Sudah sepekan ini Dullah bersitegang dengan pegawai Dinas Kependudukan Kabupaten saat mengurus KK dan KTP baru. Pasalnya, dalam KK dan KTP baru gelar R.M. (Raden Mas) di depan namanya dihapus. Alasannya, penghapusan semua gelar seperti KH (Kyai Haji), R (Raden), R.M. (Raden Mas), R.Ng (Raden Ngabehi), Drs (Doktorandus), Ir (insinyur), dll harus dihapuskan berdasar peraturan Kementerian Dalam Negeri. “Jadi penghapusan itu sesuai aturan pemerintah, pak,” sahut pegawai Dispenduk bergeming.
“Terus apa beda nama saya, Abdullah, dengan nama Abdullah tetangga saya yang Insinyur, Sarjana Agama, Doktorandus, Kyai?” tanya Dullah menyoal aturan yang baginya tak masuk akal.
“Wah itu saya tidak tahu pak, itu sudah peraturan. Saya ini pegawai kecil hanya menjalankan saja peraturan yang ada,” sahut pegawai Dispenduk.
“Terus kalau saya menolak gelar saya dihapus?” tanya Dullah menahan emosi.
“Sampeyan tidak akan diberi KK dan KTP,” kata pegawai Dispenduk tegas,”Silahkan sampeyan jadi WTI – Warga Tanpa Identitas. Kalau mau silahkan juga jadi WNA, pindah dari negeri ini.”
“Lho bagaimana ini, ada peraturan menteri kalau tidak dipatuhi bisa mencabut hak kewarga-negaraan seseorang?” tukas Dullah meninggalkan kantor Dispenduk Kabupaten.
Di area parkir Dullah ketemu Roben, Sarjono, Ahmadi, dan Bambang yang ternyata juga mengalami nasib sama, gelar di depan namanya dihapus dengan semena-mena atas alasan peraturan Mendagri. Sarjono dengan bersungut-sungut mengungkapkan perasaan kesalnya,”Tapi peraturan itu tidak fair. Ada diskriminasi. Peraturan hanya untuk warga biasa.”
“Maksudnya bagaimana, Jon?” tanya Dullah tidak faham.
“Pak Bupati gelarnya di KK dan KTP tidak dihapus,” kata Sarjono yang masih bertetangga dengan bupati.
“Aku dengar penghapusan itu terkait dengan proyek bantuan dan rekayasa pemenangan dalam Pilbup, Pilgub, Pileg, dan bahkan Pilpres,” kata Bambang menyela.
“Oo begitu ya.”
“2000 orang bernama Sukirno di Kabupaten, misal, memungkinkan untuk diselipi 900 nama Sukirno fiktif. Itu sebabnya, waktu pileg, pilpres sering ribut soal pemilih ganda,” kata Bambang.
Setelah bincang-bincang sebentar Roben, Sarjono, Ahmadi, dan Bambang sepakat untuk ikut Dullah ke pesantren sufi guna menanyakan kasus yang mereka alami kepada Guru Sufi. Kebetulan saat mereka masuk ke pesantren, mereka mendapati Guru Sufi sedang berbincang dengan Sufi tua, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, dan Sufi Senewen tentang fenomena aristokrasi kapitalis yang marak di tengah tenggelamnya aristokrasi lama. Bahkan sewaktu Bambang menanyakan dasar pijakan rasional dari kemunculan fenomena aristokrasi kapitalis, Guru Sufi dengan singkat menjawab,”Illuminatie dengan Protokol Zion!”
“Illuminatie dengan Protokol Zion?” sergah Bambang heran,”Apa maksudnya, Mbah Kyai?”
“Ya itu organisasi rahasia yang didirikan Adam Weishaupt sejak 1 Mei 1776 yang memiliki agenda: 1.Menghapuskan bentuk kerajaan; 2. Menghapuskan kepemilikan private; 3.Menghapuskan warisan; 4.Menghapuskan patriotisme; 5.Menghapuskan nilai-nilai keluarga; 6.Menghapuskan konsep agama yang menyembah Tuhan menjadi pemujaan terhadap “reason” – rationalisme,”kata Guru Sufi.
“Apa tujuan di balik gerakan Illuminatie itu, Mbah Kyai?” tanya Sarjono penasaran.
“Mewujudkan Jewish State yang berkuasa di seluruh dunia lewat Protokol Zion yang pertamakali dipublikasi tahun 1897 oleh Philips Stevanof dalam Zionist Congress di Basle. Lalu dipublikasi pula oleh Nilus tahun 1901. Nah, lewat tulisan Philip Stevanof dan Nilus, orang jadi tahu bahwa Revolusi Perancis dengan slogan Liberty, Equality, Fraternity adalah karya Protokol Zion. Lewat slogan yang gampang mempesona rakyat bodoh itulah Protokol Zion menghancurkan sistem aristokrasi yang ada yang dinilai despotik untuk digantikan aristocracy of money,” kata Guru Sufi.
“Aristocracy of money,” sahut Sarjono mengerutkan kening,”Apa maknanya, Mbah Kyai? Bukankah sistem aristokrasi yang kita ketahui selama ini berdasar genealogi? ”
“Aristocracy of money adalah sistem aristokrasi yang berdasarkan pada uang sebagai parameter untuk ukuran menentukan stratifikasi sosial ekonomi politik bahkan agama,” papar Guru Sufi.
”Aristokrasi berdasar uang. Parameter untuk menentukan stratifikasi sosial ekonomi politik dan bahkan agama. Aduh, bingung saya, bagaimana itu Mbah Kyai penjelasannya?” Sarjono garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Iya Mbah Kyai,” sahut Bambang,”Bagaimana mungkin ada sistem aristokrasi kok didasarkan pada uang sebagai parameter?” “
Maaf, Mbah Kyai,” sahut Ahmadi penasaran,”Apa ada contoh riil dari sistem aristokrasi yang berdasar uang itu?” Guru Sufi ketawa sambil berkata,”Lha, bukankah selama ini kita sudah berada di dalam sistem aristocracy of money?”
“Kita sudah berada di dalam sistem aristocracy of money?” sergah Roben, Bambang, Sarjono, Ahmadi, dan Dullah bersamaan.
“Dalam sistem aristokrasi lama stratifikasi sosial masyarakat yang tertinggi diduduki oleh raja, ratu, keluarga raja dan ratu, bangsawan warga keraton dengan berbagai gelarnya seperti Prabu, Sunan, Panembahan, Sultan, Kangjeng Sinuhun, Kangjeng Gusti Pangeran, Gusti Harya, Raden Mas, Kyayi Ngabehi, Kyayi Tumenggung, Raden Ngabehi, Mas Ngabehi, Mas, Raden, Raden Ajeng, Raden Ayu, Raden Rara, dan lain-lain. Begitulah, warga masyarakat yang punya gelar Raden Mas seperti Dullah, adalah orang-orang yang memiliki hubungan dengan warga keraton. Begitu juga Mas Ahmadi, adalah orang yang secara genealogi memiliki hubungan darah dengan warga keraton,” papar Guru Sufi.
“Tapi sekarang ini banyak gelar-gelar itu yang beli dari keraton, Mbah Kyai,” sahut Ahmadi.
“Itu salah satu tanda dari keberadaan aristocracy of money,” sahut Guru Sufi ketawa,”Hanya mereka yang punya uanglah yang bisa membeli gelar kebangsawanan untuk tujuan politik ekonomi dan bahkan agama. Uang menentukan kedudukan dan jabatan orang seorang,” kata Guru Sufi menjelaskan, “Karena itu gelar-gelar lama genealogi itu dianggap gelar primitif yang harus ditinggalkan untuk digantikan gelar-gelar baru yang berorientasi uang. Uang adalah kekuasaan. Uang adalah ukuran status orang seorang. Uang menata struktur sosial masyarakat modern yang menganut sistem arisrocacy of money. Begitulah, dalam sistem aristocracy of money dikenal gelar baru yang terkait dengan uang seperti : konglomerat, bankir, pialang saham, investor, spekulan, eksportir, importir, developer, kontraktor, broker, dan lain-lain yang menduduki strata tinggi dalam masyarakat. Seorang konglomerat dan keluarganya dalam sistem aristocracy of money akan sangat dihormati melebihi kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan bahkan presiden. Di mana pun konglomerat dan keluarganya berada selalu berada pada kelas utama VVIP yang berisi penghormatan dan kemuliaan melebihi raja.”
“Subhanallah,” seru Bambang menampar keningnya sendiri,”Kalau nitu memang sudah sering kita saksikan, Mbah Kyai. Di daerah kita saja, para pejabat sipil maupun militer, sama tunduk patuh dan ketakutan dengan Kaji Nawi, yang dikenal sebagai pemilik nite club, bar, rumah judi, developer, investor pilbup, pilgub, yang punya hubungan dekat dengan pejabat-pejabat negara. Bahkan para preman, beramai-ramai pasang badan untuk melindungi dan mematuhi apa pun titah pemilik gudang uang itu.”
“Ya seperti itulah aristocracy of money terbangun dengan sendirinya sesuai perkembangan masyarakat yang makin materialistik,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Karena itu, ukuran tinggi dan rendah status sosial ekonomi politik dan agama orang seorang lebih didasarkan pada kepemilikan uang. Mereka yang memiliki uang dalam jumlah besar dengan gelar Konglomerat, Bankir, Investor, Pialang Saham, Developer, akan menduduki posisi tinggi mengalahkan kepala daerah dan bahkan kepala negara. Di mana pun mereka berada – Hotel, Rumah Sakit, Stadion, Bioskop, Resto, Nite Club, Health Center, bahkan penjara – selalu masuk golongan berkelas VVIP. Sementara, orang-orang yang tidak punya cukup uang akan masuk golongan sudra papa yang dipinggirkan sebagai golongan Disposable People. Mau menginap harus masuk losmen murahan atau tidur di teras masjid. Masuk rumah sakit harus kelas zaal dengan kartu jamkesmas atau ditolak karena tidak punya biaya. Naik kereta api pun harus kelas ekonomi atau bahkan ikut kereta barang. Pendek kata, di dalam sistem aristocracy of money, semua struktur dan tatanan masyarakat ditentukan oleh uang. Yang tidak punya uang akan menjadi sudra papa terhina.”
“Bukankah aristocracy of money itu gagasan Protokol Zion?” tanya Dullah minta penjelasan, “Bagaimana bisa menjadi tatanan riil di negeri kita, Mbah Kyai?”
“Ya kamu renungkan sendiri saja bagaimana itu bisa terjadi dalam sistem baru kolonialisme yang disebut Neo-kolonialisme-imperialisme alias Nekolim,’ kata Guru Sufi singkat.
"Nekolim?” sergah Dullah kaget,”Wah berarti kita harus mengkaji kembali apa yang pernah dikemukakan Bung Karno tentang Bahaya NEKOLIM…”
“Juga tentang konspirasi negara-negara kolonial di Bretton Wood,” sahut Sufi tua
“Juga tentang teori Developmentalism yang diterapkan selama Orde Baru,” kata Sufi Sudrun.
“Jangan lupa, amandemen UUD 1945 saat MPR/DPR dikuasai kader-kader Masonic didikan golongan kiri Sosdem,” sahut Sufi Kenthir.
“Penjadualan globalisasi dalam KTT APEC di Bogor tahun 1994, yang diikuti gerakan neoliberal jangan dilupakan,” kata Sufi tua dengan suara ditekan tinggi.
“Krisis moneter 1997. Penanda-tanganan LoI antara Soeharto-Michael Camdessus. Pembentukan BPPN yang menjual BUMN dan Swasta Nasional yang dibiayai negara. Kasus rampok BLBI…”
“Aduh,….?” gumam Bambang dengan mata berkaca-kaca,”Negaraku ternyata telah terjajah kembali dalam kolonialisme jilid II, Neo-imperialisme yang dikendalikan dengan remote control kekuasaan jarak jauh.” “Aristocracy of money,” gumam Dullah,”Itulah bukti tak tersanggah bahwa bangsa dan negara kita telah berada di bawah kontrol Empire Global.”
posted by Agus Sunyoto
You have read this article Filsafat
with the title Post Hegemony XI: Membongkar Praktek Aristocracy of Money Dalam Sistem Liberal. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/02/post-hegemony-xi-membongkar-praktek.html. Thanks!
No comment for "Post Hegemony XI: Membongkar Praktek Aristocracy of Money Dalam Sistem Liberal"
Post a Comment