Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Post Hegemony XIII: Dokter Post Hegemon Dianggap Tidak Waras

         Ketika menemui Guru Sufi dan Sufi Sudrun di rumah kontrakannya di daerah Bekasi, dokter Dadit  menuturkan bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di Rumah Sakit Sahabat Keluarga, rumah sakit mewah untuk kalangan atas milik pengusaha Australia. Alasan dokter Dadit van Senewen sederhana, bahwa ia tidak sudi tunduk di bawah aturan-aturan rumah sakit yang bertentangan dengan hati nurani dan idealismenya sebagai seorang dokter spesialis. “Sebesar apa pun gaji yang kita peroleh, kemerdekaan dalam menjalankan profesi jauh lebih berarti bagi saya, Mbah Kyai,” kata dokter Dadit  mengungkap perasaan.
    “Memang, tidak ada yang lebih berharga di dunia ini melebihi kemerdekaan,” kata Guru Sufi,”Tapi apa yang membuat sampeyan merasa terjajah di rumah sakit kelas atas itu?”
    Tanpa ditutup-tutupi dokter Dadit  menuturkan bahwa selama bekerja di rumah sakit itu, ia sering ditegur oleh pimpinan rumah sakit karena dianggap tidak mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan oleh rumah sakit terhadap semua dokter. “Sebenarnya, bukan saya melanggar aturan, Mbah Kyai, tapi aturan yang dibikin pihak rumah sakit adalah aturan preman pemeras yang sangat merugikan pasien,” kata dokter Dadit.
    “Merugikan bagaimana, mas?” tanya Guru Sufi ingin tahu.
    “Waktu mendiagnosa pasien yang menunjukkan tanda-tanda gangguan pada liver, saya meminta pasien untuk cek SGPT/SGOT ke lab,” kata dokter Dadit menuturkan pengalamannya, ”Dan terbukti diagnosa saya benar. Tanpa menunggu waktu lama kita ambil tindakan dan pasien bisa berobat dengan rawat jalan. Tapi apa yang saya alami dengan tindakan yang saya lakukan itu? Saya dipanggil pimpinan dan diberitahu kalau tindakan saya itu salah dan bisa membikin bangkrut rumah sakit.”
    “Lho apanya yang salah?” sahut Guru Sufi heran,”Bukankah langkah yang sampeyan ambil sudah benar dan sesuai prosedur?”
    “Ya itulah, Mbah Kyai,” kata dokter Dadit menarik nafas berat,”Saya disalahkan karena menyuruh pasien cek SGPT/SGOT ke lab. Karena kalau sistem diagnosa itu dijalankan, maka rumah sakit bisa bangkrut.”
    “Lha maksud pimpinan bagaimana?”
    “Ya saya harus menyuruh pasien general check up, yang butuh dana lebih Rp 3 juta, Mbah Kyai. Padahal, untuk apa general check up kalau dokter hanya butuh satu-dua sample.”
    “Oo begitu ya,” Guru Sufi mendecakkan mulut.
    “Itu yang disebut MEDICONOMIC, mbah,” sahut Sufi Sudrun menyela.
    “Apa itu mediconomic?” tanya Guru Sufi ingin tahu.
    “Ya Medica + Nemein, mbah,” sahut Sufi Sudrun ketawa,”Seluruh unsur Medis didistribusikan sebagai komoditas. Jadi ilmu kedokteran dengan segala kompleksitas sarana dan prasarananya sudah dijadikan produk industri. Semua jadi komoditas. Bahkan pasien yang rawat inap memanggil perawat dengan bel, sudah dihitung sebagai jasa pelayanan. Jadi prinsip-prinsip medis sudah mengikuti prinsip pasar.”
    “Itu benar sekali simpulan sampeyan, kang,” sahut dokter Dadit,”Semua sudah jadi MEDICONOMIC. Itu saya alami waktu jadi dokter spesialis bedah. Saya bolak-balik dipanggil pimpinan gara-gara menolak melakukan operasi cezar. Tidak perduli pimpinan memohon dengan sangat agar saya melakukan operasi cezar, saya tetap menolak.”
    “Kenapa sampeyan tidak mau melakukan operasi cezar, pak dokter?” tanya Guru Sufi.
    “Karena ibu-ibu yang akan melahirkan itu bisa menjalani persalinan normal, kenapa harus lewat operasi? Bahkan pimpinan sempat mengaku kalau rumah sakit memiliki program dari 100 orang ibu hamil yang melahirkan, 92 orang harus operasi cezar. Sisanya, persalinan normal. Itu kan menyengsarakan masyarakat, Mbah Kyai.”
    “Oo begitu ya,” sahut Guru Sufi manggut-manggut,”Kalau persalinan biasa berapa harus bayar? Dan kalau cezar berapa harus bayar?”
    “Kalau persalinan biasa, paling mahal Rp 1,5- Rp 2 juta, Mbah Kyai. Kalau cezar, bisa mencapai Rp 10 – Rp 15 juta,” sahut dokter Dadit.
    “Itulah MEDICONOMIC,” sahut Sufi Sudrun ketawa.
    “Belum lagi berurusan dengan detailer obat dan apotik,” sahut dokter Dadit,”Semua ada prosentase, baik yang disebut komisi maupun fee. Korbannya, adalah masyarakat.”
    “Mengerikan ya,” gumam Guru Sufi menarik nafas berat,”Apa karena alasan-alasan itu yang menyebabkan sampeyan meninggalkan rumah sakit mewah itu?”
    “Saya sudah tidak tahan menyaksikan aturan-aturan eksploitatif yang bertentangan dengan hati nurani saya, Mbah Kyai. Karena itu, saya lebih memilih mengabdi di rumah sakit pemerintah dengan gaji Rp 1,8 juta sebulan, dengan tambahan membantu rumah sakit kecil yang tidak berorientasi bisnis,” kata dokter Dadit polos.
    “Sebagai resiko, sampeyan hanya bisa kontrak rumah tipe 36, di Bekasi lagi,” sahut Sufi Sudrun terkekeh,”Padahal, sampeyan itu dokter spesialis bedah degestif, dokter spesialis di atasnya spesialis bedah. Hehehe, rumah masih kontrak dan mobil Avansa pun masih kredit. Tapi itu lebih mulia daripada mereka yang hidup berlimpah kekayaan hasil mengisap darah dan sumsum masyarakat.”
    Dokter Dadit diam.
    “Sampeyan katanya pernah ditawari rumah sakit asing di Tangerang dengan gaji Rp 60 juta sebulan di luar biaya operasi dan konsultasi, yang kalau ditotal penghasilan sampeyan sebulan di rumah sakit itu bisa Rp Rp 160 juta. Tapi katanya sampeyan tolak, kenapa itu?” tanya Guru Sufi ingin tahu.
     “Saya ingin kerja profesional, Mbah Kyai. Kalau tawaran itu saya terima, saya bisa kehilangan profesionalitas, yang bisa membahayakan pasien,” kata dokter Dadit.
    “Apa alasannya kok bisa kehilangan profesionalitas?”
    “Setiap kali pasien usai menjalani operasi pembedahan, terjadi kemungkinan-kemungkinan tidak terduga yang membahayakan karena berbagai faktor. Kemungkinan tak terduga pasca operasi itulah yang harus ditangani dokter dengan cepat. Itu artinya, pasca operasi berat pasien harus dijaga 24 jam. Nah di situ saya menghadapi problem karena saya bekerja di rumah sakit pemerintah yang letaknya di Jakarta Selatan. Perjalanan dengan mobil pribadi lewat jalan tol dari Jakarta Selatan ke Tangerang sudah berulang-ulang saya coba, ternyata tidak kurang dari dua jam. Itu artinya, kalau sewaktu saya di rumah sakit Jakarta Selatan dihubungi bahwa pasien pasca operasi mengalami kritis dan saya baru sampai ke rumah sakit dua jam, dipastikan pasien tidak akan tertolong. Jadi saya tidak mau gambling dengan nyawa manusia, meski diiming-iming gaji tinggi,” kata dokter Dadit apa adanya.
    “Sampeyan benar-benar dokter berjiwa merdeka yang mampu mempraktekkan pemikiran Post Hegemony dalam realita. Sampeyan dengan tindakan nyata berani menyatakan yang haqq adalah haqq dan yang bathil adalah bathil. Sampeyan ibarat ikan hidup di lautan kegilaan di antara ikan-ikan mati yang berserak menebarkan kebusukan dan penyakit,” kata Guru Sufi.
    “Maksudnya ikan hidup di antara ikan-ikan mati bagaimana, Mbah Kyai?” tanya dokter Dadit ingin penjelasan.
    “Ikan hidup di lautan yang airnya asin, dagingnya tidak ikut asin. Sebaliknya, ikan mati dagingnya akan menjadi asin. Begitulah ikan-ikan yang mahal ketika hidup, sewaktu mati hanya menjadi ikan asin yang murah harganya apalagi kalau sudah busuk tidak laku dijual. Sedang sampeyan sebagai ikan hidup tetap mulia dan tidak ternilai harganya. Ikan hidup yang bebas berenang ke mana pun arah yang diinginkan,” sahut Guru Sufi.
    “O iya,” sahut Sufi Sudrun,”Temanku bilang, waktu anaknya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, ditolong dokter Dadit dengan tidak dirujuk ke rumah sakit tapi cukup rawat jalan. Dokter Dadit memberi resep obat generik yang murah. Lalu tanpa minta imbalan apa pun bersedia memeriksa dan mengawasi anak temanku sampai sembuh. Itu sungguh perbuatan aneh seorang dokter di era global yang sangat materialistik ini.”
    “Ya tapi dengan apa yang saya lakukan, justru saya dinilai negatif.”
    “Itu saya tahu,” sahut Sufi Sudrun ketawa,”Sampeyan diam-diam dinilai dokter tidak waras alias senewen wal  koming minal  koplak al-majnun. Dokter yang waras malah dinilai tidak waras oleh orang-orang gila.”
    “Ya namanya juga jaman edan, yen ora melu ngedan ya malah dianggap edan,” kata Guru Sufi.     


Posted by Agus Sunyoto
You have read this article Filsafat with the title Post Hegemony XIII: Dokter Post Hegemon Dianggap Tidak Waras. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/02/post-hegemony-xiii-dokter-post-hegemon.html. Thanks!

No comment for "Post Hegemony XIII: Dokter Post Hegemon Dianggap Tidak Waras"

Post a Comment