Seperti biasa saat menonton Khazanah, para santri sambil duduk melonggarkan sarung untuk bersiaga kalau nanti akan ketawa terpingkal-pingkal. Pasalnya, selama menonton khazanah mereka sering mendapati hal-hal aneh dan lucu serta naïf terkait pandangan-pandangan dogmatik dan doktriner khas ‘badui gurun’ yang jauh dari kelaziman orang berpikir cerdas.
Para santri mengerutkan kening menebak-nebak sewaktu Khazanah memulai tayangan dengan menampilkan gambaran musik keras underground yang diselang-seling gambar bertulisan Demon & Wizard, Arch Enemy yang dikomentari oleh narrator sebagai musik perusak moralitas generasi Islam. Para santri mengangguk-angguk melihat adegan demi adegan yang ditampilkan di layar TV yang ditandai kegaduhan musik cadas yang digemari anak muda itu. Namun para santri saling pandang satu sama lain sewaktu tayangan musik rebana yang dibunyikan orang-orang berpakaian santri dimunculkan bergantian dengan tarian darwis yang diikuti komentar narrator yang mengemukakan haramnya memainkan musik dan nyanyian. Seperti biasa, dalam narasi itu dikutip hadits-hadits yang melarang bunyi-bunyian musik dan nyanyian dari para perawi hadits seperti Turmudzi dan Ibnu Majah. Dan para santri pun geleng-geleng kepala ketika narrator mengutip pernyataan Imam Syafii yang menilai nyanyian sebagai kesia-siaan dan suatu nyanyian tidaklah dinyanyikan kecuali oleh orang-orang dungu. Bahkan haramnya musik dan nyanyian diperkuat oleh dalil al-Qur’an surah al-Anfal ayat 35 tentang orang-orang yang beribadah di sekitar ka’bah tetapi tidak beribadah kecuali hanya sebagai siulan dan tepuk tangan saja yang berbuah azab Tuhan karena kekafiran.
Tidak cukup menghukumi haram, bid’ah dan sesat terhadap semua musik dan nyanyian, narrator mengutip hadits yang meriwayatkan bagaimana Nabi Muhammad Saw tidak saja melarang bermusik dan bernyanyi, melainkan menjadikan musik dan nyanyian sebagai tanda-tanda tentang bakal datangnya kiamat. Pendek kata, skenario Khazanah dalam tayangan pagi itu mengemukakan pandangan tentang haramnya musik dan nyanyian dalam agama Islam, baik berdasar hadits maupun al-Qur’an.
Para santri mendecakkan mulut, ketika narrator Khazanah menuturkan hadits yang menceritakan bagaimana Nabi Muhammad Saw masuk ke kamar dan menemui Aisyah sedang menyaksikan dua orang budaknya menari dan menyanyi. Pada saat bersamaan, Abu Bakar, ayah Aisyah masuk dan melihat kejadian itu sehingga ia mencela tarian dan nyanyian kedua orang budak perempuan itu sebagai seruling setan. Tetapi Nabi Muhammad Saw menegur Abu Bakar agar membiarkan kedua orang budak perempuan itu meneruskan tarian dan nyanyian karena hari itu karena bertepatan dengan hari raya di mana tiap umat merayakan hari rayanya sendiri.
Atas dasar hadits ini, narrator menyimpulkan bahwa musik rebana dan tarian serta nyanyian diperbolehkan hanya bagi perempuan saja. Itu pun dilakukan di dalam hajatan yang hanya dihadiri kaum perempuan. Para laki-laki tetap haram memainkan musik dan menyanyi.
Bambang Benol, santri baru yang duduk di samping Dullah tiba-tiba menoleh ke arah Sukiran. Lalu sambil menggumam pelan ia berkata, ”Lik Sukiran, Sukirin, anak sampeyan, tolong diingatkan paklik. Soalnya, setahu saya, Sukirin itu jadi ketua Jama’ah Al-Banjari di kampung. Daripada sesat, masuk neraka dan diadzab Allah, lebih baik suruh dia keluar aja paklik.”
Sukiran melengak sambil ketawa dan menyahut,”Mbang, kamu itu wong pesantren yang menganut faham Islam Ahlussunnah wal-Jama’ah apa orang badui penganut Wahabi-Albani?”
“Hlo, ya pasti Aswaja paklik,” sahut Bambang Benol cepat,”Saya Nahdliyyin tulen mulai lahir.”
“Kalau begitu, kenapa kamu mengikuti dan mempercayai pandangan umat Wahabi-Albani pembikin skenario Khazanah di Trans 7 itu?” kata Sukiran menekan tinggi suaranya.
“Bukankah pandangan mereka itu benar paklik? Bukankah mereka pakai dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membenarkan pandangan mereka?” sahut Bambang Benol ingin penjelasan.
“Mbang Bambang, dasar Benol. Kamu itu belum tahu ya bahwa tidak semua pandangan orang yang didasari dalil al-Qur’an dan al-Hadits itu benar seratus prosen. Sebab kebenaran Al-Qur’an dan al-Hadits itu setelah wafatnya Rasulullah Saw adalah kebenaran relatif tergantung penafsiran orang-orang yang dianggap kompeten untuk menafsirkan al-Qur’an dan al-Hadits,” kata Sukiran menjelaskan.
“Artinya tafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tidak lagi setepat dan sepersis yang dijelaskan Nabi Muhammad Saw, begitukah paklik?”
“Ya seperti itulah.”
“Contohnya apa paklik?” tanya Bambang Benol ingin tahu.
“Lahirnya Imam Mazhab, adalah bukti bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an dan al-Hadits tidak lagi tunggal seperti saat Nabi Muhammad Saw hidup. Atas dasar pertimbangan bahwa perkembangan kehidupan manusia semakin lama akan semakin kompleks dengan berbagai permasalahannya, maka para ulama Ahlussunnah wal-Jama’ah Indonesia sepakat menganut empat mazhab (mazhahibul arba’) yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali,” kata Sukiran menjelaskan.
“Untuk musik dan nyanyian?” tanya Bambang Benol ingin penjelasan.
“Aswaja tidak ikut Wahabi-Albani yang menganut tafsir tunggal imam mereka,” kata Sukiran,”Di mana Aswaja yang ikut empat imam membolehkan musik dan nyanyian, terutama karena di dalam Aswaja Nusantara ada juga pengaruh sufisme yang menjadikan musik dan nyanyian sebagai sarana dakwah, pendidikan akhlaq, penanaman Tauhid, seruan untuk ibadah sebagaimana diabadikan di dalam khasidah-khasidah, tembang-tembang, lagu-lagu, syair-syair, dan beribu-ribu tembang si’iran yang dibaca di langgar-langgar, tajuk-tajuk, mushola-mushola, dan masjid-masjid.”
“Apakah orang Nahdliyyin yang Aswaja itu dalil bahwa musik dan nyanyian itu tidak dilarang dan tidak pula diharamkan?” sahut Bambang Benol mendesak,”Dalil paklik. Dalil.”
Sukiran diam karena sadar bahwa ia tidak hafal hadits. Dengan isyarat kepala ia meminta Sufi Sudrun yang duduk di pojok untuk menjawab pertanyaan Bambang Benol. Setelah duduk tegak, Sufi Sudrun berseru mengutip Hadits yang diriwayatkan Aisyah yang bunyinya,”Rasulullah Saw bersabda: umumkanlah nikah ini, dan lakukanlah di masjid dan pukullah rebana” (H.R.Turmudzi). Itulah Mbang salah satu dalil dibolehkannya menabuh musik.”
“Wah menarik sekali paklik,” sahut Bambang Benol manggut-manggut,”Ada dalil lain?”
“Rasulullah Saw bersabda: pemisah antara halal dan haram (setelah pasangan mempelai menikah) adalah rebana dan suara (nyanyian) di dalam (walimah) nikah (HR. Nasa’i). Aisyah meriwayatkan bahwa dia telah membawa pengantin wanita kepada seorang lelaki dari Anshor. Lalu Nabi Saw bersabda,”Wahai Aisyah, kamu tidak membawa penghibur? Sesungguhnya orang-oramng Anshor menyukai hiburan (HR. Bukhari). Menurut riwayat Syarik, telah mengatakan (Aisyah r.a bahwa Nabi saw bertanya),”Apakah kalian membawa gadis (jariyah) yang memukul rebana sambil bernyanyi? Saya katakan,”Apa yang akan dia katakan?” Nabi Saw bersabda,”Dia bisa menyanyikan: “Kami dating kepada kalian, kami dating kepada kalian, maka ucapkan selamat dating kepada kami dan kami juga mengucapkan selamat kepada kalian” (HR.Bukhari),” ungkap Sufi Sudrun.
“Wah banyak juga dalilnya ya paklik.”
“Ya pasti banyak Mbang, kalau mau kamu bisa mencatatnya di buku khusus,” tukas Sukiran.
“Sssttt, jangan ribut,” sahut Dullah keras,”Lihat itu makin seru ceritanya.”
Beberapa bentar mengarahkan pandangan ke monitor TV, para santri serentak ketawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Pasalnya, setelah habis-habisan mencela musik dan nyanyian sebagai hal yang haram yang dalam kenyataan masih dijalankan oleh banyak umat Islam, tiba-tiba Khazanah menayangkan Penyanyi Inggris asal Azerbaijan, Sami Yusuf, Maher Zain, penyanyi asal Swedia, yang disusul Yusuf Islam, penyanyi Inggris yang bernama asli Cat Steven, pelantun lagu Morning has broken yang legendaris. Ketiga penyanyi itu dipuji sebagai luar biasa karena lagu-lagunya yang dinyanyikan dalam berbagai bahasa itu mengandung ajaran tauhid, akhlaq dan moralitas Islam.
Bambang Benol yang heran dengan para santri yang ketawa terbahak-bahak, dengan kening berkerut menyergah dengan suara keras,”Hai, hai, ada apa ini kalian ketawa-ketiwi ramai-ramai? Memangnya ada yang lucu dalam tayangan Khazanah ini?”
“Mbang,” sahut Sukimin, keponakan Sukiran, yang sudah lima tahun jadi santri dengan ketawa ngakak,”Kamu itu ikut naïf. Mosok kamu tidak sadar melihat acara lucu begitu..he he.”
“Lucu bagaimana? Di mana lucunya?” tanya Bambang Benol penasaran.
“Kamu sudah lihat kan, bagaimana Khazanah mengemukakan pandangan bahwa musik dan nyanyian adalah haram dinyanyikan umat Islam. Dalilnya al-Qur’an dan al-Hadits.”
“Iya, aku tahu itu,” tukas Bambang Benol makin penasaran,”Tapi apanya yang lucu?”
“Mbang, kalau sudah dihukumi haram menurut al-Qur’an dan al-Hadits, bagaimana menurutmu hukumnya orang menabuh musik dan menyanyi?”
“Ya sekali haram tetap haram, mana bisa dihalalkan?”
“Kalau musik dan nyanyian sudah dihukumi haram, bagaimana menurutmu?”
“Ya pasti haram, kang,” sahut Bambang Benol,”Apalagi pakai dalil al-Qur’an dan al-Hadits.”
“Terus bagaimana tiba-tiba narrator Khazanah memuji Sami Yusuf, Maher Zain dan Cat Steven sebagai penyanyi-penyanyi luar biasa? Di mana konsistensi mereka?” sergah Sukimin keras.
“Iya juga ya,” gumam Bambang Benol garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Kalau aku boleh menyimpulkan tayangan khazanah tadi,” kata Sukimin berargumen,”Hukum tentang musik dan nyanyian yang ditetapkan oleh penganut Wahabi-Albani menjadi seperti ini prinsipnya: ‘hukumnya musik yang ditabuh dan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh laki-laki muslim dari bangsa kulit berwarna adalah HARAM. Sebaliknya jika yang menabuh musik dan yang menyanyikan lagu itu bangsa kulit putih apalagi warganegara Inggris hukumnya menjadi HALALAN THOYYIBAN’ he he he.”
“Tapi lagu-lagu yang dinyanyikan Sami Yusuf, Maher Zain dan Cat Steven itu memang mengandung pelajaran akhlaq, tauhid dan nilai-nilai moral Islami, kang,” sahut Bambang Benol.
“Kamu pikir tembang-tembang Jawa, si’iran, khasidah, sholawat yang dinyanyikan grup-grup al-Banjari, Hadrah, Samroh, Kuntulan, Terbang Jidor, Sholawat Mentaraman itu tidak mengandung ajaran akhlaq, tauhid, moral Islami, dan ajakan-ajakan untuk ibadah kepada Allah?” sahut Sukimin tegas,"Memangnya syair dari khasidah dan si'iran itu caci-maki dan ajakan berbuat maksiat?".
“Wah kalau itu, aku kurang tahu, kang.”
Para santri tertawa gaduh dengan tangan mendorong kepala Bambang ke depan sambil menggumam,"Dasar benol kenal-kenol!"
Posted by Agus Sunyoto
You have read this article Budaya
with the title Diskriminasi Hukum Agama ala Wahabi-Albani. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/06/diskriminasi-hukum-agama-ala-wahabi.html. Thanks!
No comment for "Diskriminasi Hukum Agama ala Wahabi-Albani"
Post a Comment