Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Post Hegemoni II: Menggugat Alat Tukar Berbahan Kertas


Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
       Ketika menyimak penjalasan Guru Sufi tentang seluk-beluk aturan perbankan yang merugikan nasabah, DR Thomaq al-Bakhili melihat langsung bagaimana para pedagang yang pernah menjadi nasabah BPR Rakyat Nestapa bergantian melapor kepada Guru Sufi bahwa mereka baru saja menyimpan emas kepada Sufi Sudrun. Fahrurrozi, pedagang alat elektronik, melapor telah menyimpan emas 24 karat seberat ½ kilogram. Azmi, pedagang ekspor-impor, melapor telah menyimpan emas 24 karat seberat 1,5 kilogram. Dan Devri, pedagang kain, melapor telah menyimpan emas 24 karat seberat ¼ kilogram.
    Yang membuat DR Thomas al-Bakhili kaget adalah saat Sufi Sudrun masuk menjinjing tas kulit berisi koin-koin emas berbagai ukuran. Rupanya, koin-koin emas itu dibuat dalam ukuran  0,5 gram,  1 gram, 1,5 gram, 4 gram, 7 gram, 10 gram, 38 gram, 50 gram, 100 gram, 250 gram, 500 gram, dan 750 gram. Masing-masing diberi harga per satu gram Rp 540.000. Jadi satuan terkecil simpanan emas yang ukuran 0,5 gram harganya Rp 270.000 dan satuan terbesar yang  ukuran 750 gram harganya Rp  405.000.000.
    Marah, kecewa, jengkel, dan penasaran teraduk-aduk menjadi satu menyaksikan praktek mirip perbankan berlangsung di depannya, DR Thomaq al-Bakhili menyoal penggunaan emas sebagai alat penyimpan kekayaan. “Zaman sudah global begini masih menyimpan harta kekayaan dalam bentuk emas, apa itu tidak ketinggalan zaman, kuno, terbelakang, ndeso, kampungan, Mbah Kyai?” tanya DR Thomaq al-Bakhili dengan nada sinis.
    Guru Sufi ketawa. Sebentar kemudian Guru Sufi berkata,”Masalah menyimpan harta bukanlah masalah gaya hidup. Sebab masalah transaksi keuangan, penyimpanan harta, kesepakatan moneter adalah masalah yang berkaitan dengan akal sehat yang didasari prinsip-prinsip sukarela tanpa ada pihak yang dirugikan. Jadi penggunaan emas sebagai alat tukar yang setara dengan uang adalah pilihan rasional – empirik yang obyektif dan masuk akal dan sekali-kali tidak terkait dengan primitif, kampungan, ketinggalan jaman, dan ndeso.”
    “Maksudnya bagaimana Mbah Kyai?” sergah DR Thomaq al-Bakhili,”Penjelasannya bagaimana bahwa emas itu alat tukar paling rasional – empirik yang obyektif dan masuk akal? Padahal emas itu alat tukar orang jaman kuno.”
    Guru Sufi ketawa sambil mengeluarkan selembar uang Rp 100.000 dan selembar uang RM 1 (satu Ringgit Malaysia). Sambil mengangkat uang Rp 100.000 Guru Sufi berkata,”Kalian percaya bahwa nilai uang ini benar-benar Rp 100.000?”
             “Ya pasti percaya, Mbah Kyai, itu kan uang bernilai Rp 100.000 keluaran bank milik negara?” sahut Thomaq.
             ”Yang kalian percaya sejatinya hanya nilai nominal, yaitu nilai formal yang ditentukan oleh bank milik negara itu atas kertas ini. Kalian tidak memikirkan nilai dari bahan yang digunakan mencetak uang ini, yaitu nilai intrinsik dari uang ini, yaitu selembar kertas,” kata Guru Sufi.
              “Maksudnya bagaimana Mbah Kyai?”
              “Maksudku, dari  nilai nominal yang ditetapkan  Rp 100.000 ini, berapa kira-kira harga  bahan kertas untuk membuat uang ini? Maksudku, kalau bahan kertas uang Rp 100.000 ini tidak ada gambar cetakannya, berapa kira-kira harganya? Berapa harga selembar kertas ini jika tidak ada gambar cetakan yang diberi nilai nominal Rp 100.000 ini?” tanya Guru Sufi melambaikan-lambaikan  uang kertas seratus ribuan itu.
              “Kalau yang dimaksud nilai bahan uang itu, ya kertas Mbah Kyai, itu tentu tidak ada harganya Mbah Kyai.”
              “Kalau sudah tahu  bahan uang yang selembar kertas ini tidak ada harganya, kenapa kalian percaya begitu membuta bahwa uang itu nilainya benar-benar Rp 100.000?” tanya Guru Sufi.
               “Ya kita harus percaya karena orang di seluruh negara percaya itu.”
               Guru Sufi ketawa. Sambil tersenyum ia berkata,”Kalian kalah kritis dibanding orang-orang jaman Majapahit dulu.”
                “Kurang kritis dibanding  orang Majapahit? Apa maksudnya?” tanya Thomaq tak suka dibandingkan dengan orang jaman kuno.
               “Ketahuilah, orang di jaman Majapahit dulu kalau diberi alat tukar uang berupa kertas, mereka akan menolak. Sebab mereka tidak bisa menerima aturan tukar-menukar yang tidak masuk akal di mana kertas diberi nilai lebih tinggi atau sama dengan emas,” kata Guru Sufi menjelaskan.
            “Tapi pemakaian uang kertas sudah jadi kesepakatan dunia modern bahkan sekarang orang modern sudah  pakai credit card dan  atm, Mbah Kyai,” kata Thomaq.
              “Kalau pemerintah yang menetapkan nilai mata uang itu mengalami krisis dan nilai mata uang yang ditetapkannya jatuh, bagaimana nasib para pemilik uang kertas?” tanya Guru Sufi.
                “Sesuai aturan, resikonya pemilik uang kertas akan merugi karena nilai kurs jatuh,” kata Thomaq.
                “Itu yang dialami orang Indonesia ketika terjadi krisis moneter tahun 1960-an yang menyebabkan dilakukan sanering. Banyak orang jatuh bangkrut karena uang kertasnya tidak laku dijual. Hal serupa terjadi saat kurs mata uang rupiah jatuh tahun 1997 yang berakibat terjadinya  krisis moneter, yang tidak saja membangkrutkan pemerintah Orde Baru tetapi juga membuat bangkrut ribuan pemilik mata uang rupiah. Tapi perlu diketahui, bahwa dalam krisis moneter itu, rakyat Indonesia yang menyimpan emas tidak ikut rugi. Karena nilai emas tidak terpengaruh nilai pasang surutnya kurs mata uang. Jadi sejarah mencatat betapa dalam krisis moneter itu orang-orang kampung yang menyimpan emas tidak mengalami  kebangkrutan. Jadi kalau sekarang ini masyarakat  menyimpan uang senilai Rp 3.780.000 dalam bentuk emas 7 gram kepada Sufi Sudrun, misal,  berapa pun kurs nilai mata uang rupiah terhadap ringgit Malaysia, Dolar Amerika, Dolar Singapura, dan bahkan jika terjadi  devaluasi, orang  tidak akan pernah ikut menderita rugi apalagi bangkrut. Karena emas 7 gram itu jika dijual dalam keadaan apa pun, harganya tetap sekitar Rp 3.780.000 dan bahkan nilainya bisa lebih mahal jika harga emas naik," kata Guru Sufi menjelaskan.    
         DR Thomaq al-Bakhili menarik nafas panjang. Di benaknya terlintas bayangan tumpukan uang kertas yang dimilikinya yang disimpan di brankas. Ia bayangkan apa yang akan dialaminya jika semua uang itu hilang gambarnya dan hanya sekedar menjadi tumpukan kertas putih? Ia bayangkan bagaimana jika pemerintah tiba-tiba membuat kebijakan penyesuaian nilai mata uang seperti terjadi pada tahun 1997 – 1998 di mana kurs mata uang yang nilai tukar 1 US dolar Rp 3.236 tiba-tiba berubah menjadi Rp 17.000 per US dolar? Bagaimana jika nilai rupiah saat ini untuk beli dolar yang Rp 9.300 per US dolar itu tiba-tiba harus berubah menjadi Rp 14.000 per US dolar? Thomaq memejamkan mata. Ia tidak berani membayangkan uang kertas senilai Rp 17.000.000.000 yang disimpannya di brankas BPR-nya itu mengalami perubahan akibat kebijakan moneter yang menjadikan nilainya jatuh. Sungguh, tidak ada sedikit pun jaminan untuk menjadikan uang kertas sebagai kekayaan yang permanen yang  tidak terpengaruh kebijakan moneter karena sejatinya bahan uang kertas itu hanya selembar kertas yang tidak ada harganya.
K Ng H Agus Sunyoto, Pengasuh Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin Malang

You have read this article Filsafat with the title Post Hegemoni II: Menggugat Alat Tukar Berbahan Kertas. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/12/post-hegemoni-ii-menggugat-alat-tukar.html. Thanks!

No comment for "Post Hegemoni II: Menggugat Alat Tukar Berbahan Kertas"

Post a Comment