Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Humor Wahahabihihi Salahahafihihi Tentang Tahlil

Ki Mas Badaruddin Manconegara  



 
             Satu sore di Padhepokan Grind Punk yang diasuh Kyai Semar Puzz para  cantrik terheran-heran melihat  cantrik  Gareng Punk tertawa terpingkal-pingkal dengan suara gaduh. Saking gelinya, Gareng Punk ketawa sampai jungkir-balik di lantai dengan memegangi perutnya.
    Cantrik-cantrik  lawas seperti Petruk Puff, Bagong Purr, Sangut  Pull, Delem Putt, Tualen Puss, Merdah Punt, Bancak Punn, Doyok Pudd yang  terheran-heran  melihat tingkah Gareng Punk beramai-ramai mendekat. Petruk Puff sebagai cantrik  paling senior dengan suara tinggi bertanya,”Ada apa Kang Gareng, ketawa kok sampai jungkir balik kayak orang edan. Memangnya ada yang lucu banget?”
    “Whuahahaha..,” teriak Gareng Punk menahan geli,”Apa kamu sudah baca buku humor paling lucu sejagad raya ini, Truk?” tawa Gareng Punk sambil mengacungkan-acungkan sebuah buku ke atas.
    “Buku apa itu kang?” tanya Petruk Puff ingin tahu.

    “Ini buku Mantan Kyai NU menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah para Wali tulisan KH  Makhrus Ali yang mengaku Kyai,” sahut Gareng Punk geli.
    “Hmm, memang apanya yang lucu?” tanya Petruk Puff penasaran.
    “Dia membuat statemen fiktif imajiner bahwa tradisi tahlilan adalah budaya Hindu,” sahut Gareng Punk berusaha menahan tawa,”Makhrus Ali mengarang cerita fiktif  imajiner untuk membenarkan statemennya. Whahahaha, kalau ustadz secara sepihak mengklaim diri sebagai kyai dan kemudian mengajarkan kebenaran palsu yang dibangun di atas dusta dan kebohongan, itu lawakan paling lucu sejagad kan jika dipercaya membuta oleh pengikut- pengikutnya yang fanatik buta?”
    “Statemen fiktif imajiner yang mana, kang?” tanya Bagong Purr menyela.
    “Nih baca halaman 23!” sahut Gareng Punk menyodorkan buku ke depan.
    Bagong Purr dengan suara keras membaca, “Tahlilan merupakan budaya agama Hindu, hal ini dibuktikan dengan ungkapan syukur dari pendeta dalam sebuah acara berikut ini, “Tahun 2006 silam bertempat di Lumajang, Jatim diselenggarakan kongres Asia penganut agama Hindu. Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang cukup mendalam kepada Tuhan mereka karena bermanfaatnya ajaran agama mereka yakni peringatan kematian pada hari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 dan hari matinya tiap tahun yang disebut geblak dalam istilah Jawa (atau haul dalam istilah NU-ed) untuk kemaslahatan manusia yang terbukti dengan diamalkannya ajaran tersebut oleh sebagian umat Islam.”
    “Hwarakadah,” seru Sangut Pull dengan mata berkilat-kilat,”Kalau ada pendeta Hindu membuat pernyataan seperti itu, yakinlah jika itu pendeta palsu. Jika tahun 2006 ada Kongres Asia penganut agama Hindu di Lumajang, itu sumbernya dari mana? Sungguh, itu kebohongan terang-terangan seorang pendusta bodoh  berjiwa Iblis yang berpedoman pada statemen “Ana khoiru minhu”, sehingga berdusta pun tetap suci dan mulia.”
    “Lha Kang Sangut Pull, kalau peringatan  kematian pada hari  1,2,3,4,5,6,7,40,100, 1000 itu apa tidak dari ajaran Hindu?” tanya Doyok Pudd ingin penjelasan.
    “Mana ada Hindu mengenal peringatan kematian hari 1,2,3,4,5,6,7,40,100,1000?” sergah Sangut Pull mengelus-elus janggutnya yang panjang,”Sebagai orang Bali yang pernah sekolah di pendidikan-pendidikan Hindu, belum pernah ada sumber menunjuk peringatan hari kematian yang dijalankan umat Islam di Indonesia itu adalah berasal dari ajaran Hindu. Kakek-nenekku, bapak-ibuku, paman-bibiku, tetangga-tetanggaku, dan seluruh masyarakat Hindu yang pernah kukenal belum pernah mengadakan upacara peringatan hari kematian 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000,” kata Sangut Pull dengan nada protes.
    “Lha orang Hindu kalau meninggal dunia diperingati dengan cara apa dan bagaimana?” tanya Doyok Pudd minta penjelasan.
    “Orang Hindu kalau meninggal disempurnakan dengan upacara Ngaben,” sahut Sangut Pull menjelaskan,”Lalu ada upacara Sraddha yang diselenggarakan 12 tahun setelah kematian seseorang. Jadi kalau ada pernyataan peringatan hari kematian 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 adalah ajaran Hindu,  Haqqul Yaqiin itu dusta. Dan Haqqul Yaqiin pula, ustadz bodoh itu pasti tidak faham sama sekali tentang apa itu Agama Hindu. Jadi itu ustadz ASBUN, ASOM, ASBAL, ASNGOB, ASJEP saja.”
    “Halaah kang,” sahut Bagong Purr menyela,”Ada lagi istilah baru. Apa itu yang sampean maksud dengan ASBUN, ASOM, ASBAL, ASNGOB, ASJEP?”
    “ASBUN = Asal Bunyi,” kata Sangut Pull menjelaskan,”ASOM = Asal Omong; ASBAL = Asal Membual; ASNGOB = Asal Ngobos; ASJEP = Asal Jeplak mulutnya… He he he he,” kata Sangut Pull ketawa.
    “Lha kalau peringatan hari kematian yang dijalankan umat Islam Nusantara itu bukan dari pengaruh Hindu, darimana asalnya kang?” tanya Doyok Pudd penasaran.
    “Menurut Romo Kyai Semar Puzz,” sahut Petruk Puff menjelaskan,”Peringatan hari kematian 3, 7, 40, 100, 1000 itu dibawa oleh penyebar Islam asal negeri Campa yang berduyun-duyun hijrah ke Nusantara akibat negerinya diserbu Raja Vietnam Le Nan-tonh pada 1446 dan 1471 Masehi. Peringatan itu sendiri didapat muslim Campa akibat pengaruh dari orang-orang Syi’ah Zaidiyyah dan Ismailiyyah.”
    “Jadi itu pengaruh muslim Syi’ah toh?” gumam Doyok Pudd.
    “Iya, termasuk kalau bulan Suro atau Muharram orang-orang bikin bubur, itu juga pengaruh Syi’ah yang dibawa orang-orang Campa. Orang mati ditalqin, diperingati dengan haul, diperingati dengan kenduri, itu semua pengaruh Syi’ah. Istilah kenduri saja dari bahasa Persia, kanduri,yaitu peringatan mengirim doa sambil makan-makan untuk memperingati Fatimah Az-Zahroh yang merupakan leluhur imam-imam Syi’ah. Orang Campa kalau belajar membaca Qur’an masih menggunakan bahasa Persia seperti penggunaan sebutan JABAR untuk fathah, JER (Zher) untuk katsroh dan PES (Fyez) untuk dlommah,” kata Petruk Puff.
    “Tapi sumber sampean itu benar-benar dari Romo Kyai Semar Puzz?” Tanya Doyok Pudd memastikan untuk tidak tertipu seperti statemen uztadz  lepus Makhrus Ali.
    “Itu memang dari Romo Kyai Semar Puzz,” kata Petruk menegaskan,”Tapi sumbernya bisa kamu baca di tulisan-tulisan ilmiah seperti “Notes sur l’Islam dans l’Indochine Francaise” tulisan Antoine Cabaton dalam Revue du Monde Musulman terbitan tahun 1906; “Les Chams musulmans de l’Indochine Francaise” tulisan Antoine Cabaton juga di dalam Revue du Monde terbitan tahun 1907;  tulisan J. Baccot dalam On G’mu et Cay a O Russei. Syncrerisme religieux dans un village cham du Cambodge (1968);P.Y.Manguin dalam “L’introduction de l’Islam au Campa” terbitan BEFEO tahun 1979; “Les Musulmans de l’Indonchine francaise” (1971) tulisan M.Ner dan banyak lagi sumber lainnya.”
    “Jadi penjelasan Romo Kyai Semar Puzz itu didukung data ilmiah, ya kang?”
    “Ya pasti toh, romo kyai itu kan orang jujur. Tidak pernah dusta, apalagi mengada-ada untuk tujuan menista orang lain demi mensucikan dan memuliakan diri sendiri. Karena itu sejak zaman purba, gelar kyai yang disandang romo tidak pernah ada yang menyoal karena beliau memang benar-benar kyai yang menurunkan para kyai,” jelas Petruk Puff.
    “Yang pasti ke-kyai-an Romo Semar bukan bandingan ke-kyai-an palsu Makhrus Ali, benar begitu kang?” kata Bagong Purr berkomentar.
    “Yo pasti Gong, mana bisa manusia jujur dibandingkan dengan pendusta?” sahut Petruk Puff disambut tepuk-tangan cantrik-cantrik yang lain.
You have read this article Padhepokan with the title Humor Wahahabihihi Salahahafihihi Tentang Tahlil. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/humor-wahahabihihi-salahahafihihi.html. Thanks!

No comment for "Humor Wahahabihihi Salahahafihihi Tentang Tahlil"

Post a Comment