Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Menguak Sejarah Imperialisme dan Neo-Imperialisme Yang Menjajah Bangsa Indonesia

Menguak Sejarah Imperialisme dan
Neo-Imperialisme Yang Menjajah Bangsa Indonesia

 A. Imperialisme Pascakolonial: Operasionalisasi dan Aktornya
Meski penjelajahan Eropa ke Asia sudah mulai pada abad ke-2 M, yaitu saat Strabo dan Ptolemeus mencatat pelayaran pelaut-pelaut Romawi ke Sungai Sutera, namun kontak signifikan Eropa dan Asia secara riil dimulai pada 27 Mei 1498 ketika Vasco da Gama (Portugis) mendarat di Calicut, India. Penemuan India itu kemudian membuka jalur perdagangan Eropa (Portugis) di Asia, meski pada awalnya motif Portugis tidak semata-mata ekonomi, tetapi juga agama.

Serangan Portugis ke Malaka pada 1511 sangat signifikan sebagai serangan pertama terhadap kepulauan Nusantara. Dari Malaka, Portugis kemudian menguasai Maluku dan Papua Nugini.
Setelah Portugis, Belanda dan Inggris juga masuk ke Nusantara. Pada 1601, Belanda  mengusir Portugis dari Banten dan pada 1602 VOC dibentuk. Pada 1605 Belanda  merebut Maluku dari Portugis. Inilah awal imperialisme Barat di Indonesia, dan sekaligus awal dibangunnya hubungan hierarkis-eksploitatif-dominatif antara negara penjajah (Belanda) dan terjajah (Indonesia).

 B. Imperialisme Kolonial
Imperialisme kolonial Barat di Indonesia ditandai dengan penguasaan secara total wilayah dan struktur masyarakat Indonesia oleh Belanda, baik struktur ekonomi maupun politik. Indonesia dieksploitasi secara besar-besaran untuk kepentingan ekonomi Belanda.
Imperialisme kolonial itu bisa bertahan lama (meski jumlah tentara Belanda tidak ada 1% dari total penduduk Indonesia), karena ideologi ini ditopang oleh struktur dan aktor lokal. Imperialisme kolonial di Indonesia ditopang oleh tiga kekuatan penting, yaitu orang-orang Belanda sendiri, orang Cina dan Bumiputera.
Orang Belanda menguasai masalah politik dan keamanan secara umum untuk kepentingan eksploitasi sumber-sumber ekonomi atau bahan-bahan mentah produksi. Orang Cina menguasi distribusi ekonomi. Sedang orang pribumi sendiri menjadi pekerja dan suplier untuk kepentingan akumulasi modal Belanda.
. Imperialisme Pasca-kolonial
Imperialisme modern ditandai oleh dua hal berikut. Pertama, imperialisme ini menuntut partisipasi aktif negara dalam hubungan ekonomi internasional. Negara imperialis tidak bisa secara mandiri atau bersama-sama mengimplementasikan kebijakan-kebijakan neo-kolonial tanpa ada dukungan kapitalisme negara (state capitalism) di pinggiran. Kedua, yang pertama dan utama, kebijakan neo-kolonial didesain untuk mencegah potensi independen negara pinggiran dalam melakukan konsolidasi politik dan sekaligus untuk mempertahankan ketergantungan negara pinggiran secara penuh dalam sistem kapitalisme dunia (O’Connor, 1981: 283).
Pada masa kolonial, imperialisme diwujudkan dalam rekayasa dan skenario geo-politik, di mana negara imperialis menguasai struktur geo-politik suatu negara secara langsung. Dan di negara yang dikuasai itu dia menciptakan kelas elit pribumi yang secara sadar mengabdi kepada kepentingan mereka, dan itulah yang disebut kaum Marsose.
Pada masa pasca-kolonial, imperialisme diwujudkan dalam rekayasa dan skenario penguasaan secara tidak langsung wilayah suatu negara, karena dalam bahasa Tuathail & Dalby, imperialisme modern itu dioperasionalisasikan; pertama, secara formal (formal geopolitics) melalui lembaga-lembaga strategis, kelompok pemikir dan para akademisi; kedua, secara praktis (practical geopolitik) misalnya melalui kebijakan luar negeri, birokrasi dan lembaga-lembaga politik; dan ketiga, secara umum (popular geopolitics) misalnya media massa, film, novel dan kartun, dsb. (Tuathail & Dalby, 1998).
Imperialisme dalam struktur politik dimanifestasikan dalam isu “demokratisasi”. Sedang dalam struktur ekonomi diwujudkan dalam isu “globalisasi”. Semua negara, dipaksa dan didikte untuk menjadi demokratis – sekurang-kurangnya secara formal-prosedural – dan membuka diri dalam sektor ekonomi karena globalisasi diasumsikan tidak mungkin dilawan.
Rancangan neo-imperialisme itu pertama kali dirancang pada tahun 1949, tepatnya pada 20 Januari 1949, ketika Presiden AS Harry S Truman mengumumkan kebijakan pemerintahannya. Ketika itu Truman mengundang para pakar dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) untuk membuat suatu istilah baru agar kapitalisme bisa diterima di Dunia Ketiga. Jelasnya, agar negara pusat bisa tetap mengeksploitasi dan mendominasi negara pinggiran. Ini penting agar Dunia Ketiga tetap tergantung pada Dunia Pertama (AS dan Sekutunya) tetapi juga untuk menghadang ekspansi ideologi Komunisme Uni Sovyet. Kata developmentalisme disepakati sebagai teori baru itu, yang sebenarnya sama dengan kapitalisme. Jadi pada esensinya, pembangunan adalah sebuah proyek kapitalisme.
Untuk mensosialisasikan demokratisasi dan globalisasi menjadi kesadaran kolektif negara pinggiran, negara imperialis menggunakan kaum intelektual dan elit negara pinggiran sebagai aktornya, dengan menguasai cara berpikir mereka, misalnya dengan program beasiswa untuk belajar di negara Barat.  Kaum elit terdidik itulah yang akan menjadi penopang imperialisme dengan "mengamankan" dan "mengawal" program-program imperialisme modern dalam perdebatan wacana di tanah air.
Sementara imperialisme dalam struktur ekonomi secara langsung diwujudkan dalam bentuk pinjaman atau hutang (aid as imperialism). Hutang digunakan sebagai alat imperialisme dan politik. Tema tentang imperialisme tersebut diangkat dalam dua buah proposal dari AS dan Inggris pada Konferensi Bretton Woods. Penolakan pada proposal Keynes yang memperingatkan bahwa hutang bersifat endemik dan merupakan konsekuensi dari rencana-rencana AS yang dibuat untuk Bank Dunia dan IMF adalah merupakan bukti yang bermanfaat bagi Dunia Ketiga. Hal tersebut menunjukkan bahwa hutang Dunia Ketiga adalah merupakan produk langsung dari politik pasca perang  AS dan aspirasi ekonomi AS (Rowbotham, 2000: 8).
Mengapa hutang (dan globalisasi) – yang merupakan konsep dasar dalam ekonomi neo-liberal – harus dianggap sebagai manifestasi dari imperialisme modern? Jawabannya adalah karena asumsi-asumsi dasar yang ada dalam konsep neo-liberal sepenuhnya untuk kepentingan akumulasi modal negara kapitalis dan penyedotan surplus pada negara pinggiran.
Misalnya konsep tentang hutang yang diberikan kepada negara debitur (pinggiran) untuk memacu meningkatkan ekspor dan pada akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi. Negara debitor melunasi hutangnya dengan jalan meningkatkan nilai ekspornya agar melebihi nilai impor, termasuk di dalamnya perebutan dalam kompetisi pasar global.
Menurut Rowbotham, keberatan-keberatan atas bentuk tersebut bermunculan, baik dipandang dari segi empiris maupun teoritis. Jika dilihat dari segi empiris, negara-negara debitor telah gagal untuk mencapai tahap surplus dalam perdagangan sesuai dengan apa yang diinginkan agar mereka bisa melunasi hutang mereka. Secara teoritis, bentuk ini sebenarnya telah gagal dalam berbagai hal. Sebagaimana seperti yang ditetapkan, negara sedang berkembang harus bisa mencapai surplus dalam perdagangannya agar bisa melunasi hutangnya, tapi tidak hanya negara sedang berkembang saja yang mengejar target surplus tersebut, negara-negara yang makmur pun (negara pusat) berusaha untuk menjaga nilai surplus perdagangannya. Nilai perdagangan mungkin meningkat, volume aliran barang mungkin meningkat, tapi surplus perdagangan satu negara merupakan defisit perdagangan bagi negara lain.
Kelemahan dari model perekonomian seperti ini adalah pada asumsi bahwa negara debitor dapat memperoleh surplus perdagangan dengan mengekspor barang ke negara kreditor, tapi dengan begitu negara debitor akan langsung berhadapan dengan negara kapitalis yang kuat yang sudah pasti melakukan hal yang sama.
Itulah lingkaran setan imperialisme modern yang dimunculkan dalam konsep neo-liberal, globalisasi, pemberian pinjaman, dsb. Dan bangsa ini sepenuhnya masih berada dalam kekuasaan imperialisme modern itu, dengan aktor-aktor lokal yang justeru bangga menjadi kelas komprador!
B. Nekolim di Balik Topeng Globalisasi
Liberalisasi tatanan global, sedikitnya telah diprediksi oleh Alan Touraine seiring selesainya perang dingin antara blok Timur dan blok Barat. Alan Touraine dalam Two Interpretation of Social Change (1992) memprediksi bahwa di dalam dunia global,  akan terjadi perubahan besar di bidang sosial dan ekonomi, di mana dalam konteks sosial  konsep-konsep kehidupan sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme, dan solidaritas akan tenggelam dalam realita sosial dan sekedar menjadi mitos,  karena kehidupan sosial menjadi tak lebih dari sebuah arus perubahan terus-menerus yang di dalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial, akan tetapi mengikuti strategi masing-masing yang berperan di dalam proses perubahan (kapitalisme global), serta tidak dapat lagi sepenuhnya dikontrol oleh kekuasaan Negara. Itulah fenomena yang disebut pasar bebas atau menurut istilah George Soros a global open society.
   Jean Baudrillard (1983)  memaparkan prediksinya bahwa di dalam konteks ekonomi yang mengarah ke pasar bebas – sebagaimana diprediksi Alan Touraine -- akan terjadi keterbukaan dan transparansi di mana setiap individu memiliki hak untuk berspekulasi dan mencari keuntungan di dalam ekonomi, di mana jaringan ekonomi global  dapat dimasuki oleh apa saja, siapa saja, di mana saja dan kapan saja  bahkan oleh berbagai lapisan masyarakat global yang anonym dan invisible, yang dapat berbuat apa pun sesuai keinginan mereka. Keadaan inilah yang dewasa ini sedang berlangsung sebagai fakta yang dengan sukarela atau terpaksa harus diterima oleh bangsa Indonesia, karena sudah menjadi bagian dari konstitusi negara yang memaksa pemerintah dan aparaturnya untuk menjalankannya sebagai keharusan fundamental
Di dalam buku berjudul Globalization Unmasked: imperialism in 21st century (2001), James Petras dan  Henry Veltmeyer secara kritis mengungkap bahwa fenomena globalisasi adalah isu yang  jelas-jelas lebih merugikan negara-negara berkembang dan sebaliknya menguntungkan secara besar-besaran negara-negara industri maju. Petras dan Veltmeyer  menjelaskan bahwa negara-negara berkembang dalam proses globalisasi itu  justru akan menjadi semakin miskin karena yang disebut  globalisasi itu adalah sebuah strategi negara-negara industri maju dalam  memecahkan kejenuhan pasar mereka  dengan mencari tempat-tempat penjualan bagi  barang-barang  yang sudah mengalami kesulitan di pasar dalam negeri negara-negara industri maju. Dengan demikian, di dalam proses  globalisasi itu akan terjadi sebuah imperialisasi secara tidak langsung atas negara-negara miskin oleh negara-negara industri maju.
Immanuel Wallerstein dalam buku A World Systems Reader: New Perspective on Gender, Urbanism, Cultures, Indigenous Peoples, and Ecology (2000) dalam teorinya  menjelaskan asal-usul dan proses kapitalisme, revolusi industri, dan hubungan yang rumit antara negara-negara Dunia Pertama, Kedua dan Ketiga dan peranan masing-masing dalam pertumbuhan kapitalisme dan industrialisasi, sampai pada dominasi dan hegemoni Dunia Pertama atas dunia Kedua dan Ketiga.   Wallerstein dalam teorinya menjelaskan  hubungan yang eksploitatif dan dominatif antara negara-negara pusat/ hegemon/ kapitalis/ imperialis sebagai core/center dengan negara-negara pinggiran yang dieksploitasi (periphery). Menurut Wallerstein,  sistem imperialisme dunia adalah sebuah sistem yang melembagakan dan melanggengkan struktur hegemoni dan hierarki negara-negara Dunia Pertama (core) dengan negara-negara Dunia Kedua dan Dunia Ketiga (periphery).
Negara Dunia Pertama yang  mempunyai tingkat distribusi dan produksi industri yang sangat tinggi, adalah negara terkuat, karena ia memiliki kelas borjuis yang kuat dan kelas pekerja yang besar. Sebaliknya, negara pinggiran memiliki tingkat produksi yang rendah (meski memiliki bahan mentah yang cukup), merupakan negara lemah, kelas borjuisnya kecil dan memiliki banyak petani. Hubungan antara negara pusat dan pinggiran bersifat hierarkis dan merupakan struktur dominasi dan eksploitasi (Chase-Dunn, 1998). Struktur hierarkis, dominatif dan eksploitatif itu, menurut Chase-Dunn,  merupakan komponen utama dari sistem dunia kapitalis saat ini. Dalam perspektif politik dominasi dan ketergantungan itulah, hubungan antar-negara sesungguhnya tidak bersifat equal, melainkan yang kuat akan mengeksploitasi dan mengakumulasi, sedang yang lemah sekedar men-suplai dan tergantung pada yang kuat. Itulah hakikat terdalam dari imperialisme yang tetap kuat sampai saat ini.
Wajah baru imperialisme  – yang diistilahkan Bung Karno sebagai Neokolonialisme Imperialis (Nekolim) --  menurut Peter Evans di dalam Dependent Development (1979)  memang mempesona. Dalam struktur politik, ia  dimanifestasikan dalam topeng pembungkus yang disebut  “demokratisasi”. Sedang dalam struktur ekonomi diwujudkan dalam topeng mengerikan  “globalisasi”. Semua negara, dipaksa dan didikte untuk menjadi demokratis dan menghormati HAM, paling tidak secara formal-prosedural. Semua negara dipaksa untuk membuka diri dalam sektor ekonomi karena globalisasi diasumsikan tidak mungkin dilawan. Padahal dalam kenyataan, apa yang disebut globalisasi sudah memperlihatkan wajah aslinya ketika IMF lewat paket-paket bantuan – dengan syarat yang ketat – memorak-porandakan sistem kapitalisme gaya Asia yang didengungkan akan membebaskan Asia dari berbagai ketergantungan ekonomi dan menjadi kawasan yang memiliki kekuatan raksasa yang mandiri dengan gaya ekonomi yang khas (John Naisbitt, 1996), di mana dengan intervensi bantuan-bantuannya pasca krisis moneter pada negara-negara Asia yang terkena krisis, IMF justru telah melegitimasi teori-teori ketergantungan (dependency theory) dalam hubungan antar ekonomi pada sistem kapitalisme global.
James O’Connor dalam The Meaning of Economic Imperialism (1981) mengemukakan bahwa globalisasi yang pada hakikatnya Neo Imperialisme itu sendiri  ditandai oleh dua hal pokok. Pertama, ia menuntut partisipasi aktif negara dalam hubungan ekonomi internasional. Negara imperialis tidak bisa secara mandiri atau bersama-sama mengimplementasikan kebijakan-kebijakan neo-kolonial tanpa ada dukungan kapitalisme negara (state capitalism) di pinggiran. Kedua, yang pertama dan utama, kebijakan neo-kolonial didesain untuk mencegah potensi independen negara pinggiran dalam melakukan konsolidasi politik dan sekaligus untuk mempertahankan ketergantungan negara pinggiran secara penuh dalam sistem kapitalisme dunia. Menurut Tuathail dan Dalby (1998), Neo Imperialisme diwujudkan dalam rekayasa dan skenario penguasaan secara tidak langsung wilayah suatu negara, karena  imperialisme modern itu dioperasionalisasikan; pertama, secara formal (formal geopolitics) melalui lembaga-lembaga strategis, kelompok pemikir dan para akademisi; kedua, secara praktis (practical geopolitic) misalnya melalui kebijakan luar negeri, birokrasi dan lembaga-lembaga politik; dan ketiga, secara umum (popular geopolitics) misalnya media massa, film, novel dan kartun, dsb.

C. Indonesia Dalam Telikungan Nekolim
Hasyim Wahid dalam buku kecil berjudul   Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia (1999) memaparkan sebuah analisis bahwa kekuatan Kapitalisme Global telah menjalankan skenario Neo Imperialismenya di Indonesia dengan memanfaatkan  kebijakan pemerintah yang disebut Paket Oktober 1988 (Pakto 88), di mana saat itu pemerintah memberikan kebebasan kepada BUMN dan Swasta Nasional untuk membuat hutang ke luar negeri dengan jaminan comercial paper dari pemerintah. Kebijakan Pakto 88 itu, menurut Hasyim Wahid,  diikuti pembentukan Panitia Kredit Luar Negeri (PKLN) pada 1992 yang bertujuan membatasi jumlah hutang luar negeri BUMN dan Swasta Nasional, di mana hutang yang dijamin oleh pemerintah hanya hutang pada periode jatuh tempo lima tahun ke depan.
Tahun 1996 – menjelang jatuh tempo pembayaran utang luar negeri BUMN dan Swasta Nasional yang dijamin pemerintah --  secara tiba-tiba mata uang rupiah diperdagangkan di bursa keuangan dunia, dan ternyata diborong  oleh para spekulan (belakangan diketahui bahwa spekulan tersebut  adalah George Soros dan kawan-kawan). Dalam tempo singkat sejak rupiah diperdagangkan,  mata uang rupiah yang diborong spekulan Soros tiba-tiba ‘tumpah’  di bursa keuangan, sehingga sesuai hukum pasar, kurs rupiah terhadap dolar anjlok dari nilai 3.236 rupiah per US dolar menjadi 7000, 9000, 10.000, bahkan mencapai 17.000 rupiah per US dolar. Merosotnya nilai rupiah dan sebaliknya melambungnya nilai kurs US dolar, mengguncang perekonomian Indonesia, terutama membuat bangkrut BUMN dan Swasta Nasional yang memiliki hutang luar negeri besar. Demikianlah tahun 1997, menjadi tonggak bagi terpuruknya Indonesia  ke situasi krisis moneter (krismon) yang berlarut-larut.
Di tengah krisis moneter itu, Presiden Soeharto terpaksa menandatangani  Letter Of  Intens dengan Michael Camdessus dari IMF yang berujung pada terbentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diawasi Standard Chartered Bank dan Citybank,  di mana  lewat lembaga BPPN, aset-aset BUMN dan Swasta Nasional yang tak mampu membayar hutang luar negeri diambil-alih oleh BPPN, kemudian aset-aset BUMN dan Swasta Nasional itu oleh BPPN  dijual (dengan istilah privatisasi) kepada para  pemilik kapital dari negara-negara industri maju. Guna memuluskan skenario penjualan  aset-aset BUMN dan Swasta Nasional, kaki tangan kapitalisme global yang ada di lingkaran eksekutif dan legislatif melakukan berbagai kebijakan bersifat deregulatif – termasuk mengamandemen UUD 1945 dan membuat undang-undang tentang penanaman modal asing dan pengelolaan sumber daya air – yang mempermudah penguasaan aset-aset tersebut oleh pemilik kapital.
Sementara kalangan intelektual, media massa, LSM, dan akademisi berperan dengan sangat baik dalam  usaha-usaha penopang imperialisme dengan "mengamankan" dan "mengawal" program-program kapitalisme global di dalam berbagai perdebatan wacana di tanah air. Demikianlah,  fakta sejarah menunjuk bahwa melalui BPPN yang dikontrol Standard Chartered Bank dan Citybank,  raksasa-raksasa kapitalis dunia seperti Caltex, Shell, Exxon Mobile, British Petroleum, Chevron, Amerada Hess, Standard Mobile Oil, Marathon, Gulf Union Oil mengambil -alih   aset nasional di bidang pertambangan minyak dan gas, Freeport dan Newmont mengambil-alih semua aset nasional di bidang pertambangan emas dan tembaga, Cement Mexico mencaplok semua aset nasional di bidang produksi semen, Phillip Morris, British American Tobacco, Soros Corp membeli aset nasional di bidang rokok, cengkeh dan tembakau, ABN Amro Bank, Citybank, Standard Chartered, Chemical Bank, Chase-Manhattan Bank, Federal Reserve Bank membeli aset nasional di bidang perbankan, bahkan Golden Missisipi, Nestle, Danone mendominasi penguasaan komoditi air dalam kemasan seperti  Aqua, Ades, Aquades, Club, Cheers, Cleo, dsb.

D.Perubahan Makna dan Fungsi Negara
Sejak jatuhnya Soeharto yang diawali oleh gerakan reformasi yang dimotori kalangan elit didikan Amerika Serikat, secara sistematis terjadi perubahan-perubahan  makna dan fungsi dari negara dan elemen-elemen pendukungnya. Jika selama ini negara dimaknai sebagai institusi suci yang bakal menjadi wahana bagi rakyat untuk menjadi tempat berlindung dan tumpuan harapan mencapai cita-cita nasional mewujudkan masyarakat adil dan makmur, maka di era reformasi makna negara tidak lebih sebagai institusi legal yang berkedudukan tak lebih dari “subordinat” kekuatan kapitalisme global yang bertugas memberikan kemudahan-kemudahan bagi para pemilik kapital untuk berinvestasi dan mengembangkan usaha.
Sejak awal dihembuskannya wacana dan gerakan reformasi yang diikuti menyebarnya politik isu tunggal, usaha negara-negara kapitalisme Barat untuk memuluskan tatanan baru dunia yang disebut Soros a global open society berlangsung sangat sistematis di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Melalui isu pelanggaran HAM, civil society, penegakan hukum, demokratisasi institusi militer yang merupakan garda terdepan negara-bangsa (nation-state) Indonesia dilemahkan. melalui isu yang sama ditambah isu good government dan clean government, institusi negara dilemahkan. Melalui isu yang sama ditambah isu gender, kalangan organisasi keagamaan sebagai centre power yang pendukung negara-bangsa Indonesia dilemahkan. Melalui isu otonomi daerah, konsep negara kesatuan yang berdasar Pancasila direformasi menjadi konfederasi meski formalnya tetap disebut NKRI.  Sejarah reformasi di Indonesia mencatat bahwa  segala sesuatu yang tidak seideal tatanan negara-negara Barat dianggap tidak manusiawi dan karenanya harus direformasi.   Demikianlah, Negara-bangsa (nation-state) yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia yang semula diproklamasikan sebagai negara yang berdaulat dan bebas aktif dalam menjalankan politik luar negeri itu, tanpa disadari  telah jatuh ke dalam sistem kapitalisme dunia; Indonesia menjadi tidak lebih dari sekedar lembaga legal di sebuah wilayah teritorial yang berfungsi utama mengamankan dan mengawal  kepentingan kapitalisme global yang  sekaligus dieksploitasi kekayaan alamnya.
Sebagaimana pandangan Tuathail & Dalby (1998) bahwa imperialisme modern  dioperasionalisasikan oleh  pertama, secara formal (formal geopolitics) lewat  lembaga-lembaga strategis, kelompok pemikir dan para akademisi; kedua, secara praktis (practical geopolitics) misalnya melalui kebijakan luar negeri, birokrasi dan lembaga-lembaga politik;  ketiga, secara umum (popular geopolitics) lewat  media massa, film, novel dan kartun, sekarang ini bisa dikatakan bahwa  Negara Kesatuan Republik Indonesia sesungguhnya telah menjadi ‘Negara Pinggiran’ (periphery) yang terjajah oleh Neo-imperialisme yang dilancarkan Negara-negara dunia pertama yang dimotori Amerika Serikat sebagai Negara Pusat (core).
 Sebagai konsekuensi logis dari terjadinya perubahan makna dan fungsi negara, maka elemen-elemen pendukung negara seperti aparat birokrasi, parlemen,  lembaga yudikatif, kamtib, dan hankam  pun praktis  berubah makna dan fungsinya mengikuti makna dan fungsi negara. Hal itu membawa akibat, aparat negara tidak lagi berpihak kepada rakyat   sebagaimana dimaksud para founding fathers penegak nation-state NKRI melainkan mengarahkan kiblat keberpihakan dan pengabdian kepada para pemilik kapital yang “menghidupi” mereka. Ini berarti, jika suatu saat rakyat  mengalami konflik dengan para pemilik kapital baik dalam masalah perburuhan, sengketa tanah garapan, pencemaran lingkungan, dan problem sosial yang lain, maka  secara praktis rakyat  akan berhadapan dengan aparat negara sebagai “abdi” para pemilik kapital. Sehingga dapat dikatakan, bahwa di era reformasi terjadi fenomena tragis yang sebelumnya tak pernah terbayangkan,  di mana tugas utama aparat negara – terutama polisi dan tentara – tidak lagi menjadi pelindung dan pengayom rakyat, sebaliknya justru mereka akan menjadi “musuh” vis a vis bagi rakyat yang terlibat konflik dengan para pemilik kapital.  
Fakta yang terkait dengan kenyataan hidup warga ‘negara-bangsa’ yang menyebut diri Indonesia, sebagaimana terpapar ini, tentunya menimbulkan tanda tanya besar bagi anak-anak bangsa yang sadar akan  realita tak terbantah tersebut. Pertama-tama, apakah para elit di tingkat lokal dan nasional yang berjiwa patriot memahami dan sadar akan kenyataan hidup yang dihadapi bangsa dan negaranya yang sudah jatuh ke dalam sistem Neo kolonialis-imperialis yang dimotori negara-negara kapitalis? Apakah mereka sadar jika selama ini para elit kaki tangan kapitalisme global telah  sengaja menyibukkan rakyat dengan isu-isu tunggal ciptaan kapitalisme global seperti demokratisasi, HAM, gender, civil society, lingkungan, hukum,  yang melemahkan negara di satu pihak sebaliknya memperkuat aktor non-pemerintah seperti LSM? Apakah mereka sadar bahwa Negara-bangsa NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 telah lenyap sebagai idealita dan tinggal menjadi “papan nama” tak bermakna? Apakah mereka sadar bahwa NKRI yang telah lenyap itu telah gagal total  dalam mewujudkan harapan  rakyat atas cita-cita nasional yang diimpikan para Founding Fathers: ‘mencapai masyarakat yang adil dan makmur?’

 E. Problem Serius Masyarakat di Era Global
Di tengah arus perubahan besar  era global sebagaimana terurai di muka,   masyarakat Indonesia yang  dikenal sebagai komunitas tradisional yang hidup guyub-rukun, sederhana, rajin, gotong-royong,  religius, dan meyakini bahwa negara beserta aparaturnya adalah wahana suci yang bakal membawa keadilan dan kemakmuran bagi mereka, ternyata telah terlempar ke suatu kenyataan hidup yang menyedihkan sebagai komunitas bangsa dari negara pinggiran (periphery) yang miskin, terlilit utang luar negeri, tidak memiliki cukup aset  nasional lagi,  tidak memiliki wacana independen, dan sangat tergantung kepada negara-negara industri maju yang menjadi negara pusat (core). Fakta menunjuk,bangsa Indonesia, yang secara ideal di dalam preambule UUD 1945 dikatakan bebas dan berdaulat, ternyata telah berubah menjadi komunitas buruh bermental cargo cult  sekaligus konsumen utama dari arus barang-barang produksi dari negara-negara kapitalis global, yang ironisnya diproduksi dari kekayaan alam Indonesia.
Tampaknya, di dalam sistem ekonomi pasar bebas yang menandai era global, masyarakat Indonesia tanpa sadar telah terseret oleh arus barang-barang dan produk-produk ciptaan kapitalis global. Akibat dari sistem pasar bebas itu,  tanpa sadar bagian terbesar masyarakat Indonesia telah terperangkap ke dalam lingkaran sistem konsumsi  berdasar  utang yang sengaja ditebar lewat counter-counter hp, developer perumahan, showroom motor dan mobil, toko elektronik, toko computer, toko khusus kredit, bank perkreditan rakyat, dsb. Dalam konteks inilah, terjadi proses pemelaratan masyarakat Indonesia, di mana rata-rata masyarakat Indonesia terlilit lingkaran setan utang bunga-berbunga yang tak diketahui ujung dan pangkalnya.
Di tengah arus globalisasi, anak-anak bangsa yang idealnya terhormat dan bermartabat terbukti jatuh terpuruk dalam kehinaan –  akibat  kebijakan pemerintah yang terkait ketenaga-kerjaan --  di mana mereka itu dari waktu ke waktu mengalir ke luar negeri sebagai tenaga kerja rendahan berstatus  jongos, kacung, babu, kuli, pelayan, babby sitter, tukang, sopir,  dan buruh kasar. Anak-anak bangsa yang berusaha melakukan survival of the fittest di negeri sendiri dengan menjadi pedagang kaki lima, misal, harus menghadapi kekerasan dan penistaan oleh petugas ketentraman dan ketertiban. Bahkan usaha kecil menengah yang dirintis anak-anak bangsa dalam usaha bertahan hidup, dipaksa untuk gulung tikar oleh kebijakan-kebijakan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk peraturan-peraturan yang memihak kepada pemilik kapital raksasa dan anti modal gurem. Melalui perundang-undangan dan peraturan-peraturan yang dibikin elit legislatif maupun eksekutif – yang selalu mengatas-namakan kepentingan rakyat – terjadi diskriminasi terhadap orang-orang tak terdidik dan tak berkapital.
Fakta menunjuk, bahwa di era global bagian terbesar dari bangsa Indonesia yang dididik di sekolah  tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena berbagai alasan yang intinya adalah diskriminasi terhadap individu-individu tak berkapital. Tragisnya, mereka itu  rata-rata tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan realita sesuai tuntutan golbalisasi, di mana mereka itu akhirnya dipaksa oleh keharusan untuk menjadi  penganggur, gelandangan, pengemis, pengamen, polisi cepek, tukang parkir, tukang tagih, preman, pengguna narkoba, pelaku kriminalitas, dsb.  Jumlah mereka ini,  makin lama akan makin membesar yang jika tidak dicarikan jalan keluar akan meledak menjadi konflik sosial bersifat anarkis. Tampaknya, inilah problem serius yang harus dipecahkan oleh anak-anak bangsa Indonesia di era global yang sangat liberal, di mana bagian terbesar saudara-saudara mereka berada pada kondisi   ibarat kawanan anak-anak ayam kehilangan  induk yang berlari tak tentu arah untuk menghadapi tuntutan hukum alam – survival of the fittest – yang bermuara ke satu fenomena mendasar, yaitu : mampu bertahan hidup atau punah!

You have read this article Agama / Sejarah with the title Menguak Sejarah Imperialisme dan Neo-Imperialisme Yang Menjajah Bangsa Indonesia. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/03/menguak-sejarah-imperialisme-dan-neo.html. Thanks!

No comment for "Menguak Sejarah Imperialisme dan Neo-Imperialisme Yang Menjajah Bangsa Indonesia"

Post a Comment