Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Showing posts with label Budaya. Show all posts
Showing posts with label Budaya. Show all posts
Friday 28 March 2014

Agus Sunyoto Dianugerahi Hadiah Asrul Sani

Mengenakan Sarung dan bersandal Agus Sunyoto Menerima Hadiah Asrul Sani
Setelah menyeleksi puluhan karya tulis berlatar sejarah, sosial, pendidikan, arkeologi,  agama, budaya, filsafat ke dalam ragam bentuk karya tulis mulai artikel, laporan ilmiah, essai, prosa liris,  cerita pendek, cerita bersambung, novel dan  naskah drama, Dewan Juri Penganugerahan Hadiah Asrul Sani menetapkan Agus Sunyoto sebagai penerima Hadiah Asrul Sani untuk kategori Penulis Kreatif.



You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/03/agus-sunyoto-dianugerahi-hadiah-asrul_28.html. Thanks!
Thursday 27 March 2014

Seniman dan Budayawan Penerima Anugerah Hadiah Asrul Sani

Asrul Sani
JAKARTA, NU Online – Penganugerahan Hadiah Asrul Sani (HAS) ke-3 tahun 2014 yang digelar di lantai 8 gedung PBNU Jalan Kramat Raya No 164 Jakarta Pusat, Jumat (28/3) malam dihadiri ulama, santri, seniman, budayawan, pegiat seni tradisi, dan pimpinan media massa dari kalangan pesantren. Penganugerahan Hadiah Asrul Sani pertama kali diadakan tahun 2012 oleh NU Online untuk mengapresiasi dan menghargai karya serta pengabdian anak-anak bangsa terhadap seni dan budaya nasional sebagaimana telah ditunjukkan oleh tokoh serba bisa Asrul Sani yang selain dikenal sebagai seniman, politisi, pemikir, dan budayawan juga dikenal sebagai pendiri Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) NU bersama Jamaluddin Malik dan Usmar Ismail. “Hadiah Asrul Sani adalah ikhtiar kecil kami untuk menggerakkan gagasan-gagasan Pak Asrul Sani dan sekaligus member penghormatan kepada orang-orang yang dinilai berbakti dalam bidang kebudayaan,” ujar Syafi’ Alielha, pimpinan NU Online dalam acara pembukaan.
         Dewan Juri yang menetapkan penerima Hadiah Asrul Sani 2014  terdiri dari pengurus PBNU Abdul Mun’im DZ dan Imam Azis, sastrawan Ahmad Thohari, penyair Asep Zamzami Noor, sineas Alex Komang, Sauki Asrul Sani (keluarga Asrul Sani), pimpinan NU Online Syafi’ Alielha, dan empat orang wartawan A. Khoirul Anam, Hamzah Sahal, Syaifullah Amin, dan Ulil Abshar Hadrawi. Dewan Juri memilih lima orang tokoh yang dinilai pantas menerima Asrul Sani award.  Sebelum membacakan nama para penerima anugerah Asrul Sani Award, Alex Komang selaku Wakil Ketua PP Lesbumi PBNU meminta maaf dan mengaku malu karena penghargaan Asrul Sani justru dilakukan oleh NU Online dan bukan oleh Lesbumi yang didirikan Asrul Sani.
         Untuk tahun 2014 ini, Dewan Juri menetapkan lima orang yang menerima anugerah kebudayaan ini. Mereka adalah Usep Romli HM (Kategori Kesetiaan Berkarya), Agus Sunyoto (Kategori Penulis Kreatif), Tatik Maliyati (Kategori Sineas Berbakti), KH Chizni Umar Burhan (Kategori Pelindung Karya), dan H Muammar ZA (Kategori Tokoh Legendaris). Sebelum menerima penghargaan, kelima tokoh ini diminta memberikan sambutan singkat.
            Usep Romli (64) mengatakan, dirinya sejak belia telah mengenal NU. “Saya menjadi NU sejak anak-anak karena kakek saya orang NU. Saya mulai menulis sejak 1964, tetapi sering ditolak. Nah, yang menerima justru majalah PNI dan PKI,” ujarnya.
                Agus Sunyoto (54) mengajak anak muda NU menjaga serta meningkatkan tradisi literasi. Karena sejarah akan tercipta melalui kegiatan mulia ini. “Anak muda NU musti tingkatkan kegiatan tulis-menulis,” serunya.
                     Sementara itu, Tatiek Maliyati (79) dengan wajah berbinar mencoba mengumpulkan ingatannya tentang sosok Asrul Sani yang dijadikan nama penghargaan yang diberikan NU Online.
“Saya tidak banyak mengenal NU, akan tetapi saya mengenal baik Asrul Sani. Karena beliau adalah guru saya di Akademi Teater Nasional Indonesia. Bagi saya, Pak Asrul orang yang luar biasa,” ujarnya.
               Sebagai seorang mahasiswi, lanjut Tatik, dirinya merasakan betul bahwa Asrul Sani merupakan satu-satunya dosen di kampusnya yang memberikan pencerahan terhadap dunia perfilman sehingga dia mampu berbuat banyak bagi negeri ini. Meski bukan anggota NU, Tatik mengetahui Asrul Sani salah seorang pengurus Lesbumi. “Saya bukan anggota NU, tapi mulai sekarang saya sangat simpati terhadap NU,” tegasnya yang langsung disambut aplaus panjang hadirin.
KH Chizni Umar Burhan dalam sambutannya mempersilakan para peneliti muda NU untuk datang ke rumahnya di Gresik. Ia menyimpan banyak sekali dokumen dan arsip NU di masa-masa awal yang merupakan warisan dari ayahnya, KH Umar Burhan, sekretaris pribadi Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.
              Sementara itu H Muammar ZA yang memperoleh penghargaan untuk kategori tokoh legendaris  berhalangan hadir. Penerima hadiah diwakili langsung oleh Wakil Ketua Umum PBNU KH As’ad Said Ali.
                Acara dilanjutkan pidato kebudayaan oleh Ahmad Tohari, kemudian disusul pembacaan cerpen karyanya oleh Abdullah Wong sebelum akhirnya ditutup oleh pembacaan puisi dilanjut doa oleh budayawan D Zawawi Imron.
               “Ya Allah, hari ini di PBNU ada peristiwa budaya yang menandai bahwa kami warga NU cinta budaya. Inti kebudayaan adalah hati yang bersih. Oleh karenanya, berikanlah kami hati yang bersih agar dapat lebih mencinta Indonesia,” tutur kiai flamboyan asal Madura ini dalam doanya. (Ali Musthofa Asrori/Anam)
You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/03/seniman-dan-budayawan-penerima-anugerah_27.html. Thanks!
Wednesday 26 March 2014

Seputar Sebutan Cina menjadi Tionghoa


 Seputar Sebutan Cina menjadi Tionghoa
Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
           
Etnis Tionghoa di era Kolonial
      Seperti Gus Dur sewaktu menjadi presiden menetapkan Konghucu sebagai salah satu agama yang diakui Negara, SBY sewaktu menjadi presiden meminta agar sebutan Cina tidak lagi digunakan untuk menyebut etnis Cina melainkan menggunakan sebutan Tionghoa. Beda dengan Gus Dur yang kebijakannya disambut baik oleh etnis Cina yang ditandai semarak perayaan Imlek dengan kemunculan  aneka macam tradisi budaya Cina, gagasan SBY untuk mengubah sebutan Cina menjadi Tionghoa menimbulkan permasalahan kebahasaan akibat sebutan Cina sudah menjadi istilah tersendiri di Indonesia yang bahkan sudah menjadi bagian integral dalam istilah-istilah kebahasaan yang dikenal pribumi. Penggunaan nama Kacang Cina, misal, akan terasa aneh ketika diubah menjadi Kacang Tionghoa. Begitu pun penggunaan nama Petai Cina, Bidara Cina, Pondok Cina, Bong Cina, Cina Muslim, Wayang Cina (Potehi), Made in China, kampung Pecinan, Laut Cina Selatan, Republik Rakyat Cina, Cina Daratan menjadi Petai Tionghoa, Bidara Tionghoa, pondok Tionghoa, Bong Tionghoa, Tionghoa Muslim,  Wayang Tionghoa, kampung Petionghoaan,  Laut Tionghoa Selatan, Republik Rakyat Tionghoa, Tionghoa Daratan, Made in Tionghoa yang akan membingungkan masyarakat.
     Hubungan etnis Cina dengan masyarakat Indonesia sudah terbentuk selama hampir seribu tahun di mana orang-orang Cina daratan menyebut penduduk di wilayah selatan negerinya dengan istilah Kun Lun, begitu pun pribumi Indonesia dalam naskah-naskah kuno menyebut etnis Cina dengan sebutan Cina. Marcopolo pada tahun 1292 saat singgah di Bandar Perlak menyebutkan keberadaan Cina Muslim sebagai bagian dari penduduk Perlak, tidak dengan sebutan Tionghoa Muslim. Ma Huan yang ikut dalam muhibah Cheng Ho ke selatan menyebut etnis sebangsanya yang beragama Islam dengan sebutan Cina. Bahkan saat pribumi bergabung dengan etnis Cina untuk melakukan perlawanan terhadap VOC tahun 1743 dicatat dalam sejarah dengan sebutan ‘Geger Pacinan’ dan bukan ‘Geger Petionghoaan’.

    Dilacak dari sisi sejarah, pandangan rendah terhadap istilah Cina yang berkembang di kalangan penduduk Indonesia sejatinya memiliki akar kultural yang sangat dalam yang terbentuk sejak era pra Islam, di mana dalam aturan-aturan kependudukan masyarakat kerajaan semenjak masa Tarumanagara, Mataram, Sriwijaya, Kahuripan, Kadhiri, Singhasari, hingga Majapahit ditetapkan kedudukan penduduk pribumi dengan status Wong Yukti (manusia agung, mulia, terhormat) dan kedudukan penduduk asing dengan status Wong Kilalan (orang rendahan, pelayan) sebagaimana tercatat pada Prasasti Wurud Kidul, kitab Nawanatya, Salokantara. Itu sebabnya, pada masa kerajaan-kerajaan kuno itu dikenal jabatan Juru Kling (kepala masyarakat India Keling), Juru Kmir (kepala masyarakat Khmer), Juru Jenggi (kepala masyarakat Afrika), Juru Cina (kepala masyarakat Cina) yang mengepalai etnis-etnis asing yang bekerja sebagai pelayan, baik pelayan bagi pribumi (kilalan) maupun pelayan raja (mangilala drwya haji). Bahkan di dalam masyarakat Majapahit warga keturunan asing digolongkan sebagai kaum Mleccha, yaitu orang asing yang berkedudukan dua tingkat di bawah golongan Sudra.
10.000 orang Etnis Cina dibantai VOC di Glodok 1740

     Pandangan merendahkan terhadap orang asing setidaknya diberikan kepada orang-orang Eropa yang datang ke Nusantara, di mana bangsa kulit putih itu sudah disebut-sebut dalam berbagai ramalan dengan sebutan khas ‘kebo bule mata kucing’ yakni bangsa berderajat sama dengan  hewan kerbau dan kucing. Bahkan di kalangan penduduk pedalaman terutama di kalangan pesantren, orang-orang Eropa disebut sebagai bangsa berkulit genjik (anak babi) yang putih bertotol-totol merah. Itu artinya, penduduk pribumi menganggap etnis Cina (kilalan) lebih tinggi status kedudukannya dibanding orang Eropa yang disejajarkan dengan binatang najis (babi). Anehnya, etnis Eropa memandang etnis Cina lebih rendah dari binatang, sehingga dalam kebijakan ekonomi terkait membludaknya etnis Cina di Batavia, diambil keputusan untuk 'mengurangi' populasi etnis Cina dengan cara menjagal secara massal sekitar 10.000 orang Cina di Glodok pada tahun 1740. 
    Pandangan kultural pribumi Nusantara ini baru mengalami perubahan sewaktu pemerintah colonial Hindia Belanda memberlakukan Burgerklijk Wetboek (WB) pada 1 Mei 1848, di mana Kulit Putih Eropa diposisikan sebagai Warganegara kelas satu yang menempati kedudukan puncak dari masyarakat. Orang-orang Cina, Arab dan India yang digolongkan sebagai golongan Timur Asing diposisikan sebagai Warganegara kelas dua yang menempati kedudukan di bawah Warganegara Eropa kulit putih. Sementara penduduk pribumi digolongkan sebagai Inlander yang berkedudukan sebagai Warganegara paling rendah. Dalam rangka memuluskan kebijakan kolonialismenya Belanda secara sistematis menggunakan istilah-istilah berkonotasi merendahkan kepada berbagai hal yang berhubungan dengan kedudukan pribumi seperti kuli, kacung, jongos, babu, buruh, centeng, pokrol, dukun, kolot, klenik, pribumi malas, santri gudiken, gundik, bahkan sebutan ‘nyai’ yang sangat dihormati sebagai isteri kyai dimaknai rendah untuk menyebut gundik-gundik Belanda. Bahkan dalam aturan tata kota pun dibuat separasi hunian untuk membedakan kedudukan warganegara seperti hunian etnis Cina yang disebut Pecinan, hunian etnis Arab yang disebut Kampung Arab, hunian etnis India dan Turki yang disebut Kampung Pekojan, yang letaknya berbeda dengan kampung pribumi. Orang-orang Belanda sendiri tinggal di wilayah pusat kota yang disebut kawasan Loji (Lodge) dan Straat (jalan raya) yang ditandai oleh tegaknya bangunan-bangunan hunian megah dan mewah. Begitulah, kebijakan kolonialis Belanda tekah mengubah tatanan lama yang memposisikan pribumi sebagai ‘tuan’ di negeri sendiri menjadi ‘inlander’ rendah yang bekerja sebagai jongos, kuli, kacung, dan babu yang harus menunduk-nunduk dan meniarap di hadapan etnis superior yang representative diwakili para meneer (mijnher), sinyo (signor), mevrouw, dan noni kulit putih.
Anak-2 Tionghoa beribadah
       Usaha penjajah Belanda merendahkan kedudukan pribumi tidak cukup membuat seluruh pribumi tunduk. Para guru tarikat dan kyai pesantren – terutama sisa-sisa pasukan Pangeran Dipanegara yang mendirikan pesantren di derah pelarian – melakukan perlawanan terhadap usaha-usaha penjajah kulit putih untuk merendahkan pribumi dengan mengangkat senjata. Data pada Koloniaal archive yang diungkap E. de Wall menunjuk fakta, bahwa sejak tahun 1840 sampai tahun 1900 hampir terjadi pemberontakan tiap tahun yang dipelopori guru tarikat dan ulama pesantren kecuali tahun 1844, 1847, 1860, 1865, dan tahun 1874. Selain perlawanan bersenjata, kalangan tarikat dan ulama pesantren menjalankan politik perlawanan pasif yang disebut tasabuh yang didasarkan pada hadits ‘man tasabaha bi qoumin fahuwa minhum’ – barangsiapa menyamai atau meniru suatu kaum, maka dia akan sama dengan kaum itu. Begitulah para pengikut tarikat dan warga pesantren menolak untuk berpakaian mirip Belanda seperti dasi, jas, celana, topi vilt, bahkan menampik program sekolah dan jabatan-jabatan di pemerintahan kolonial. Begitulah, kalangan pesantren dan tarikat dengan teguh memelihara warisan leluhur dengan memandang orang asing – terutama non muslim – dengan pandangan rendah sebagai ‘wong kafir’.
Etnis Tionghoa Berpakaian adat Jawa
     Bertolak dari paparan di atas, pandangan merendahkan terhadap etnis keturunan asing terutama etnis Cina yang dirasakan pengaruhnya sampai sekarang ini pada dasarnya adalah sisa-sisa nilai-nilai dan aturan-aturan masyarakat di masa silam. Kasus ini tidak berbeda jauh dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang menangkap maling terus digebuki beramai-ramai sampai mati, yang asal-mulanya dari pelaksanaan aturan hukum kuno yang dipungut dari KUHP Majapahit Kutaramanawa Dharmasashtra yang dalam pasal-pasal menyangkut Astacorah menetapkan bahwa pencuri atau maling yang tertangkap basah boleh dan harus dihukum bunuh oleh penduduk. Begitulah, setelah lima abad Majapahit runtuh produk hukumnya masih diikuti masyarakat meski dalam lingkup alam bawah sadar kolektif.
     Usaha SBY selaku presiden Indonesia memulihkan kedudukan etnis Cina dari sebutan-sebutan berkonotasi merendahkan dengan mengubah sebutan Cina menjadi Tionghoa sangat baik dan patut didukung. Tetapi akan lebih baik dan lebih didukung jika ada usaha memulihkan kedudukan pribumi dari sebutan-sebutan merendahkan warisan kolonialisme Belanda seperti Jongos, Kacung, Babu, Kuli, Buruh, Tukang dan bukannya malah memperkuat identitas inferior yang merendahkan itu dengan mengirim kacung, jongos, babu, kuli baru yang diberi sebutan mentereng: Buruh Migran, TKI, TKW. 




You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/03/seputar-sebutan-cina-menjadi-tionghoa.html. Thanks!
Tuesday 28 January 2014

Pencak Genjot: The World's Most Brutal Fighting

Pencak Genjot as a traditional self defence at Kediri-Blitar-Tulungagung Regencies, East Java, Indonesia.
You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/01/pencak-genjot-world-most-brutal-fighting.html. Thanks!
Thursday 23 January 2014

Post Hegemony XXXII: Transvaluasi Pahlawan-Pengkhianat, Penghancuran Sistematis Negara Bangsa

              Oleh: K Ng H Agus Sunyoto

Setelah menonton film Soekarno bersama Johnson, Roben, Niswatin, Mullberrie, Marholi, Daitya, dan  Azumi, Fahrully mengajak teman-temannya itu untuk menemui  Sufi tua yang sedang ngobrol  bersama Sufi Kenthir  dan Sufi Sudrun di teras mushola sambil menikmati kopi dan singkong rebus. Dengan hati dongkol dan benak dipenuhi tanda tanya, Fahrully menyampaikan simpulannya terhadap film yang dianggap kontroversial itu, “Film picisan itu rupanya membawa misi de-Soekarnoisasi, pakde.”
              “Film Soekarno garapan Han Tio maksudmu?” sahut Sufi tua sambil menyeruput kopinya. 
    “Ya iyalah, pakde,” tukas Fahrully singkat.
    “Ringkas ceritanya bagaimana, Rull?” kata Sufi tua dengan suara datar,”Soalnya, aku belum nonton. Nunggu DVD-nya keluar.”

    “Sosok Soekarno dalam film itu digambarkan sebagai laki-laki flamboyan setengah banci yang suka main perempuan,” kata Fahrully  dengan suara ditekan tinggi,”Selain itu  Soekarno digambarkan sebagai tokoh kolaborator  Jepang yang menjadi pengerah bangsanya menjadi budak romusha, yaitu perbuatan tercela elit politik karena telah   membuat sengsara dan  menderita bangsanya di mana banyak romusha yang tewas dalam kerja paksa tidak manusiawi  itu. Soekarno pun digambarkan sebagai ‘germo besar’ yang memerintahkan para perempuan sebangsanya untuk menjadi pelacur. Sungguh, kurang ajar sutradara itu menggambarkan Bapak Bangsa kita dengan citra yang begitu rendah dan nista.”
   “Terus kalau Soekarno digambarkan rendah dan nista seperti itu, siapa yang jadi pahlawan agung dan mulia serta terhormat?” sahut Sufi tua ingin tahu,”Soalnya tidak mungkin ada film menceritakan tokoh rendah dan nista tanpa ada imbangan tokoh besar, agung, mulia, dan terhormat.”
    “Syahrir yang dimunculkan sebagai tokoh pahlawan,” sahut Sufi Sudrun.
    “Syahrir tokoh pemberontak PRRI/Permesta itu?” sergah Sufi tua kaget,”Lha judulnya kan Soekarno?  Yang dipahlawankan kok malah syahrir? Ini jelas bagian dari skenario penghancuran Nation State Indonesia menjadi Liberal State sesuai cita-cita para kaki-tangan asing yang terlibat gerakan makar PRRI/Permesta.”
    “Penghancuran Nation State?” tanya Fahrully heran,”Apa maksudnya pakde?”
Wajib Seikerei Jaman Jepang
Romusha
            “Musuh utama globalisme, universalisme, humanisme, liberalisme yang diusung Freemason dan Illuminatie adalah nasionalisme terutama chauvionisme. Itu sebabnya, semboyan utama globalisme adalah terbentuknya masyarakat global yang terbuka tanpa identitas (open society)  yang tidak lagi memiliki batasan-batasan identitas etnis, bahasa, agama, budaya, bahkan teritorial negara,” kata Sufi tua.
    “Ápakah ada  bukti globalisme, universalisme, humanisme, dan liberalisme menganggap nasionalisme sebagai musuh utama?” tanya Fahrully penasaran.
    “Ya waktu Nasionalis Sozialisme Jerman (Nazi) di bawah Adolf Hitler bergabung dengan Nasionalis Fascisme Italia di bawah Mussolini, seketika Komunisme yang diwakili Soviet  bersama-sama dengan Kapitalisme yang diwakili Amerika dan sekutu Eropa Barat  mengeroyok Jerman dan Italia dalam Perang Dunia II. Bagaimana mungkin Komunis yang merupakan musuh utama Kapitalis bisa mengeroyok Jerman dan Italia yang nasionalis? Jepang yang terobsesi nasionalisme Asia Timur Raya juga dikeroyok oleh Sekutu dan Soviet. Begitulah negara-negara Axis yang merupakan negara penganut nasionalisme dikeroyok beramai-ramai oleh negara-negara sosialis-komunis dan negara-negara liberal-kapitalis yang keduanya menganut universalisme, karena baik komunisme maupun kapitalisme sejatinya adalah bikinan Freemason-Illuminatie,” kata Sufi tua.
    “Berarti sejak awal Founding Father kita menegakkan Nation State Indonesia itu sudah tidak disukai sama pihak Sosialis-Komunis maupun Liberal-Kapitalis, begitukah pakde?” sahut Marholi menyela dengan nada tanya.
    “Ya sudah pasti itu,” kata Sufi tua.
    “Apa contohnya Nation State tidak disukai, pakde?” tanya Marholi.
Sjahrir
          “Nation State yang dibentuk berdasar Proklamasi 17 Agustus 1945, yang merepresentasi gagasan Soekarno dengan Pancasila dan UUD 1945 hasil kesepakatan Founding Father tidak pernah disetujui Belanda. Soekarno tidak pernah direkomendasi oleh Belanda untuk mewakili Negara Indonesia dalam berbagai perjanjian yang selalu merugikan Indonesia seperti Linggarjati, Renville, Roem-Royen, dan KMB. Itu sebabnya, Adam Malik mendatangi Soekarno dan meminta agar Soekarno menyerahkan saja kewenangan kepada Tan Malaka untuk berunding dengan Belanda karena Belanda tidak akan sudi berunding dengan Soekarno,” kata Sufi tua menjelaskan.
    “Oo itu sebabnya sesuai KMB setelah penyerahan kedaulatan NKRI dijadikan RIS – Republik Indonesia Serikat dengan UUD Sementara, yang akan bergabung ke dalam Uni Indonesia-Belanda. Faham saya sekarang, pakde,” sahut Marholi mengangguk-angguk.
     “Tapi Soekarno membatalkan hasil KMB dan menolak Uni Indonesia-Belanda dengan tetap bertahan pada NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945,” kata Sufi tua memaparkan pengetahuannya sebagai pensiunan perwira intelijen,”Bahkan Soekarno pada tahun 1957 mulai menasionalisasi semua perusahaan asing, sehingga membuat negara-negara Liberal-Kapitalis – terutama Belanda dan Amerika -- marah besar karena perusahaan-perusahaan Transnasional dan Multinasional mereka dinasionalisasi.”
    “Oo itu sebabnya pecah pemberontakan Permesta yang dimotori perwira-perwira TNI didikan KNIL yang disusul makar PRRI yang dimotori tokoh-tokoh  didikan Belanda yang mendapat dukungan Amerika dan Belanda. Faham saya pakde. Tapi Soekarno menang pakde,” kata Marholi menyimpulkan.
    “Kemenangan di bidang militer dan politik yang dicapai Soekarno tidak menghentikan intervensi Amerika dan Belanda,” kata Sufi tua,”Sebab lewat jalur kebudayaan dan filantrofi asing seperti CCF (Congress for Cultural Freedom) yang didanai Ford Foundation dan Rockefeller Foundation terutama dana dari CIA, kader-kader sosialisme-liberal ‘mendesain’ ranah kebudayaan Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan, terutama di bidang ilmu sosial dan ekonomi yang berpengaruh dalam memproduksi dan menjaga ide-ide yang terkait dengan kepentingan ekonomi Amerika agar diterima oleh masyarakat. Lewat sastra dan film,  agen-agen asing liberalis itu mengembangkan ideologi humanisme universal, terutama yang muncul sebagai kekuatan politik dalam bentuk Manifesto Kebudayaan beserta semua pendukungnya sehingga Manifesto Kebudayaan dilarang Soekarno karena dianggap berbahaya karena bertentangan dengan arah politik bangsa yang sedang melawan kolonialisme.  Kalian bisa membaca apa yang kuungkapkan  ini dalam tulisan Edward H.Breman The Influence of the Carnegie, Ford, and Rockefeller Foundations on American Foreign Policy: The Ideology of Philanthropy (1983).”
    “Maaf pakde,” sahut Johnson dengan suara tinggi,”Soal peran vital CCF dalam penggulingan Soekarno dan perancangan desain Orde Baru – terutama desain budaya kekerasan berlatar politik terhadap orang-orang PKI pasca 1965 – sudah saya baca dari disertasinya Wijaya Herlambang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti Komunisme Melalui Sastra dan Film yang sudah terbit menjadi buku tahun lalu. Lewat sastra dan film agen-agen kebudayaan yang didanai kekuatan asing itu membenarkan pembasmian terhadap orang-orang PKI oleh Suharto dengan Orde Barunya. Bahkan para begundal asing inilah yang menjadi penopang utama kekuasaan Orde Baru. Apakah film Soekarno ini merupakan kelanjutan dari gerakan kader-kader  CCF yang masih berkuasa di negeri ini? Maksud saya, apakah Han Tio bagian dari kader baru yang dididik kader-kader lama CCF untuk menjalankan skenario global dalam mendekonstruksi nasionalisme bangsa kita?”
       “Bisa saja Han Tio kader baru dan bisa saja sekedar orang bayaran,” sahut Sufi tua dingin, ”Untuk memastikan itu, kalian harus melacak latar asal-usul Han Tio dari keluarga, orang tua sampai kakek moyangnya serta keterlibatannya dalam berbagai aktivitas politik di negeri kita. Hasilnya, nanti dibandingkan dengan data intelijen yang ada.”
      “Itu soal gampang pakde,” kata Azumi menyela,”Tapi apa tujuan di balik pembuatan film Soekarno yang mempahlawankan Syahrir dengan menggunakan nama Soekarno sebagai judul?”
    “Melengkapi proses penghancuran nasionalisme bangsa kita yang sudah dijalankan oleh rezim Neoliberal semenjak Orde Baru dan berlangsung efektif sejak Reformasi,” kata Sufi tua.
    “Contoh riilnya apa pakde?” sergah Azumi penasaran ingin tahu.
    “Kalian lihat nanti data di perpustakaan  terkait komposisi anggota DPR/MPR RI tahun 1999 – 2004 yang berasal dari kader partai-partai terlarang yang terlibat PRRI/Permesta, baik partai PSI maupun Masyumi. Dengan mengatas-namakan wakil rakyat, kader-kader partai terlarang itu mengamandemen UUD 1945 sehingga menjadi undang-undang dasar berjiwa liberal-kapitalistik. Lewat UUD hasil amandemen itulah diproduksi aneka undang-undang yang menghancurkan esensi, substansi dan eksistensi Negara Bangsa Indonesia. Bahkan DPR/MPR RI yang dikuasai kader-kader partai terlarang itu pada tahun 2003 dengan penuh kebanggaan membuat Ketetapan MPR No.1 Tahun 2003 pasal 6 dengan menjadikan Soekarno sebagai seorang Pengkhianat. Sebaliknya, rezim Neoliberal yang berkuasa menjadikan kampiun pemberontak PRRI/Permesta seperti Sjafruddin Prawiranegara dan M.Natsir sebagai pahlawan nasional pada  8 November 2011.  Begitulah, sejarah diputar-balik secara politis mengikuti skenario Kapitalisme Global yang sudah memperkuat akar kekuasaan semenjak Orde Baru,” kata Sufi tua menjelaskan.
    “Berarti, Character Assasination terhadap Soekarno yang terkandung dalam film garapan Han Tio itu bagian dari skenario penghancuran nasionalisme bangsa kita. Apa begitu, pakde?” tanya Azumi.
    “Ya simpulan akhirnya memang seperti itu,” sahut Sufi tua menarik nafas berat,”Sebab Soekarno ada lambang nasionalisme bagi bangsa kita. Dengan dihancurkannya citra Soekarno, maka nasionalisme Indonesia tidak lagi memiliki tokoh ideal yang bisa dijadikan panutan.”
    “Masih ada Gus Dur, pakde,” sahut Daitya menyela dengan suara keras.
    “Gus Dur bukan lagi Bapak Nasionalisme Bangsa Indonesia,” sahut Sufi tua sedih,”Sebab saat beliau wafat, pemerintah sudah memberi gelar beliau “Bapak Pluralisme”.”
    “Jangkrik, kita benar-benar sudah kehilangan rasa nasionalisme,” gumam Niswatin.
    Sewaktu Sufi tua akan memberi penjelasan, tiba-tiba Dullah muncul dari dalam ruangan Guru Sufi. Dengan suara ditekan tinggi, Dullah berseru,”Perhatian! Perhatian! Mbah Kyai sudah memberi fatwa bahwa Menonton Film SOEKARNO garapan Han Tio adalah Terlarang!”
    “Kami semua sami’na wa atho’na, Mbah Kyai!” seru Johnson diikuti Azmi, Daitya, Marholi, dan Fahrully serempak sambil ketawa mengingat sebelum itu mereka sudah menonton film picisan itu.
     



You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2014/01/post-hegemony-xxxii-transvaluasi.html. Thanks!
Thursday 12 December 2013

Post Hegemony XXXI:


SEKOLAH : Jual  Program Ilmu Mahal, Konsumen Dizhalimi

 Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Opspek atau Memperkosa?
      Ketika kasus mahasiswa baru mati akibat mengikuti Opspek marak di Kaskus dan Halo Malang.com serta di Fesbuk, Sufi tua yang diberitahu kasus menyedihkan itu oleh Sufi Kenthir marah-marah kepada Subali, cucu ketiganya,  yang nekad melanjutkan kuliah ke Fakultas Teknik Jurusan Otomotif. Pasalnya, Sufi tua sudah mewanti-wanti agar cucu kesayangannya itu  tidak perlu melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi setelah lulus Sekolah Menengah. Alasan Sufi tua sederhana, bahwa sekarang ini adalah zaman teknologi informasi di mana berbagai jenis ilmu pengetahuan mulai ilmu sosial, ekonomi, teknik, kimia, fisika, filsafat, sampai ilmu kedokteran bisa diakses dengan muda lewat internet. Aneka jenis buku pun sudah bisa didapat dengan harga sangat murah dalam bentuk E-Book.
    Subali yang sejak Taman Kanak-kanak sudah terbiasa belajar secara kolektif di bawah arahan dan instruksi guru, sulit menerima petunjuk kakeknya yang memintanya untuk belajar mandiri yang membutuhkan kerja keras dan keseriusan. Itu sebabnya, Subali beralasan bahwa sekolah tetap dibutuhkan karena untuk praktek kerja dan pencarian lapangan kerja setelah lulus  butuh  legalitas ijazah dari pemerintah. “Kalau belajar sendiri, bagaimana ijazahnya mbah?” kata Subali beralasan.


    “Dasar mentalmu mental buruh, karena itu kamu butuh ijazah untuk menjadi buruh,” sergah Sufi tua dengan suara tinggi,”Kalau kamu bermental majikan, kamu tidak butuh ijazah legal karena kamu mampu menunjukkan kemampuanmu dan berkarya. Kamu tahu Om Sam Hong teman bapakmu?”
    “Ya tahu mbah, om Sam Hong yang punya karoseri mobil?” gumam Subali.
Opspek atau Mempermalukan Orang?
  “Asal kamu tahu, Sam Hong itu hanya lulusan Sekolah Teknik yang sama dengan SMP. Tapi dia tekun  belajar sampai menguasai bukan saja mesin otomotif tapi juga rancangan desainnya. Dan yang paling penting, dia itu punya mental majikan. Mental Tuan. Karena itu, sekarang ini dia benar-benar jadi tuan. Dia membayari puluhan pegawai  yang punya gelar insinyur,” kata Sufi tua menjelaskan.
    “Tapi mbah, apa kata orang kalau aku tidak kuliah?” kata Subali mengeluh,”Apa kata orang kalau cucu embah cuma lulusan SMA? Malu dong mbah!”
    “Semprul temen arek iki,” sahut Sufi tua keras,”Kamu ini berpikiran kuno. Pikiranmu out of date. Kamu generasi bodoh yang tidak mengenal efisiensi waktu dan pemikiran pragmatis.”
    “Maksudnya apa mbah?” Subali bertanya heran.
    “Sekolah itu di era global dengan perkembangan teknologi informasi ini sudah tidak dibutuhkan lagi, karena setiap orang bisa mengakses pengetahuan ke mana-mana lewat cyber space. Kalau kamu punya uang, kamu bisa beli program ilmu pengetahuan apa saja. Kamu bisa ikut short course. Kamu bisa menuntut ilmu pengetahuan dengan waktu lebih singkat dan harga lebih murah,” kata Sufi tua.
    “Tapi kalau tidak sekolah kan..?”
    “Semprul kowe,” sahut Sufi tua,”Memang kamu menganggap sekolah itu apa?”
    “Sekolah?” sahut Subali tegas,”Ya lembaga pendidikan yang wajib ditempuh orang kalau mau sukses. Kalau tidak sekolah berarti akan jadi manusia bodoh, terbelakang, tidak berpendidikan, melarat, dan dihina dalam masyarakat.”
       “Semprul temen pikiranmu. Ndeso. Out of date. Pikiran katrok!” Sufi tua ketawa.
    “Lha menurut sampeyan sekolah itu apa mbah?”
Malam yang Dingin-dingin Empuk
     “Sekolah itu sama dengan Warung, Kedai, Toko, Mini Market, Café, Resto, Depot, Super Market, Plaza, Mall, Pasar,” sahut Sufi tua serius.
    “Lha kok bisa mbah?” tukas Subali terheran,”Bagaimana logikanya? Bagaimana dasar pemikirannya kalau sekolah itu sama dengan warung, kedai, toko, super market, resto, depot,plaza?”
    “Asumsi yang kamu gunakan untuk memandang sekolah selama ini sudah out of date alias ketinggalan jaman. Pikiranmu masih pikiran Wong Ndeso. Jadi perlu diubah,” kata Sufi tua ketawa.
    “Maksudnya bagaimana mbah, aku bingung,” kata Subali garuk-garuk kepala.
    “Menurutmu yang bisa diperdagangkan orang itu apa hanya barang-barang komoditas saja?”
    “Tentu tidak mbah,” sahut Subali tegas,”Jasa juga bisa jadi komoditas yang diperdagangkan.”
    “Nah, sekolah itu adalah warung dengan komoditas berupa program keilmuan tertentu  lengkap dengan buku-buku, alat peraga, laboratorium,  dan instruktur yang melayani konsumen. Program keilmuan di sekolah disebut kurikulum, instrukturnya disebut guru, dan konsumennya disebut siswa. Karena itu sekolah setara dengan warung, depot, café, kedai, toko, Mini Market kalau tingkatannya Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Akademi. Tapi kalau sudah Universitas dan  Institut, maka kelasnya sudah setara dengan Plaza, Mall, Pasar,” kata Guru Sufi memaparkan.
    “Berarti mata kuliah itu sama dengan komoditas mbah?” tanya Subali mulai menangkap kebenaran di balik penjelasan kakeknya.
    “Lha kamu ikut satu mata kuliah itu gratis apa bayar?” tanya Sufi tua mendesak.
    “Ya wajib bayar mbah.”
    “Nah apa beda dengan kita pakai istilah  beli mata kuliah? Bukankah hakikatnya memang beli Mata Kuliah?” sergah Sufi tua,”Dan para guru maupun dosen, nanti kulakan komoditas ilmu yang dijualnya kepada konsumen itu dari universitas luar negeri.”
    “Kalau dipikir-pikir, sekolah itu memang seperti toko, warung, café, mall, plaza dengan semua komoditas yang ditawarkannya kepada masyarakat sebagai konsumen. Bahkan untuk beli mata kuliah tiap semester, konsumen bernama mahasiswa dibebani sewa ruang belajar yang disebut Uang Gedung, Uang Praktikum, Uang Kegiatan dan lain-lain…hmm memang mirip sekali dengan toko, warung, café, pasar, mall, plaza,” gumam Subali manggut-manggut.
    “Tapi ada beda mencolok antara sekolah dengan warung, kedai, toko, plaza, mall,” kata Sufi tua.
    “Apa itu bedanya Mbah?”
Push Up Pelajaran Wajib Opspek
   “Kalau kamu beli barang di toko, kamu akan dihormati sebagai raja. Bahkan kalau kamu jadi pelanggan, kamu akan mendapat aneka bonus dan pelayanan yang istimewa sebagai konsumen berstatus costumer,” kata Sufi tua serius.
    “Kalau beli mata kuliah di sekolah mbah?” tanya Subali ingin tahu.
    “Kamu harus ikut orientasi dulu supaya kenal orang-orang, aturan-aturan, sistem-sistem, nilai-nilai yang dianut di warung di mana kamu akan dilayani sebagai pembeli mata kuliah,” kata Sufi tua.
    “Maksudnya Opspek, mbah?”
    “Ya itu aturan warung gendeng, gila, edan, sinting, gemblung, koming, senewen,” kata Sufi tua dengan suara ditekan tinggi,”Mosok ada konsumen beli mata kuliah disuruh ikut program orientasi dulu, di mana pembeli tidak dilayani dengan baik dan dihormati malah digebuki, disuruh push up, disuruh merangkak, ditendang, disiram air got, dimarahi, dimaki-maki, diperlakukan seperti binatang. Itulah beda sekolah dengan warung, kedai, depot, resto, café, mall, plaza, pasar. Sungguh tidak tahu diri pedagang program ilmu itu, sudah konsumen disuruh membayar mahal masih dianiaya lagi.”
    “Aku faham mbah,” kata Subali ketawa,”Tapi bagaimana kalau tidak kuliah? Apa kata orang?”
    “Memang kamu hidup dari penilaian orang?”
    “Ah..ehmm..gak tahu mbah bagaimana ini,” kata Subali bingung.
    “Ingat ya Li, Bali,” kata Sufi tua mengingatkan,”Nabi Muhammad Saw itu tidak pernah sekolah. Tapi beliau diikuti dan dijadikan panutan berjuta-juta professor, doktor, insinyur, sarjana hukum, dll.”
    Subali garuk-garuk kepala ketika di benaknya terlintas untuk mundur dari perguruan tinggi seperti nasehat kakeknya. Ia bayangkan, bagaimana kalau konsumen pembeli mata kuliah itu beramai-ramai mundur, tentu pelayan toko program ilmu yang disebut dosen itu pasti kelimpungan. Bangkrut.





You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/12/post-hegemony-xxxi.html. Thanks!
Thursday 21 November 2013

Post Hegemony XXVIII: UKUSA-ECHELON di Balik Penyadapan Data Intelijen


Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Daftar Nama Pejabat Yang disadap

             Di tengah hiruk perbincangan seputar kasus penyadapan yang dilakukan Amerika dan Australia terhadap sejumlah tokoh pemimpin dunia yang dilontarkan Edward Joseph Snowden, pakar komputer dan mantan anggota CIA dan NSA, yang diikuti ketegangan sewaktu  para politisi dan pengamat politik mengecam keras pelanggaran etika dan aturan internasional itu yang diikuti langkah tegas pemerintah Indonesia terhadap Australia yang dianggap meremehkan kasus itu, hacker Indonesia dan hacker Australia sudah bertempur di dunia maya dengan saling rusak situs masing-masing Negara.
    Sufi Kenthir, Dullah, Johnson, dan Azumi  yang mengikuti jalannya pertempuran antar hacker itu berkali-kali melonjak gembira sambil bertepuk tangan, ketika mendapati statemen resmi pemerintah Australia terkait kerusakan dan gangguan situs-situs resmi milik Polisi Federal Australia, Reserve Bank Australia dan bahkan Departemen Pertahanan Australia. “Hacker Australia nggedabrus, pembual besar. Ngancam mau merusak situs-situs penting Indonesia, ternyata yang dirusak cuma situsnya Koperasi, Usaha Kecil Menengah, BPR, Salon, Perajin Tempe, Usaha Rumahan yang dikelola orang-orang Gaptek, hacker kita sudah buktikan kemampuan serang situs resmi negeri kriminal itu,” seru Dullah bangga.



Stasiun NSD di Pulau Cocos Samudera India
     “Memangnya anak-anak kita sudah dikenal  hebat di kalangan hacker dunia?” gumam Sufi tua yang mendekat.
    “Bukan saja hebat pakde, tapi ditakuti,” sahut Dullah.
    “Oo apa iya?”
    “Reputasinya sudah termasyhur, pakde.”
    “Apa buktinya?”
    “Kerajaan Malaysia pernah merasakan bagaimana sakitnya “dihajar” hacker Indonesia yang merusak sekitar 116 situs. Israel yang termasyhur kecanggihan teknologinya, sempat marah-marah dan mengancam-ngancam akan menghancurkan situs-situs Indonesia karena situs Israel dalam jumlah ratusan diretas hacker Indonesia, dan ancaman Israel tidak pernah terbukti,” ujar Dullah.
    “Ooo begitu ya,” Sufi tua manggut-manggut,”Itu artinya, orang-orang tua seperti aku tidak perlu khawatir bahwa nasionalisme akan pupus dan hilang dari negeri ini.”
     “Ya tidak perlu khawatir pakde, karena nasionalisme anak-anak negeri ini tumbuh secara alamiah seiring perubahan. Memang sampeyan sudah khawatir dengan nasionalisme bangsa kita?” tanya Dullah ingin tahu.
Stasiun ECHELON di Menwith Hill
“Ya mengikuti polemik penyadapan terkait isu yang dilontarkan Edward Joseph Snowden, terus terang aku cemas. Karena semua yang berkomentar soal penyadapan, kelihatan sekali tidak memahami secara substantif dan esensial kasus semacam ini. Mulai pengamat sampai presiden menyatakan heran dengan tindakan Australia melakukan penyadapan terhadap Indonesia yang dianggap sebagai Negara sahabat. Semua orang kita seolah sepakat berkata – Kok tega-teganya Australia mengkhianati kita, menyadap pembicaraan pemimpin negeri kita yang sudah sangat percaya terhadap Australia,” kata Sufi tua dengan nada mengeluh.
    “Bukankah itu pikiran khusnudz dzan yang dianjurkan agama, pakde?” sahut Johnson menyela.
    “Khusnudz dzan gundulmu itu,” sergah Sufi tua.
    “Menurut pakde, apa pemikiran orang kita terhadap Australia bukan tergolong khusnudz dzan namanya?” kata Johnson dengan nada Tanya.
    “Bukan,” sahut Sufi tua berang,”Mereka berkomentar seperti itu karena buta terhadap realita sejarah yang pernah meluluh-lantakkan negeri dan bangsanya.”
    “Meluluh-lantakkan negeri dan bangsa Indonesia?” sahut Azumi menyela,”Memangnya presiden Indonesia sebelum SBY pernah disadap, pakde?”
    “Bukan hanya disadap, tapi juga diintervensi oleh oleh jaringan UKUSA dan ECHELON.”
    “Sebentar pakde, sebentar,” Dullah terlonjak kaget dan langsung memburu,”Apa itu UKUSA dan ECHELON?”
Agen Schapelle L. Corby
     “Sejarah mencatat pernah ada Perjanjian antara Britania Raya dengan  Amerika Serikat yang disebut UKUSA (United Kingdom-United States of America), yaitu perjanjian multilateral untuk kerjasama dalam sinyal intelijen antara Kerajaan Inggris dengan Amerika Serikat, di mana perjanjian ini pertama kali ditandatangani pada 5 Maret 1946 oleh Inggris dan Amerika Serikat dan kemudian diperluas mencakup tiga bekas  koloni   Inggris, yaitu Canada, Australia dan New Zealand. Menurut Joan Coxsedge dalam The Guardian, 12 December 2001, Perjanjian UKUSA ini merupakan tindak lanjut dari Perjanjian Brusa (British-USA) tahun 1941, yaitu perjanjian kerjasama selama Perang Dunia II  atas masalah-masalah intelijen. Dokumen UKUSA ini ditandatangani oleh Kolonel Patrick Marr-Johnson yang mewakili  Dewan Sinyal Intelijen Kerajaan Inggris dengan Letnan Jenderal Hoyt Vandenberg yang mewakili Dewan Komunikasi Intelijen Angkatan Darat dan Angkatan Laut Amerika Serikat,” kata Sufi tua menjelaskan.
    “Kalau ECHELON, pakde, apa sama dengan UKUSA?”
            “Tahun 1960 jaringan UKUSA diperluas  dalam koleksi Echelon dan Jaringan Analisis Sinyal Intelijen (SIGINT) yang dioperasikan atas nama lima negara penandatangan dalam Persetujuan Keamanan Inggris-AS (Australia, Canada, New Zealand, Inggris, dan Amerika Serikat), yang dikenal sebagai AUSCANZUKUS,” kata Sufi tua menjelaskan.
    “Berarti aktivitas sadap-menyadap yang dilakukan Amerika dan Australia itu sejatinya terorganisasi dan tersistematisasi pakde,” sahut Dullah menyimpulkan.
Sufi Kenthir Menyadap Radar UKUSA dengan Musik
      “Ya pasti itu,” jawab Sufi tua menjelaskan,”Sebab berdasarkan Perjanjian UKUSA, Markas Komunikasi Pemerintah Inggris (GCHQ) dan US National Security Agency (NSA) telah berbagi informasi  data intelijen Uni Soviet, Republik Rakyat China, dan beberapa negara Eropa Timur yang dikenal sebagai Exotics.  Setiap anggota aliansi UKUSA secara resmi diberikan tanggung jawab utama untuk pengumpulan informasi intelijen dan analisisnya di berbagai belahan dunia. Australia, misal, ditugasi melakukan perburuan untuk pengumpulan data komunikasi intelijen yang berasal di Indocina, Indonesia dan Cina selatan. Hal serupa, dijalankan pula dalam operasi Echelon.”
    “Jancuk,” tukas Azumi  misuh-misuh, “Berarti selama ini Australia memang bertugas menyadap dan mengganggu jaringan informasi intelijen Negara kita.”
    “Faktanya seperti itu.”
    “Kalau UKUSA dibentuk  1946 dan bahkan sejak bernama Brusa tahun 1941, berarti operasinya sudah sangat lama pakde,” kata Dullah ingin penjelasan.
    “Sejak pendudukan Jepang tahun 1943-1945, UKUSA sudah beroperasi di Indonesia karena itu tentara Australia secara sporadis tersebar di berbagai tempat untuk mengumpulkan data intelijen Jepang. Sewaktu Indonesia merdeka, UKUSA sudah mengobok-obok negeri kita dan ikut campur mulai soal perundingan Linggarjati, Renville, KMB sampai kasus pemberontakan PRRI/Permesta. Itu sebabnya, Bung Karno yang sudah tahu kejahatan UKUSA  itu sering berteriak mengecam,”Jangan takut menghadapi Nekolim. Inggris kita linggis, Amerika kita setrika” dan berulang-ulang mengecam Amerika dengan makian keras,”Go to hell with your aid!”, terutama saat Negara Uncle Sam itu sangat ikut campur urusan dalam negeri Indonesia,” kata Sufi tua menjelaskan.
    “Berarti sangat mungkin jatuhnya Bung Karno ada hubungan dengan UKUSA dan Echelon, pakde?” tanya Dullah ingin tahu.
    “Itu pasti,” jawab Sufi tua, “Karena usaha penggulingan Bung Karno dimulai dengan kemunculan Dokumen Gilchrit, yaitu nama Duta Besar Inggris dewasa itu.”
    “Dokumen Gilchrist yang mengadu domba kekuatan pendukung Bung Karno, pakde?”
    Sufi tua menganggukkan kepala.
MATA Sufi tua  difungsikan sebagai  Satelit Pengintai
      “Termasuk The Dead List yang berisi nama-nama 5000 orang kader PKI bikinan CIA yang diserahkan kepada Soeharto?” tanya Dullah penasaran
    Sufi tua mengangguk,”Semua berkaitan dengan dokumen intelijen UKUSA.”
    “Tapi pakde, menurut saya, Bung Karno pantas disadap dan dikacaukan jaringan intelijennya karena jelas-jelas tidak bersahabat dengan Inggris dan Amerika, sebaliknya dekat dengan RRC dan Uni Soviet. Sedang rezim yang sekarang berkuasa ini kan sangat bersahabat dengan Amerika dan Australia, untuk apa disadap-sadap?” tanya Dullah penasaran.
    “Asal kamu tahu, Dul,  dua orang anggota intelijen Australia, Schapelle Leigh Corby dan Achim Frans Grobmann, yang menjalankan tugas memasukkan pasokan narkoba ke Indonesia ketangkap tangan membawa narkoba dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun. Australia berkepentingan untuk membebaskan anggota intelijennya itu. Nah, sewaktu Presiden Yudhoyono menghadiri KTT G-20 di London, pembicaraannya disadap oleh UKUSA Inggris. Hasil sadapan itu diserahkan Ingghris kepada Perdana Menteri Australia, Kevin Ruud,” kata Sufi tua mengutip harian Sydney Morning Herald.
    “Hasilnya, muncul Keppres No.22/y/2012 tertanggal 15 Mei 2012, yang memberikan grasi pengampunan pengurangan  masa tahanan kepada dua terpidana narkotika, Schapelle Leigh Corby dan Achim Frans Grobmann,” kata Sufi tua berspekulasi.
    “Selain itu,pakde?”
    “Rencana Angkatan Laut membeli Kapal Selam ke Rusia yang teknologinya lebih canggih daripada kapal selam Australia, terbukti mengambang dan terkatung-katung.  Kemungkinan  karena Australia punya data sadapan pejabat-pejabat tinggi negeri ini,” jawab Sufi tua.
    “Kita benar-benar dikentuti, dikencingi, diberaki, diludahi oleh Australia,” kata Dullah.
    “Susahnya, kita tidak tahu bahwa Australia bagian dari jaringan UKUSA dan Echelon.”
    “Jancuk..jancuk!” Azumi menampar keningnya keras-leras,”Betapa gobloknya kita selama ini selalu berprasangka baik kepada Australia dan bahkan merasa lebih rendah dari mereka. Padahal, Australia itu Negara koloni, vassal dan jajahan Inggris. Bagaimana pemimpin-pemimpin kita merasa sederajat dan bahkan merasa lebih rendah dari Negara koloni seperti Australia, bukankah kita bangsa yang merdeka dan berdaulat?”
    “Mental inlander,” sahut Sufi tua,”Mental kacung, jongos, babu, kuli, budak. Itulah kendala yang  paling aku cemaskan dari kecenderungan elit pemimpin negeri ini.”
“Padahal, hacker kita membuktikan bahwa kualitas manusia Australia jauh lebih goblok dalam penguasaan teknologi informasi dibanding anak-anak kita,” sahut Sufi Kenthir ketawa terkekeh-kekeh.
      “Ya jelas lebih goblok dari bangsa kita,” sahut Sufi tua menimpali,”Australia itu kan benua tempat pembuangan para pelaku tindak kriminal Inggris sampai abad ke-19. Jadi bangsa itu secara genealogis adalah keturunan perampok, maling, bajak laut, pencoleng, pembunuh, pemerkosa,  tukang copet, mata-mata asing, pengedar opium, budak, dan pengkhianat Negara.”
      “Ooo begitu ya..?” tukas Johnson, Dullah dan Azumi bersamaan,”Pantas saja mereka itu sering melakukan tindakan-tindakan biadab yang memalukan.” 







You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/11/post-hegemony-xxviii-ukusa-echelon-di.html. Thanks!
Friday 8 November 2013

Ray Sahetapy: Sudut Pandang Nusantara Melihat Indonesia


          Dalam Dialog Kebudayaan Nusantara di Pesantren Global tarbiyyatul Arifin Malang tadi malam (9/11), aktor kawakan Ray Sahetapy, mengungkapkan pandangan bahwa untuk menegaskan Kenusantaraan dalam wawasan Kelautan dibutuhkan perubahan sudut pandang fundamental bersifat paradigmatik. Sebab, menurut pengajar dramaturgi di Institut Kesenian Jakarta  itu, Bangsa Indonesia sudah terlalu lama terproses dalam pandangan hegemonik continental. “Letak geografis Indonesia itu di antara dua benua, jadi logikanya: Indonesia bukan benua dan bukan daratan tetapi pulau-pulau di tengah laut. Itu sebabnya, penyebutan Tanah Air yang digunakan leluhur kita untuk menyebut tanah tumpah darahnya adalah sudah benar,” ujar Ray di depan para mantri (mahasiswa santri) Pesantren Global.
            Ray Sahetapy memaparkan fakta bahwa sepanjang kolonialisme Belanda telah ditanamkan ke dalam benak Bangsa Indonesia dalam memaknai peta geografi menurut Eropa, di mana setiap kali orang Indonesia membuka peta negaranya selalu ditanamkan sudut pandang khas Eropa yang menetapkan bagian kanan sebagai Timur dan sebelah kiri sebagai Barat. Peta bagian atas utara dan peta bagian bawah dengan makna selatan. Sementara orang Indonesia menulis dengan arah dari kiri ke kanan. “Akibatnya, semua huruf yang ditulis orang Indonesia tertutup dari cahaya matahari yang memancar dari timur. Itu melambangkan makna peradaban kita tertutup dari cahaya kehidupan yang terbit dari kanan, yaitu timur,” ujar Ray mengungkap kuatnya hegemoni Barat dalam pembacaan peta bumi.
              Menurut Ray Sahetapy, sebagai negara kepulauan yang terbentang di tengah lautan, Indonesia harus memiliki pandangan sendiri yang berbeda dengan pandangan orang daratan yang tinggal di benua. Ray mengemukakan contoh, sangat mungkin peta bumi berdasar pandangan continental khas daratan diubah menurut pandangan orang Kepulauan, di mana arah mata angin diubah dari semula Utara sebagai bagian atas peta bumi dijadikan bagian bawah dan Selatan menjadi bagian atas. Arah Timur di sebelah kiri peta bumi dan sebaliknya arah Barat menjadi bagian kanan peta bumi.
              “Jika sudut pandang ini yang dipakai, maka Pulau Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur menghadap ke Utara, yaitu Samudera Indonesia,” kata Ray menegaskan. Dengan cara pandang seperti itu, ungkap Ray, maka matahari akan terbit dari Barat dan arah tulisan kita yang dari kiri ke kanan semua hurufnya diterangi matahari. Dengan perubahan sudut pandang itu, lanjut Ray, asumsi yang ditanamkan Barat bahwa negara-negara Utara adalah negara-negara maju dan negara-negara di selatan peta bumi adalah negara-negara terbelakang, akan berubah.
                Ray Sahetapy menuturkan pengalamannya sewaktu berkunjung ke Sulawesi Tengah yang dikenal sebagai penghasil kelapa dan cacao. Tetapi Ray merasa kecewa karena penduduk setempat dalam menyambutnya tidak menyuguhkan air kelapa maupun minuman dari coklat, sebaliknya menyuguhkan aneka jenis minuman ‘beracun’ seperti Coca Cola, Coke, Soda Susu, Es Syrup yang biasa dikonsumsi masyarakat. “:Saya tegas-tegas mengkritik kebiasaan masyarakat yang sangat konsumtif mengkonsumsi produk pabrik, tapi mengabaikan hasil utama yang ada di daerah mereka,” ungkap Ray yang mengaku sedang menyelesaikan buku tentang Pohon Kelapa dan Bambu, dua jenis tanaman yang terdapat di seluruh kepulauan Nusantara (as).      .  





You have read this article Budaya with the title Budaya. You can bookmark this page URL https://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/11/ray-sahetapy-sudut-pandang-nusantara.html. Thanks!