Ketika ia menghitung 20.000 RM uang pecahan 100 RM, yang nilai kurs totalnya sekitar Rp 70 juta (1 RM kurs Rp 3500) tiba-tiba merasa ada seseorang mendekatinya. Dan sebelum ia menyerahkan uang kepada petugas bank, ia merasakan bahunya ditepuk seseorang hingga ia dengan gerak refleks membalikkan badan.
Asmawi terkejut bukan alang kepalang ketika mengetahui bahwa orang yang menepuk bahunya adalah Guru Sufi. Dengan tergagap ia menyapa,”O assalamualaikum, Mbah Kyai, maaf ini saya mau menukar uang.”
Tanpa bicara Guru Sufi mengangkat tangan kanan ke atas dan menggoyang-goyangnya, seperti memberi isyarat melarang Asmawi menukar uang ke bank sambil berkata,”Untuk apa uang ringgit itu ditukar?”
“Ee anu Mbah Kyai, ini dari teman-teman untuk disampaikan kepada Mbah Kyai. Ini akan saya tukar dulu dengan rupiah, supaya tidak repot di tanah air,” kata Asmawi menjelaskan.
“Kalau tidak dalam keadaan darurat, jangan pernah melakukan jual-beli uang dengan bank. Haram hukumnya,” kata Guru Sufi tegas.
“Tukar RM dengan rupiah haram?” gumam asmawi heran,”Mohon penjelasan Mbah Kyai.” “Bukan tukar RM dengan rupiah yang haram, tapi berjual-beli uang RM dengan rupiah antara orang dengan bank itulah yang haram,” kata Guru Sufi dengan suara ditekan.
“Kenapa haram Mbah Kyai?” tanya Asmawi masih belum faham.
“Karena ada unsur penipuan sistematis di dalam transaksi itu.”
“Penipuan sistematis dalam transaksi penukaran RM dengan rupiah?”
Guru Sufi mengangguk.
“Mohon penjelasan Mbah Kyai, saya belum faham karena bertahun-tahun kami semua melakukan tukar-menukar RM dengan rupiah sebagai kebiasaan,” kata Asmawi.
“Kamu akan menukar uang berapa RM?” tanya Guru Sufi.
“20.000 RM, Mbah Kyai.”
“Berapa kurs 1 RM dalam rupiah?”
“Rp 3500, tigaribu limaratus rupiah, Mbah Kyai.”
“Berarti, dengan 20.000 RM harusnya diperoleh 20.000 x 3500 = Rp 70 juta.”
“Benar Mbah Kyai.”
“Faktanya nanti kamu akan dapat berapa?”
“Ee di daftar kurs yang di situ,” Asmawi menunjuk daftar jual dan beli uang yang terpampang di dinding counter,”Kurs bank beli 0,266 dan kurs bank jual 0,357.”
“Artinya, kalau kamu jual 20.000 RM tidak memperoleh Rp 70.000.000 tetapi hanya memperoleh sekitar 20.000 x 2.660 = Rp 53.200.000, benar begitu?” tanya Guru Sufi.
“Benar Mbah Kyai.”
“Berarti dalam tempo kurang dari 5 menit transaksi jual-beli uang itu, bank sudah mengeruk keuntungan Rp 70.000.000 – Rp 53.200.000 = Rp.16.800.000?” kata Guru Sufi.
“Eee selama ini aturannya memang begitu, Mbah Kyai.”
“Itu artinya, dalam transaksi yang kurang dari 5 menit itu kita sudah akan dirugikan Rp 16.800.000?” kata Guru Sufi.
“Tidak ada pilihan lain, Mbah Kyai,” kata Asmawi,”Nanti kita tukar ke Maybank juga aturannya akan sama.”
“Itulah yang aku katakan jual-beli uang dengan bank itu haram.”
“Tapi kalau tidak dijual di bank ditukar di mana, Mbah Kyai?”
“Tukar antar orang dengan orang yang tidak terlalu serakah mengeruk untung.”
Asmawi tiba-tiba ingat bahwa di terminal kedatangan bandara internasional Juanda setiap penumpang pesawat dari Kualalumpur yang turun selalu ditawari oleh orang-orang yang memberi patokan harga sekitar Rp 3000 – Rp 3100 setiap 1 RM. Faham apa yang dimaksud Guru Sufi, Asmawi batal menjual uang 20.000 RM ke bank. Sebaliknya dengan buru-buru ia menyerahkan uang itu langsung kepada Guru Sufi. Ia sadar bahwa selama bertahun-tahun ia telah dirugikan ratusan juta rupiah dalam tukar-menukar uang RM dengan rupiah yang dilakukan dengan bank karena akal sehatnya telah dihegemoni oleh dogma dan doktrin menyesatkan aturan perbankan.
Posted by Agus Sunyoto
You have read this article Filsafat
with the title Post Hegemony III: Menyoal Aturan Jual-Beli Uang di Bank. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2012/12/post-hegemony-iii-menyoal-aturan-jual.html. Thanks!
No comment for "Post Hegemony III: Menyoal Aturan Jual-Beli Uang di Bank"
Post a Comment