Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Budaya Malu dan Tertib Sosial

                                Oleh: K Ng H Agus Sunyoto

             Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al-Anshari Al-Badri r.a. yang berkata: Rasulullah Saw telah bersabda, “Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah: ‘Bila kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR Bukhari)

Malu, Ciri Utama Manusia

            Malu adalah hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain di dunia. Fakta menunjuk, rasa malu hanya dimiliki manusia. Lalu dengan rasa malu itulah manusia memiliki kendali untuk bias mengendalikan diri, melakukan apa yang harus dilakukan dan menghindari apa yang harus dihindari. Bahkan pada etnis tertentu, seperti Suku Bugis – Makassar, rasa malu yang disebut sirri adalah pangkal dari nilai-nilai yang melahirkan adat-istiadat. Sehingga orang yang dianggap mati sirri, tidak punya malu, dianggap sebagai orang nista dan hina di tengah masyarakat. Bahkan atas dasar sirri, terbentuk adat sirri, yaitu berkelahi sampai mati untuk menebus malu. Dengan sirri itulah kehidupan suku Bugis – Makassar diarahkan.

          Etnis Jawa yang terkenal permisif, suka ngalah, nrimo, tahan menderita, ternyata bisa nekad dan melakukan amuk jika sudah dipermalukan. Etnis Madura, memiliki pepatah “tembang poteh mata angu’an poteh tulang” – daripada putih mata lebih baik putih tulang, menebus rasa malu dengan bertarung sampai mati yang disebut carok. Semua kecenderungan memposisikan rasa malu sebagai nilai utama dalam adat dan tradisi, menunjuk betapa pentingnya budaya malu dalam kehidupan masyarakat. Itu berarti, malu berkaitan dengan keniscayaan tertib masyarakat di mana tanpa malu akan terjadi kerancuan dan ketidak-tertiban masyarakat yang akan mengarah kepada keadaan chaos.

         Mengingat pentingnya nilai malu, maka menjadi keniscayaan jika ajaran para nabi, sejak nabi pertama hingga nabi terakhir, ada ajaran yang sudah sirna dan ada yang tidak. Di antara ajaran nabi-nabi yang tidak pernah sirna adalah rasa malu. Hal itu menunjukkan bahwa rasa malu memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama. Bahkan malu dianggap bagian dari keimanan. Maksudnya, orang yang tidak memiliki rasa malu adalah identik dengan orang tidak beriman.

           Nilai-nilai sosial dari masyarakat Indonesia yang berasal dari ajaran Islam yang menanamkan rasa malu sebagai dasar nilai moral menempatkan rasa malu pada kedudukan tinggi. Sebagai akibat, masyarakat yang dianggap melanggar nilai-nilai malu akan dianggap sebagai orang tidak bermalu yang diberi kedudukan rendah dalam masyarakat. Suku Bugis – Makassar, menyebut orang tidak bermalu dengan sebutan “mati sirri”. Orang Jawa memberi cap, label, stigma orang-orang tidak bermalu dengan sebutan “Rai Gedhek” alias “wajah dinding”, yaitu ejekan yang sangat kasar bagi anggota masyarakat.

Jika Tidak Bermalu Berbuatlah Sesukamu!

              Ulama berbeda pendapat dalam memahami sabda Nabi Saw: “berbuatlah sesukamu”, sebagian memahami sebagai perintah dan sebagian yang lain memahami bukan sebagai perintah. Ulama yang memahami sebagai perintah, menjelaskan bahwa jika sesuatu yang hendak diperbuat tidak mendatangkan rasa malu maka lakukanlah sesuai dengan yang diinginkan. Dan ulama yang memahami bukan sebagai perintah, ada dua penjelasan yaitu:

1.Maknanya sebagai ancaman. Ancaman bagi yang tidak memiliki rasa malu yang berbuat memperturutkan hawa nafsunya.

2.Maknanya sebagai berita. Memberitakan barang siapa yang tidak memiliki rasa malu pasti akan berbuat sesuka hatinya.

3.Semua pendapat di atas memiliki kemungkinan benar.

          Lepas dari perbedaan  pandangan dalam memahami sabda Nabi Saw “berbuatlah sesukamu”, yang pasti rasa malu secara sosiologis memiliki kaitan dengan tertib sosial. Artinya, komunitas masyarakat yang tidak dilandasi nilai malu akan cenderung tidak tertib, keras, sarat inkonsistensi, yang berujung chaos. Sebab tanpa rasa malu, anggota-anggota masyarakat akan melakukan tindakan semau-maunya tanpa mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku. Tanpa rasa malu, anggota-anggota masyarakat akan berbuat sesuka hati mengikuti dorongan hawa nafsu dengan akibat terjadi dekadensi moral.

    Dalam konteks Ke-Indonesia-an di era reformasi ini, rasa malu tampaknya sudah tidak menjadi dasar nilai masyarakat seiring tumbuh dan kembangnya modernitas yang sekuler, rasionalis, materialistic, dan positivis yang menolak dan menafikan semua hal bersifat normative. Masyarakat Indonesia yang mengabaikan budaya malu, berbuat sesuka hatinya sebagaimana ditengarai Nabi Saw. Tanpa malu sedikit pun, anggota-anggota masyarakat melakukan kejahatan moral seperti korupsi, kolusi, menipu, mencuri, merampok, mengancam, menyiksa, membunuh, memperkosa, melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan karena tidak merasa malu dalam melakukan semua dorongan nafsunya. Itu artinya, tanpa rasa malu manusia akan cenderung melakukan apa saja sekehendak nafsunya, di mana hal itu akan berakibat kepada terciptanya trans-valuasi nilai-nilai, ketidak-tertiban, kekisruhan, dan chaos yang bermuara kepada kebinasaan masyarakat. 
You have read this article Agama with the title Budaya Malu dan Tertib Sosial. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/03/budaya-malu-dan-tertib-sosial.html. Thanks!

No comment for "Budaya Malu dan Tertib Sosial"

Post a Comment