Dikatakan dagelan kelas yellow paper, karena dalam laporan itu TEMPO menggambarkan kaum beragama yang diwakili NU, Ansor, Banser, Muhammadiyah adalah golongan manusia yang ganas, kejam, mau menang sendiri, tidak punya nurani, brengsek, brutal, dan haus darah, sementara PKI digambarkan sebagai kaum yang baik hati, egaliter, sabar, sederhana, lemah, tak berdaya, pasrah, nrimo, terzhalimi. “Bodohnya pembaca, selama ini diyakinkan bahwa majalah bikinan kaum Neolibs itu dianggap media massa paling akurat dan paling terpercaya,” kata Sufi tua terkekeh-kekeh. “Tapi pakde, menurutku data yang disuguhkan TEMPO memang akurat,” sahut Dullah ngeyel. “Akurat darimana kamu menilainya, Dul?” tanya Sufi tua. “Lha kan ada narasumbernya dan ada fotonya?” sergah Dullah. “Apa nara sumbernya sudah tepat, benar dan terpercaya?” kata Sufi tua dengan nada tanya,”Maksudnya, apa narasumber itu seorang key person yang hidup waktu itu, mengalami peristiwa saat itu, mengetahui permasalahan pada waktu itu, dan tidak sekedar orang kampung yang mempahlawankan diri?” “Lha memangnya wartawan harus tahu dan kenal pasti siapa yang diwawancarai?” “Itu yang membedakan media massa high class dengan media massa kelas Yellow Paper alias media massa kelas got dan sampah,” kata Sufi tua sinis. “Untuk TEMPO edisi ini, mana narasumber yang sampeyan nilai tidak kredibel?” “Kamu baca itu liputan di halaman 56 – 57 – 58 dengan narasumber Abdul Malik yang mengaku pada tahun 1965 menduduki jabatan KOMANDAN PELETON III ANSOR KECAMATAN KANDAT KEDIRI. Itu kan aneh bin ajaib karena sejak masih bernama Nahdlatus Syubban tahun 1930, PPNU tahun 1931, ANO tahun 1934, GP Ansor tahun 1949 hingga GP Ansor di era global ini, tidak pernah ada jabatan KOMANDAN PELETON karena Ansor bukan organisasi militer. Jadi dari sisi itu saja sudah jelas, wartawan maupun redaktur pelaksana TEMPO tidak tahu apa-apa tentang masalah yang ditulis sehingga menggunakan narasumber yang jelas-jelas tidak tahu organisasi Ansor tapi mengaku komandan Ansor,” kata Sufi tua dingin. “Waduh, bagaimana itu pertanggung-jawaban moral mereka membuat liputan khusus dengan narasumber tidak jelas begini,” gumam Dullah. “Ada lagi kesaksian Abdul Malik yang menyatakan bahwa Ansor dan Banser yang menyerang kantor PKI di Burengan jumlahnya puluhan ribu orang. Memangnya Ansor di Kediri sepanjang sejarahnya pernah mempunyai anggota berjumlah puluhan ribu orang?” gumam Sufi tua terkekeh. “Itu data darimana ya?” sahut Dullah menarik nafas berat,”Apa tidak konfirmasi dulu?” “Itulah kualitas berita Yellow Paper,” kata Sufi tua mengejek,”Setahuku, jumlah anggota Ansor-Banser terbanyak di Kabupaten Kediri adalah pada masa kepemimpinan H Abu Muslih 1984 – 1988 dilanjut 1988-2002, yaitu sekitar 9000 orang. Data darimana itu tahun 1965 Ansor-Banser Kediri bisa punya anggota puluhan ribu?" “Wah, tambah tidak jelas ini data dari narasumbernya.” “Yang sangat menggelikan,” sahut Sufi tua terbahak-bahak,”Kisah penyerbuan Ansor yang dilindungi tentara di Desa Batuaji, Kandat, Kediri. Karena massa PKI lebih besar, Abdul meminta bantuan Koramil. Tidak lama, sejumlah tentara membawa panser datang membantu. Hahaha..” Mendengar kisah aneh Koramil punya panser itu para sufi tertawa serentak. Bagaimana tidak, ada kisah Ansor meminta bantuan ke Koramil, yang datang adalah tentara membawa panser. Memangnya, pernah ada sejarah di Indonesia Koramil memiliki panser? Sufi Sudrun tertawa terbahak-bahak. Sufi Kenthir ketawa sampai terkentut-kentut. “Kalau di Koramil ada panser, lalu untuk apa di TNI AD ada Batalion Kavaleri?” gumam Sufi tua yang mantan perwira intelijen itu terkekeh-kekeh sinis. “Koreksi juga pakde,” sahut Sukiran menyela,”Saya pernah baca buku Banser Berjihad menumpas PKI. Peristiwa di marks PKI Burengan itu terjadi tanggal 12 Oktober 1965 dan bukan tanggal 13 Oktober seperti dimuat TEMPO. Menurut catatan Mbah Thoyib Dachlan, tokoh Ansor Kediri yang masih saudara embah saya, peristiwa itu memang tanggal 12 Oktober 1965/” “Berdasar buku Banser Berjihad Menumpas PKI dan kesaksian para sepuh Burengan, waktu itu Banser baru pulang apel dari alun-alun berjalan sepanjang jalan sambil merobohkan papan nama PKI dan organisasi underbownya. Nah, pas lewat di depan kantor PKI di Burengan, beribu-ribu anggota PKI yang sudah siaga menyerang iring-iringan Banser. Terjadi perkelahian fisik,” sahut Sufi tua. “Lho bagaimana sih ini?” sahut Dullah bingung,”Di TEMPO kok ditulis Ansor berjalan kaki dari alun-alun Kota Kediri menuju Kelurahan Burengan. Tujuannya: Kantor Partai Komunis Indonesia, sekitar tiga kilometer sebelah timur pusat Kota Kediri. Tanpa basa-basi, beragam senjata tajam berkelebat. Belasan pengurus PKI yang mencoba mempertahankan kantor terjungkal, lainnya melarikan diri ke utara desa. Kantor PKI itu lalu dibakar hingga ludes. Ini bagaimana pertanggung-jawaban moralnya? Yang menyerang Banser saat lewat di depan Kantor PKI itu orang-orang PKI kok diputar-balik Banser yang menyerang kantor PKI tanpa basa-basi. Apa itu tidak terang-terangan merekayasa berita dengan menjadikan Ansor sebagai agresor yang ganas dan haus darah?" “Orang neolibs jangan ditanya soal pertanggung-jawaban moral,” sahut Sufi tua terkekeh, ”Mereka itu menganut faham liberalism. Jadi semua hal ya liberal. Bebas. Bebas dalam hidup. Bebas bicara. Bebas berpendapat. Bebas membuat berita.Bebas beropini. Bebas berkespresi. Bebas semuanya. kecuali menyadari diri sebagai abdi dari funding-funding asing.” “Lha kalau batasan neolibs itu demikian, apa itu tidak sama artinya dengan anarkis namanya, pakde?” tanya Sukiran. “Ya setali tiga uang. Liberalisme potensi menyulut anarkisme.” "Lha bagaimana ini, ada media massa kok dibikin anarkis?"
You have read this article Sejarah
with the title TEMPO Media Massa Jenis Yellow Paper?. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/10/tempo-media-massa-jenis-yellow-paper.html. Thanks!
No comment for "TEMPO Media Massa Jenis Yellow Paper?"
Post a Comment