau menggeluti ilmu tasawuf dan pada akhirnya beliau menjadi sufi yang terkenal.
Di antara guru beliau selama di Makkah dalam bidang tasawuf adalah Abdullah bin Hijazi asy Syarqawi al Azhari, seorang ulama tasawuf yang kemudian menduduki Syekh al Islam dan Syekh al Azhar. Dalam mempelajari tasawuf Muhammad Nafis berhasil mencapai gelar “Syeikh al Mursyid” yaitu gelar yang menunjukkan bahwa beliau diperkenankan mengajar tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain. Setelah itu, beliau pulang ke kampong halamanya di Martapura tahun 1210 H/1795 M.
Muhammad Nafis di perkirakan wafat sekitar tahun 1812 M dan di makamkan di Mahar Kuning, Desa Binturu dan sekarang menjadi bagian desa dari kecamatan Kelua kabupaten Tabalong. Dan sampai sekarang makam tersebut menjadi salah satu objek wisata religious di kabupaten Tabalong.

AJARAN
Dalam berdakwah, Muhammad Nafis di kenal sebagai pengembang tasawuf. Beliau mengatakan bahwa dalam bidang tasawuf,beliau mengikuti Junaid al Baghdadi dimana beliau adalah seorang tokoh sufi penganut aliran tasawuf suni. Tapi jika di amati ajaran tasawuf Muhammad Nafis memadukan antara aliran tasawuf sunni dan aliran tasawuf filosof, karena dari kitab beliau ada yang beraliran sunni dan filosofi.
Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang Tuhan sama dengan Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali, bahwa manusia tidak mungkin memperoleh ma’rifat penuh tentang Allah karena manusia bersifat terbatas, sedangkan Allah bersifat tidak terbatas. Muhammad Nafis sama pendapatnya dengan Al-ghazali dan Ibn’arabi bahwa hakikat wujud Allah itu tidak bisa diketahui melalui akal dan panca indra dan dugaan. Kita hanya wajib mengetahui bahwa Allah itu ada, Esa dan Uluhiyah-Nya, tanpa pengetahuan tentang hakikatnya, karena hakikat dzat Tuhan itu mungkin dikenal oleh siapapun. Laily Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf  Muhammad Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya filsafat Neo Platonisme.
Muhammad Nafis dalam hubungan ini mengatakan, bahwa Allah untuk dapat dikenal oleh makhluk-Nya, maka Allah menampakan diri-Nya didalam Nur Muhammad yang merupakan asal kejadian. Proses penampakan  Tuhan ini menghasilkan fenomena sebagai manifestasi dan dzat Allah itu sendiri, maka yang sebenar-benarnya ada hanyalah wujud itu Tuhan itu sendiri, sedangkan selain Dia (Allah) adalah ilusi atau hayal semata apabila dibandingkan dengan wujud Allah. Mengenai penampilan diri Tuhan ini, nampaknya Muhammad Nafis, sama dengan teori Wahdatul wujud Ibn’Arabi dan Al-Jili.
Konsep muhammad Nafis tentang Tuhan, yaitu “yang ada hanya Allah”, dia mengatakan bahwa dzat Tuhan meliputi sifat, asma’ (nama-nama), dan Afal-Nya, karenanya, hubungan masing-masing sangatlah erat. Walaupun dzat, sifat, nama-nama (asma’), dan perbuatan (Af’al) tadi bisa dibedakan satu sama lain menurut pengertiannya, namun, semuanya merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, masing-masing saling berhubungan. Adanya dzat sekaligus menunjukkan adanya sifat, nama-nama (asma), dan perbuatan (af’al). Masalah ini menjadi inti dari ajaran muhammad Nafis mengenai tauhid (pengesaan) dalam memandang sifat, nama-nama (asma), perbuatan (af’al), dan dzat Allah Ta’ala sebagai proses upaya mendekatkan diri kepada Allah.mengenai sifat Tuhan, Muhammad nafis mengatakan bahwa sifat itu adalah diri yang disifati, dan ia bukan merupakan tambahan pada dzat, dan bukan pula sesuatu yang melekat pada dzat.
 Dengan demikian, menurut dia, bahwa Allah Mahakuasa denga dzatNya, maha mendengar dengan dzatnya, Maha melihat dengan dzatnya, dan maha berkata-kata dengan dzatnya, bukan dengan selain dzatnya.muhammad Nafis tidak mengakui adanya sifat ma’ani, seperti al-hayat, al-ilm, al-qudrat, al-iradat, al-asma, al-bashr, dan sebagainya itu sebagai sifat Allah. Menurut dia, yang demikian itu bukanlah sifat-sifat Allah tetapi hanya asma (nama-nama) Allah semata-mata Al-Quran menyebutkan sebagai asma (nama-nama) Allah. Beliau  menegaskan, bahwa jika Allah itu bersifat berarti Allah itu tidak dikenal, sebab sesuatu yang disifatkan itu adalah tidak dikenal, padahal Allah itu lebih dikenal dari segala yang dikenal. Allah tidak memerlukan sifat untuk dikenal diri-Nya. Allah tidak bersifat dalam pengertian seperti itu. Kalau Allah memerlukan sifat untuk mengenalkan dirinya kepada makhluknya, maka itu berarti mereduksi (mengurangi) ke Mahakuasaan Allah. Dalam hal ini nampaknya Muhammad Nafis ingin memelihara transendensi Allah.
Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tetang sifat Tuhan tadi, nampaknya sama dengan pandangan aliran Mu’tazilah yang menafik sifat Allah. Tetapi, justru beliau melontakan kritiknya terhadap aliran Mu’tazilah. Menurut beliau walaupun pandangan aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa sifat tidak lain adalah dzat Allah sendiri, dan tidak menanbah keberadaan dzat Allah, namun, menurutnya, pandangan aliran Mu’tazilah itu adalah bidah dan fisik, karena tidak wajar pandangan seperti itu diberikan kepada Allah Yang Mahatinggi.
Ajaran Muhammad Nafis tentang sifat dan asma’ (nama-nama), terlihat adanya kemiripan dengan pandapat Ibn’Arabi. Bagi Ibn’Arabi, asma’ (nama-nama) Tuhan itu adalah esensinya dalam suatu aspek atau aspek lain yang tidak terbatas ; ia adalah suatu “bentuk” terbatas dan pasti esensi Tuhan. Adapun sifat itu tidak lain adalah nama Tuhan yang dimanifestasikan di dalam dunia ekternal ini.
Sebagaimana Muhammad Nafis yang hanya mengakui keberadaan asma’ (nama-nama) Tuhan, tidak mengakui keberadaan sifat-sifatnya, Ibn’Arabi juga meyakini bahwa sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksistensi dan wujud entitas di dalam esensi Tuhan, sifat-sifat tersebut haruslah dipahami bahwa itu hanya metafor (semu) saja, bukan dalam pengertian sebagai tambahan atas esensi.
Tentang penciptaan, aliran Ahlus Sunnah, termasuk al-Ghazali menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam langsung dari tidak ada, Al-Farabi dan Ibn Sina alam diciptakan dengan cara emanasi (pelimpahan). Sedangkan menurut Ibn Arabi alam ini ada melalui proses tajalliyat. Teori Ibn Arabi ini mempengaruhi Al-Jili. kemudian teori ini dikembangkan oleh seorang sufi dari Gujarat, Muhammad Ibn Fadlullah yang mengembangkan teori tajalli itu menjadi tujuh tahapan yang dikenal dengan istilah martabat tujuh. Berikutnya teori ini mempengaruhi dua tokoh sufi di Aceh, Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin Pasai. Ajaran ini nampak sekali menunjukkan ajaran tasawuf wahdatul wujud.
Muhammad Nafis tentang penciptaan ini nampak sekali beliau terpengaruh oleh teori martabat tujuh tersebut. Hal ini tergambar pada pendapatnya yang menyatakan bahwa penampilan dzat itu melalui tujuh martabat dari hadrat al-Sarij, yaitu hadrat dzat semata-mata. Menurut beliau penampilan dzat ialah dzat-Nya menjelma tirun berjenjang yang disebutnya dengan martabat tajalli dan tanzil. Dalam teori ini nampaknya dia memandang segala ciptaan itu adalah bayangan diri yang maha Mutlak (Allah), jadi benar-benar wujud hanya satu, yaitu Allah semata.
Menurut Muhammad nafis, Nur Muhammad itu adalah awal dari segala kejadian. Kalau dibandingkan dengan teori kejadian dikalangan filosof Islam, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina yang menyatakan bahwa awal kejadian adalah akal pertama, maka jelas sekali persamaan kedua teori ini dalam prinsif. Namun, dari sisi fungsinya jauh berbeda.
Ajaran tasawuf Muhammad Nafis tentang manusia atau yang lebih dikenal dengan istilah al-Insanul Kamil, nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran tasawuf ibn arabi dan Al-Jilli. Mereka mengaitkan ajarannya tentang manusia dengan ajaran tentang Tuhan dan penciptaan.
Menurut beliau manusia adalah mikrokosmus karena padanya tercermin dengan sempurna segala nama-nama ketuhanan dan hakikat-hakikat yang lahir pada alam raya. Manusia disebut Al-Insanul Kamil, karena manusia yang hanya mampu mengaktualisasikan atribut-atribut Tuhan secara sempurna. Dan Al-Insanul Kamil menurut mereka adalah orang-orang yang mampu mencapai peringkat ma’rifat, sehingga terhimpun pada dirinya sifat jala (kemuliaan) dan sifat jamal (keindahan).
Menurut Muhammad Nafis, bagi seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, dia harus berpandangan bahwa alam semesta ini fana’, dan hakikatnya tidak ada, yang ada hanya wujud Allah. Wujud Allah meliputi segala sesuatu. Allah tidak ada persamaannya dengan sesuatu. Tidak ada maujud pada hakikatnya hanya Allah. Fana’ segala perbuatan hamba pada perbuatan Allah, fana’ segala nama hamba pada nama Allah, fana’ pula segala sifat-sifat hamba pada sifat Allah, dan akhirnya fana’ segala dzat hamba pada dzat Allah. Segala apapun yang ada pada makhluk ini fana’ dan (dugaan) semata. Apabila dia melakukan pandangan seperti ini, pada saatnya dia akan merasa fana’ dalam lautan ahadiyah wujud Allah, yang tidak ada tandingannya. Pada saat itu tidak terlihat olehnya amal dirinya, tidak dirasakannya bahwa dirinya sendiri yang dapat mencapai peringkat ini, tidak pula diketahuinya wujud mutlak. Perasaannya berkelana tanpa disadarinya karena hanyut bersama Nur Ilahi yang dipandangnya.
Untuk mendekatkan diri kepada Allah, menurut Muhammad Nafis, harus melalui beberapa peringkat sebagai berikut :
Pada peringkat pertama dia harus berpandangan tawhidul afal, yaitu memandang bahwa perbuatan hakiki hanya perbuatan Allah, sedangkan perbuatan makhluk adalah semu yang sirna di dalam perbuatan Allah yang hakiki, bagaimana sirnanya cahaya lampu didalam sinar matahari yang terang benderang. Pandangan Muhammad Nafis tentang perbuatan ini sama dengan pendapat Ibn’Arabi.
Pada peringkat ini, seseorang sufi sudah mampu memfanakan perbuatannya didalam perbuatan allah yang maha hebat. Dengan dicapainya peringkat tawhidul af’al ini, sufi akan memperoleh hasil/buah dari perjuangannya dalam upaya mendekati tujuan yang didambakannya.
Peringkat kedua untuk mendekatkan diri kepada Allah menurut Muhammad nafis adalah orang mampu berpandangan bahwa wujud yang hakiki hanya wujud Allah, maka sebagai konsekuensi logisnya, maka hakikat nampun hanya nama Allah, karena semua nama di alam semesta ini adalah perwujudan dari nama Allah. Cara pandang pada peringkat tawhidul asma’ ini adalah memandang semua nama yang banyak ini pada hakikatnya hanya satu wujud dalam esensi Allah. dan diri Allah adalah manifestasi dari seluruh nama makhluk ini.
KARYA KARYA MUHAMMAD NAFIS
1.Al-Durr al-Nafis
Nama lengkap kitab ini adalah Al Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, artinya  Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat dan Zat yang Suci, yang menurut riwayat ditulis dalam bahasa Arab Melayu berdasarkan permintaann kawan-kawannya dengan harapan dapat dibaca oleh mereka yang tidak pandai berbahasa Arab, ketika ia masih mukim di Mekkah. Berdasarkan kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan ajaran-ajaran tasawuf yang tinggi sehingga dikatakan, “adalah rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh/ulama yang tinggi ilmu agama”. Sayangnya naskah asli yang di tulis tangan sendiri oleh pengarang, sampai sekarang belum ditemukan. kitab tersebut mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya meliputi maqamat, Tuhan, kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan yang kesemuanya mempunyai hubungan diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah bahwa wujud itu hanya satu.
2.Kanzus Sa’adah, Yaitu kitab yang berisi tentang istilah-istilah ilmu tasawuf. Kitab ini belum pernah dicetak masih berupa manuskrip.

Wahyu Nila Wardani, mahasiswi Program Studi sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya

You have read this article Filsafat with the title Syaikh Ahmad Nafis Al-Banjari. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/02/syaikh-ahmad-nafis-al-banjari.html. Thanks!

No comment for "Syaikh Ahmad Nafis Al-Banjari"

Post a Comment