Perbuatan dan sifat keji, kotor, dan tercela yang dimaksudkan itu adalah hasad, iri hati, dengki, ghurur, takkabur, ujub, kikir, riya’, gibah, marah, bermuka dua, dusta, dan sejenisnya. Kesemuanya itu harus ditinggalkan dan dijauhi. Kemudian memilih sifat-sifat dan perbuatan sebaliknya, yaitu sifat-sifat dan perbuatan yang terpuji seperti wara’, sabar, tawakkal, ridha, ‘adil, tawadlu’, syukur, dermawan, .
Jika semua sifat dan perbuatan madzmûmah (tercela) ditinggalkan kemudian semua sifat dan perbuatan mahmûdah (terpuji) dilaksanakan, maka seorang hamba mutlak disenangi oleh Allah, dekat dengan-Nya dan senantiasa mendapat keberkahan-Nya.
Syekh Yusuf al-Makassari merupakan salah seorang tokoh sufi di Indonesia yang diilhami dan diberi kecenderungan memiliki dan menempuh jalan hidup sufi, di mana tujuan utamanya tersimpul pada tiga komponen, yaitu: al-taqarrub ila Allâh, senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dengan membersihkan jiwanya dari perbuatan-perbuatan yang madzmûmah, dan senantiasa berupaya mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.
Riwayat Hidup Syekh Yusuf al-Makassari
Kisah Kelahirannya
Menurut Lontara warisan kerajaan kembar Gowa dan Tallo, masa kelahiran Syekh Yusuf adalah pada 3 Juli 1628 M, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Riwayat atas penetapan tanggal tersebut telah menjadi riwayat tradisi lisan masyarakat di Sulawesi Selatan sehingga semua kajian yang berkenaan dengan masalah itu sudah menjadi kesepakatan. Ini berarti masa lahir beliau setelah dua puluh tahun pengislaman kerajaan kembar Gowa dan Tallo oleh seorang ulama dari Minangkabau, Sumatera Barat, yaitu Abdul Makmur Khatib Tunggal yang masyhur digelari dengan sebutan Datuk ri Bandang.
Sebagai manusia biasa, Syekh Yusuf dilahirkan ke persada bumi ini melalui seorang ayah dan seorang ibu. Dalam “Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, dinyatakan dengan jelas bahwa ayahnya bernama Gallarang Moncongloe, saudara seibu dengan Raja Gowa Sultan Alauddin Imanga‘rang’ Daeng Manrabbia, Raja Gowa yang paling awal masuk Islam dan menetapkannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1603 M. Sedang ibunya bernama Aminah binti Dampang Ko’mara, seorang keturunan bangsawan dari Kerajaan Tallo, kerajaan kembar dengan Kerajaan Gowa.
Oleh karena nama Abdullah sebagai ayah Syekh Yusuf tercatat dalam risalahnya yang berjudul Hâsyiyat fî Kitâb al-Anbâ’ fî I‘râb Lâ Ilâha Illallâh, Hamka menetapkan ayahn beliau yaitu Abdullah. Namun, anak cucunya di Sulawesi Selatan menamakannya Abdullah Khaidir sebagai bapak Syekh Yusuf. Tetapi nama yang terakhir ini menimbulkan kontroversi di mata masyarakat umum, karena ada yang menyangka bahwa ayah Syekh Yusuf adalah Nabi Khaidir, tetapi informasi yang kuat adalah sebagaimana yang tertuang dalam silsilah keturunannya yang diwarisi turun-temurun para Raja Bugis di Sulawesi Selatan, yang dalam lontara itu dijelaskan bahwa ayahnya adalah Gallareng Mongcongloe, yang telah diberi nama Islam yaitu Abdullah Khaidir. Ia adalah saudara seibu dengan Raja Gowa, Sultan Alauddin. Menurut tradisi raja-raja di tanah Bugis, tetapi karena sifat tawadhu dan perhatiannya yang sangat besar terhadap Islam yang baru saja dianutnya, maka ia memilih untuk tidak menjadi raja. Dengan demikian, ia diberi gelar oleh masyarakat sebagai Gallarang sementara Moncongloe adalah nama kampong yang dijadikan sebagai tempat tinggalnya. Demikianlah, Syekh Yusuf secara genetika adalah seorang bangsawan putera pangeran Gowa yang dikenal bernama Gallarang Moncongloe, saadara Sultan Alauddin.
Syekh Yusuf al-Makassari telah menjadi kebanggaan Islam pada masa kini. Beliau bukan lagi sekedar milik orang Bugis di Sulawesi Selatan, atau milik masyarakat Islam di Afrika Selatan dan Ceylon, tetapi beliau telah tercatat sebagai pejuang kemanusiaan oleh Nelson Mandella (Presiden Afrika Selatan) pada tahun 1994, dan sebagai pahlawan Nasional dan pejuang kemerdekaan oleh Soeharto (Presiden RI) bulan Novenber 1995.
Penghargaan yang diberikan kepadanya karena perjuangan beliau semasa hidupnya, baik sebagai seorang pejuang atau mujahid dakwah maupun sebagai ulama atau tokoh cendekiawan Islam. Beliau selama hidupnya dianggap duri dalam daging oleh penjajah barat di Nusantara, terutama Belanda di Batavia (Jakarta). Beliau diasingkan ke Ceylon (Sri Lagka) kemudian diasingkan ke Afrika Selatan dan wafat di Cape Town pada tahun 1699M.
Pada masa hidupnya sampai sekarang, Syekh Yusuf al-Makassari dikenal pada empat negeri, yaitu Kesultanan Banten (Jawa Barat), Tanah Bugis (Sulawesi Selatan), Caylon (Sri Lagka) dan Cape Town (Afrika Selatan). Beliau adalah peletak dasar kehadiran komunitas Muslim di Caylon dan Afrika Selatan. Malah beliau dianggap sebagai bapak pada beberapa kumpulan masyarakat Islam di Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan paham adanya perbedaan kulit dan etnis.
Pendidikannya
Sejak agama Islam menjadi pegangan masyarakat di tanah Bugis-Makassar, sistem pendidikan awal kepada anak-anak mereka adalah menyampaikan ayat-ayat al-Quran al-Karim melalui cara tradisional dalam pengajaran baca tulis al-Quran. Maka Syekh Yusuf al-Makassaripun tidak lepas dengan sistem itu. Sejak kecil beliau mulai diajarkan hidup secara Islam. Beliau mendapatkan pendidikan mengenai bacaan al-Quran melalui seorang guru mengaji yang bernama Daeng ri Tasammang.
Setelah fasih membaca al-Quran, beliau dibawa oleh orang tuanya ke pondok Pesantren Bontoala untuk menuntut ilmu-ilmu Islam dan ilmu alat, seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan Mantiq. Pondok atau pusat pendidikan Islam Bontoala yang didirikan pada tahun 1634, pada masa itu dipimpin oleh seorang ulama yang dikenal sebagai al-Allamah Thahir.
Setelah beliau menamatkan pelajarannya di pondok pesantren Bontoala, gurunya Syed Ba’ Alawy menyarankan kepadanya agar terus melanjutkan pengajian di pondok Cikoang. Sebab pada masa itu pondok pesantren ini cukup maju dan terkenal dalam ilmu yang dimiliki oleh gurunya, yaitu Syekh Jalaluddin al-Aidit seorang ulama dari Aceh yang mengembara ke tanah Bugis. Ada beberapa tahun lamanya Syekh Yusuf belajar di pondok Cikoang di bawah bimbingan dan asuhan Syekh Jalaluddin al-Aidit. Karena kecemerlangan dan kecerdssan otaknya dalam mengikuti pengajian, akhirnya beliau disarankan oleh gurunya untuk meneruskan pelajarannya ke Jazirah Arabia.
Pada tanggal 22 September 1644 M, beliau berangkat dengan menumpang kapal Melayu, Malaka dengan tujuan menuntut ilmu-ilmu Islam di Jazirah Arabiah terutama di Mekah dan Madinah sebagai pusat pendidikan Islam pada masa itu. Oleh karena jalan pelayaran niaga pada waktu itu mesti melalui laut Jawa dan transit di Banten (Jawa Barat), maka beliau pun ikut singgah di pusat bandar kesultanan Banten. Dalam persinggahan inilah ia berkenalan dengan ulama dan tokoh agama serta orang-orang besar di Banten, termasuk Abdul Fattah (putra mahkota), anak Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Kadir (1598-1650), Sultan kerajaan Banten pada masa itu.
Setelah beberapa lama berada di Banten, kemudian beliau meneruskan perjalanannya ke Aceh Darussalam sebelum melanjutkan perjalanannya ke Jazirah Arabia. Di Aceh beliau berkenalan dengan seorang tokoh ulama dan pemimpin serta khalifah “Tariqah al-Qadiriyyah” di Aceh, yaitu Syekh Muhammad Jilani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniriy. Syekh Yusuf al-Makassari menghabiskan waktunya selama transit di Banten dan di Aceh lebih kurang lima tahun. Sehingga diperkirakan beliau berangkat ke Jazirah Arabiah pada pertengahan tahun 1649 M. Dan selama beliau berada di Banten dan di Aceh kegiatan beliau yang lebih dominan adalah berkomunikasi dengan ulama dan pemimpin masyarakat untuk bertukar pengalaman dan memantapkan wawasan ilmu yang telah dimilikinya.
Perjalanan beliau selanjutnya adalah menuju Yaman. Kemungkinan kecendrungannya untuk singgah belajar di Yaman adalah atas saran gurunya, Syekh Muhammad Jilani di Aceh hal mana ia juga pernah belajar dan menerima ijazah Tarekat di negeri Yaman. Setelah beliau selamat tiba di Bandar Hadramaut (Yaman) beliau berguru pada Syekh Abu Abdillah Muhammad Abdul Baqi (w.1664), seorang ulama yang terkenal di Yaman pada masa itu dan juga Khalifah Tarekat al-Naqshabandiyyah.
Setelah beliau menerima berbagai ilmu Islam di bawah asuhan Syekh Muhammad Abdul Baqi, beliau meneruskan perjalanannya ke Bandar al-Zubaid dan berguru pada Syed Ali al-Zubaidiy (w.1084). Gurunya yang kedua ini adalah seorang muhaddits dan tokoh sufi, dan beliau lebih dikenal sebagai ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah di negeri Yaman pada zamannya. Sudah tentu Syekh Yusuf di sini di samping belajar, juga menerima bimbingan tasawuf melalui al-Zubaidiy. Dan sekaligus menerima ijazah dan silsilah khilafah tarekat keluarga ulama al-Sadah al-Ba’alawiyyah, satu tarekat yang cukup banyak penggemarnya ketika itu, terutama di negeri Yaman dan sekitarnya.
Setelah beberapa lama mengaji di Yaman, terutama kepada kedua gurunya yang tersebut di atas, kemudian beliau meneruskan perjalanannya menuju kota Suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Selama di Mekah tidak ada rujukan yang menyatakan bahwa beliau mengaji selepas menunaikan ibadah haji. Malah seterusnya beliau menuju Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Sekaligus meneruskan pengajiannya di sana.
Di Madinah, Syekh Yusuf berguru pada Syekh Ibrahim Hassan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani, yang dari beliau Syekh Yusuf mendapat ijazah tarikat Syattariyyah. Belum puas, ia berguru kepada Syekh Ahmad Qusyasyiy (w.1661), Mullah Ibrahim al-Kawraniy (w.1690) dan Hassan al-Ajamiy (w.1701). Tiga ulama inilah yang amat masyhur ketika itu di Madinah dan menjadi tumpuan para penuntut untuk berguru kepada mereka. Terutama para penuntut yang berasal dari kepulauan Nusantara.
Selepas beliau mengikuti pengajian di Madinah dan mendapatkan penghargaan dari guru-gurunya yang yang disebutkan di atas, beliau meneruskan pengembaraannya ke negeri Syam (Damshiq) dengan tujuan yang sama yaitu untuk memperdalam lagi ilmu pengetahuannya serta memperluas pengalamannya. Di Damshiq beliau berguru di bawah bimbingan dan asuhan seorang tokoh dakwah dan ulama Sufi serta pakar hadits yang amat masyhur di zamannya, yaitu Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad al-Khalwatiy al-Qurashiy di mana beliau mendapat ijazah tarikat Khalwatiyyah dan gelar tertinggi al-Taj al-Khalwati Hadiatullah.
Untuk melengkapi pengalamannya, beliau melanjutkan perjalanan ke Istambul (Turki). Selepas beliau menimba banyak pengalaman di Istambul, beliau cenderung kembali ke Mekah dan tinggal beberapa lama di sana. Di samping tujuan beribadah juga untuk mengkaji ulang ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya selama dalam pengajian. Pada masa inilah beliau gunakan kesempatan mengajar kepada pelajar-pelajar yang berasal dari Nusantara dan memberi pengajian umum di masjid al-Haram pada musim haji kepada jamaah haji, terutama mereka yang berasal dari tanah Bugis (Sulawesi Selatan) dan Gowa.
Di antara murid-murid beliau yang mendapat kepercayaan mengajarkan ilmu-ilmu yang diterimanya di Mekah ialah Abu al-Fath Abdul Basir al-Darir (Tuang Rappang), Abdul Hamid Karaeng Karunrung dan Abdul Kadir Majeneng. Mereka adalah berasal dari Sulawesi Selatan, dan mereka inilah yang menghidup suburkan tarekat Khalwatiyyah Syekh Yusuf di tanah Bugis.
Konsep-Konsep Tasawuf Syekh Yusuf al-Makassari
Makna Tasawuf dan Hubungannya dengan Akidah.
Syekh Yusuf al-Makassari dalam kajiannya tidak membedakan antara perkataan tasawuf dan suluk. Beliau menyatakan bahwa istilah tasawuf merujuk kepada kaedah pengalaman syariah semata-mata. Suluk pada hakikatnya adalah merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui pengalaman syariah Islam, yaitu ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Walau bagaimanapun istilah tasawuf biasa juga digunakan merujuk kepada hasil dari pada amal ibadah seseorang hamba.[22] Pandangan ini sesuai dengan makna tasawuf yang dikemukakan oleh al-Sya’rani dalam al-Tabaqat al-Kubra yang berbunyi sebagai berikut:
Tasawuf adalah hasil amalan hamba terhadap hukum-hukum syari’ah.
Definisi tasawuf yang digunakan oleh Syekh Yusuf, di antaranya sebagai berikut:
“ Bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah Malik al-Muluk”. Di samping itu, definisi lain yang sering juga diungkapkan oleh beliau dalam tulisannya, ialah:
Tasawuf ialah pemurnian qadas (niat) semata-mata kapada Allah, dan natijahnya ialah mengamalkan akhlak dengan akhlak Allah SWT. Juga ditemukan definisi lain lagi, seperti berikut:
“Awal tasawuf adalah ilmu, pertengahannya amalan, dan akhirnya ialah pemberian”.
Dari definisi-definisi yang disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf bagi Syekh Yusuf al-Makassari adalah merupakan amalan yang sungguh-sungguh dalam menjalani al-suluk, yaitu usaha mendekatkan diri kepada Allah semata-mata mengharapkan rida-Nya. Dengan demikian, seorang hamba Allah dapat mencapai tarap yang mulia dengan memiliki sifat terpuji yang diridahi oleh Allah SWT melalui suluk atau tasawuf.
Dalam upaya menjalankan pengajaran dan dakwah Islam melalui tasawuf, Syekh Yusuf selalu mengaitkan tasawufnya dengan aqidah Islamiah. Pesan ajaran beliau dalam berbagai tulisannya, terutama dalam al-Nafhah al-Saylaniyyah, Zubdat al-Asrardan Habi al-Warid, selalu dikaitkan perlunya seorang hamba yang memulai suluknya dengan mengesahkan aqidahnya. Maksudnya yang paling utama diperlukan dalam menjalani amalan tasawuf (suluk) adalah asas aqidah yang sahih. Jika aqidah itu benar dan kuat, maka amalan tasawuf akan berjalan sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Akan tetapi jika aqidah rapuh dan tidak benar, jelas akan merusak amalan selanjutnya, karena asas aqidah yang tidak benar menjadikan seorang salik bisa terperangkap dalam ajaran sesat dengan tidak disadari.
Akidah yang benar, menurut pandangan Syekh Yusuf adalah akidah yang berdasarkan kepada ittiba’ al-Rasûl. Artinya apa yang patut diyakini oleh hamba terhadap Allah adalah sebagaimana yang telah termaktub dalam al-Quran dan al-Sunnah. Keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari qiyamat dan qada dan qadar-Nya, mestilah didasarkan kepada kedua rujukan dasar tersebut. Selain al-Quran dan al-Sunnah, tiada jalan untuk menjadikannya sebagai landasan aqidah yang benar.
Dalam risalah al-Futuhat al-Ilahiyyah, Syekh Yusuf memperincikan rukun tasawuf kepada sepuluh perkara, yaitu:
Pertama : tahrid al-Tauhid, yang bermaksud memurnikan ketauhidan kepada Allah, dengan memahami makna keesaan Allah mengikuti kandunagn surat al-Ikhlas. Di samping itu, dalam meyakini keesaan Allah, mesti dijauhi dari sifat tasybîh dan tajsîm.
Kedua : Faham al-Sima’i, yang bermaksud memahami tata cara menyimak petunjuk dan bimbingan Syekh mursyid dalam menjalani pendekatan diri kapada Allah yang menuju pada tuntutan Islam yang benar.
Ketiga : Husn al-‘Ishra, yang bermaksud memperbaiki hubungan silaturrahim dalam pergaulan (muasarah).
Keempat : Ithar al-Ithar, yang bermaksud mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri demi mewujudkan persaudaraan yang kukuh.
Kelima : Tark al-Ikhtiyar, yaitu bermaksud berserah diri kepada Allah tanpa i’timadkepada ikhtiar sendiri.
Keenam : Sur’at al-Wujd, yang bermaksud memahami secara pantas suara hati nurani (wujudan) yang seiring kehendak al-Haq (Allah).
Ketujuh : al-Kahf ‘an al-Khawâtir, yang bermaksud mampu membedakan yang benar dan yang salah.
Kedelapan : Kathrat al-Safar, yang bermaksud melakukan perjalanan untuk mengambil i’tibar dan melatih ketahanan jiwa.
Kesembilan : Tark al-Iktisab, yang bermaksud tidak mengandalkan usahanya sendiri, akan tetapi ia lebih bertawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa setelah ia berusaha.
Kesepuluh : Tahrîm al-Iddihâr, yang bermaksud tidak mengandalkan pada amal yang telah dilakukannya melainkan tumpuan harapannya hanyalah kepada Allah.
Konsep Tauhid dan Wahdat al-Wujud
Adapun konsep Syekh Yusuf tentang Tauhid al-Ilah, telah dirumuskan dalam Risalah al-Nafhah, yaitu:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala disifati dengan ayat al-Quran surat al-Shura ayat II, yang bermaksud: Tiada suatu apapun yang menyerupai-Nya.
Dari pernyataan beliau di atas, jelas bahwa konsep Tauhid beliau tidak lepas dari konsep tauhid Ahl al- Sunnah Wa al- Jamaah yang menetapkan zat dan sifat bagi Allah, sebagaimana yang termaktub dalam al-Quranul Karim. Malah beliau menegaskan bahwa ayat-ayat di atas adalah merupakan dasar Tauhid yang sebenarnya yang mesti dipegangi dan diyakini. Beliau menyebutnya sebagai Um al-I’tiqâdât (induk dari keimanan).
Menurut Syekh Yusuf unsur-unsur ketauhidan yang mesti diyakini sebagai orang yang menjalani suluk (pendekatan diri dalam perjalana ruhani) di antaranya adalah:
Pertama : Tauhid al-Ahad, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud qadim (wujud tidak berpermulaan), qadim binafsih ( berdiri dengan sendirinya ),muqawwim lighairih (mengadakan selainnya). Sesungguhnya Allah tiada bermula wujud-Nya dan tiada ujung-Nya, tiada serupa dengan-Nya, Dia adalah Maha Tunggal, tumpuan pengharapan, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak satupun yang menyerupai-Nya.
Kedua : Tauhid al-Af’al, ialah meyakini bahwa sesungguhnya Allah, Dialah pencipta segala sesuatunya, Dialah yang memberi daya dan kekuatan dalam melaksanakan semua urusan, apa yang dikehendaki oleh manusia tidak akan mungkin terjadi kecuali atas kemauan Allah jua, semua yang diinginkan oleh Allah pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan mungkin terjadi.
Ketiga : Tauhid al-ma’iyyah, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah senantiasa bersama hamba-Nya di manapun ia berada.
Keempat : Tauhid al-Ihatah, yaitu meyakini bahwa sesungguhnya Allah meliputi segala sesuatu.
Terlibat Perlawanan Terhadap Penjajah
Setelah hamper dua dasawarsa menuntut ilmu di Timur Tengah, Syekh Yusuf kembali ke kampong halamannya di Gowa. Namun ia sanghat kecewa dan malu karena Gowa baru saja kalah perang dan menanda-tangani Perjanjian Bongaya yang merugikan Gowa. Setelah member berbagai nasehat, terutama meyakinkan Sultan Hasanuddin tentang pentingnya meluruskan pelaksanaan ajaran Islam di Gowa, Syekh Yusuf kembali merantau dan menuju ke Banten. Dewasa itu Pangeran Surya yang dikenalnya dengan baik sudah naik tahta menjadi Sultan banten dengan Gelar Sultan Ageng tirtayasa. Itu sebabnya, Syekh Yusuf dipercaya menjadi mufti dan guru agama. Bahkan Syekjh Yusuf diambil menantu oleh sultan Banten. Dengan ilmunya yang luas, para santri berdatangan dari berbagai penjuru ke Banten. Saat itu, dari Gowa saja terdapat 400 orang santri yang belajar di Banten kepada beliau.
Ketika Sultan Ageng Tirtayasa terlibat perselisihan dengan putera mahkota yang didukung Belanda, yaitu Sultan haji, pecah perang yang melibatkan pasukan Makassar dipimpin Syekh Yusuf. Oleh karena kekuatan yang tidak seimbang, di mana kompeni Belanda menggunakan cara-cara licik, akhirnya pihak Banten menyerah. Syekh Yusuf ditangkap dan diditahan di Cirebon. Namun karena charisma beliau sangat kuat, Belanda ketakutan dan memindahkannya ke Batavia. Namun di Batavia, pengaruh Syekh Yusuf masih tetap kuat. Bahkan seorang muslim Maluku bernama Kapitane Yonker yang menjadi tentara kompeni, membelot dan berpihak kepada Syekh Yusuf.Itu sebanya, tahun 1684, Syekh Yusuf dibuang ke Srilangka.
Dalam pembuangan di Srilangka, ternyata Syekh Yusuf masih kuat pengaruhnya. Penduduk setempat berguru kepadanya meski memakai penterjemah. Syekh Yusuf malah berkenalan dengan Syekh Ibrahim ibn Mi’an, tokoh ulama India terkemuka, yang memintanya menuliskan sebuah buku tentang tasawuf berjudul Kaifiyat al-Tasawuf. Sewaktu musim haji, para pelaut Gowa yang naik haji dengan kapal sendiri ganti-berganti singgah di Srilangka untuk membawa ajaran Syekh Yusuf ke Makassar. Keadaan itu merisaukan Belanda. Lalu Syekh Yusuf dibuang ke tempat yang lebih jauh, yaitu Afrika Selatan.
Bulan Juli 1693, Syekh Yusuf beserta 49 orang pengikutnya dibuang ke Capetown di Afrika Selatan dengan menumpang kapal Voetboog . Seperti sebelumnya, Syekh Yusuf di tempat yang asing dan sangat jauh dari negerinya itu tetap berdakwah kepada masyarakat sekitar sampai saat wafatnya tanggal 23 Mei 1699. Sekalipun jasad beliau telah terkubur di dalam tanah ratusan tahun silam, terbukti ajarannya – terutama tarikat Khalwatiyyah – masih dianut oleh penduduk Capetown di Afrika selatan, Srilangka, Sulawesi Selatan, dan Banten hingga saat ini.
Fauzan Ramont – mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Brawijaya
darisrajih.wordpress,com, id.wikipedia.org, www.sufinews.com
You have read this article Sejarah
with the title Syekh Yusuf Al-Makassari - Sufi, Ilmuwan, Pejuang, Pahlawan. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2011/11/syekh-yusuf-al-makassari-sufi-ilmuwan.html. Thanks!
No comment for "Syekh Yusuf Al-Makassari - Sufi, Ilmuwan, Pejuang, Pahlawan"
Post a Comment