Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Wayoh Kampung Poligami, Tenang Damai Meski Para Lelaki Beristeri Lebih dari Satu


                Tanggulangin ternyata tidak hanya terkenal karena luapan Lumpur Lapindonya. Sebaliknya, di sebuah kampung tak jauh dari kawasan lautan lumpur itu terdapat suatu hal unik, di mana sebuah jalan ditandai dengan papan nama bertuliskan Jl.Wayoh, yang bermakna Jalan Poligami. Lho?
Pemberian nama Jalan Wayoh yang bermakna poligami, bukanlah tanpa alas an. Sebab dalam fakta  banyak warga di kampung itu  yang mempunyai istri lebih dari satu, yaitu kampong yang terletak di Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Kampung itu diberi nama Wayoh.alias wayuh karena memiliki makna poligami, yaitu beristeri lebih dari satu orang.. Yang menarik, kehidupan warga di sana justru adem ayem, rukun dan damai.
              Sholeh, Ketua RT 01/RW 02, Desa Kedung Banteng, Tanggulangin, Sidoarjo, enggan  berbicara banyak tentang Jalan Wayoh itu.. Dia bahkan dengan tegas menyatakan bahwa istilah Jalan Wayoh  tersebut sebenarnya hanya sebatas omongan orang. “Tidak ada kenyataannya. Itu hanya mitos,” ujarnya dengan nada tinggi. Itu hanya salah satu  gambaran saja dari  sebagian warga yang tinggal di Jalan Wayoh, kata Sholeh berkilah, . Namun demikian, meski enggan berkomentar, sebutan Jalan Wayoh tentu saja bukan tanpa alasan dilekatkan pada papan nama jalan tersebut..


              Nama resmi Jalan Wayoh sendiri  adalah Jalan KH Ahmad Dahlan. Namun, justru warga Jalan KH Ahmad Dahlan  sendiri yang menggantinya dengan sebutan Jalan Wayoh. Hal itu tak lepas dari kenyataan bahwa banyak warga di sana beristri lebih dari satu, yang dalam istilah Jawa dikenal dengan sebutan wayoh, wayuh alias poligami.
              Ridho, 75, salah seorang sesepuh kampung, menceritakan, nama Jalan Wayoh berawal dari keputusan salah seorang warga untuk berpoligami. Itu terjadi pada era 1980-an.
              Siapa sangka, langkah pria yang juga tokoh desa itu diikuti oleh  warga lain. Perlahan tapi pasti, jumlah warga yang memiliki istri lebih dari satu pun semakin banyak. Sekarang, di antara 50 kepala rumah tangga yang ada, sebagian besar memiliki istri lebih dari satu. Memang, hanya dua yang resmi. Tapi, mayoritas lainnya menjalaninya secara diam-diam alias sirri. Meski begitu, kehidupan keluarga mereka tetap harmonis.
                Ridho mengaku tidak pernah mendengar ada pertengkaran di antara para istri gara-gara berebut suami. “Saya nggak pernah tahu ada wanita datang kemari untuk melabrak,” ucapnya. “Di sini aman tenteram. Mungkin ada danyangnya,” sambung. Ridho menambahkan, bahwa keluarga yang mampu secara ekonomi relatif lebih “mulus” dalam melakukan wayuh.
                Dengan kekuatan uang, laki-laki yang berpoligami  bisa membagi kekayaan secara adil kepada istri-istrinya. Misalnya, setiap istri diberi rumah dan tambak. Hal itu meminimalkan kemungkinan perebutan warisan ketika sang suami meninggal. Sementara itu, keluarga yang kurang mampu para isteri harus menerima apa adanya. Tidak banyak tuntutan. Mereka mengatur materi sedemikian rupa hingga adil. Ada juga yang memberikan wewenang pembagian itu kepada istri tua. “Aneh memang, tapi itu yang terjadi di sini,” ujar Ridho  terkekeh.
            Didik, 32, putra Ridho, menyatakan, banyak alasan yang mendasari para lelaki di kampung Wayoh  memilih poligami mulai pertimbangan ekonomi sampai niat memiliki keturunan. “Yang penting bisa adil, jujur, dan bertanggung jawab. Itulah kuncinya,” katanya.
            Dengan semakin populernya istilah Jalan Wayoh, dulu ada seorang pamong desa yang keberatan. Karena menurutnya, istilah tersebut sangat  merugikan. Pandangan orang terhadap kampung tersebut akan menjadi  negatif. Nah, suatu ketika pamong itu mencopot papan  nama Jalan Wayoh yang terbuat dari kayu dan membakarnya. Tetapi, warga tak kehabisan akal. Mereka diam-diam menggantinya dengan seng agar lebih kuat. Hal itu membuat sang pamong meradang. Akhirnya, dia pun memilih pergi dari kampung tersebut.
              “Tidak masalah. Wayuh itu kan urusan pribadi. Kita tidak bisa ikut campur. Yang penting dengan warga lain bisa saling menghormati,” ujar Didik. Keharmonisan kehidupan keluarga di Jalan Wayoh terlihat saat Lebaran. Hubungan silaturahmi tetap terjaga dengan apik. 
              “Biasanya, istri muda akan  sungkem kepada istri tua,” ujar Aris, salah seorang warga. Aris adalah salah seorang “produk” dari wayuh. Ibunya menjadi istri kedua seorang pria di kampung tersebut. Meski begitu, Aris mengaku tidak pernah ada masalah. Ibunya bisa menerima keadaan dan tetap rukun dengan istri pertama sang ayah. Juga tidak pernah ada cerita rebutan warisan. Suka duka menjalani wayuh dirasakan NN. Perempuan 35 tahun  yang  tinggal di Jalan Wayoh sejak 2005. Dia mengaku bahagia meski harus berbagi suami dengan istri pertama yang tinggal hanya berseberangan gang. Dia juga senang tinggal di kampung tersebut. Selain bisa dekat dengan suami, dia merasa dihargai oleh warga maupun keluarga.
                Mengapa NN mau diwayuh, ia menjawab,  “Saya dulu punya suami, tapi tidak bertanggung jawab,” ungkap perempuan asal Kediri itu mengaku sering disiksa oleh suami pertamanya. Dia pun menunjukkan sejumlah bekas luka sundutan rokok di kedua tangan dan kakinya. Bekas luka itu menghitam. Ada puluhan luka serupa di tangan dan kakinya. Setelah sang suami mengucapkan talak, NN memilih kabur.
               “Saya sudah nggak tahan,” ucapnya sambil terisak. Dia pergi tanpa tujuan sampai akhirnya terdampar di Sidoarjo. NN menjadi gelandangan dan pengemis.
              “Hanya selembar baju yang saya bawa. Tidak punya uang sama sekali,” imbuhnya. Akhirnya dia bertemu SD, pedagang buah di Pasar Ngaban, Tanggulangin. Singkat cerita, lelaki 40 tahun tersebut bermaksud meminang NN.
                 Walaupun tahu SD sudah beristri, NN menerima pinangan tersebut. “Tujuan saya hanya satu, menolong. Tidak ada niat lain,” ungkap SD. SD mengutarakan niatnya menikahi NN kepada istri pertamanya, Tin.
                 Hal itu awalnya menimbulkan cekcok hebat. Namun, SD tidak patah semangat. Sang istri akhirnya memberikan lampu hijau. “Dia perempuan hebat. Legawa sekali. Saya bangga punya istri seperti dia,” ujarnya.
            NN sendiri menikmati perannya sebagai istri kedua. Dia dan istri pertama SD bisa hidup rukun. “Rumahnya beda gang. Walaupun begitu, kami tetap menjaga silaturahmi. Anaknya juga sering tidur di sini,” katanya.

Sumber: http://www.ruanghati.com/  

You have read this article Budaya with the title Wayoh Kampung Poligami, Tenang Damai Meski Para Lelaki Beristeri Lebih dari Satu. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/06/wayoh-kampung-poligami-tenang-damai.html. Thanks!

No comment for "Wayoh Kampung Poligami, Tenang Damai Meski Para Lelaki Beristeri Lebih dari Satu"

Post a Comment