Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

BBM Turun Pemerintah Lepas Subsidi: Post Hegemoni XLIV



Senin pagi – usai mengisi motor dengan premium harga baru Rp 6700 seliter – Johnson dan Daitya datang ke Pesantren Sufi untuk memberitahu teman-teman santri tentang harga baru premium. Namun baru masuk halaman, mereka sudah melihat Mbah Kasyful Mahjub Sufi Jadzab menangis tersedu-sedu di teras mushola. Sufi tua dan Sufi Sudrun terlihat duduk di samping Sufi Jadzab sambil membaca al-Qur’an ukuran pak bungkus rokok.
    Usai salam, Johnson duduk di depan Sufi Jadzab sambil bertanya,”Ada apa mbah, pagi-pagi sudah nangis?”
    Sufi Jadzab tidak menjawab. Sebaliknya tangisnya makin keras. Sejurus setelah itu, Sufi Jadzab mengaku telah menyaksikan tontonan sandiwara yang tidak lucu tetapi mampu membuat orang-orang bodoh ketawa meski skenario cerita itu membawa kesengsaraan orang banyak. “Sudah tidak lucu, malah menyengsarakan orang banyak,” kata Sufi Jadzab mengusap airmata.
    “Sampeyan nonton sandiwara apa mbah? Di televisi tah?” tukas Johnson dengan nada Tanya.
    “Ya di TV,  barusan.”

    “Lha mana ada acara sandiwara di TV pagi hari?” sergah Johnson heran.
    “Tadi itu sudah diputar lakon sandiwara dalam berita pagi berjudul ‘harga BBM turun’ yang mengulang pengumuman tadi malam,” kata Sufi Jadzab mengusap airmata di pipinya.
    “Itu berita mbah, bukan sandiwara,” sahut Johnson makin heran.
    Sufi Jadzab tidak menjawab, sebaliknya menangis makin keras sambil menggumam bahwa apa yang dilihatnya dalam berita pagi itu adalah sebuah tontonan sandiwara.
    Sufi tua berhenti membaca al-Qur’an. Setelah itu, dengan suara tinggi ia berkata,”Mbah Kasyful memandang berita pengumuman ‘harga BBM turun’ itu sebagai sandiwara. Tentu, asumsi dasar yang digunakan Mbah Kasyful untuk memandang berita itu berbeda dengan orang lain.”
    “Mmm, apa menurut pandangan Mbah Kasyful kebijakan menurunkan harga BBM itu sejatinya sebuah sandiwara, begitukah pakde?” tanya Johnson.          
             “Tentu saja,” sahut Sufi tua menjelaskan,”Mbah Kasyful menangis karena menganggap orang-orang sebangsanya  telah keblinger cara berpikirnya. Dia menangis karena saudara-saudara sebangsanya telah kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dalam memandang semua hal, termasuk memandang masalah pemaknaan Negara dan bangsa,” kata Sufi tua mengusap air mata di pipi Sufi Jadzab.


Korporasi versus Individu dalam pesaingan global
 “Maaf pakde,” sahut Daitya menukas,”Apakah kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM itu merupakan sandiwara? Bukankah sekarang ini wong cilik bisa gumuyu membeli bensin dengan harga murah? Di mana letak sandiwaranya?”
    “Orang-orang yang berpikir temporal seperti kalian, akan gembira dan bersukacita menerima kebijakan harga BBM turun dua kali dalam sebulan dengan alasan harga minyak turun. Padahal, di balik kebijakan menurunkan harga BBM itu terdapat masalah esensial yang jauh lebih mendasar dalam kaitan dengan peran dan fungsi Negara bagi warganegara,” kata Sufi tua menjelaskan.
    “Peran dan fungsi Negara?” sergah Daitya heran,”Apa maksudnya pakde?”
    “Ya di balik kebijakan penurunan harga BBM yang disesuaikan dengan harga minyak dunia, sejatinya tersembunyi sebuah kebijakan yang lebih mendasar, yaitu pemerintah melepas kewajiban untuk mensubsidi warganegara di bidang minyak. Seperti konsep liberalisme yang digagas John Stuart Mill, fungsi Negara hanya sebagai ‘penjaga malam’ bagi persaingan ekonomi yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan dalam konsep Neolibs yang digagas George Soros dalam skenario global yang disebut Open Society, masyarakat yang terbuka yang tidak ditandai etnisitas, bahasa, budaya, agama, dan territorial Negara tidak perlu lagi Negara berpihak dengan memberi subsidi. Silahkan masyarakat bersaing secara terbuka tanpa perlu Negara ikut campur membantunya,” kata Sufi tua menjelaskan.
    “Bukankah dalam konsep masyarakat global memang seperti itu?” sahut Johnson meminta penegasan,”Bukankah masyarakat harus mampu bersaing secara terbuka tanpa perlu keikut-campuran Negara?”
    “Aku setuju kalau konsep itu diterapkan secara konsekuen, jujur, adil, obyektif, dan konsisten,” kata Sufi tua dengan suara ditekan tinggi,”Maksudnya, kalau Negara tidak lagi mensubsidi warganegara dalam semua aspek, maka keharusan fundamental yang menetapkan kewajiban warganegara untuk membayar pajak dihapuskan. Jelasnya, pajak harus dihapus. Dirjen pajak ditiadakan. Semua hal yang berkaitan dengan retribusi, jasa, aneka macam pungutan oleh Negara harus ditiadakan. “
    “Kenapa sampeyan bisa berpikiran begitu ekstrim pakde?” tanya Johnson penasaran.
    “Bodoh kalian!” tukas Sufi tua keras,”Pikiran ini justru didasari oleh pandangan, gagasan, ide, konsep, wawasan, nilai-nilai, dan falsafah Negara sebagaimana pikiran para Founding Fathers. Apa kalian tidak faham bahwa kewajiban utama bagi Negara adalah melindungi, memberikan rasa aman, mengayomi, mencerdaskan, memberi keadilan, dan memberikan kemakmuran bagi warganegara. Atas kewajiban utamanya itu, Negara memperoleh hak untuk memungut pajak dari warganegara di mana dana dari pajak itu digunakan untuk membiayai aparat Negara. Di Negara mana pun, aparatur Negara diupah dari hasil pajak yang dibayar oleh warganegara. Nah kalau sekarang ini ada Negara perlahan-lahan ingin melepas tanggung-jawab dan kewajiban melindungi warganegara, terutama melindungi warganegara dari usaha perdagangan global yang eksploitatif yang dikendalikan oleh raksasa-raksasa kapitalis, perlu kita pertanyakan kembali apa sejatinya yang dikerjakan oleh aparatur Negara dengan melepas warganegara untuk hidup mengikuti aturan pasar global tanpa perlindungan Negara? Apakah pekerjaan utama aparatur Negara hanya duduk-duduk, main game, makan siang bersama, BBS (Bobok-bobok siang) di hotel short time, menjarah kekayaan Negara, menjadi calo bagi proyek-proyek Negara, jual dan beli jabatan, dan aneka pekerjaan yang bertujuan memperkaya diri sendiri?”
    “Bukankah selama ini pekerjaan mereka memang seperti itu? Bukankah kebijakan mereka selama ini juga seperti itu?” kata Johnson dengan nada tanya.

    “Karena itulah Mbah Kasyful menangis,” kata Sufi tua menekuk wajah,”Sebab dia melihat, hamper semua orang menganggap Negara yang dibangun para Founding Fathers ini tidak lebih dari perusahaan yang menjadi bagian pasar dunia. Semua aparat Negara selalu berpikir soal untung.. untung.. untung bagi Negara sehingga tidak ada beda perusahaan milik Negara dengan perusahaan milik swasta. Semua badan usaha milik Negara menganut kebijakan seperti usaha swasta sehingga terjadi persaingan tariff dalam segala aspek, baik perdagangan, jasa, transportasi, komunikasi, produksi, moneter, dan lainnya. Bahkan untuk membayar tagihan listrik, telepon, air minum warganegara selaku pelanggan dipungut biaya administrasi Rp 2500 seolah-olah BUMN tidak menganggarkan gaji bagi pegawainya.”
    “Wah iya juga pakde,” sahut Johnson garuk-garuk kepala,”Kalau Negara sudah tidak lagi mensubsidi warganegara, Negara juga tidak lagi mengurusi kesehatan dan kesejahteraan warganegara, Negara juga tidak melindungi warganegara yang bekerja di luar negeri, Negara menganggap warganegara tidak lebih sebagai nasabah, pelanggan, konsumen yang dibebani pajak, untuk apa sejatinya warganegara membayar pajak? Memangnya apa peran dan fungsi Negara ini dibentuk?”
    “Yang pasti, sebagian besar aparatur Negara menganggap institusi Negara tidak lebih dari perusahaan raksasa tidak bertuan yang berwenang memungut pajak untuk membiayai aparatur yang menjalankan mekanisme pemerintahan Negara. Negara seolah berdiri sendiri sebagai menara gading yang tidak memiliki peran dan fungsi melindungi, mengayomi, memberi keamanan, memberi keadilan, membawa kemakmuran bagi warganegara. Negara seolah telah menjadi lembaga sosial yang menampung orang-orang lulusan sekolah yang sejatinya calon pengangguran jika tidak ditampung dan diberi prioritas dan fasilitas oleh Negara,” kata Sufi tua menjelaskan.
    “Kalau kebijakan di balik  turunnya harga BBM ini sejatinya merupakan kebijakan esensial Negara untuk melepas kewajiban mensubsidi warganegara, bukankah masyarakat malah untung karena harga BBM ikut harga minyak dunia, di samping warganegara tidak lagi membebani Negara dengan subsidi-subsidi?” kata Johnson menyimpulkan.
    “Semprul kalian!” sahut Sufi Sudrun  tiba-tiba menyela,”Harga minyak dunia itu berfluktuasi. Kalau lagi turun, harga seliter premium bisa Rp 4000 – 3500. Tapi kalau harga lagi melonjak tinggi seliter premium bisa mencapai harga Rp 19.000 – Rp 24.000. Jadi tunggu saja, kapan saat tepat harga minyak dunia meroket ke angkasa tak terjangkau wong cilik. Itulah saat, rakyat Negara ini meratap dengan meteskan airmata darah. Sedang Negara beserta aparaturnya hanya berkomentar”Siape lu? Emang gue pikirin nasib lu” sambil ketawa-ketiwi cengigisan.”
    “Jadi turunnya harga BBM ini untuk menimbulkan kesan bahwa yang paling baik adalah mengikuti harga pasar dunia dan tidak perlu minta subsidi Negara, begitukah paklik?” Tanya Johnson.
    “Itulah yang membuat Mbah Kasyful menangis,” kata Sufi Sudrun menyergah,”yaitu orang-orang cenderung berpikir formal secara temporal tanpa memikirkan esensi.”
    “Waduh, jangka panjang dari kebijakan BBM turun harga ini payah juga akhirnya,” sahut Daitya menarik nafas berat berulang-ulang dengan dada terasa kosong.
   
Posted by Agus Sunyoto  



You have read this article Sejarah with the title BBM Turun Pemerintah Lepas Subsidi: Post Hegemoni XLIV. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2015/01/bbm-turun-pemerintah-lepas-subsidi-post.html. Thanks!

No comment for "BBM Turun Pemerintah Lepas Subsidi: Post Hegemoni XLIV"

Post a Comment