Data statistik yang digunakan Ahmad Ali Fujiwara yang menunjuk betapa besarnya jumlah tenaga kerja Indonesia berstatus buruh, kuli, pelayan, kacung, jongos, babu, kernet, sopir ternyata dibenarkan oleh Hermanto, aktivis Migrant Care. Yang membuat dada peserta makin sesak sewaktu Ahmad Ali Fujiwara membuat simpulan bahwa di era global ini tidak bisa lagi ditutupi bahwa bangsa Indonesia sudah layak menyandang status bangsa kuli dan kuli dari bangsa-bangsa , di mana negara Indonesia pun menjadi negara pengekspor kuli terbesar di dunia.
Yang lebih mengejutkan dari simpulan Ahmad Ali Fujiwara tentang status kuli yang disandang bangsa Indonesia bukanlah sekedar status sosial yang sewaktu-waktu bisa berubah jika terjadi perubahan sosial dan perubahan kebijakan pemerintah, melainkan status kuli itu sudah menghunjam ke dalam alam bawah sadar masyarakat yang bersimbiosis menjadi bagian dari habitus dan bahkan arketip yang membentuk struktur mental dan kerangka berpikir orang Indonesia dalam mencitrakan diri mereka. Maksudnya, masyarakat Indonesia tanpa sadar memiliki kecenderungan psikologis untuk mengidentikkan sebutan kuli, buruh, kacung, jongos, babu, tukang, pelayan dengan diri mereka. “Jika mentalitas kuli itu dibiarkan terus-menerus, maka dua-tiga generasi ke depan dari bangsa ini akan benar-benar menjadi bangsa kuli dan kuli dari bangsa-bangsa. Itu artinya, bangsa Indonesia di masa depan akan hidup dan mati dalam kedudukan tidak terhormat, yaitu hidup dan mati dengan status kuli, kacung, jongos, sopir, babu, pelayan, dan bahkan budak bangsa lain,” kata Ahmad Ali Fujiwara tegas.
Semua hadirin diam. Masing-masing menarik nafas berat. Mereka faham bahwa semua yang dikemukakan Ahmad Ali Fujiwara adalah benar.
Pada saat suasana hening tetapi diliputi ketegangan, tiba-tiba Sufi Kenthir bertanya,”Pak Fujiwara, kalau boleh tahu apakah mentalitas kuli, buruh, kacung, jongos, babu, pelayan yang melekat pada jiwa bangsa saya ini merupakan naluri bawaan?”
“Secara teoritik tidak ada komunitas bangsa yang lahir dengan naluri budak,” sahut Ahmad Ali Fujiwara tegas.
“Berarti ada proses sejarah yang membuat sebuah bangsa bermental budak?”
“Itu sudah pasti.”
“Kalau begitu, sejak kapan bangsa saya ini bermental kuli, jongos, kacung, babu, pelayan?” tukas Sufi Kenthir bernada tanya.
“Itu yang saya tidak tahu karena saya bukan sejarawan,” kata Ahmad Ali fujiwara mengelak, ”Adakah di antara bapak-bapak yang mengetahui sejak kapan bangsa Indonesia menjadi bangsa bermental kuli, jongos, kacung, babu, pelayan?”
Guru Sufi yang duduk di pojok tiba-tiba menyatakan kan bahwa ia baru siang tadi membincang sejarah kolonialisme di Indonesia bersama Pak Marquechaeu, sejarawan asal Perancis yang ikut hadir dalam kajian. Tanpa terduga, tiba-tiba Guru Sufi mengemukakan kasus Prasasti Wurudu Kidul yang bertarikh 922 Masehi. “Saya mohon agar Pak Marquechaeu berkenan menceritakan sedikit tentang isi prassasti Wurudu Kidul kepada saudara-saudara kita, agar semua faham bagaimana kedudukan bangsa kami di masa lalu,” kata Guru Sufi.
Tanpa menunggu waktu Pak Marquechaeu menguraikan isi prasasti Wurudu Kidul yang memaparkan sebuah kasus hukum bagaimana seorang warga Wurudu Kidul di wilayah Halaran yang bernama Sang Dhanadi mendapatkan Surat Jayapatra dari Samgat i Padang Pu Bhadra, Samgat Lucem Pu Ananta, Tuan i Kanayakan Pu Suming dan Juru Lamparan Rake Rangga. Dengan diperolehnya Surat Jayapatra dari hakim dan pejabat negara kependudukan, maka status Sang Dhanadi menjadi sama dan sederajat dengan penduduk setempat yang lain, yaitu sebagai Wong Yukti yaitu manusia Agung, Mulia, Terhormat dan Dihormati.
Sebelumnya Sang Dhanadi dicurigai sebagai warga keturunan Weka Kilalan (orang asing) karena bentuk fisiknya yang berbeda dengan penduduk setempat. Itu sebabnya, Sang Dhanadi diperiksa di pengadilan mengenai statusnya apakah keturunan Weka Kilalan (orang asing) yang status kedudukannya rendah ataukah keturuna n Wong Yukti (pribumi). Lalu atas kesaksian warga dari Desa Berih, Kahuripan dan Panglaran yang bersumpah bahwa Sang Dhanadi adalah keturunan pribumi asli mulai buyut, kakek dan neneknya. “Begitulah Sang Dhanadi memperoleh Surat Jayapatra dari pengadsilan yang menguatkan bahwa ia adalah orang pribumi dan sekali-kali bukan keturunan Weka Kilalan sebagaimana diduga sebelumnya,”kata Pak Marquechaeu menjelaskan.
“Mohon tanya Pak Marquechaeu,” sahut Dullah penasaran.
“Silahkan, “ kata Pak Marquechaeu.
“Apakah yang dimaksud Wong Yukti, dan apa pula yang dimaksud Wong Kilalan?”
“Wong Yukti maknanya dalam bahasa Jawa Kuno adalah manusia agung, mulia, terhormat dan dihormati. Kedudukan Wong Yukti diberikan kepada seluruh penduduk pribumi asli. Sementara Wong Kilalan maknanya pelayan, pembantu, jongos, kacung, kuli, manusia berderajat rendah. Kedudukan Wong Kilalan diberikan kepada semua penduduk asing,” kata Pak Marquechaeu menjelaskan.
“Jadi waktu itu pribumi kedudukannya lebih tinggi dari orang asing?” tanya Dullah heran.
“Ya aturannya seperti itu,” sahut Pak Marquechaeu dengan suara lantang,”Bahkan karena kedudukan sebagai Wong Yukti itulah seluruh penduduk pribumi asli diharamkan bekerja menjadi pelayan, kacung, jongos, babu.”
“Kalau pribumi dilarang menjadi pelayan, kuli, jongos, buruh, kacung, babu, lalu siapa yang bekerja sebagai pembantu pak?” sergah Dullah terheran-heran.
“Yang bekerja menjadi pelayan, jongos, kacung, babu, kuli kepada penduduk pribumi adalah Wong Kilalan, yaitu orang-orang asing,” kata Pak Marquechaeu.
“Aha kayak gak masuk akal,” seru Dullah geleng-geleng kepala,”Bagaimana mungkin pribumi punya pelayan orang asing...”
“Tapi faktanya aturan zaman itu memang seperti itu pak,” sahut Pak Marquechaeu menjelaskan,”Bahkan penduduk pribumi yang kedapatan bekerja menjadi pelayan, pembantu, jongos, kacung, tanpa ampun akan dijatuhi hukuman berat oleh raja.”
“Siapa sajakah orang asing yang digolongkan Weka Kilalan?”
“Ya semua orang asing, misal seperti wong Kmir (Khmer), wong Kling (India Keling), wong Pegu (Burma), wong Jenggi (Negro Afrika), wong Cina, wong Atas Angin (Arab), wong Ngerum (Persia), ” kata Pak Marquechaeu.
“Mohon tanya pak,” kata Sufi Kenthir menyela,”Prasasti Wurudu Kidul itu bertahun 922 Masehi, berarti zaman Mataram Kuno. Apakah aturan kependudukan itu masih berlaku sampai zaman Majapahit?”
“Oo pada era Majapahit kedudukan wong Kilalan lebih tegas lagi karena dilandasi undang-undang yang menetapkan kedudukan wong Kilalan (orang asing) ke dalam status Mleccha, yaitu status sosial penduduk dua tingkat di bawah golongan sudra,” kata Pak Marquechaeu.
“Lalu sejak kapan mentalitas kuli, kacung, jongos, babu, pelayan itu menjadi keniscayaan dalam kehidupan sebangsa saya?” tanya Dullah penasaran.
“Benih-benihnya sudah ditebar sejak era Mataram akhir pasca Perjanjian Gianti, tetapi secara sistematis dan terprogram dimulai sejak tahun 1848, yaitu saat Burgerlijk Wetboek ditetapkan sebagai peraturan kependudukan oleh pemerintah kolonial Belanda,” tegas Pak Marquechaeu menegaskan.
“Lho apa tidak ada perlawanan dari penduduk pak?”
“Ya pasti ada, terutama dari kalangan pesantren dan penganut tarikat yang secara tradisi mewarisi nilai-nilai masyarakat Nusantara. Itu sebabnya, sepanjang waktu antara tahun 1800 hingga 1900 terjadi pemberontakan di kalangan pesantren dan tarikat sebanyak 112 kali.”
“Walah, berarti setahun bisa dua kali berontak.”
“Itu data dokumenter yang terimpan dalam colonial archive.”
“Oo saya faham pak, kenapa tahun 1892 kurikulum sekolah diseragamkan secara nasional dan digencarkan dalam Etische Politiek, di mana anak-anak pribumi diharuskan sekolah di Volks School, Tweede School, Vervolk School, HIS, Kweek School, MULO, AMS, HBS, STOVIA, THS, NIAS, dan aneka sekolah Belanda. Rupanya itu program sistematis kolonialisme untuk menundukkan perlawanan penduduk pribumi,” kata Sufi Kenthir.
“Tepat sekali,” sahut Pak Marquechaeu,”Tatanan sosial yang menempatkan Belanda kulit putih sebagai warga negara kelas satu, Timur Asing (Cina-Arab-India) sebagai warganegara kelas dua, dan Inlander (pribumi) sebagai warganegara paling rendah disosialisasikan lewat sistem persekolahan (schooling system).”
“Dan para kyai yang melawan usaha sistematis itu dengan politik tasabuh yang menolak sekolah dan menolak meniru gaya hidup Belanda dituduh sebagai kalangan tradisional yang primitif dan terbelakang,” kata Sufi Kenthir menyimpulkan.
“Hmm, sekolah..,” gumam Dullah,”Rupanya itu proyek kolonialisasi bertopeng etis dan modernisasi dengan tujuan utama penundukan bangsa terjajah lewat hegemoni pikiran dan jiwa.”
Posted by Agus Sunyoto
You have read this article Filsafat
with the title Post Hegemony VII: Menggugat Mitos Bangsa Kuli Ciptaan Kolonialisme Barat. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/01/post-hegemony-vii-menggugat-mitos.html. Thanks!
No comment for "Post Hegemony VII: Menggugat Mitos Bangsa Kuli Ciptaan Kolonialisme Barat"
Post a Comment