Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Pemikiran Revolusioner Ziauddin Sardar

             Oleh: Deasy Ratna Setyawati     
        Salah-satu intelektual Islam yang terkemuka di dunia saat ini adalah Ziauddin Sardar. Pandangannya terhadap masa depan kaum muslim seringkali menjadi rujukan bagi pemikir dan ilmuwan muslim lainnya.
          Ziauddin Sardar lahir di Pakistan namun saat ini tinggal dan mengajar di Inggris. Selama hidupnya Sardar banyak mengikuti berbagai kelompok dan jamaah. Dia pernah mengikuti Jamaah Tabligh dan Syiah. Berbagai pengalaman tersebutlah yang membentuknya hingga seperti sekarang. Ia juga disebut sebagai futurolog muslim. Ia sering membahas masa depan dan sosiologi umat Muslim dalam tulisantulisannya. Sardar mempergunakan sejumlah teori-teori sosial untuk menganalisis perkembangan umat Islam diseantero dunia. Ia seringkali disandingkan Alvin Toffler, seorang futurolog Inggris.
          Dalam salah-satu tulisannya, Sardar menganalisis masa depan umat Islam. Menurutnya umat Islam saat ini merupakan bagian dari masyarakat informasi, yakni masyarakat yang membutuhkan dan menggunakan informasi. Lewat komunikasi, umat Islam semakin terhubungsatu sama lain dengan teknologi yang sangat canggih. Hal ini mengakibatkan solidaritas muslim terjalin dengan kuat.
Umat Islam terpisah di berbagai benua dan negara. Masing-masing mempunyai masalah-masalahnya tersendiri.Teknologi informasi yang begitu canggih mengakibatkan terjadinya penyebaran ilmu-ilmu dan informasi keislamansecara cepat.

       Internet, televisi, radio, buku, koran, majalah, dan media komunikasi lainnya telah menyemarakkan Islam ke seluruh dunia. Berkat televisi, umat Islam dapat mengetahui perang di Bosnia, kesewenang-wenangan Israelterhadap bangsa Palestina, perang saudara di Aljazair, kelaparan di Ethiopia, dan pergerakan Islam di Irak dan TimurTengah. Invasi Amerika ke Irak dapat diketahui dengan cepat oleh Muslim Indonesia, Malaysia, Filipina, dan aksi solidaritas menyebar di mana-mana. Kebencian terhadap Amerika Serikat antara lain disebabkan oleh media. Media dengan telanjang memperlihatkan sisi-sisi kekejaman perang di Irak dan perlakuan tidak adil terhadap muslim Palestina.
                  Inilah salah-satu bentuk dari posmodernisme, yakni kekuatan media yang sangat cepat dalam menayangkan suatuperistiwa. Lewat media, realitas sosial dikonstruksikan dan dipersepsikan oleh masyarakat. Gerakan-gerakan Islam baik yang fundamentalis maupun moderat sekalipun menggunakan teknologi komunikasi untuk menyebarkan gagasan-gagasan mereka. Al-Qaeda mempergunakan web-sitenya di internet untuk menakuti-nakuti musuh mereka dan mengajak kaum muslimin untuk memerangi musuh-musuh mereka. Sedangkan di sisi lain, Jaringan Islam Liberal (JIL) menggunakan website untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan mereka. Terjadi perang gagasan di internet. Diketahuinya film Fitna yang dibuat oleh seorang politisi Belanda akhirnya adalah berkat teknologi informasi.
             Peranan umat Islam saat ini terbatas pada wilayah nasional dan kawasan. Berbagai organisasi Islam tingkat dunia belum mampumenjalin kerjasama yang efektif. Padahal umat Islam mempunyai ibadah haji yang mengumpulkan ribuan bahkan jutaan umat Muslim dari seluruh dunia.
             Komunikasi telah mempersatukan umat sehingga    terbentuk dan ldquo; imagined community dan rdquo; yakni komunitas yang dibayangkan. Lewat piranti teknologi yang canggih, umat Islam bisa mengetahui kondisi saudara-saudaranya di belahan dunia lain. Piranti komunikasi juga menyebabkan tersebarnya informasi dan ilmu-ilmu Islam dengan cepat mudah. Namun permasalahan komunikasi bukannya tidak menimbulkan masalah serius. Akibat dari penyebaran informasi itu, siapa saja boleh melakukan interpretasi terhadap Islam. Untuk membutuhkan ilmu dan informasi kita bisa mengunduh dan membacanya di internet. Padahal, kata ahli komunikasi yang lain, media-media bisa menciptakan teror dan kedangkalan proses berpikir. Banyak media yang lain yang sebenarnya dapat dijadikan acuan informasi. Benda itu adalah buku.
           Namun tidak semua di dunia Islam yang dapat mengakses informasi. Banyak komunitas muslim yang masih pada tahap feodalisme atau agraris dimana tanah menjadi sesuatu yang bermakna dan bernilai tinggi dibanding informasi. Sebagai contoh, di Indonesia kebutuhan akan informasi belum menjadi prioritas. Masyarakat masih lebih mementingkan nasi dari informasi.
           Kita harus menyadari bahwa ada ketimpangan akses terhadap informasi di pelbagai bagian dunia Islam. Kita mengetahui bahwa di belahan Timur Tengah, terdapat masyarakat yang mampu menyerap informasi dengan baik berkat harga minyak yang melambung tinggi. Tapi di belahan dunia lain terdapat umat Islam dengan kondisi gizi yang buruk.

Kaum Intelektual
          Sardar dalam berbagai tulisannya selalu memberikan arahan bagi masyarakat muslim bagaimana bersikap menghadapi dunia yang tengah berubah. Ketiadaan kaum intelektual mengakibatkan umat tak mampu berefleksi menguliti kesalahan-kesalahan umat selama ini. Menurut Sardar, dibutuhkan orang-orang yang menyukai gagasan. Orang yang mampu keluar dari kepompong ketertutupan dan kebodohan. Orang yang bisa melihat dengan jernih berbagai permasalahan umat. Oleh karena itu dibutuhkan kaum intelektual. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan.
            Kaum intelektual ini adalah mereka yang tercerahkan. Ali Syariati menyebutnya sebagai “The Raushanfikr’. Sedangkan yang lain menyebut mereka sebagai “The Creative Minority”. Kelompok-kelompok semacam ini dibutuhkan untuk mendorong umat menuju keadaan yang lebih baik. Menurut Sardar, pengetahuan yang harus dicari umat Islam, bukan sekedar  ilmu pengetahuan, baik yang meliputi ilmu-ilmu kealaman maupun  ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu, menurut Sardar, seorang ulama hendaknya tidak hanya memahami ilmu-ilmu agama (Ulum ad-Din) tapi juga memahami pengetahuan kemasyarakatan dan ilmu-ilmu alam. Mereka tak hanya memahami fikih tetapi juga memahami ilmu sosial modern. Mereka memahami kecenderung masyarakat dan membaca dalam arti seluas-luasnya. Bagi Sardar, ulama bukan hanya mereka yang memahami agama  tetapi juga mereka  yang mengerti ilmu-ilmu dunia. Bahkan Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa untuk meraih akhirat harus dengan ilmu, dan meraih dunia harus dengan ilmu dan meraih keduanya juga harus dengan ilmu. Ulama harus dikembalikan pada akar kata mulanya sebagai “mereka yang berpengetahuan,” bukan sekedar mereka yang mengerti fikih, tasawuf, falak,  sastra,  serta ilmu-ilmu tradisional lainnya.
              Islam tidak mengenal hierarki kependetaan seperti dalam Kristen dan Yahudi. Oleh karena ilmu bukan sesuatu yang ekslusif yang hanya dimiliki ulama saja. Tapi adalah hak kaum muslim untuk memperoleh ilmu. Olehkarena penafsiran dalam Islam, bukan hanya milik para ulama saja tetapi kaum cendekiawan. Sardar menyatakanbahwa kebutuhan untuk mencetak intelektual muslim ini sebagai sesuatu yang sangat mendesak agar umat bisamengejar ketertinggalan jauh dari masyarakat Barat. Ketimpangan informasi di dunia Islam harus segera ditanggulangi.
           Peradaban Islam saat ini mengalami krisis pengetahuan yang luar biasa. Dunia Islam membutuhkan informasi yangakurat dan benar serta analisis yang mencerahkan. Umat Islam jangan hanya menjadi konsumen informasi danpengetahuan yang datang dari Barat atau belahan dunia lainnya melainkan harus mereproduksi ilmu pengetahuan lewatberbagai institusi pendidikan Islam dan juga media-media Islam. Hal ini adalah untuk mengimbangi hegemoni Baratdalam hal informasi. Benturan peradaban (the Clash of Civillization) bukan hanya terjadi dalam kekuatan militer danekonomi, tetapi juga kekuatan informasi.
Pandangan-pandangan Sardar telah mengilhami generasi muda muslim di berbagai belahan dunia. Kita membutuhkan “jihad informasi” dalam melawan opini dan informasi yang dibuat kaum Islamo-phobia. Pandangan Sardar merupakan kritik yang membangun. Sebagai masyarakat muslim terbesar di dunia, sudah saatnya pandangan Sardar harus diperhatikan secara serius.

 Ziauddin Sardar dalam ‘Arsitek’ Masa Depan Islam
             Setahun lalu, Indonesia pernah kedatangan tamu seorang tokoh pemikir Islam yang unik dan futuristik. Dia bukan tipe pemikir yang suka bermimikri dengan tren yang lagi hot. Tapi dia konsisten dengan prinsipnya untuk menggarap tema-tema masa depan Islam (islamic future) secara progresif. Dialah Ziauddin Sardar. Sebelum kenal orangnya secara langsung, masyarakat Indonesia ghalibnya berkenalan lewat karya-karyanya (terjemahan) yang bertebaran pada era 1980-an. Antara lain: Rekayasa Masa Depan Peradaban Islam (Mizan: 1986), Masa Depan Islam (Pustaka: 1987); dan beberapa tulisan lepasnya banyak kita jumpai di jurnal Ulumul Qur’an.
           Tak dinyana, pada dekade 1990-an, pemikiran Sardar telah menerangsak ke penjuru pelosok Nusantara. Nama Ziauddin Sardar tersohor dengan konsep-konsepnya tentang pembagunan, sains, ekonomi, dan sederetan isu lainnya yang sangat relevan dengan kondisi umat Islam waktu itu. Hingga kini, dia terkenal dengan sosok pemikir yang integral dalam merumuskan ‘kekinian’ (masa kini) sebagai pijakan passing over untuk ‘keesokan’ (masa depan).
            Nuansa berpikir model ini antara lain bisa kita jumpai dalam Islam, Postmodernism, and Other Futures (2003). Sardar mewanti-wanti, “Apa yang kita sebut sebagai masa depan tidaklah netral dan mengandung bias-bias ideologis dan kultural.” Setiap kajian yang concern dengan masa depan pasti didahului dengan pra-andaian tertentu yang secara implisit ingin mengarahkan kencenderungan-kecenderungan masa kini menuju masa depan “alamiah”, yaitu masa depan yang terjadi berdasarkan konsekuensi-konsekuensi logis dari masa kini. Karena itu, setiap kajian futuristik hampir selalu merupakan self fulfilling prophecy yang berusaha meramalkan perkembangan di masa mendatang dengan kerangka yang kita bangun di masa sekarang.
              Hemat penulis, ada dua hal yang menarik dalam pemikiran Intelektual kelahiran Pakistan yang dibesarkan di Inggris ini. Pertama, restorasi peran umat Islam agar menjadi “agen sejarah”. Dan kedua, terobosan pemikirannya tentang “syari’at Islam”.
Berperan sebagai “Agen Sejarah”
         Penulis teringat dengan ungkapan Kang Jalal (1999), “Sejarah bukan terjadi begitu saja, tapi akibat dari rekayasa sosial.” Hemat saya, jika umat Islam tidak mempunyai peran, maka sejarah hidupnya—secara tidak langsung—akan selalu ditentukan oleh orang lain. Contoh konkritnya ya seperti kondisi negara kita saat ini, ketergantungannya dengan luar negeri (asing) sangat luar biasa. Persoalan inilah yang dianggap Sardar penting untuk diketahui oleh umat Islam agar mereka melek dan tidak nostalgia terus dengan masa lalu.
Bagi Sardar, salah satu kendala utama kebangkitan umat Islam adalah mentalitas abad pertengahan yang pasif, yang sebagian besar dibentuk oleh paham determinisme dalam teologi skolastik. Dan saat ini, mentalitas model ini harus diusir jauh-jauh sebab akan menghambat peran umat Islam sebagi “agen sejarah”. Umat Islam saatnya menyadari bahwa merka memiliki kebebasan mutlak untuk mewujudkan cita-cita dan harapan mereka. Umat Islam harus sering ‘berkotemplasi’ untuk menemukan ‘diri’-nya agar tidak quo vadis dan terus statis.
            Ketidakdewasan Umat Islam, satu misal menurut Sardar, tercermin saat peristiwa 11 september 2001 (baca: terorisme). Ketika bencana memilukan itu terjadi, banyak umat Islam menyalahkan amerika dan menganggap terorisme sebagai akibat dari berbagai kebijakan hegemoniknya. Padahal, Sardar mengingatkan, “Hegemoni tidak selalu ditimpakan, kadang ia diundang. Ingat, situasi internal dalam Islam adalah sebuah undangan terbuka.” Kasus terorisme tentu hanyalah satu ilustrasi kecil dari betapa kompleksnya probhlem internal umat Islam. Saking banyaknya problem yang dialami, umat Islam seakan mengidap apa yang diistilahkan Sardar—dalam artikel yang tak lama ditulis setelah kejadian itu—sebagai A Deep State of Denial: penyangkalan bahwa umat Islam secara inhern bertanggung jawab atas segala hal yang kini mereka alami (baca, Ziauddin Sardar, Islam Has Become Its Enemy , The Observer, 21/10/2001).
Kondisi di atas mencerminkan bahwa kesediaan menerima kritik secara terbuka  belum menjadi kesadaran umum. Karena itu, para intelektual muslim masih perlu berkerja keras untuk terus-menerus menyadarkan umat Islam akan problem-problem intelektualnya. Kritik itu diperlukan bukan saja untuk mengasah kepekaan mereka terhadap realitas eksternal, tapi lebih dalam lagi untuk mengembalikan umat Islam kepada “kecemasan purba” (angst) yang selama ini mereka bentengai dengan ilusi dan romantisme kejayaan masa silam. Sungguh ironis.
          Karena itu, menurut Sardar, agar umat Islam dapat berperan sebagai ‘agen sejarah’ dan bangun dari keterpurukan, maka kecemasan-kecemasan tersebut harus dibiarkan menyembul ke permukanan, baru setelah itu melakukan otokritik sebagai sarana ‘berkaca’ untuk mengevaluasi diri dan mengkreasi solusi alternatif beserta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. (Islam, postmodernism, and other futures, 2003). Dengan demikian, umat Islam akan memahami dirinya dan tidak mudah menyalahkan orang lain, serta strategi yang dilancarkan pun akan bermakna dalam sejarah. 

Syari’at sebagai Metodologi, bukan Sebatas Aturan
         Persepsi yang berkembang di kebanyakan masyarakat Indonesia mengenai syari’at Islam adalah hukum cambuk, potong tangan, rajam, khilafah Islamiyah dll. Semua itu tak lain adalah pemaknaan syari’at sebagai aturan atau hukum formal. Contoh konkrit soal ini adalah hukum cambuk yang sudah berlaku di Nangroe Aceh Darussalam. Logika sederhananya, jika ada maling tertangkap kok tidak dihukum cambuk berarti tidak menjalankan syariat Islam.
          Pemikiran ini bertolak belakang dengan Sardar. Baginya, Syari’at—yang berarti “jalan”—sebenarnya merupakan metodologi atau kerangka berpikir pragmatis yang khusus didesain untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan umat Islam sepanjang zaman. Untuk itu, syari’at menyediakan prinsip-prinsip pokok yang dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan temporal yang berubah. Misalnya prinsip maslahah yang mengedepankan kemaslahatan publik, atau prinsip al-dharuriyiyat al-khamsah yang menjamin hak-hak asasi manusia sebagai individu. Semua prinsip ini, jika diterapkan secara maksimal, akan menghasilkan rumusan konkret tentang demokrasi, keadilan, HAM, pluralisme, dan berbagai isu kontemporer lainnya.
         Maka sungguh sayang seribu sayang jika dewasa ini syari’at telah direduksi menjadi sebatas aturan-aturan fikih. Menurut Sardar, pemaknaan syari’at sebagai hukum formal adalah justru mengurangi bobot syari’at sendiri sebagai metodologi yang workable. Dan sebagai konsekwensinya, syari’at akan mudah usang jika dihadapkan dengan problem-problem ‘kekinian’ dan ‘keesokan’. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana menjadikan syari’at sebagai metodologi yang siap pakai?
          Bagi Sardar, hal tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan. Pertama, syari’at harus dilihat secara holistik, yaitu setiap aspek hukum atau ketentuan yang terkait dengan orientasi vertikal (teosentris) maupun horisontal (antroposentris). Ketika syari’at dipandang sebagai kesatuan yang integral, maka penerapan setiap hukum tidak akan berbenturan dengan aspek lain yang lebih mendasar atau prinsip etis yang dijunjung oleh syari’at.
            Dengan demikian, tidak masuk akal bila dalam sebuah masyarakat yang dilanda kemiskinan, kita menerapkan hukum potong tangan sesukanya terhadap seseorang yang mencuri karena terpaksa. Begitu juga, dalam sebuah masyarakat yang plural dengan berbagai umat beragama, ketentuan-ketentuan syari’at tidak boleh diberlakukan kecuali sebagai norma etis untuk merawat toleransi dan mencegah terjadinya kekerasan terhadap kelompok lain. Nilai-nilai syari’at dapat menumbuhkan sikap respek terhadap komunitas beragama lain, karena inilah pijakan etis syari’at dalam menyikapi perbedaan agama.
           Kedua, menempatkan syari’at secara gradual sesuai dengan konteks historis. Artinya, penerapan syari’at ini bukan berarti memformalkan, tapi bagaimana kita mampu mengambil intisari dari nilai-nilai yang terkandung dalam syari’at. Perlu diingat, bahwa menempatkan syariat sebatas aturan formal—seperti yang banyak dijumpai di negara-negara muslim—terbukti hanya melahirkan tatanan sosial yang semu yang dibangun di atas ketakutan dan penderitaan orang banyak. Dan selain itu, implementasi syari’at semacam ini juga menguntungkan ulama sebagai satu-satunya penafsir yang otoroitatif, yang berarti hilangnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Dalam situasi ini, syari’at dengan mudah dimanipulasi untuk membenarkan otoritarianisme dan menolak demokrasi. (The Syari’at as Problem Solving Methodology dalam Islamic Futures: The Shape of Ideas to Came, 1985).
             Begitu pentingnya peranan syari’at dalam kehidupan, apalagi saat ini gelombang modernisasi dan liberalisme tengah melanda di antero jagad. Umat Islam harus mampu menempatkan syari’at pada porsinya, agar tidak menimbulkan kerancuan dan menelorkan fatwa-fatwa yang sepihak dan tendensius. Karena itu, kini Umat Islam dituntut proaktif untuk memfalsifikasi kebenaran yang mereka yakini dengan berdialog secara kritis dengan kelompok lain. Dengan cara demikian, umat Islam dapat menghadirkan syari’at sebagai bentuk penghargaan terhadap perbedaan dan pluralitas. Syari’at tidak lagi menjadi sumber perpecahan, melainkan fondasi bagi kontinuitas kerja sama antaragama di masa-masa mendatang dan pelopor perubahan menuju kemaslahatan.
            Begitulah sosok Sardar dan sekilas pemikirannya. Kini, di tengah kesibukannya sebagai guru besar postcolonial studies di City University, London, dia tercatat sebagi editor tetap Futures dan Third Text, dua jurnal bergengsi yang khusus mendalami studi-studi kebijakan dan perencanaan (planning and policy studies), serta isu-isu mukhtahir tentang budaya kontemporer. Selain itu, dia juga mengelola Center for Policy and Future Studies di Universitas Est West, Chicago, sebuah lembaga akademis yang spesifik pada kajian-kajian futuristik. Karena konsistensi pemikiran dan kajiannya di bidang futuristik, oleh kalangan Islam, dia dijuluki sebagai ‘arsitek’ masa depan Islam.
Deasy Ratna Setyawati, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FIB Universitas Brawijaya 
You have read this article with the title Pemikiran Revolusioner Ziauddin Sardar. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/08/pemikiran-revolusioner-ziauddin-sardar.html. Thanks!

No comment for "Pemikiran Revolusioner Ziauddin Sardar"

Post a Comment