Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Post Hegemony XVIII: Membongkar Dusta Wahabi Memaknai Sholawat

Jum’at pagi usai shalat Subuh berjama’ah, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Sufi Senewen, dan Sufi tua yang biasa mengikuti pengajian rutin di mushola, mendadak mengikuti ajakan Sufi Jadzab untuk menonton televise TRANS 7 yang menayangkan program KHAZANAH. Baru beberapa menit tayangan bertajuk sholawat, Sufi Jadzab sudah ketawa terbahak-bahak memegangi perutnya. Sufi Kenthir yang tidak melihat sesuatu hal lucu dalam tayangan itu langsung bertanya,”Sampeyan kok ketawa, memang ada yang lucu, Mbah?” “Itu penyiarnya,” sahut Sufi Jadzab ketawa ngakak,”Gak bisa ngaji. Ngucapin kalimat Wallohu ‘alam aja, makraj dan tajwid-nya berlepotan gak karuan.” “Oo benar,Mbah,” sahut Sufi Kenthir membenarkan,”Karena itu kalau ngutip al-Qur’an atau Hadits, penyiar cewek itu tidak berani menyitir bahasa Arab-nya. Dia hanya berani baca terjemahan. Dia sadar rupanya, gak bisa ngaji. Bahkan melafazkan Allah saja dengan lafaz Awlloh.” Para sufi ketawa. Wanita penyiar yang membaca ilustrasi dalam tayangan KHAZANAH itu menjelaskan tentang macam-macam sholawat yang diamalkan oleh umat Islam yang sejatinya merupakan bid’ah yang diliputi khurafat dan takhayul yang sesat karena tidak sesuai tuntunan Rasulullah Saw (mengucapkan kalimah Shalallahu ‘alaihi wassalam pun dengan makraj dan tajwid yang payah yang membuat para sufi ketawa gaduh-pen). Sholawat yang dibaca dalam khasidah-khasidah apalagi dengan iringan rebana dan goyangan badan orang-orang yang bersholawat, adalah bid’ah dlolalah yang potensial musyrik. Sewaktu menayangkan bagian sholawat Nariyyah, penyiar wanita itu mengarang suatu cerita bahwa sholawat itu sejarahnya berasal dari Syekh Nariyyah, salah seorang sahabat Nabi Saw yang menyusun sholawat dan kemudian minta didoakan oleh Nabi Saw agar masuk surge dan diperkenankan masuk surga. Kisah Syekh Nariyyah itu, menurut si penyiar wanita, adalah kisah tanpa dasar karena sahabat Nabi Saw tidak ada yang bernama Nariyyah dan gelar syekh pada masa itu tidak ada digunakan oleh para sahabat. Jadi, sholawat Nariyyah itu karangan orang sesat untuk menyesatkan umat Islam. Para sufi ketawa terbahak-bahak mendengar uraian penyiar banita itu. Dan ketawa mereka semakin keras sewaktu penyiar wanita itu menguraikan asal-muasal Sholawat Badar. Dikisahkan, bahwa sholawat Badar dimulai tahun 1960-an ketika seorang kyayi bermimpi melihat para habib yang berpakaian hijau mengumandangkan sholawat badar. Isteri kyayi bersangkutan juga bermimpi ketemu Rasulullah Saw. Lalu kyayi itu menghadap seorang habib yang dikenal ahli kasyaf, disebutkan bahwa habib itu membenarkan mimpi kyayi dan isterinya. Itu sebabnya, sholawat yang disebut sholawat badar itu sangat baik diamalkan, terutama untuk membangkitkan semangat umat Islam yang dewasa itu ditekan oleh aksi-aksi PKI. Roben yang diam-diam panas dadanya melihat tayangann itu tak kuasa menahan diri. Dengan suara ditekan tinggi ia bertanya kepada Sufi tua,”Pakde, apa benar narasi yang dibaca penyiar goblok itu, bahwa sholawat badar baru ada tahun 1960-an?” Sufi tua tidak menjawab malah balik bertanya,”Lha kamu selama ini membaca sholawat badar dari kitab apa?” “Ya dari Qasidah Diba’iyyah, pakde,” sahut Roben. “Nah Qasidah Diba’iyyah itu yang menyusun siapa dan dari abad berapa?” “Ya disusun Syekh Abdurrahman ad-Diba’ yang hidup abad 8 Hijrah.” “Nah sudah jelas kan, apa maksud tayangan KHAZANAH itu memutar balik fakta?” Para sufi ketawa. Roben memaki-maki sutradara dan penyusun tayangan KHAZANAH yang jelas-jelas mengandung manipulasi dan pemutar-balikan fakta untuk tujuan-tujuan membingungkan umat. Setelah memaparkan sejumlah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Turmudzi dan Ahmad yang ditafsir menurut tafsiran khas Wahabi, pembacaan sholawat yang diamalkan umat Islam selama ini sudah tidak sesuai lagi dengan yang diajarkan Rasulullah Saw. Amaliah sholawat yang dibaca dengan macam-macam cara yang tidak sesuai teladan Nabi Saw pada dasarnya adalah sesat karena tidak memiliki dasar yang kuat. Pengamal sholawat yang jelas-jelas bid’ah – setelah melihat tayangan KHAZANAH – dihimbau untuk tidak terus mengamalkan amaliah sesat dan menyesatkan, yaitu menjadikan sholawat sebagai tawassul karena bisa bermakna menyekutukan Allah. Setelah tawanya mereda, Sufi tua tiba-tiba bertanya,”Kalian tahu, kenapa untuk menjelaskan haramnya sholawat dan tawasul diungkapkan lewat macam-macam hadits sebagai dalil?” “Ya untuk membingungkan umat, Mbah,” sahut Roben singkat,”Sekaligus untuk membenarkan tafsiran mereka yang berkali-kali menyebut Imam Ibnu Taimiyyah.” “Maksudku, kenapa mereka hanya berdalil hadits?” “Nggak tahu, mbah.” “Karena mereka menyembunyikan ayat Al-Qur’an, yang tegas-tegas menyatakan bahwa ALLAH dan para MALAIKAT BERSHOLAWAT kepada NABI SAW.” “Nah itu dia,” teriak Roben,”ALLAH juga dalam ayat itu memerintahkan kepada semua kaum BERIMAN untuk BERSHOLAWAT kepada NABI SAW.” “Lha, apa mereka bisa menjelaskan kapan Allah dan Malaikat bersholawat? Apa mereka juga bisa menjelaskan kapan manusia harus bersholawat sesuai yang dikehendaki Allah?”gumam Sufi tua. “Iya pakde, mereka menafsirkan Qur’an dan Hadits itu dengan keyakinan mutlak bahwa tafsiran itu yang paling benar sungguh tidak masuk akal. Maksudku, bagaimana mereka bisa haqq al-yaqiin bahwa tafsiran mereka yang paling benar seolah-olah mereka sudah konfirmasi kepada Allah bahwa tafsir mereka sudah dishahihkan kebenarannya oleh Allah sendiri,” kata Roben. “Ya itulah sifat orang-orang yang men-tuhan-kan nafs-nya sendiri, sehingga tidak ada kebenaran selain kebenaran mereka yang di dalam jiwanya selalu bergaung kalimah “ana khoiru minhu”.” “Jama’ah Iblisiyyah,” sahut Roben. "Ya jama'ah Iblis, karena mereka ingin mengubah Sunnatullah tentang sholawat." "Hwarakadah," sahut Roben kaget,"Apa pula kaitan solawat dengan sunnatullah? Apa tidak berlebihan itu, pakde?" "Apanya yang berlebihan? Memang sholawat sudah menjadi sunnatullah." "Contohnya bagaimana pakde?" "Sejak Allah memaklumkan bahwa DIA dan para malaikat bersholawat kepada Nabi Saw dan memerintahkan orang-orang beriman untuk bersholawat, maka saat itulah sholawat kepada Nabi Saw menjadi sunnatullah." "Bagaimana penjelasannya?" Roben belum faham. "Artinya, sejak saat ayat itu diturunkan sampai hari ini -- kira-kira sudah 1500 tahun -- manusia tidak pernah berhenti dalam bersholawat, baik dalam sholat, qasidah-qasidah, maulid, amaliah sholawat, khoth-khoth kaligrafi, kitab-kitab ilmu hikmah, wirid sholawat, sholawat wahidiyyah, sampai wafak-wafak sholawat. Artinya, sejak 1500 tahun yang silam orang setiap hari, jam, menit, dan detik terus-menerus bersholawat tidak pernah putus, sehingga kalau mau jujur dicatat dalam guinness book of the record, maka Nabi Saw adalah satu-satunya manusia yang namanya tidak pernah berhenti disebut orang selama 1500 tahun," kata Sufi tua menjelaskan. "Masya Allah, itu benar sekali. Memang, sesat benar jama'ah Iblis yang menghalang-halangi orang untuk bersholawat." "Karena itu jangan hiraukan mereka." ,”Tapi kalau sudah seperti itu aksi mereka di televisi bagaimana sikap kita pakde?” “Serukan kepada umat Islam khususnya kepada kalangan Ahlussunnah wal-Jama’ah an-Nadhliyyah agar serentak tidak lagi menonton tayangan KHAZANAH di stasiun TRANS 7 karena televisi itu sudah menjadi alat Wahabi untuk mendakwahkan agamanya,” sahut Sufi tua. “SEPAKAT!” “BOIKOT!”
You have read this article Filsafat with the title Post Hegemony XVIII: Membongkar Dusta Wahabi Memaknai Sholawat. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/04/post-hegemony-xviii-membongkar-dusta.html. Thanks!

No comment for "Post Hegemony XVIII: Membongkar Dusta Wahabi Memaknai Sholawat"

Post a Comment