Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Yang Terhormat Dosen Pembimbing Skripsi

Oleh: R.M. Syamsuddin Suryo Baskoro

             Malam Jumat Legi sekitar jam Saput Wengi (Jam 7 malam) Sinyo sudah duduk di ruang tamu Eyang Samirono. Wajahnya nampak kumal seperti tumpukan serbet. Dia nampak gelisah sekali.
           "Eyang lagi ngapain sih Kang kok lama banget?" tanya Sinyo pada Kang Tono yang sedang menikmati rokok klobot  jagung lintingan sendiri.
           "Jam segini ya mustinya sholat Maghrib tho Nyo... Nyo..." jawab Kang Tono sambil mematikan percikan api tembakau yang jatuh di karpet.
            "Lha tapi aku sudah menunggu sejak jam Tibra Layu (jam 5 sore) Kang. Mosok Eyang ndak keluar blas? Lagian ini waktunya sholat maghrib juga udah habis tho." tanya Sinyo gusar.
             "Iya justru itu, jam-jam segini itu biasanya Eyang nggak nerima tamu. Biasanya Eyang akan lebih suka habiskan  waktu untuk wiridan ampe Isya. Bukannya kamu juga tahu itu?” sahut Kang Tono nyantai.
          "Iya Kang aku ngerti tapi ini darurat Kang. Apa ndak bisa beliau dipanggil?"

           "Dasar bocah gendeng, mana berani aku manggil Eyang pas wiridan. Ngawur kowe." jawab kang Tono mulai sewot.
           Belum sempat Sinyo menjawab, terdengar suara deheman. Setelah itu pintu yang terbuka menampakkan seorang pria berusia sekitar akhir 70-an berbusana khas Jawa yang dihiasi gantungan kuku macan asli yang menunjukkan sang pemakai busana pernah membunuh macan dengan tangannya sendiri.
           "Ada apa ini?" tanya Eyang Samirono sembari mengambil tempat duduk yang membelakangi arah jabung wuku.
             Semenjak masuknya pria tua itu, Sinyo langsung terdiam. Bau ruangan seketika beraroma melati kantil dan kenanga. Mata lembut Eyang Samirono menatap Sinyo. Mata tua yang sudah kenyang dengan pahit getirnya hidup. Mata yang selalu menyapa lembut setiap wajah-wajah yang berkeluh kesah. Mata yang air matanya sudah tidak lagi menetes untuk urusan duniawi. Mata yang di masa mudanya pernah dikecewakan dunia.
              "Ada apa tho Ngger?" tanya Eyang Samirono sekali lagi.
            "Eh anu Eyang... eng..." Sinyo tergagap-gagap menjawab. Urusannya darurat. Sejak dari rumah dia ingin keluarkan semua uneg-unegnya dengan berapi-api. Tapi sungguh dia tidak mampu menahan kharisma pria berwajah teduh itu. Pria yang hanya tersenyum setiap kali dia curhat tentang masalah-masalahnya. Dan sekali lagi kejadian semacam itu terulang lagi. Saat di mana dia benar-benar emosi, tapi begitu melihat wajah teduh itu dia langsung tenang. Sinyo seolah-olah melihat wajah Sang Maha Baik mengejawantah melalui pria tua itu.
              "Masalah kuliah ya?" tanya Eyang Samirono sambil tersenyum.
             "Nggih Leres Eyang," jawab Sinyo yang sudah mulai tenang.
              "Ada apa dengan kuliahmu?"
           "Kuliah saya ndak selesai-selesai juga Eyang".
            "Lho kenapa? bukannya kamu anak yang lumayan pinter?"
           "Justru itu Eyang... justru itu..." Sinyo berusaha menahan nafasnya agar bendungan matanya yang mulai berkaca-kaca tidak jebol.
            "Pembimbing skripsimu ruwet yo?" tiba-tiba Kang Tono nyeletuk.
             "Lho Kang Tono kok tahu?"
              "Ah yang kayak gitu sih dah jamak di negeri kita. Makanya gak heran. Lagian sejak aku ikut Eyang dah banyak yang berkeluh kesah tentang hal yang sama," Jawab Kang Tono.
             "Nggih benar begitu Eyang. Skripsi saya tidak selesai-selesai karena menurut hemat saya pembimbing saya ruwet. Beliaunya meminta setiap apapun yang sudah saya tulis mesti bersandar pada teori-teori yang jelas. Bukannya saya tidak mau jelas, Eyang. Lha tapi yang dimaksud jelas di sini berarti teori-teori orang barat semua. Saya dilarang punya basis teori sendiri."
              "Emang kamu mbahas apa tho Nyo?” tanya Kang Tono yang sebenarnya punya gelar sarjana tapi gak pernah mau mengakui.
          "Comparative literature Kang. Saya mau membahas Novel Rahuvana Tattwa karya Kyai Agus Sunyoto dengan memakai perspektif gaya Jawa TRIPAMA. Eeeeeh lha, tapi kata pembimbing,  teori-teori dan topik saya itu  ngawur."
          "Oh ya, emang kamu disuruh gimana?" tanya Kang Tono sambil tersenyum.
          "Pokoknya yang sesuai basis keilmuan mereka Kang. Pake Post-kolonial kek, Hegemoni kek, Feminis kek, Marxis kek, terus yang baku harus jelas ngutip siapa... buku apa... halaman berapa... terbit tahun berapa.... bahkan kalo perlu buku itu pernah dikencingi berapa kalipun mesti aku tulis juga," jawab Sinyo yang mulai agak sumpek lagi.
              Kang Tono terkekeh-kekeh. "Lha trus kamu maunya ke sini itu untuk apa? Apa mau nyantet  dosen-dosenmu?" canda Kang Tono sambil tertawa lebih keras.
         "Ya ndak gitu Kang" tukas Sinyo keras.
           Sejenak semua terdiam.
         "Paling tidak, ya ndak sekarang lah," kata Sinyo Lirih.
         Seketika suasana sunyi.
        "Hm trus maumu gimana?" Tanya Kang Tono.
           Tono menghela napas panjang. Matanya menerawang.
             "Saya perlu ada tambahan motivasi Kang. Saya perlu dukungan bahwa saya sebenarnya tidak salah sama sekali. Saya kuat Kang, saya kuat, tapi tidak orang tua Kang, tidak..hh..hh," Jebol sudah bendungan yang Sinyo bangun. Nampak bulir-bulir airmata mulai deras mengaliri pipinya,"Orang tua... gak papa, kalo hanya sekedar diejek temen sekantornya karena anaknya gak segera lulus Kang," lanjut  Sinyo tersendat-sendat di sela tangis,"Tapi ini masalah biaya Kang, masalah biaya, Ya Allah maaf," desah Sinyo berusaha menguatkan diri sampai dadanya naik-turun.
            "Gimana kabarnya Anita?" tanya Eyang Samirono tiba-tiba.
           Sinyo terhenyak seketika. Ia menghentikan tangisnya karena ada pertanyaan yang gak nyambung. Memang dalam teori NLP (neuro linguistic programming) juga jelas bahwa agar orang tidak terlalu hanyut dalam perasaannya sebaiknya perhatiannya dialihkan. Atau istilah bulenya broken pattern. Tapi Eyang Samirono sudah tahu itu jauuh sebelum teori itu sendiri lahir. 
       "Anita baik Eyang."
          Wajah Anita yang muncul di benaknya membuat Sinyo sedikit lebih tenang. Memang beberapa bulan yang lalu Sinyo juga pernah curhat masalah ceweknya.
         "Berarti masih ada yang perlu kamu syukuri. Benar kan Ngger?"
         "Benar Eyang" Jawab Sinyo lirih.
          "Udahlah.... kamu yang tabah. Kamu musti percaya diri. Kamu terlahir dari wangsa hebat penguasa. Makanya kamu jangan pernah minder gara-gara dosenmu yang geblek itu."
            "Geblek gimana Eyang?"
         "Mereka itu sudah ndak percaya dengan leluhurnya sendiri. Bahkan udah ndak percaya dengan dirinya sendiri?"
           "Maksudnya gimana Eyang?"
         "Lihatlah... mereka memaki leluhurnya sendiri yang sejak ribuan tahun lalu sudah bangun Borobudur dengan sebutan kaum klenik. Sedangkan mereka sendiri bangga dengan gelar akademik dan ilmu-ilmu ataupun istilah-istilah barat yang gak jelas apa karya mereka dan apa pula manfaatnya kepada bangsanya sampai sekarang ini."
           "Gak jelas gimana Eyang?"
            "Lihatlah berapa banyak di tempatmu yang sudah Doktor bahkan profesor pula. Tapi seberapa banyak manfaatnya mereka itu untuk lingkungan sekitarnya. Lucu sekali. Bahkan untuk jadi pembicara seminar pun bukannya dibayar tapi malah mbayar.”
          "Tapi mereka itu juga nakutin Eyang."
             "Ngger Angger cah bagus. Kamu itu generasi muda. Mustinya bersikap unggul. Berani beda asalkan yakin benar. Kamu itu dianugerahi akal kecerdasan serta hati sebagai ciri khas anak yang lahir dalam bangsa beradab yang jauh melebihi anak-anak negara-negara yang tidak punya akar peradaban. Orang Eropa mengklaim kita ini bangsa primitif. Padahal kalo kita balik bertanya punya warisan peradaban apa mereka? Mereka akan cengingas-cengingis gak bisa jawab. Dari yang paling sederhana aja, faktanya bangsa kita punya kalender yang rumit seperti Pawukon sampai pranatamangsa sejak tahun satu hingga sempurna tahun 554 Saka. Kita punya KUHP sejak tahun 570 Saka yang disebut Kalingga Dharmasashtra. Kita punya tari-tarian ribuan jumlahnya. Lagu-lagu tak terhitung. Candi-candi bertebaran di mana-mana nyaris sebanyak pamflet iklan jaman sekarang sejak abad 7 Saka. Kita punya teknologi perkapalan yang tinggi. Sementara pada abad yang sama, Barat masih berupa suku-suku nomaden yang biadab seperti Goth, Vandal, Burgundi, Anglia, Saxon, Frankia, Sarmatia, Viking. Peradaban tinggi yang mereka banggakan hanya batu bertumpuk yang dinamai stonehenge. Nah sebenarnya bangsa siapa yang primitif?"
          "Trus saya musti gimana Eyang?"
          "Jangan pernah ikuti dosen-dosenmu yang hanya bisa mengutip pernyataan orang, yaitu orang-orang  yang tidak pernah punya ide orisinil. Kamu tahu kenapa mereka suka sekali dengan kutipan?"
           "Kenapa Eyang?"
         "Karena yang mereka lihat siapa yang ngomong. Bukan apa yang diomongkan. Karena itu jika yang kamu kutip orang dengan nama Barat mereka pasti seneng sekali."
         "Apa yang salah dengan ngutip orang barat Eyang?"
         "Justru itulah titik menggelikannya. Mereka setiap ngomong selalu ngajak bolo. Ngutip sana ngutip sini tanpa pernah ngomong menurut pikiran mereka sendiri. Kalau perlu sesekali kerjai mereka."
           "Kerjai gimana Eyang?"
        "Sesekali omongkan saja idemu sendiri, tapi katakan itu yang ngomong Robert Schutz, atau Brian Johnson, atau David Frankenstein, atao siapa sajalah. Ngawur aja. Mereka pasti akan manthuk-manthuk seperti para budak inlander  jaman colonial dulu mendengar dawuh tuannya."
         "Gimana kalau ketahuan Eyang?"
           "Ngger... sebagaimana tadi kamu takut masalah biaya, atau takut ketahuan berjuang untuk hal benar....semua itu menunjukkan bahwa kamu belum yakin bahwa rejeki itu yang ngasih Sang Pemberi Rejeki. Juga kalau kamu takut bertindak benar berarti kamu tidak yakin bahwa Dia akan melindungi umat-Nya yang baik"
           "Jadi apakah kalau kita kenal Allah kita akan jadi pemberani dan akan dikaruniai banyak kelebihan Eyang? 
            "Betul. Tapi juga harus ingat. Bahwa dalam setiap kelebihan yang luar biasa, musti diiringi dengan tanggung jawab yang luar biasa pula."
         "Kata-kata Eyang itu sangat hebat." Jawab Sinyo dengan mata berbinar-binar.
       "Itu bukan kata-kataku", sahut Eyang Samirono.
        "Lantas kata-kata siapa Eyang?"
         "Benjamin Parker"
       "Siapa Benjamin Parker itu Eyang?" tanya Sinyo penasaran.
        "Pamannya Spiderman," jawab Eyang Samirono kalem.
You have read this article Budaya with the title Yang Terhormat Dosen Pembimbing Skripsi. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/10/yang-terhormat-dosen-pembimbing-skripsi.html. Thanks!

No comment for "Yang Terhormat Dosen Pembimbing Skripsi"

Post a Comment