Meski dekat di selatan wilayah teritorial Indonesia, tak banyak penduduk Indonesia yang mengetahui keberadaan Kepulauan Cocos sampai saat Menteri Pertahanan Australia, Stephen Smith, pada 28 Februari 2012, menyatakan bahwa besar kemungkinan AS akan menggunakan Pulau Cocos yang terpencil sebagai pangkalan militer AS sekalipun rencana itu tidak menjadi perhatian utama dan tidak menjadi bagian rencana besar bagi penguatan hubungan militer antara Canberra dan Washington. Pernyataan Menhan Australia itu sejalan dengan harian The Washington Post, yang mengungkapkan bahwa AS tertarik menggunakan Pulau Cocos sebagai pangkalan pesawat-pesawat intai untuk melakukan pengawasan terhadap Kepulauan Spratly yang diperebutkan sejumlah Negara, karena AS menilai Pulau Cocos tak hanya ideal untuk pangkalan pesawat-pesawat tempur berawak namun juga untuk pesawat-pesawat tak berawak yang dikenal dengan nama Global Hawk, terutama Angkatan Laut AS yang kini tengah mengembangkan Global Hawk model terbaru yang disebut pesawat intai kawasan maritim luas (BAMS) yang dijadwalkan beroperasi pada 2015.
Oleh karena letak geografis Kepulauan Cocos sangat dekat dengan Indonesia, pemerintah Indonesia melalui Juru bicara Kementerian Pertahanan Brigjen Hartind Asrin menyikapi rencana penggunaan Pulau Cocos sebagai pangkalan militer AS tersebut dengan mengirim nota protes kepada pemerintah Australia dan Amerika Serikat serta meminta penjelasan tentang rencana pembangunan pangkalan militer AS di wilayah Australia tersebut. Nota protes Kementerian Pertahanan Indonesia itu wajar, sebab pangkalan militer AS yang akan dibangun di Kepulauan Cocos tersebut, tidak hanya berjarak sekitar 1.272 km di sebelah barat daya Jakarta dan hanya lima mil laut di barat daya pantai selatan Jawa melainkan kepulauan tersebut potensial untuk dijadikan ‘jembatan penghubung’ dengan pangkalan militer AS di Pulau Diego Garcia, yang jaraknya hanya 1.700 km di sebelah barat daya Pulau Cocos.
Lepas dari rencana AS menjadikan kepulauan Cocos sebagai pangkalan militer, yang patut diketahui bahwa mayoritas penduduk kepulauan Cocos adalah etnis Melayu beragama Islam mazhab Syafi’i. Sebagian besar penduduk asli kepulauan yang berada di Samudera Hindia itu, memiliki tradisi yang sama dengan warga Melayu Islam di Indonesia. Menurut catatan, mereka sudah hidup di pulau terisolasi ini lebih dari sepuluh generasi. Oleh karena kepulauan Cocos sebagian penduduknya adalah etnis Melayu yang sudah lama menetap di situ, maka bagian terbesar dari nama-nama tempat yang ada di pulau tersebut terasa sangat Melayu seperti Teluk Sebrang, Teluk Gronjeng, Desa Bantam, Passe, Pantai Pasir Putih (white sand), dan sebagainya.
Menurut perkiraan, awal mula penduduk Melayu Cocos tinggal di wilayah terpencil itu ketika perdagangan Islam di Hindia Timur mulai berkembang di wilayah Nusantara, di mana Belanda membentuk persekutuan dagang Hindia Timur yang disebut VOC (Verenigde Oost Indie Compagnie) dan Inggris membentuk EIC (East Indie Company). Kedua perusahaan dagang asal Eropa itulah yang membawa sebagian penduduk Kepulauan Hindia Timur untuk menghuni kepulauan Cocos sebagai buruh, kuli, tukang. Beberapa orang keluarga di Kuala Lumpur, mengaku kakek dan neneknya berasal dari kepulauan Cocos. Oleh karena hubungan dengan Sumatera dan Semenanjung Malaysia terus berlangsung selama pendudukan Inggris, maka hingga saat ini pun penduduk kepulauan Cocos tetap setia memeluk Islam mazhab Syafi’i, dengan tradisi dan bahasa Melayu mereka pegang hingga kini. Oleh karena bahasa ibu mereka adalah Melayu, maka motto kepulauan Cocos pun dalam bahasa Melayu, yaitu 'Maju Pulau Kita', mirip seperti bahasa Melayu dan Indonesia.
Menurut sensus tahun 2007, jumlah penduduk di kepulauan Cocos tidak lebih dari 1.000 jiwa. Populasi penduduk terbagi dalam dua pulau di wilayah barat 'West Ssland' dengan penduduk berjumlah lebih dari 150 jiwa dan yang di wilayah 'Home Island' berjumlah kurang lebih sekitar 500 jiwa. Kedua wilayah ini masyarakatnya berbudaya dan berbahasa pengantar Melayu dan Inggris.
Yang unik dari kepulauan Cocos adalah yang terkait dengan pasokan bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari yang lain yang secara tradisional didatangkan dari Indonesia. Sebagaimana Pulau Christmas dan West Island, pasokan bahasan makanan dan kebutuhan sehari-hari penduduk kepulauan Cocos salah satunya didatangkan dari Surabaya.
Kepulauan Cocos adalah surga bagi penikmat pulau tropis dengan perairan biru dari Samudra Hindia. Kepulauan Cocos Keeling adalah sekelompok pulau karang yang membentuk dua atol. Hanya dua dari 27 pulau yang dihuni, sisanya belum pernah dijelajahi. Uniknya, di pulau kecil dan terpencil itu terdapat dua bandara udara, salah satu bandara bertaraf internasional yang bisa didarati pesawat-pesawat ukuran besar. Sejauh ini, Kepulauan Cocos merupakan surga liburan pulau tropis bagi penikmat snorkeling, surfing dan penyelaman kelas dunia.
Diposting: Izzulfikri M. Anshorullah
Sumber: Tapal Batas Edisi 13, April 2012; Republika Online
You have read this article Ukhuwah
with the title Muslim Kepulauan Cocos di Samudera Hindia. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/04/muslim-kepulauan-cocos-di-samudera.html. Thanks!
No comment for "Muslim Kepulauan Cocos di Samudera Hindia"
Post a Comment