Saat dilakukan pendataan oleh petugas desa guna pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi warga buta huruf yang dilaksanakan UPT PLS kecamatan, Sufi Jadzab memarahi Suwarno, sang petugas desa. Pasalnya, dalam pendataan itu Sufi Jadzab, Sufi Gendeng, Sufi Gemblung, dan Sufi Longor dimasukkan ke dalam data warga buta huruf yang buta huruf. Sufi Jadzab bersikukuh bahwa ia, Sufi Gendeng, Sufi Gemblung, dan Sufi Longor bukanlah orang buta huruf. “Di pesantren ini, tidak ada satu pun manusia yang buta huruf. Semua bisa baca tulis,” kilah Sufi Jadzab dengan suara tinggi.
“Tapi pakde, dalam kenyataan sampeyan memang buta huruf,” kilah Suwarno bergeming.
“Buta huruf bagaimana?” Sufi Jadzab menyodorkan Al-Qur’an Tafsir Jalalain bi lughotil Jawi dan Tafsir Ibnu Katsir serta Tafsir al-Maraghi,” Ayo kita uji kemampuan kita dalam membaca dan memaknai tafsir Al-Qur’an ini. Aku ingin tahu bukan saja kemampuanmu membaca Al-Qur’an tetapi ingin juga menguji kemampuanmu menguasai Bahasa Arab.”
“Itu benar sekali,” sahut Sufi Longor menyodorkan setumpuk kitab klasik seperti Abi Najah, Bughiyatul Murtasyidin, Durusun Nahwiyah, Fatkhul Qorib, dan Ijma’ud Dziroyah,”Kita adakan adu kemampuan membaca, memaknai dan menafsirkan isi kitab-kitab ini.”
Tidak mau kalah, Sufi Gendeng mengeluarkan setumpuk kitab kuno bertulisan huruf Jawa mulai Suluk Linglung, Suluk Sukarsa, Serat Kandha, Babad ing Gresik, Serat Centhini, dan Babad Sembar. Dengan bersungut-sungut ia menggumam,”Ayo kita adu kemampuan membaca aksara Jawa! Kita buktikan bahwa aku bukan orang buta huruf.”
Suwarno yang membaca Al-Qur’an hanya dari terjemahan, tidak bisa berkata sesuatu menghadapi protes para sufi tua itu. Ia tahu bahwa para sufi itu bisa membaca huruf Arab dan bisa pula membaca huruf Jawa. Tetapi dalam peraturan pemerintah, kemampuan warganegara membaca huruf Arab dan huruf Jawa tidak diakui formal sebagai kemampuan warganegara untuk dinilai bisa membaca dan menulis. Satu-satunya kemampuan membaca dan menulis yang diakui, adalah kemampuan membaca dan menulis huruf Eropa yang diperkenalkan kolonial Belanda. Jadi warganegara yang tidak bisa membaca dan menulis huruf Eropa, digolongkan sebagai buta huruf.
Ketika Suwarno memaparkan peraturan pemerintah yang mengkategorisasi dan mengklasifikasi warganegara berdasar kemampuan baca tulis huruf Eropah, Sufi Jadzab dengan suara ditekan tinggi mengungkapkan kebodohan aparatur birokrasi bermental kacung, jongos, kuli, babu, budak bangsa asing. “Tolong sampaikan kepada atasanmu, bahwa sejatinya dia itu tidak lebih hanyalah cecunguk-cecunguk, begundal, centeng, kacung, jongos, babu dari kekuatan asing penjajah. Atasanmu dan juga kamu, tidak lebih adalah makhluk-makhluk rendah yang tersubordinasi oleh pikiran hegemonik kolonial yang merendahkan dan menista bangsa inlander terjajah,” kata Sufi Jadzab lantang.
“Bagaimana sampeyan bisa punya pandangan seperti itu, pakde?” tanya Suwarno bingung.
“Kamu bangsa apa?” tanya Sufi Jadzab.
“Bangsa Indonesia, pakde.”
“Kamu tahu, huruf latin Eropa itu huruf ciptaan siapa?”
“Eehm,..hurufnya orang Eropa yang dikenalkan Belanda, pakde.”
“Itu berarti, huruf latin Eropa itu adalah huruf asing ciptaan kolonial. Huruf asing yang digunakan para penjajah, begitu kan?” kata Sufi Jadzab.
“Itu benar, pakde.”
“Bukankah kita sudah merdeka tahun 1945?”
“Itu benar, pakde.”
“Apa yang menjadikan kita harus mewarisi, memelihara, memuliakan, menghargai, dan menganggap tinggi huruf peninggalan kolonial?” tanya Sufi Jadzab.
: ”Itu sudah aturan pemerintah, pakde.”
“Pemerintah penerus kolonialisme. Pemerintah bermental kacung, marsose, centeng, begundal, jongos, babu, kuli dari kekuatan asing,” seru Sufi Jadzab menggebu-gebu.
“Saya hanya pegawai, pakde.”
“Naudzubillah tsumma naudzubillah,” seru Sufi Jadzab menepuk-tepuk dadanya sambil beristighfar,”Apa yang menjadikan pemerintah negara kita sangat memuliakan dan meninggikan warisan peradaban asing penjajah? Apa yang menjadikan pemerintah negara kita menganggap rendah warisan peradaban leluhur? Kenapa orang yang tidak bisa membaca huruf asing warisan kolonial dianggap buta huruf, goblok, primitif, grass-root terbelakang? Apa yang menjadikan pemerintah negara ini mengeluarkan dana bermiliar-miliar rupiah setiap tahun hanya dengan tujuan agar warganegara bisa membaca dan menulis huruf kolonial?”
“Sungguh, ini adalah penghinaan terbesar bagi bangsa kita. Bayangkan, huruf ciptaan leluhur kita tidak dianggap dan dinilai rendah. Orang tidak bisa membaca tulisan Jawa atau tulisan pegon tidak dimasalahkan. Tetapi orang tidak bisa membaca huruf latin Eropa digolongkan warga buta huruf yang dianggap bodoh, terbelakang, primitif, grass-root, miskin, tolol. Aturan stigmatik apa ini?”
Suwarno diam. Ia tahu bahwa apa yang diungkapkan Sufi Jadzab adalah benar belaka. Tetapi ia juga tahu, bahwa tugasnya sebagai aparatur birokrasi harus menolak kebenaran itu. Itu sebabnya, tanpa pamit, ia meninggalkan pesantren dengan mencoret nama Sufi Jadzab, Sufi Gendeng, Sufi Gemblung, dan Sufi Longor dari daftar warga buta huruf dengan catatan bahwa mereka adalah warga sakit jiwa alias warga gila yang tidak perlu memenuhi kewajiban ikut pendidikan dan pelatihan bebas buta huruf.
Posted by Agus Sunyoto
You have read this article Filsafat
with the title Post Hegemony IX: Menggugat Stigma Buta Huruf Latin Ciptaan Kolonial Barat. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/01/post-hegemony-ix-menggugat-stigma-buta.html. Thanks!
No comment for "Post Hegemony IX: Menggugat Stigma Buta Huruf Latin Ciptaan Kolonial Barat"
Post a Comment