Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Ibnu Araby Imam Para Filsuf Sufi

 
Muhyiddin Ibnu Araby
       Tokoh paling unik dengan berbagai gelar keilmuan seperti filsuf besar, ahli tafsir teosofik, syaikh al-akbar, dan  imam besar para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali, seorang ulama sufi  yang jumlah karya-karyanya tak tertandingi oleh ulama Islam mana pun, dia tidak  lain dan tidak bukan  adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim, saudara Ady bin Hatim ath-Tha'y. Kemudian ia biasa dipanggil dengan Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah  Muhyiddin Ibnu 'Araby  dan al-Hatamy. Selain itu, ia juga mendapat gelar sebagai Syaikh al-Akbar, dan Sang Kibrit  al-Ahmar, Belerang Me4rah.
        Ibnu 'Araby lahir pada hari Senin, 17 Ramadhan  560 H atau tanggal 29 Juli 1165 M. di kota Murcia, ibu kota Andalusia Timur, sebuah kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama, cendekiawan dan penyair besar Islam. Ibnu Araby  tumbuh di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, yang menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan yang masing-masing membentuk pandangan  hidup dan perilaku  psikologis sehari-harinya. Kelak dari keluarga inilah lahir filsuf besar dan imam para sufi agung yang belum tertandingi dalam dunia Islam.


          Ibu Ibnu Araby berrnama Nurul Anshariyah. Sungguh ibunda agung ini, menyusui putranya dengan air susu taqwa, menyuapinya dengan suapan mahabbah, mendidikknya lahir dan batin, hingga mencapai karakter di mana jiwa ibunda telah berpisah dari kemanusiaan menuju ke sifat  uluhiyah. Suatu ketika, sufi besar Fathimah dari Cordoba berkata kepadanya, "Wahai Nurul Anshariyah, anakmu ini, adalah "ayahmu", didiklah dengan baik dan jangan kau batasi." Ibunda Ibnu 'Araby tidak terkejut dengan kata-kata itu, dan ia terima dengan persangkaan  yang baik.
         Pada tahun 568 H keluarga Ibnu Araby  pindah dari Murcia ke Isybillia, di mana  sewaktu berada  di kota baru ini, terjadi transformasi pengetahuan dan kepribadian Ibnu 'Araby, yaitu kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fiqh,  dan sastra. Karena itu kelak, selain sebagai filsuf sufi, Ibnu 'Araby juga dikenal sebagai ahli tafsir, hadist, fiqh, sastra,  filsafat, bahkan astrolog dan kosmolog.
         Ibnu 'Araby belajar al-Qur'an dengan qira'at sab'ah dari beberapa guru seperti: Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy; Abul Qasim asy-Syarrath dan dari Ahmad bin Abi Hamzah. Sementara untuk mendalami bidang fiqh dan hadist ia menekuni fiqh mazhab Ibnu Hazm adz-Dzahiry dan mazhab Imam Malik, pada beberapa guru seperti Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun'im al-Khazrajy.

Futuhaatul Makiyyah karya Ibnu Araby
          Dalam majelis-majelis lainnya, Ibnu Araby  tak pernah ketinggalan menekuni suatu kitab kecuali membaca keseluruhan. "Aku mempelajari kitab-kitab antara lain, al-Imta' wal-Mu'anasah karya Abu Hayyan at-Tauhidy, kitab Al-Mujalasah karya Dinawari, kitab Bahjatul Asrar, karya Imam Ibnu Jahadhah, kitab Al-Mubtada' karya Ishaq bin Bisyr, kitab Dalailun Nubuwwah, karya Ibnu Nu'aim, kitab As-Sirah karya Ibnu Hisyam, kitab Shafwatus Shafwah karya Ibnul Jauzy, Musnad asy-Syihab karya Ibnu Salamah al-Qadha'y, Al-Musnad karya al-Azraqy, Al-Musnad, karya Ibnu Hanbal, As-Sunan, karya Sijistany, Shahih Muslim, al-Bukhari, dan At-Tirmidzy..."
        Toh dari sekian Imam dan kitab itu, Ibnu 'Araby tidak bertaklid sama sekali pada mereka. Ia termasuk tokoh yang (karena kapasitas ijtihadnya) menolak taklid. Bahkan ia membangun metodologi yang orisinal dalam menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah yang berbeda dengan metode yang ditempuh para pendahulunya. Hampir seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran teosofik yang sangat cemerlang. "Kami menempuh metode pemahaman kalimat-kalimat yang ada itu, di mana hati kami kosong dari kontemplasi pemikiran, dan kami bermajelis dengan Allah di atas hamparan adab, muraqabah, hudhur dan berserah  diri untuk menerima apa yang datang pada kami dari-Nya, sehingga Al-Haqq benar-benar melimpahkan ajaran bagi kami untuk membuka tirai dan hakikat.... dan semoga Allah memberikan pengetahuan kepada kalian semua..." demikian kata Ibnu 'Araby
            Pada akhirnya, Ibnu 'Araby menempuh jalan halaqah sufi dari beberapa Syeikhnya. Sebagaimana diakuinya dalam kitabnya yang paling monumental Al-Futuhatul Makkiyah, ia mendalami dunia sufi dari beberapa syeikh yang memiliki disiplin spiritual yang beragam. Ibnu 'Araby pergi dari satu tempat ke tempat lainnya, meninggalkan keinginan duniawi dan kenikmatannya. Ia menemui para tokoh yang benar-benar jujur menepati janji Allah, yang tidak dialpakan oleh bisnis dan jual beli, hingga lalai dzikir kepada Allah. Ibnu 'Arabi berdzikir dan menghayati seluruh wirid mereka, hingga ruhnya menyanggah ke atas derajat iluminasi dan emanasi yang kemudian melahirkan imajinasi yang dahsyat dalam dirinya,yang  terurai di dalam ratusan karyanya.
            Usia 20 tahun adalah  usia remaja penuh gejolak. Tapi Ibnu 'Araby telah matang dalam kepribadian intelektual dan moralnya. Pada usia inilah Ibnu 'Araby telah menjadi sufi, di mana ia berkata: "Thariqat sufi ini dibangun di atas empat cabang: Bawa'its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa'i (pilar pendorong ruhani jiwa); Akhlaq,  dan Hakikat-hakikat. Sedangkan pendorong itu ada tiga hak: hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak diserikatkan sedikit pun. Hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka. Dan (terakhir) hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (thariqat) yang di dalamnya terbentang kebahagiaan dan keselamatannya."
             Pada hak Allah (pertama) bisa dilacak secara sempurna pada seluruh karya Ibnu 'Araby, di mana Tauhid dijadikan sebagai konsumsi, iman sebagai cahaya hati, al-Qur'an sebagai akhlaknya. Kemudian naik ke tahap, di mana tak ada lagi selain al-Haqq (Allah swt.). Karakter Ibnu 'Araby senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur, rahasianya senantiasa bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi al-Haqq, rahasia batinnya bermukim menyertai-Nya tak ada yang lain yang menyibukkan dirinya kecuali Tuhannya.
            Ibnu 'Araby menggunakan kendaraan mahabbah, bermazhab ma'rifah, dan berwushul Tauhid. Ubudiyah dan iman satu-satunya hanyalah kepada Allah Yang Esa dan Maha Kuasa, Yang Suci dari pertemanan dan peranakan. Raja tanpa tanding, Pencipta dan Pengatur, Maujud dengan Dzat-Nya tanpa butuh pada pewujud-Nya. Bahkan seluruh yang maujud membutuhkan-Nya. Seluruh alam semesta maujud karena Wujud-Nya, dan hanyalah Dia yang berhak disifati sebagai Wujud. Yaitu Wujud Mutlak dengan sendiri-Nya tanpa batas. Dia bukan inti atom, bukan jasad, bukan arah, bukan waktu,  suci dari dimensi, arah dan wilayah namun Dia bisa dilihat oleh hati dan mata hati.
             Sementara hak sesama makhluk, ia mengambil jalan taubat dan mujahadah jiwa, serta lari kepada-Nya. Ia gelisah manakala terjadi lowong atas tindakan kebajikan yang diberikan Allah, sebagai jalan mahabbah dan mencari ridha-Nya. Hak ini bersumber pada ungkapan ruhani di mana  semesta alam yang ada di hadapannya merupakan penampilan al-Haqq. Seluruh semesta ini bertasbih pada Sang Khaliq, dan menyaksikan kebesaran-Nya, dan semuanya merupakan limpahan dari organisasi Ilahi.
                 Sementara hak terhadap diri sendiri adalah menempuh kewajiban agar sampai kepada tingkah laku ruhani dengan cara berakhlak yang dilandaskan pada sifat-sifat al-Haqq, dan upaya penyucian dalam taman Dzat-Nya.
                Semua ini tidak bisa ditempuh kecuali melalui bimbingan dan pendidikan dari para Syeikh yang kamil, di mana mereka mampu membukakan pintu-pintu cakrawala pencerahan yang luhur dalam perjalanan ruhaninya.
                Karya-karya Ibnu 'Araby masih asing di Indonesia, termasuk dunia pesantren belum memperkenalkan karya-karya sufi besar ini.
                Menurut peniltian para ulama dan juga orientalis, karya Ibnu Araby berjumlah sekitar 560 kitab lebih. Bahkan ada yang meneliti, termasuk risalah-risalah kecilnya, mencapai 2000 judul. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir al-Kabir terdiri 90 jilid. dan karya ensiklopediknya tentang penafsiran sufistik, yang paling masyhur adalah  Futuhatul  Makkiyah (8 jilid), dan disusul pula dengan Futuhatul Madaniyah.
         Selain itu, karya yang paling sulit dan penuh metaforal adalah Fushushul Hikam.  Dan sesungguhnya untuk sekadar menghantar pemikiran Ibnu 'Araby, membutuhkan satu juta halaman lebih, atas karya-karyanya. Anshari Mirza Khan menyatakan,”Bagi pendosa yang jahat, aku mungkin terlihat jahat. Tetapi bagi yang baik -- betapa luhurnya aku.
         Salah satu pengaruh metafisis paling mendalam terhadap dunia Muslim maupun Kristen adalah ajaran Ibnu Arabi as-Sufi, dalam bahasa Arab disebut asy-Syekh al-Akbar (Mahaguru). Ia keturunan Hatim ath-Tha'i, yang masih termasyhur di kalangan bangsa Arab sebagai laki-laki paling dermawan yang pernah dikenal dan dalam Ruba'iyat versi FitzGerald disebutkan, "Ijinkan Hatim ath-Tha'i berseru: Pesta! "Jangan hiraukan dia!" (maksudnya karena terlalu seringnya menjamu orang-orang lain).
           Spanyol telah menjadi negeri Arab selama lebih dari empat abad ketika Ibnu Arabi (dari) Murcia dilahirkan pada 1164. Di antara nama-namanya adalah al-Andalusi, dan tidak diragukan dialah salah satu tokoh terbesar dari beberapa tokoh besar Spanyol yang pernah hidup. Secara umum diyakini bahwa tidak ada puisi cinta yang lebih besar dari karyanya; dan tidak ada seorang Sufi yang begitu mendalam menarik perhatian para teolog ortodoks dengan makna batin dari kehidupan dan karyanya.
              Latar belakang Sufinya, menurut para ahli biografi, adalah bahwa ayahnya pernah berhubungan dengan Abdul Qadir al-Jilani yang agung, Sulthanul-Ikhwan (1077-1166). Ibnu Arabi sendiri disebutkan terlahir sebagai akibat pengaruh spiritual Abdul Qadir, yang meramalkan bahwa ia akan menjadi seorang dengan anugerah yang sangat luar biasa.
            Ayahnya memastikan untuk memberikan pendidikan terbaik yang mungkin baginya, sesuatu yang diberikan bangsa Moor Spanyol pada waktu itu, hingga pada suatu tingkatan yang tidak tertandingi di mana saja. Ia pergi ke Lisabon, di mana ia belajar Fiqih dan Kalam. Berikutnya, ketika masih anak-anak, ia pergi ke Sevilla, di mana ia belajar al-Qur'an serta Hadis di bawah bimbingan para ulama terbesar pada masanya. Di Cordoba ia menghadiri kuliah-kuliah dari Syekh asy-Syarrat al-Kabir, dan mengkhususkan dirinya dalam jurisprudensi.
            Selama periode ini, Ibnu Arabi memperlihatkan kualitas-kualitas intelek jauh melebihi mereka yang sezamannya, meskipun mereka berasal dari elite skolastik di mana dalam keluarga-keluarga semacam ini kapasitas intelektual sangatlah masyhur pada zaman pertengahan. Selama masa remajanya, di luar disiplin ketat pada sekolah-sekolah akademik tersebut, ia habiskan semua waktu dengan para Sufi, dan mulai menulis puisi.
             Ibnu Araby tinggal di Sevilla selama tiga dekade, puisi dan kefasihan bahasa yang dikuasainya telah  menempatkannya pada posisi puncak di atmosfir Spanyol yang berperadaban tinggi, begitu juga di Maroko, yang juga merupakan pusat kehidupan kebudayaan di zaman itu.
Dalam beberapa hal Ibnu Arabi menyerupai al-Ghazali (1058-1111). Seperti al-Ghazali, ia berasal dari sebuah keluarga Sufi, dan berpengaruh terhadap dunia Barat. Juga seperti al-Ghazali, ia sangat menguasai ajaran (ortodoks) Islam.
            Tetapi jika al-Ghazali pertama kali menguasai skolastisisme Islam, kemudian setelah merasa tidak cukup, ia berpaling ke Sufisme pada puncak kebesarannya; sementara Ibnu Arabi, melalui hubungan dan puisi, mempertahankan suatu hubungan berkelanjutan dengan arus Sufistik. Al-Ghazali mendamaikan Sufisme dengan Islam, menjadikan orang-orang skolastik memahami bahwa Sufisme bukan suatu bid'ah, tetapi suatu makna batin agama.
            Misi Ibnu Arabi adalah untuk menciptakan kesusastraan Sufi dan menyebabkannya dipelajari, hal mana masyarakat mungkin bisa memasuki semangat Sufisme -- menemukan para Sufi melalui keberadaan dan ungkapannya, apa pun latar belakang budayanya.
              Dalam karyanya yang menjadi rujukan utama Sufi, Insan Kamil, Abdul Karim al-Jili menjelaskan inkarnasi Hakikat (Muhammadiyah) ini kepada semua orang. Ia berusaha menggambarkan faktor esensial ini dengan memperlihatkan keberagaman dari apa yang kita sebut seorang individu. Sebagai contoh, Muhammad artinya "Yang Terpuji". Nama lainnya, sebagai suatu pemaparan dari suatu fungsi, adalah Abu  al-Qasim. Dan namanya, yaitu Abdullah, ia berfungsi sesuai dengan makna literalnya -- Hamba Allah. Nama-nama adalah kualitas-kualitas atau fungsi-fungsi. Inkarnasi adalah satu faktor sekunder: "Ia diberi nama-nama dan di setiap masa memiliki satu nama yang sesuai dengan wujud yang ada pada masa itu. Ketika ia dilihat sebagai Muhammad, ia adalah Muhammad, namun ketika dilihat dalam bentuk lain, maka ia disebut dengan nama bentuk itu sendiri."
              Ibn `Arabî dalam karyanya yang termasyhur yaitu al-Futûhât al-Makkiyyah menyatakan bahwa keindahan merupakan dasar cinta dan cinta kepada Tuhan sentral sekali dalam ajaran sufi. Ia membagi cinta menjadi tiga: cinta alami, cinta kerohanian, dan cinta Ilahi. Cinta alami dan cinta kerohanian adalah jenis-jenis dari cinta Ilahi. Cinta ilahi yang dia maksudkan adalah cinta yang hakiki dari Yang Esa – cinta kekal yang merupakan sumber dari jenis-jenis cinta yang lain.
             Istilah “madzhab Ibn `Arabî” dilontarkan oleh para sarjana Barat untuk menyebut fakta bahwa banyak di antara para pemikir Muslim, khususnya yang menganggap diri mereka sufi, menerima begitu serius gelar Ibn `Arabî sebagai “guru besar” (al-syaykh al-akbar) dan secara sadar mendasarkan perspektif mereka pada pemahaman mereka sendiri tentang kerangka acuan teoretis Ibn `Arabî. Sesungguhnya, ia tidak mendirikan madzhab atau tarekat tertentu tapi ia mempunyai murid spiritual dan tampaknya telah memberikan jubah penahbisan (yang dikenal oleh generasi terkemudian sebagai al-khirqah al-akbariyyah) yang dikenakan pada muridnya yaitu Shadr al-Dîn Qûnawî (murid langsung dari Ibn `Arabî yang paling berpengaruh dan sekaligus berpikiran bebas), tetapi tidak ada tarekat sufi yang membawa namanya.
Posted by Izzulfikri M. Anshorullah



You have read this article Filsafat with the title Ibnu Araby Imam Para Filsuf Sufi. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/08/ibnu-araby-imam-para-filsuf-sufi.html. Thanks!

No comment for "Ibnu Araby Imam Para Filsuf Sufi"

Post a Comment