Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Charles de Montesquieu, Karyanya

Oleh: Isma Farikha Latifatun Nuzulia
Karya-Karya Montesquieu
Lettres Persanes

Pertama kali dipublikasika pada tahun 1721 ketika Montesquieu berusia tiga puluh dua tahun. Buku ini bercerita tentang tiga orang Persia yang bernama Usbek, Rica dan Rhedi; yang mengembara ke Eropa untuk mempelajari gaya hidup dan adat istiadat di Eropa. Pada suatu waktu, Rhedi berhenti di Venice, sedangkan Usbek dan Rica melanjutkan perjalanan ke Paris. Segera setelah keberangkatan mereka, mulailah terjadi dengan cepat surat menyurat antara pengunjung dari Persia ini dengan istri-istri, para pembantu dan teman-teman mereka di Persia, begitu juga surat menyurat antar pengunjung dari Persia ini sendiri.
Buku ini berisi surat-surat tersebut, tepatnya berjumlah 161 surat dan tidak terdapat uraian cerita diantara surat yang satu dan yang lain. Masing-masing surat lebih mirip dengan sebuah karangan singkat yang menggambarkan beberapa subjek seperti dasar pemerintahan, tradisi religius, gaya hidup dari suatu masyarakat; bahkan ada beberapa surat yang datang dari sanak saudara, istri-istri, dan para pembantu tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Persia.


Melalui surat-surat ini, Montesquieu dapat dengan bebas menyindir dan mencemooh dengan tajam Raja dan Gereja dengan berpura-pura seolah-olah pengunjung dari Persia itu yang menulis dan berpendapat demikian. Seperti ketika Usbek berbicara dalam suratnya bahwa ada seorang tukang sulap yang bahkan lebih hebat dari Raja Perancis dengan berkata, “This Magician is called the Pope” dan diteruskan dengan cemoohan lainnya untuk Paus. Pernyataan ini menyebabkan timbulnya kontroversi ketika Montesquieu dicela sebagai seorang “Unbeliever”.
Alur dari sebagian cerita dalam buku ini juga cukup menarik. Ketika Usbek dan Rica menikmati masa pencerahan di Perancis selama tujuh tahun, istri-istri Usbek,selir-selir dan para budaknya semakin merasa resah. Yang terjadi kemudian adalah para istri dan selirnya berselingkuh dengan para budak laki-laki. Dan ketika Usbek mendengar kabar tentang ini dari pembantu kepercayaannya, para wanita dan budak telah menikmati “kebebasan” yang tidak ingin mereka lepas meski melalui kekerasan. Penggalan kisah ini mengusung wacana tentang kebebasan individu dan bagaimana seseorang seharusnya bereaksi menghadapi situasi semacam itu.

Les Considerations sur les causes de la Grandeur et de la decadence des Romains

Karya ini diterbitkan pertama kali tahun 1734 di Amsterdam – sebagaimana karya sebelumnya – dengan tanpa nama, yang kemudian direvisi pada edisi 1748. Karya ini merupakan salah satu karya-karya pertama dari semua usaha untuk memahami setiap jengkal sejarah Romawi.
Sebagian besar karya ini menggunakan kerangka historis, dimulai dengan asal mula Romawi dan diakhiri dengan keruntuhannya. Keterangan yang terdapat pada ju-dulnya mengindikasikan bahwa Montesquieu kurang tertarik untuk memaparkan seja-rah umum Romawi, atau bahkan juga sejarah kejayaan dan keruntuhannya, tetapi le-bih difokuskan pada penjelasan tentang sebab-sebab dari kejayaan dan keruntuhan itu.
Kekuatan Romawi awal mulanya menampakkan diri di bawah kekuasaan Raja-Raja pertama dan mencapai puncaknya dalam bentuk Republik di bawah Pompey (sekitar 65 SM), yang “…completed the splendid work of Rome`s greatness.” Namun ketika korupsi menggerogoti Romawi dari dalam, sistem republik tidak dapat dipertahankan lebih lama dan diganti dengan kerajaan yang memakai kebiasaan dan lembaga-lembaga warisan dari Republik. Karena satu dan lain hal, kerajaan mengalami keruntuhannya di akhir abad ke-4 Masehi.
Kejayaan Romawi mengandung beberapa sebab diantaranya: kebajikan masyarakatnya, sistem konsul, kebijakan senat, kekuasaan rakyat yang terbatas, konsentrasi perang, kemenangan-kemenangan, pembagian harta rampasan, pembagian tanah yang merata, censorship (pemeriksaan), pembagian kekuasaan politik, dan dukungan senat terhadap militer dan terhadap politik luar negeri.
Sedangkan kemunduran Romawi antara lain disebabkan oleh merosotnya kerjasama antara rakyat dan militer, kesenjangan ekonomi dan kekuasaan, hilangnya identitas kewarganegaraan rakyat Romawi, yang kesemuanya membuat Republik ti-dak mungkin dapat dipertahankan. Montesquieu juga mencurahkan perhatiannya pada perkembangan paham atheisme, materialisme, dan hedonisme yang menyebabkan hancurnya moral, agama, patriotisme dan kebajikan masyarakat Romawi.

L`Esprit des Lois/ The Spirit of Laws

Karya terbesar Montesquieu yang terdiri dari tiga puluh satu buku ini diterbitkan pertama kali di Geneva pada tahun 1748. Buku ini menjadi salah satu tonggak terpenting dalam karya Montesquieu dan merupakan puncak dari prestasi gemilang keilmuan Montesquieu. Tetapi apa yang di khawatirkan oleh Montesquieu, bahwa karyanya akan diterima dengan sikap salah paham dan iri hati ternyata terbukti. Baik kaum Jansenis maupun kaum Jesuit menolak dengan keras apa yang mereka pandang sebagai sikap yang lunak dan penerimaan Montesquieu terhadap bunuh diri, riba, perceraian, poligami dan perbudakan dan mereka juga menolak dan mengecam pernyataan Montesquieu bahwa tidak ada moralitas dalam monarkhi seperti Prancis karena ia menjadikan kehormatan (bukan kebajikan) sebagai prinsip pemerintahan monarkhi. Apalagi Montesquieu telah berani menyebut Bayle sebagai orang besar, dan lebih parah lagi, ia menyebut Plato (seorang pagan) sebagai sumber terpenting dalam urusan Agama.
Dalam kata pengantar dan buku pertama, setidaknya Montesquieu memiliki dua sasaran: untuk memahami perbedaan hukum manusia dan hukum dalam kehidupan secara umum, dan memberi sumbangsih dasar bagi terbentuknya pemerintahan yang bijaksana di setiap tempat. Prakata dalam karya The Spirit of Laws menunjukkan semangat utilitarian:”Bukan masalah penting bagi saya bila pikiran orang-orang tercerahkan. Prasangka para pejabat munculnya dari prasangka bangsa. Juga bukan hanya orang banyak yang membutuhkan pencerahan, bila saya berhasil mempengaruhi pihak yang berwenang untuk menambah pengetahuan mengenai apa yang seharusnya mereka kuasai, saya pasti merasa sebagai mahluk yang paling bahagia”. Dari situ jelas bahwa Montesquieu bukan hanya didorong oleh minat praktisnya sebagai seorang anggota Parlemen, namun juga didorong oleh tanggungjawab ilmiahnya atau dengan kata lain, didorong juga oleh minat keilmuan murni.
Kemudian ia beralih pada pengujian struktur politik sebagai penghambat konflik sosial. Menurutnya, setiap pemerintahan memiliki hakikat dan prinsip yang padanya hukum haru dihubungkan. Dan jenis-jenis pemerintahan ia kelompokkan pada tiga golongan besar diantaranya Republik (baik Demokrasi maupun Aristokrasi), Monarki dan Despotisme. Persoalan-persoalan di dalam dan luar pemerintahan-pemerintahan tersebut merupakan subjek masalah yang dipaparkan Montesquieu dalam buku kedua sampai dengan buku ke sepuluh. Pada buku kesebelas sampai tiga belas, Montesquieu menganalisis bentuk pemerintahan dengan kebebasan sebagai prinsipnya. Ia menampilkan Inggris sebagai contoh pemerintahan yang objek langsung dari hukum-hukumnya adalah kebebasan dalam arti hak untuk melakukan sesuatu yang diizinkan hukum. Di bagian ini juga Montesquieu membahas tentang pemisahan kekuasaan yang terdiri dari legislatif, eksekutif dan yudikatif yang jika disatukan pada orang atau lembaga yang sama maka kekuasaan akan sangat terkonsentrasi dan akan timbul kesewenang-wenangan.
Buku keempat belas sampai delapan belas memaparkan tentang efek keadaan iklim terhadap bentuk-bentuk perbudakan, dan hubungan antara keadaan tanah dan masyarakat primitif. Buku kesembilan belas menjelaskan hubungan antara hukum dengan prinsip-prinsip moral dan adat suatu bangsa. Buku kedua puluh sampai dua puluh dua menjelaskan hubungan hukum dengan perdagangan. Buku kedua puluh tiga membahas hubungan hukum dengan jumlah penduduk. Buku kedua puluh empat dan dua puluh lima berbicara tentang hubungan hukum dengan agama, dan pada buku kedua puluh enam berisi penyelesaian konflik yang mungkin timbul antar hukum agama (law of religion), hukum kodrat (law of nature), hukum sipil (civil law), hukum politik (political law) dan hukum bangsa-bangsa (law of nations). Pada bagian terakhir, buku kedua puluh tujuh sampai tiga puluh satu, Montesquieu membahas hukum Romawi, Perancis dan Feodal sebagai suplemen tambahan.
Dalam karya ini, Montesquieu memandang hukum sebagai hal yang paling sentral dan paling menentukan tingkah laku manusia. Menurutnya, gagasan tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Setidaknya ada dua faktor penyebab utama yang membentuk General Spirit (watak umum masyarakat) yang sangat menentukan struktur sosial politik masyarakat, yaitu faktor fisik dan faktor moral. Faktor fisik yang utama adalah iklim, keadaan geografis, dan kepadatan penduduk yang menghasilkan akibat-akibat fisiologi dan mental tertentu. Sedangkan faktor moral antara lain berupa agama, kebiasaan, ekonomi, perdagangan, cara berpikir dan suasana yang tercipta di peradilan negara.
Dan setelah hampir tiga ratus tahun, karya ini masih tetap menjadi salah satu referensi pokok bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia politik dan pemerintahan. Karya ini mengajarkan landasa-landasan mengenai penerapan biaya perkara yang dapat dijumpai dalam Livre XXVIII: De l’origine et des révolutions des lois civiles chez les Français (Asas-usul perubahan hukum kemasyarakatan Perancis), Chapitre XXXV: Des dépens (Biaya Perkara):
Anciennement en France, il n’y avait point de condamnation de dépens en cour laie. La partie qui succombait était assez punie par des condamnations d’amende envers le seigneur et ses pairs. La manière de procéder par le combat judiciaire faisait que, dans les crimes, la partie qui succombait, et qui perdait la vie et les biens, était punie autant qu’elle pouvait l’être; et, dans les autres cas du combat judiciaire, il y avait des amendes quelquefois fixes, quelquefois dépendantes de la volonté du seigneur, qui faisaient assez craindre les événements des procès. Il en était de même dans les affaires qui ne se décidaient que par le combat. Comme c’était le seigneur qui avait les profits principaux, c’était lui aussi qui faisait les principales dépenses, soit pour assembler ses pairs, soit pour les mettre en état de procéder au jugement. D’ailleurs, les affaires finissant sur le lieu même, et toujours presque sur-le-champ, et sans ce nombre infini d’écritures qu’on vit depuis, il n’était pas nécessaire de donner des dépens aux parties.
C’est l’usage des appels qui doit naturellement introduire celui de donner des dépens. Aussi Desfontaines dit-il que, lorsqu’on appelait par loi écrite, c’est-à-dire quand on suivait les nouvelles lois de saint Louis, on donnait des dépens; mais que, dans l’usage ordinaire, qui ne permettait point d’appeler sans fausser, il n’y en avait point; on n’obtenait qu’une amende, et la possession d’an et jour de la chose contestée, si l’affaire était renvoyée au seigneur.

Mais, lorsque de nouvelles facilités d’appeler augmentèrent le nombre des appels  ; que, par le fréquent usage de ces appels d’un tribunal à un autre, les parties furent sans cesse transportées hors du lieu de leur séjour; quand l’art nouveau de la procédure multiplia et éternisa les procès; lorsque la science d’éluder les demandes les plus justes se fut raffinée; quand un plaideur sut fuir, uniquement pour se faire suivre; lorsque la demande fut ruineuse, et la défense tranquille; que les raisons se perdirent dans des volumes de paroles et d’écrits; que tout fut plein de suppôts de justice qui ne devaient point rendre la justice; que la mauvaise foi trouva des conseils, là où elle ne trouva pas des appuis; il fallut bien arrêter les plaideurs par la crainte des dépens. Ils durent les payer pour la décision, et pour les moyens qu’ils avaient employés pour l’éluder. Charles le Bel fit là-dessus une ordonnance générale.
Terjemah dalam bahasa Indonesia :
Di masa lalu di Perancis, tidak ada alasan menjatuhkan hukuman mengenai biaya perkara pengadilan. Pihak yang kalah harus dihukum dengan hukuman denda kepada pangeran dan majelisnya. Dari tata cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan setelah masa itu di mana pihak yang kalah dihukum dan dikurangi hak hidup dan kekayaannya, harus dihukum sebanyak mungkin yang ia dapat tanggung: dan dalam hal-hal lain berkenaan dengan penyelesaian sengketa di pengadilan, ada denda-denda yang kadang-kadang bernilai tetap, dan kadang-kadang tergantung dari kebijaksanaan sang pangeran, yang cukup membuat orang takut akan akibat dari diajukannya gugatan. Hal itu dapat dikatakan sebagai hal-hal yang tidak diputuskan oleh pengadilan. Karena sang pangeran mendapatkan pemasukan terbesar, maka ia juga harus membuat pengeluaran terbesar, apakah dengan cara mengumpulkan majelisnya, atau untuk memungkinkan mereka mengambil putusan. Selain daripada itu, karena sengketa-sengketa pada umumnya ditentukan di tenpat yang sama, dan hampir selalu pada waktu yang sama, dan tanpa pemikiran-pemikiran akademis yang mengikuti sesudahnya, maka tidak ada pentingnya membebankan biaya perkara kepada para pihak.
Kelaziman upaya hukum banding (dan kasasi) secara alamiah mengintrodusir dibebankannya biaya perkara. Oleh karenanya Desfontaines juga mengatakan bahwa “ketika mereka mengajukan upaya hukum menurut hukum tertulis, yaitu, ketika mereka mengikuti hukum baru dari Santo Louis, mereka harus membayar biaya perkara; akan tetapi hal tersebut dalam praktek pada umumnya, yang tidak memperbolehkan mereka mengajukan upaya hukum banding (dan kasasi) tanpa memalsukan putusan, tidak ada biaya perkara yang dibebankan. Mereka hanya dihukum, dan memiliki hak selama satu tahun dan satu hari atas hal yang diperlawankan, jika alasannya disampaikan kepada pangeran.
Akan tetapi, ketika jumlah upaya hukum banding (dan kasai) meningkat dengan adanya fasilitas baru untuk mengajukan upaya hukum banding (dan kasasi) tersebut; ketika dengan seringnya menggunakan upaya hukum banding (dan kasasi) dari satu pengadilan ke pengadilan lain (yang lebih tinggi), para pihak kemudian secara terus menerus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dari tempat kediamannya; ketika metode tata cara persidangan yang baru mulai berlipat ganda dan memperlama jalannya persidangan; ketika seni menginterpretasikan tuntutan-tuntutan yang paling adil mulai disempurnakan; ketika para pihak yang bersengketa mulai belajar dan mengerti cara menangkis atau melawan untuk diikuti pihak lawannya; ketika gugatan-gugatan mudah hancur sedangkan pembelaan diri menjadi begitu mudahnya; ketika argumen-argumen hilang secara keseluruhan kata dan tulisannya; ketika kerajaan mulai dipenuhi segala upaya perongrongan wibawa hukum, yang sama sekali tidak dikenal oleh lembaga peradilan; ketika ketidak-jujuran dan tipu muslihat mendapatkan dukungan di tempat yang tepat di mana ia tidak mendapatkan perlindungan; maka sudah sangat perlu untuk membuat pihak-pihak yang berseengketa menjadi takut akan biaya perkara. Mereka wajib membayar biaya untuk putusan pengadilan dan biaya untuk segala sarana yang mereka gunakan untuk mendapatkannya. Charles yang Baik membuat aturan umum mengenai hal tersebut.
Dalam karyanya “De l’Esprit des Lois”, Livre XXIV: Des lois dans le rapport qu’elles ont avec la religion établie dans chaque pays, considérée dans ses pratiques et en elle-même (Hukum dalam hubungan yang dimilikinnya dengan agama yang hidup dalam setiap negara, dipertimbangkan dalam prakteknya dan pada dirinya sendiri), dan Livre XXV: Des lois dans le rapport qu’elles ont avec l’établissement de la religion de chaque pays et sa police extérieure (Hukum dalam hubungan yang dimilikinya dengan pengajaran agama dan kebijakan eksternalnya), Baron de Montesquieu mengungkapkan pendapatnya berdasarkan observasinya saat itu (dengan melihat sendiri fakta yang ada) bahwa agama Katolik Roma dan Katolik Orthodox (Gereja Katolik yang lahir di Kekaisaran Roma Timur (Byzantium) adalah agama negara Eropa dengan sistem Monarki (Perancis, Kekaisaran Roma Suci, Spanyol, Russia), sedangkan dengan melihat Belanda dan hubungan keluarganya dengan kerajaan Inggris dan para bangsawan Jerman, Baron de Montesquieu menganggap bahwa agama Protestan adalah agama yang tepat bagi negara Eropa dengan sistem pemerintahan Republik.
Karya Montesquieu ini memberikan pilihan alternatif politik yang sangat baik dan mudah untuk diterapkan dalam pemerintahan. Ada tiga butir dalam pemikiran Montesquieu tentang (The Spirit of Laws), yaitu :
1).Hukum serta bentuk pemerintahan ditentukan oleh banyaknya orang berkuasa dan prinsip nilai yang digunakan pemerintah dibagi menjadi tiga macam yaitu : (Republik, Monarki, dan Depotis).
2).Kondisi diatas mempengaruhi gagasannya tentang Trias Politica yang memisahkan kekuasaan negara dalam tiga bentuk yaitu : (Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif).
3).Dua faktor utama yang membentuk watak masyarakat, yaitu secara fisik dan mental, faktor fisik adalah iklim dan letak geografis yang mengakibatkan munculnya mental tertentu. Faktor moral juga berpengaruh penting terhadap agama, kebiasaan, ekonomi, dan perdagangan.
 Menurut Montesquieu yang tertulis dalam bukunya yaitu "The Spirit of The Laws", menerangkan bahwa jika kekuasaan legislatif digabung dengan eksekutif, maka hal itu dapat mengancam kebebasan warga negara. Karena, jika kedua kekuasaan itu diserahkan pada satu badan, hal ini berpotensi memunculkan produk legislasi (undang-undang) yang tiranik, dan akan bertambah buruk lagi, jika dijalankan secara tiranik. Disitu warga negara tidak akan mendapatkan kebebasan jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif, sebab jika kedua kekuasaan itu disatukan, maka kewenangan para hakim tidak hanya terbatas pada mengadili semata, tetapi juga ikut andil dalam membentuk undang-undang. Penggabungan kekuasaan pada satu organ ini dioastikan akan menghadirkan penyelenggaraan negara yang otoriter, sama halnya, jika kekuasaan yudikatif digabungkan dengan eksekutif, maka hal ini akan berpotensi melahirkan penguasa yang tidak kalah despotik.
Timbul berbagai kecaman dan kritikan tajam yang dtujukan kepada pemerintah dan kondisi sosio-kultual masyarakat Prancis yang berkembang waktu itu, tertuang dalam karyanya antara lain:
1.Terhadap kebiasaan kebuadyaan masyarakt Prancis yang hipokrit (munafik), dia menyebutnya sebagai hipocrity cultural
2.Kritik terhadap kesewenang-wewangan Kaisar Louis XIV dan kekuasaan Paus XIV dan kekuasaan Pua (yahng disebut sebagai tukang sulap)
3.Pada kaum intelektual yang cendurung banyak berkhayal (utopis) tanpa berbuat sesuatu
4.Agama cenderung merupakan depostisme dan otoriterisme dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan public, serta mendorong orang berbuat fatalistic. Menurutnya, walaupun agama tidak ada, keadilan tetap harus diagungkan.
5.Yang paling subversive adalah kritikkannya adalah kritik dia akan perkawinan incest dan poligami yang dilakukan oleh orang Islam
6.Tentang bunuh diri indivu dan politik (kasus Roxane dan bangsa Romawi)
7.Model pemerintahan yang paternal seperti Roma pantas dipertahankan karena pemerintah terbaik adalah yang mengikuti kehendak rakyatnya
8.Montesquieu menetapkan dua prinsip penting dalam teori politik. Pertama semua masyarakat bersandar pada solidatitas kepentingan, kedua adanya suatu masyarakat bebbas hanyalah di atas dasar penggabungan keutamaan warga negara, seperti Rebulik masa lampau.
    Menurut Montesquieu, hukum yang sama telah memicu bangkitnya kejayaan tidak dengan sendirinya menjamin berlangsungnya kejayaan politik itu. Artinya, menurut Montesquieu, Hukum haruslah segera mengikuti gerak zaman dan perubahan materiil dan spirituil dari masyarakat yang bersangkutan. Di penghujung tahun 1734, pada usia 45 tahun, setelah karya-karyanya mengungkapkan sebab-sebab kejatuhan Romawi, Montesquieu mencurahkan dirinya menyusun karangan yang nantinya menjadi The Spirit of Laws. Hanya segelintir orang yang menyangkal bahwa karya ini luar biasa. Panjangnya risalah ini, belum lagi kedalaman isinya, menunjukkan suatu upaya luar biasa. Edisi tahun 1757, mencapai lebih dari seribu halaman dan disebabkan oleh pandangan matanya yang mulai kabur, Montesquieu harus mendiktekan sebagian besar karyanya kepada juru tulis. Lima jilid manuskrip The Law, yang kini dimiliki oleh Bibliotheque Nationale, menunjukkan betapa beratnya pekerjaan itu.
Kedua, sejarah kebesaran dan kejatuhan Romawi (Considations on the greatness and decline of the Romans). Buku yang kedua ini adalah sebuah karangan pendek bersifat sementara yang diterbitkan di Belandatahun 1734, juga secara anonym. Namun, akhirnya bisa beradar secara bebasdi Prancis.Walaupun buku ini kurang terkenal, pembahasannya tentang sejarah kekaisaran Romawi merupakan dokumen sejarah paling lengkap tentang masyarakat politik. Studinya tentang masalah ini membawanya pada konsep yang dikembangkan dalam The Spirit of Laws.

Treatis on Duties
Pada tahun 1725 ia menyelesaikan karya pentingnya berjudul Treatis on Duties, yang terilhami oleh karya Cicero dan Pufendorf. Sayangnya karya ini telah hilang, kecuali beberapa potongan yang termuat dalam Pensees dan beberapa bagian yang dimasukkan dalam Buku I, Bab I The Spirit Of Laws. Risalah ini menggunakan pendekatan kemutlakan-kemutlakan hukum alam untuk menyerang penekana Hobbes pada hukum positif buatan manusia sebagai satu-satunya tolok ukur keadilan yang syah. Pada tahun yang sama, ia menyelesaikan suatu karya ringkas, Of Politics, yang mengungkapkan minatnya terhadap peran paham determinisme dalam urusan-urusan manusia. Lebih jauh lagi, dasawarsa tahun 1720-an, juga ditandai dengan selesainya motif-motif apa yang mendorong kegiatan ilmu pengetahuan dan rampungnya suatu risalah mengenai kemakmuran negeri Spanyol yang kemudian dimasukkan dalam Buku XXI The Spirit of Law.

Pengaruh Pemikiran Montesquieu

Pengaruh doktrin Trias Politica begitu dahsyat dalam perubahan iklim konstitusi negara-negara di dunia. Kampanye Trias Politica menimbulkan gejolak revolusi yang memaksa rezim- rezim monarkhi absolut dilucuti hak-hak superioritasnya, seperti yang terjadi di Perancis pada masa revolusi tahun 1789.
Konsep Trias Politica pada perjalanannya banyak diaplikasikan sebagai perangkat penyelenggaraan negara, atau bisa juga dijadikan sebagai parameter atau indikator penilaian terhadap sebuah negara, apakah negara tersebut dapat diklasifikasikan sebagai negara tradisional ataukah negara modern yang menjunjung tinggi falsafah demokratis.
Konsep ini  untuk pertama kalinya dijadikan bahan perumusan negara Amerika Serikat, setelah itu melalui gejolak revolusi terus merayap ke negara-negara Eropa Barat. Kemudian sebagai akibat dari kolonialisme Barat, konsep Trias Politica itu disebarkan luas ke negara-negara di seantero Asia-Afrika.
Di era dewasa ini, hampir dipastikan  semua negara di dunia, tidak ada yang tidak merujuk pada konsep Trias Politica. Walaupun pada pengaplikasian esensinya, tidak menutup kemungkinan didapati praktek pelencengan, maksudnya di dalam rezim tiran sekalipun Trias Politica secara fisik diaplikasikan sebagai kerangka bernegara.
Sangat luar biasa sekali buah pikir Montesquieu ini, dalam kajian ilmiah akademis dapat dipastikan  semua ahli politik dan negara pasti selalu merujuk pada konsep Trias Politica sebagai doktrin pola pembagian kekuasaan yang dinilai sebagai pola sharing power yang  fair  dalam suatu konsep politik negara. Konsep ini seperti tidak terbantahkan lagi dan mungkin sudah menjadi konsep baku dalam urusan pola pembagian kekuasaan, dalam artian tidak membuka kemungkinan kembali untuk munculnya inovasi-inovasi terbaru tentang ide-ide pembagian kekuasaan.                    
Montesquieu dikenal dalam literatur Barat bukan hanya sebagai pemikir dan filosof politik saja, melainkan ia dikategorikan sebagai sosiolog mendahului August Comte. Ia juga seorang sejarawan dan novelis terkemuka di zamannya. Gagasan-gagasannya mempengaruhi perkembangan pemikiran negara dan hukum di berbagai belahan dunia selama berabad-abad. Pengaruh pemikirannya mudah dilacak dalam konstitusi dan formulasi ketatanegaraan dunia modern. Karena mempengaruhi perumusan konstitusi Amerika di abad XVIII, maka ia dihormati di kalangan perumus konstitusi Amerika, seperti George Washington dan Thomas Jefferson.
Gagasannya yang paling terkenal yaitu mengenai Trias Politica yang memisahkan kekuasaan negara ke dalam tiga bentuk, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsep ini kemudian diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika. Karya-karya Montesquieu yang monumental adalah mengenai sebab kebangkitan dan kejatuhan Romawi, The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Roman, Letters Persanes, dan Spirit of the Laws yakni karya yang berisi konsep-konsep hukum dan ilmu politik modern.
Di bagian awal buku The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Roman yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1743, Montesquieu menjelaskan tentang hakikat Roma, ibu kota pemerintahan imperium Romawi. Menurutnya Roma bukanlah sebuah kota (city) dalam pengertian modern yang kita pahami sekarang ini, melainkan sebuah tempat pertemuan umum, di mana tidak terdapat kejelasan tentang siapa yang diperintah dan yang memerintah. Dengan demikian, Roma tidak dapat dijadikan sebagai sebuah model pemerintahan
Bacaan Montesquieu tentang karya-karya Polybius mengajarkannya bahwa sebuah konstitusi (UUD) bisa menyelamatkan suatu negara, apapun bentuk negara tersebut. Konstitusi Republik Romawi misalnya, diyakini telah berhasil mencegah republik itu dari kehancuran total. Karena pengaruh Polybius itulah Montesquieu banyak memberikan perhatian pada paham konstitusionalisme pada zamannya.
Sama halnya Machiavelli, Montesquieu juga mengagumi semangat kebebasan, seni memerintah dan seni perang bangsa Romawi, khususnya keahlian mereka dalam memanipulasi agama dan kebijakan-kebijakan luar negeri untuk digunakan demi kepentingan mereka. Agama misalnya, hanya diperkenankan sejauh ia memperkokoh struktur nilai-nilai kekuasaan negara kota. Agama harus diabdikan demi kebesaran, kesatuan dan kejayaan imperium Romawi. Agama yang tidak memiliki fungsi seperti itu tidak diakui keberadaannya. Akan tetapi, yang membedakan kedua pemikir ini adalah bahwa Machiavelli melihat orang-orang besar yang mengejar kemasyhuran dan kekuasaan sebagai individu yang berperan penting dalam pembentukan sejarah bangsa itu. Sedangkan Montesquieu tidak percaya bahwa sejarah dibentuk oleh orang-orang besar. Mereka memang membentuk lembaga-lembaga sosial politik, militer, dan lain-lain, tetapi setelah itu, maka individu-individu itulah yang diatur oleh lembaga-lembaga itu.
*) Mahasiswi Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya Malang


You have read this article Filsafat with the title Charles de Montesquieu, Karyanya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2015/01/charles-de-montesquieu-karyanya.html. Thanks!

No comment for "Charles de Montesquieu, Karyanya"

Post a Comment