Film Sang Kiai yang disutradarai Rako Prijanto adalah contoh keberhasilan sebuah tim dalam memproduksi film berlatar kehidupan pesantren di tengah pergolakan bangsa yang sedang menggeliat dari kejam, brutal, ganas, dan liciknya penjajahan. Tokoh KH Hasyim Asy’ari, figur sentral dalam film itu, diperankan dengan sangat baik oleh Ikranagara – sekalipun kurang adanya pengambilan gambar close up yang menuntut penjiwaan tokoh utama dalam pergulatan batin yang terpantul lewat ekspresi wajah – namun cukup membuat film itu menghanyutkan dan sesekali mendebarkan.
Pemilihan Pesantren Kapu di daerah Pagu Kabupaten Kediri sebagai representasi Pesantren Tebuireng, cukup mewakili suasana Pesantren Tebuireng pada masa revolusi 1945 mengingat pesantren tersebut tidak banyak mengalami perubahan sampai saat ini. Tokoh Nyai Masrurah, isteri KH Hasyim Asy’ari, yang dalam film itu dibintangi Christine Hakim, adalah puteri dari KH Kasan Muhyi, pengikut Pangeran Diponegoro yang melakukan eksodus ke Kediri dan mendirikan Pesantren Kapu. Permainan Christine Hakim dalam memerankan tokoh Nyai Masrurah, harus diakui menghanyutkan sehingga memaksa banyak penonton meniutikkan airmata. Penjiwaan atas tokoh Nyai Masrurah itu, diakui Christine Hakim setelah ia bolak-balik melakukan observasi ke Pesantren Pagu dan Tebuireng untuk menghayati keberadaan Nyai Masrurah secara utuh lahir dan batin. . .
Sekalipun dalam beberapa sekuel tersaji gambaran adegan yang tidak sesuai dengan fakta sejarah, namun usaha menghadirkan suasana revolusi 1945 – dengan stasiun, pasar, gedung-gedung lama, dan kendaraan-kendaraan kuno – cukup ‘menambal’ kekurangan itu. Yang tidak kalah penting adalah peranan pengatur special effect, peñata suara, peñata cahaya, animasi, dan tentu saja kamerawan dalam menghadirkan adegan-adegan pertempuran Oktober 1945 di Surabaya yang menegangkan. Bunyi desingan peluru di tengah gemuruh pertempuran, mampu membawa imaji penonton seolah-olah terlibat di dalamnya. Sungguh, sebuah rangkaian adegan pertempuran yang belum banyak ditampilkan dalam film Indonesia.
Sekalipun sekuel pertempuran 10 November 1945 sebagai klimaks dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan PBNU berdasar fatwa KH Hasyim Asy’ari tidak dimunculkan dalam film ini karena adegan setelah kematian Brigadir A.W.S.Mallaby yang disambung dengan suasana persiapan menghadapi ultimatum Mayor Jenderal R.C.Mansergh, cerita lanjutnya adalah penggambaran Agresi Belanda 1947, namun adegan wafatnya KH Hasyim Asy’ari yang mendadak setelah mendapat laporan masuknya Belanda ke Singosari Malang dan melakukan kekejaman terhadap rakyat, telah menghanyutkan penonton dalam keharuan. Boleh jadi karena kuatnya pesona film Sang Kiai – yang dari awal hingga akhir sering menampilkan adegan-adegan mengharukan -- mempengaruhi penonton, sampai dalam tayangan perdana 30 Mei 2013 tadi malam di sebuah bioskop di Kota Malang, terjadi suatu peristiwa yang tidak lazim, di mana penonton yang mayoritas bukan warga Nahdliyyin bertepuk tangan meluapkan rasa salut kepada film garapan sutradara Rako Prijanto yang dibintangi Ikranagara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, Adipati Bulken, dan Dimas Aditya itu
(agus sunyoto).
You have read this article Budaya
with the title Tepuk Tangan Untuk Film SANG KIAI. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/05/tepuk-tangan-untuk-film-sang-kiai.html. Thanks!
No comment for "Tepuk Tangan Untuk Film SANG KIAI"
Post a Comment