Oleh: Agus Sunyoto
Sokrates (Σωκράτης, Sǒcratēs) (470 SM - 399 SM) adalah filsuf dari Athena, Yunani. Sokrates adalah salah satu figur paling penting dalam tradisi filsafat Barat. Sokrates diperkirakan lahir dari ayah seorang pemahat patung batu (stone mason) bernama Sophroniskos. Ibunya bernama Phainarete yang berprofesi sebagai seorang bidan. Sokrates beristri seorang perempuan bernama Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak.
Di antara sederet filsuf Yunani kuno, nama Sokrates merupakan sebuah tonggak bagi munculnya haluan pemikiran baru dalam berfilsafat. Lantaran pentingnya Sokrates, maka periodisasi filsafat Yunani kuno dibagi menjadi periode pra-Sokrates dan periode pasca-Sokrates. Jika tokoh-tokoh pemikir pra-Sokrates seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Herakleitos cenderung member perhatian khusus pada kejadian-kejadian alamiah dan mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-perubahan yang tidak ada henti-hentinya itu, Sokrates menganggap semua itu sebagai spekulasi yang tidak membawa manusia pada pengetahuan yang pasti dan bermanfaat bagi kehidupan sebagai manusia.
Bagi Sokrates, mempersoalkan siapa manusia itu jauh lebih penting daripada berspekulasi tentang hal-hal tak jelas di balik perubahan-perubahan alam, seperti Thales yang berspekulasi bahwa azas pertama alam ini adalah air, Anaximandros berspekulasi bahwa azas alam ini adalah to apeiron (yang tak terbatas), dan Anaximenes menganggap unsur dasar alam adalah udara, Herakleitos menganggap api adalah azas pertama yang menjadikan semua unsur , Demokritos menganggap atom adalah azas pertama yang menjadi unsur alam. Sokrates menganggap mustahil manusia mencapai pengetahuan tentang berbagai fakta dan peristiwa di seluruh alam semesta , jika manusia belum sanggup memahami hakikat manusia, dan mustahil manusia dapat mengenal manusia sebelum ia mengenal dirinya sendiri. Karena itu, menurut Sokrates, setiap usaha berfilsafat harus dimulai dengan tugas “Gnothi seauton!” – kenali dirimu!
Prinsip Sokrates itu adalah haluan baru dalam perkembangan filsafat Yunani kuno, yaitu suatu sikap yang mengarah ke luar (extraversi) sebagai usaha untuk mendapatkan pengetahuan tentang berbagai gejala di luar diri manusia, berubah mengarah ke dalam (introversi) sebagai usaha untuk sampai pada pengetahuan dan pemahaman tentang manusia sebagai kenyataan. Itu berarti, Sokrates merupakan pelopor antropomorfisme dalam filsafat tentang manusia.
Dengan prinsipnya itu, Sokrates punya kebiasaan untuk berjalan-jalan menjelajahi lorong-lorong dan lapangan serta taman kota, untuk mengajak bercakap-cakap siapa pun orang yang ditemuinya. Dalam percakapan, Sokrates biasa mengejar lawan bicaranya dengan pertanyaan ‘to ti’ (apa itu; apa maksudnya) sedemiki rupa hingga jawaban itu dirumuskan secara lugas dan tepat, tanpa memungkinkan berbagai penafsiran. Cara ini dikenal sebagai metoda Socratic, yang banyak diterapkan dalam perkembangan filsafat dan ilmu. Suatu definisi, menurut Sokrates, adalah pangkal tolak bagi pemikiran lebih lanjut. Tanpa adanya definisi, maka segala pengertian menjadi rawan bagi terjadinya macam-macam penafsiran (pluri-interpretable).
Dalam percakapan, Sokrates lebih menyukai anak-anak muda karena ia beranggapan kaum muda masih belum tercemari pra-anggapan dan pikiran kolot kaum tua yang sering menyesatkan. Bagi Sokrates perbaikan perikehidupan bersama hanya dapat diandalkan pada perbaikan kebijaksanaan (wisdom) dan kebajikan (virtue) yang berkembang dalam lingkungan kaum muda.
Sokrates dalam penampilan dan pemikiran sangat berbeda dengan seumumnya intelektual Yunani. Ia dikenal sebagai pemikir yang biasa berjalan kaki tanpa sandal, jubah tuanya nyaris tidak pernah ganti baik pada musim dingin maupun musim panas, dan tidak perduli dengan mandi. Ia muncul dengan penampilan, kepribadian, pemikiran, spiritualitas,tindakan yang aneh di tengah konflik yang terjadi antara kalangan oligarkis dengan kalangan demokratis di Athena dewasa itu.
Metode “dialektika” Sokrates
Oleh karena Sokrates tidak membukukan sendiri pemikirannya, maka tidak cukup diketahui metode-metode apa yang digunakan Sokrates dalam ajarannya. Namun yang diakui dari sejumlah pemikiran Sokrates sebagaimana tulisan Plato, Xenophon, Aristophanes, dan Aristoteles, ada metode tertentu yang digunakan dalam menopang ajarannya. Metode itu bersifat praktis dan dijalankan dalam percakapan-percakapan yang dilakukannya dengan berbagai orang . Sokrates tidak menyelidiki fakta-fakta, melainkan menganalisis pendapat-pendapat ungkapan-ungkapan yang dikemukakan orang . Seorang negarawan, misalnya, mempunyai pendapat tertentu mengenai jabatannya. Seorang tukang mempunyai pendapat tertentu mengenai keahliannya.
Menurut Xenophon, Sokrates selalu bertanya apakah itu salah dan tidak salah, apakah itu adil dan tidak adil, apakah itu seorang pemberani dan seorang pengecut. Sokrates selalu memulai dengan menganggap jawaban pertama sebagai suatu hipotesa dan dengan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut ia menarik segala konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesa pertama tidak dapat dipertahankan, karena membawa konsekuensi-konsekuensi yang mustahil, maka hipotesa itu diganti dengan hipotesa lain. Lalu hipotesa kedua ini diselidiki dengan pertanyaan-pertanyaan lain dari pihak Sokrates dan seterusnya.
Metode Sokrates sebagaimana diuraikan di atas biasanya disebut “dialektika”, di mana kata kerja Yunani dialegestai bermakna “bercakap-cakap” atau “berdialog”. Metode Sokrates disebut “dialektika” karena dialog atau percakapan memiliki peranan hakiki di dalamnya. Dalam suatu kutipan yang terkenal dari dialog Theaitetos, Sokrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan metodenya, yaitu maieutike tekhne (seni kebidanan). Sebagaimana ibunya yang seorang bidan yang pekerjaannya menolong persalinan, Sokrates menolong kelahiran jiwa-jiwa. Sokrates tidak menyampaikan pengetahuan, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaannya ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain. Dan dengan pertanyaan lebih lanjut, Sokrates menguji nilai pikiran-pikiran yang sudah dilahirkan.
Menurut Aristoteles dalam Metyaphysica, ada dua penemuan metode dari Sokrates yang kedua-duanya menyangkut dasar ilmu pengetahuan. Sokrates, kata Aristoteles, pada satu sisi menemukan “induksi” atau “argumentasi induksi”, yaitu pengetahuan yang bertolak dari hal-hal yang khusus disimpulkan menjadi yang umum, sedang pada sisi lain mengintrodusir definisi-definisi umum. Definisi-definisi yang diintrodusir Sokrates, adalah suatu temuan yang dihasilkan metode berpikir induktif di mana definisi merupakan bagian dari hakekat sesuatu hal.
Monoteisme Sokrates dan Penolakannya Terhadap Demokrasi
Di antara sikap dan pemikiran Sokrates yang sangat berbeda dengan pandangan yang berlaku umum pada zamannya adalah anggapannya tentang ketunggalan Tuhan. Sokrates menolak kepercayaan yang disandarkan pada sejumlah berhala, karena baginya Tuhan itu Tunggal. Dengan keyakinannya itu, Sokrates yang sering bercakap-cakap dengan kaum muda dituduh telah menyebarkan ajaran yang menyesatkan dan menggoyahkan system kepercayaan yang berlaku dewasa itu.
Sikap dan pemikiran Sokrates yang dianggap berbahaya, adalah keraguannya pada sistem demokrasi. Sokrates meragukan sebuah Negara dan pemerintahan bisa diatur secara baik oleh kehendak orang banyak. “Mana mungkin suatu negara dan pemerintahan bisa bertahan jika dikuasai oleh para orator yang suaranya melengking panjang seperti bunyi panci kosong, yang kalau ditabuh terus menggema sampai didekap dengan tangan?” tanya Sokrates sebagaimana ditulis Plato dalam Protagoras. Menurut Sokrates, negara hanya mungkin bertahan jika dipimpin oleh warganya yang terbijak. Kesejahteraan negara tidak mungkin dicapai jika negara dikuasai oleh khalayak ramai dan awam sebagaimana diwujudkan dalam sistem demokrasi.
Sikap dan pemikiran Sokrates atas ketunggalan Tuhan dan penolakannya terhadap sistem demokrasi membuat marah para penguasa, terutama karena pengaruh Sokrates yang makin meluas di kalangan kaum muda, yang sebagian di antaranya adalah anak-anak para pejabat dan pemuka di Athena. Para pejabat yang berkuasa karena sistem demokrasi yang diterapkan saat itu, berusaha mencari-cari kesalahan Sokrates untuk dijatuhi hukuman berat.
Sokrates sadar bahwa sikap dan pemikirannya yang bertentang dengan kepercayaan umum dan sistem kekuasaan waktu itu akan membahayakan jiwanya. Namun ia merasakan adanya ‘tanda-tanda dari Tuhan’ (to tou theou semeion) yang membuatnya tetap teguh memegang prinsip yang diyakini kebenarannya. Ia bahkan sering mendengar ‘suara ruhani’ (daimonion fone) dari ‘sesuatu yang ilahiah dan ruhaniah’ (theion to kai daimonion) yang sudah didengarnya sejak masa kanak-kanaknya. Sekalipun Sokrates memiliki kemampuan ruhani, namun dia memisahkan diri dari para pendeta Athena yang mengaku dapat meramal masa depan.
Lewat rekayasa politik tak bermoral, pada tahun 399 SM, lewat Anytos, seorang pendukung demokrasi di Athena, dibuat suatu tuduhan yang membawa Sokrates ke pengadilan sebagai pesakitan. Sokrates didakwa dengan tuduhan: “Sokrates orang jahat, yang ingin serba tahu, yang merenungkan tentang hal-ihwal yang ada di balik awan maupun di bawah bumi, yang tidak percaya kepada dewa-dewa yang diakui oleh polis dan mengajarkan praktek-praktek agama baru yang menyesatkan dalam bungkus yang tampaknya baik serta menyebarkan ajarannya itu kepada orang lain; Sokrates bersalah, karena memberi pengaruh tidak baik kepada kaum muda.” Dan atas tuduhan itu, Sokrates diancam hukuman mati dengan cara minum racun. Namun sebelum hukuman menenggak racun dijatuhkan, Sokrates diizinkan membacakan sendiri pembelaannya di depan pengadilan dengan disaksikan oleh warga Athena.
Dalam pemeriksaan oleh pengadilan yang berlangsung hanya sehari, Sokrates oleh Dewan Juri dinyatakan bersalah. Sebagai pengganti hukuman mati, Sokrates mengajukan jumlah satu mina sebagai denda yang akan dia bayar. Tapi pengajuan satu mina itu sangat kecil sehingga terkesan seperti suatu ejekan, sehingga Dewan Juri menolak yang berakhir dengan hasil pemungutan suara 280 berbanding 220 untuk vonis hukuman mati bagi Sokrates.
Sokrates mengakui bahwa wacana pembelaan dirinya di hadapan Dewan Juri terdengar angkuh (mega legein), sebab Sokrates tidak ingin melakukan pembelaan diri untuk kebebasan dirinya dengan memohon-mohon, menangis, meratap, dan melakukan berbagai hal yang menurutnya tidak patut dilakukan dan diucapkannya, termasuk menghadirkan anak-anaknya, saudara-saudaranya dan orang-orang yang dikasihinya ke depan juri. Tanpa gentar sedikit pun Sokrates dalam pembelaan terakhirnya di hadapan Dewan Juri yang didominasi kaum politeis dan demokratis itu, Sokrates dengan tegas menyatakan,”Aku harus menjauhi usaha menyampaikan pembelaan diri seperti itu, dan kemudian mati, daripada aku tetap hidup dengan membela diriku sendiri dengan cara yang umum.”
Xenophon dalam Memorabila, mencatat sikap Sokrates dalam pidatonya di hadapan Dewan Juri yang angkuh itu sebagai tindakan yang agak bodoh karena dilatari keinginannya untuk memilih mati karena telah hidup cukup panjang . Namun di dalam tulisan Plato dalam Apologi, Sokrates dengan tegas dalam pidatonya di awal pembelaan dirinya menyatakan bahwa semua yang dilakukan dan diucapkannya, muncul dari keinginannya untuk menyenangkan Tuhan Yang Tunggal dan mematuhi hukum. Bahkan tindakan Sokrates untuk lebih memilih mati didasarkan pada suara hatinya (daimonion) yang tidak ikut campur untuk memaksanya menolak hukuman mati yang sudah dijatuhkan kepadanya.
Sokrates yang mengaku sejak kanak-kanak kerapkali mendengar “suara daimonik” (daimonion fone), tetapi tidak pernah diungkapkan kepada siapa pun, justru diungkapkan dalam sebuah orakulum (khresmodia) yaitu semacam ramalan akan datangnya hukuman yang pedih dari Tuhan atas orang-orang yang telah menghukumnya. Setelah Dewan Juri kembali menjatuhkan vonis bersalah dengan perimbangan suara 360 dengan 140, Sokrates menyampaikan orakulumnya kepada orang-orang yang telah bersekongkol menjatuhkan hukuman kepadanya,”Sesungguhnya, aku sekarang telah sampai pada suatu keadaan di mana orang paling mungkin diberikan kemampuan untuk menyampaikan orakulum, yaitu ketika sedang menunggu ajal. Aku peringati kalian, wahai orang-orang yang membunuhku, aku bersumpah bahwa segera setelah aku mati, pembalasan akan datang kepada kalian, jauh lebih pedih jika dibanding dengan hukuman yang telah kalian jatuhkan kepadaku. Kalian telah berusaha membunuhku dengan keyakinan bahwa kalian akan dibebaskan dari keharusan mempertenggung-jawabkan kehidupan kalian. Sesungguhnya, aku katakan kepada kalian, hal sebaliknyalah yang akan kalian hadapi. Akan muncul para pengecam yang akan meminta pertanggung-jawaban kalian.”
Kepada orang-orang yang telah memberikan suara bagi pembebasannya tetapi kalah voting, Sokrates meyakinkan mereka bahwa apa yang telah menimpa dirinya adalah suatu berkah, dan bahwa kematian itu adalah sesuatu yang baik, suatu prestasi yang menakjubkan, suatu berkah yang lebih agung, nasib baik yang tak terkatakan, dan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat membahayakan seseorang yang baik, baik dalam kehidupan ini maupun dalam kematian. Kematian, kata Sokrates, adalah suatu persinggahan yang menakjubkan di Hades (surga) untuk bertemu dengan orang-orang baik yang menjadi hakim-hakim sejati maupun dengan orang-orang yang sudah mati karena dijatuhi vonis yang tidak adil.
Kematian Mulia Sokrates
Tidak disangkal lagi bahwa jalan kematian yang dipilih Sokrates dilatari oleh kecaman-kecamannya terhadap dewa-dewa yang disembah penduduk Yunani dewasa itu, dengan meyakini adanya kekuasaan Tunggal Yang Mahakuasa (Theou) dan sekaligus kecamannya yang pedas terhadap sistem demokrasi. Namun di saat semua orang bersedih dan ketakutan, Sokrates justru dengan gembira menjalani hukuman yang sudah diputus pengadilan. Sokrates memahami kematiannya yang sudah dekat sebagai anagke, takdir yang ditetapkan Tuhan, yang tidak bisa dihindari tetapi harus diterima dengan ikhlas. Petugas yang membawa racun untuk Sokrates, mengakui kemuliaan dan sikap ksatria Sokrates yang begitu tegar dan sabar menghadapi kematian. Dengan airmata bercucuran, ia berkata,”Wahai Sokrates, aku tidak menilai sama antara dirimu dengan orang lain. Sebab setiap kali aku perintahkan orang-orang terhukum untuk meminum racun yang diharuskan pada pejabat, mereka pasti mengutukiku. Tapi engkau, aku melihatmu sebagai seorang ksatria, orang paling lembut, orang yang paling baik yang pernah ada di sini. Aku tahu, engkau tidak marah kepadaku, melainkan kepada orang lain, karena engkau mengetahui siapa yang bertanggung jawab. Sekarang engkau tahu, dengan aku mendatangimu, apa yang akan kuberitahukan kepadamu. Selamat jalan, dan usahakan untuk semudah mungkin menanggung apa yang tidak dapat dihindari lagi,” katanya dengan airmata bercucuran.
Plato dalam Faedo menggambarkan betapa di dalam menghadapi detik-detik terakhir kehidupannya, perhatian Sokrates bukanlah kepada isteri dan anak-anaknya, melainkan para murid filosofis yang akan ditinggalkannya. Perhatian itu terlihat pada wasiat Sokrates dalam sakaratul mautnya kepada Krito. Pertama-tama, ia meminta Krito untuk menetapkan Plato sebagai orang pilihan, penerus sah, yang berwenang memelihara dan mengembangkan warisan filosofis Sikrates. Setelah itu, Sokrates berbisik lemah kepada Krito, “Krito, kita berhutang (ofeilomen) seekor ayam kepada Asklepius. Bayarlah utang itu (apodote) dan janganlah ceroboh (me amelesete). “Krito menjawab,”Ya, itu akan dilaksanakan! Tapi mungkin ada hal lain yang ingin engkau katakan?” Sokrates tidak menjawab pertanyaan Krito, karena ia sudah menghadap Yang Mahatunggal.
You have read this article Agama /
Filsafat
with the title SOKRATES, FILSUF MONOTEIS KORBAN KONSPIRASI DEMOKRASI. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/04/sokrates-filsuf-monoteis-korban.html. Thanks!
😘🙏
ReplyDelete