Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Aneka Tradisi Ruwahan Menyongsong Ramadhan



         BULAN puasa tinggal hitungan jam. Satu minggu sebelum datangnya bulan suci ini, di berbagai daerah di Jawa dan Sumatera kita jumpai berbagai bentuk ritual sadranan atau biasa disebut nyadran atau ruwahan, karena dilaksanakan pada bulan Ruwah dalam hitungan kalender Islam Jawa.    
        Pusat-pusat kegiatan nyadran yang ditandai nuansa religius magis dengan ritual-ritual khas itu adalah tempat-tempat yang dikeramatkan, terutama makam leluhur atau tokoh besar yang banyak berjasa bagi syiar agama Islam pada masa lampau. Tradisi yang hingga saat ini masih berlangsung di kalangan masyarakat desa dan bahkan kota itu mempunyai makna simbolis, yakni menguatnya hubungan diri orang Jawa dengan para leluhur yang telah mendahului, hubungan dengan sesama, dan hubungan  dengan Tuhan.
           Tradisi nyadran intinya berupa ziarah kubur pada bulan Sya’ban (Arab), atau Ruwah dalam kalender Jawa. Tradisi itu  menjadi semacam kewajiban bagi orang Jawa sebagai balas budi terhadap leluhur. Ziarah dengan membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun untuk leluhur, dan tabur bunga tersebut adalah simbol bakti dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang kepada para leluhurnya.
             Makna yang terkandung dalam persiapan puasa di bulan Ramadan adalah agar orang mendapatkan berkah dan ibadahnya diterima Allah. Lewat ritual nyadran, masyarakat Jawa melakukan penyucian diri yang salah satunya ditandai dengan mandi di mata air, telaga, kolam. Setelah itu mereka mengunjungi makam leluhur, membersihkan batu-batu nisan dari rumput liar dan ilalang, dan melakukan doa. Meski bentuk kegiatan sama, namun makna nyadran sangat berbeda dengan ziarah kubur.
              Perbedaan itu, antara lain karena waktu pelaksanaan ritual nyadran telah ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah tersebut. Di hampir semua desa, pihak yang berwenang menentukan waktu nyadran adalah juru kunci, tetua desa, atau sosok yang paling dituakan dalam masyarakat.
               Berbeda dengan ziarah kubur, ritual nyadran dilakukan secara kolektif, melibatkan seluruh warga desa. Ritual nyadran ini biasanya dilakukan di dua pusat bangunan desa, yaitu makam dan masjid. Setelah melakukan bersih makam, acara beralih pada kenduri yang biasanya digelar di masjid atau makam desa. Sebagaimana kenduri pada umumnya, agendanya adalah berdoa dan makan nasi kenduri, yaitu berupa nasi tumpeng dengan lauk ingkung ayam, urap-urapan, buah-buahan, serta jajan.
                Di beberapa desa yang tradisi nyadran-nya masih kuat, masyarakat meletakkan aneka sesaji dalam sebuah tenong, yaitu nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu, dengan alas daun pisang atau daun jati. Satu tenong dikepung beberapa orang sekaligus. Ketika acara doa atau tahlilan selesai, maka mereka akan makan beramai-ramai.
                Tradisi nyadran tak hanya dilakukan untuk para leluhur di makam desa, tapi juga ke makam tokoh besar syiar agama di sejumlah tempat yang pada masa lalu menjadi pusat syiar agama Islam, seperti makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Kabupaten Demak, makam Nyi Tirto Tinoyo atau lebih dikenal sebagai Nyi Panjang, di Dusun Panjang Lor, Kelurahan Panjang, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang.
               Sejumlah tempat lain yang menjadi tempat nyadaran, adalah Dusun Gesingan, Desa Bulakan, Kabupaten Sukoharjo, pemakaman di kaki gunung Sumbing, di Desa Jetis, Kecamatan Selopampang, Kabupaten Temanggung, kemudian di Lereng Gunung Merapi, Kecamatan Selo. Kabupaten Boyolali.
             Makna simbolis dari ritual nyadran atau ruwahan itu sangat jelas, bahwa saat memasuki bulan Ramadhan atau puasa, mereka harus benar-benar bersih, yang antara lain diupayakan dengan cara harus berbuat baik terhadap sesama, juga lingkungan sosialnya.
              Melalui rangkaian tradisi nyadran itulah orang Jawa merasa lengkap dan siap untuk memasuki ramadhan, bulan suci yang penuh berkah itu. Sebab, bagi orang Jawa, nyadran juga berarti sebuah upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, memperbaiki hubungan baik dengan masyarakat dan lingkungan, serta menunjukkan bakti kepada para leluhur mereka.

Sejarah Nyadran

            Lantas kapan sebenarnya tradisi nyadran bagi orang Jawa itu dilakukan? Hampir tak ada yang tahu persis. Namun dalam ajaran Islam, bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.
                   Maka, di sejumlah tempat diadakan sadranan yang maknanya adalah melaporkan segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun, untuk nantinya manusia berintrospeksi. Dalam masyarakat jawa, tradisi atau ritual nyadran sendiri sudah ada pada masa Hindu-Buda, jauh sebelum agama Islam masuk.
                 Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
                  Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa.
                 Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan dakwah secara persuasif yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau masuk Islam melalui tradisi yang dianut masyarakat dewasa itu. Begitulah, Nyadran menjadi media syiar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi dari budaya Jawa ke dalam Islam berupa pemberian batu nisan di atas jenazah yang dikuburkan, yang sebelumnya hanya berupa satu gundukan batu.
                   Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan almarhum, agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk menziarahi dan mendoakan sang arwah. Pemberian batu nisan sebagai penanda kuburan seseorang, memang baru dilakukan pada masa Islam di mana hal itu segera mendapat sambutan dari penduduk penganut Kapitayan yang memuliakan leluhur dan memuja tokoh-tokoh panutannya yang kuburnya ditandai Tungkub. Demikianlah, sepanjang masa dakwah Islam dilakukan pada abad ke-14 dan ke-15, masyarakat kalangan bawah diperkuat kembali pemahaman dan pengenalannya kepada para dhatu leluhur yang mereka puja sebagai pepunden di Tunda (punden berundak), Tungkub (kuburan dengan bangunan di atasnya), Tugu, dan Watu.
         Istilah ruwah sendiri berkaitan dengan kata ‘pembersihan’ tetapi juga ada yang menafsirkan berkaitan dengan kata ‘arwah’ atau roh para leluhur dan nenek moyang yang harus dibersihkan dengan doa-doa dan amaliah shodaqoh, yang kemudian diasosiasikan sebagai nama bulan (untuk mensucikan arwah leluhur) dalam kalender Jawa, yaitu Ruwah. Di penghujung bulan Ruwah itulah warga biasanya berbondong-bondong menziarahi makam leluhur untuk memanjatkan doa yang lazim disebut nyadran.
                Menurut cerita, nyadran berasal dari tradisi keagamaan Hindu yang disebut Sraddha, yaitu peringatan menghormati keluarga yang telah meninggal dengan mendoakan kebaikan bagi arwah yang bersangkutan 12 tahun setelah kematiannya. Pada masa Majapahit, upacara Sraddha terbesar dan termegah diselenggarakan pada tahun 1387 Saka (1465 M)  oleh Jiwanendradhipa (Raja Jiwan) untuk memperingati 12 tahun wafatnya Bhre Pamotan Sang Sinagara, ayahandanya. Ikut dalam upacara sakral itu para putera mendiang Bhre Pamotan Sang Sinagara, yaitu Sri Natheng Kertabhumi, Naranatha ring Mataram, Sang Nrpati Pamotan, Sri Parameswareng Lasem, Naranatha ring Kahuripan. Doa-doa disampaikan oleh para raja itu dalam bentuk Gita dan kidung. Kemegahan dan kemuliaan peringatan sraddha itu digambarkan dengan sangat indah oleh Pu Tanakung dalam kidung yang disebut Banawa Sekar yaitu “Perahu Bunga”, yang menggambarkan bahwa sraddha terindah yang dipersembahkan para raja itu adalah sraddha berbentuk perahu yang dibuat dari bunga-bunga.    
             Di masa Wali Songo, tujuan dari tradisi ini pun diubah menjadi ritual mendoakan orang tua yang telah meninggal dunia setahun sekali pada bulan Sya’ban yang diubah dalam kalender Islam Jawa menjadi bulan Ruwah yakni bulan untuk berziarah. Begitulah dari kata Sraddha menjadi sraddha-an yang  dilafalkan nyeradhan yang mengalami metatesis menjadi nyadran, menjadi tradisi yang dijalankan orang Islam pada bulan Sya’ban atau Ruwah untuk ziarah mendoakan keluarga yang telah mendahului ke alam baka.
           Selain ziarah kubur dalam tradisi nyadran, banyak juga warga yang di bulan Sya’ban atau Ruwah menggelar ruwahan berupa munggahan (berasal dari bahasa Sunda, unggah, yaitu mancat atau menaiki tempat yang lebih tinggi). Acara yang umumnya dihadiri kaum kerabat atau tetangga terdekat ini dilaksanakan dalam rumah dengan membaca doa bersama untuk arwah orang-orang yang telah meninggal dunia, Selepas acara, pihak tuan rumah akan memberi penganan kepada semua hadirin sebagai tanda terimakasih.

Aneka Tradisi Nyadran dan Ruwahan
             Menjelang Ramadhan, puluhan warga dengan berbondong-bondong berjalan kaki sambil memikul lincak (tempat duduk) bambu yang berisi berbagai jenis makanan. Beberapa di antaranya juga terlihat membawa tenong. Makanan yang biasa dibawa dalam lincak maupun tenong adalah nasi gurih, ayam ingkung, pisang raja, dan aneka jajanan pasar.
               Iring-iringan itu baru berhenti setelah memasuki areal Pemakaman Desa di mana   lincak dan tenong masing-masing diletakkan. Setelah didoakan para sesepuh, makanan itu pun menjadi rebutan warga yang sudah lama menunggu. Malam harinya, selepas melaksanakan tradisi turun-temurun yang disebut “Ruwah Rasul” itu, mereka pun bersama-sama menonton pagelaran wayang kulit. Menurut warga setempat, semua kegiatan itu salah satunya dimaksudkan sebagai ajang silaturahmi. Itulah sekilas tradisi ruwahan di desa Mendak.
          Sementara sejumlah peserta kirab mengikuti Kirab Ruwahan Apeman di Jogjakarta yang didadakan di sepanjang Jl. Malioboro, Yogyakarta. Kirab Ruwahan Apeman merupakan simbol mohon ampun kepada Tuhan menjelang bulan Ramadhan agar terampuni segala dosa sebelum menjalani ibadah puasa, di mana kue apem adalah kue dari tepung beras berbentuk bulat yang dibawa ke Nusantara oleh para penyebar Islam dari India selatan. Sampai saat sekarang pun, orang-orang Muslim di India selatan masih membuat kue yang mereka sebut Appam sebagai sarana untuk melakukan kenduri mendoakan leluhur.
            Ruwahan atau Sya’banan juga dikenal di Pulau Bangka dengan sebutan ruwah kubur. Kendati begitu, bentuk ritualnya berbeda-beda di sejumlah wilayah. Di Tempilang, misalnya, warga melaksanakan ruwahan dengan menggelar “perang ketupat”. Sementara di Desa Keretak, ruwahan dilakukan dengan tradisi Selawang Sedulang berupa aktivitas bertamu dari rumah ke rumah untuk silaturahmi.
            Adapun warga Mendobarat, selain bersilaturahmi ke rumah kerabat, juga melakukan ziarah kubur. Kebiasaan bersama ini dipercaya sebagai momen penyucian rohani untuk memasuki bulan Ramadhan. Adapun warga Bonokeling, Banyumas, Jawa Tengah, baik laki-laki maupun perempuan, tua-muda, melaksanakan ruwahan dengan berpakaian adat Jawa kuno. Lalu, tanpa alas kaki, mereka berjalan beriringan sejauh 40 kilometer menuju Makam Bonokeling di Desa Pakuncen, seraya menyusuri jalan setapak dan menembus pegunungan di perbatasan kecamatan. Beberapa warga terlihat membawa hasil bumi dan hewan ternak.
            Uniknya, selama menempuh perjalanan, mereka semua diam membisu (diistilahkan dengan “tapa bisu”). Ritual ini dimaksudkan agar warga bersahabat dan dekat dengan alam, sekaligus menyucikan diri untuk memasuki bulan puasa sehingga muncul keikhlasan dalam berpikir dan perasaan.
             Memasuki pegunungan Kesugihan, Cilacap, mereka beristirahat sejenak di bawah pohon untuk makan siang. Tiba di perbatasan, mereka dijemput dan diantarkan ke rumah milik warga adat Bonokeling. Semalaman, mereka menginap di bale-bale seraya memanjatkan puja-puji dalam bahasa Jawa kuno yang dipimpin juru kunci setempat. Hasil bumi dan hewan ternak yang dibawa warga lalu dimasak untuk acara unggah-unggahan esokan harinya sebelum melakukan ziarah kubur.
             Sementara itu salah satu budaya masyarakat di Pati  pada bulan ruwah menjelang puasa ditandai tradisi megengan atau ruwahan sebagaimana dilakukan masyarakat Desa Ketitang Wetan Kecamatan Batangan.  Tradisi ruwahan atau megengan oleh masyarakat Desa Ketitang Wetan, dilakukan dengan menggelar ritual bersih-bersih  dan mengarak aneka sesaji berupa makanan, tumpeng, dan hasil bumi ke punden desa,
           Semarak upacara yang dilaksanakan tiap-tiap menjelang datangnya bulan Ramadhan selain nyadran adalah yang dikenal dengan nama Dug-deran yang mentradisi di Semarang. Upacara ini merupakan cerminan dari perpaduan tiga etnis yang mendominasi masyarakat Semarang yakni etnis Jawa, Tionghoa dan Arab. Nama “Dugderan” sendiri diambil dari kata “dugder” yang berasal dari kata “dug” (bunyi bedug yang ditabuh) dan “der” (bunyi tembakan meriam). Bunyi “dug” dan “der” tersebut sebagai pertanda akan datangnya awal Ramadhan.
          Menurut sejarah upacara Dugderan diperkirakan mulai berlangsung sejak tahun 1881 di kala Semarang dipimpin oleh Bupati RMTA Purbaningrat. Upacara ini dilatar-belakangi oleh perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai awal dimulainya puasa pada bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu dicapailah suatu kesepakatan untuk menyamakan persepsi masyarakat dalam menentukan awal Ramadhan yakni dengan menabuh bedug di Masjid Agung Kauman dan membunyikan meriam di halaman kabupaten dan dibunyikan masing-masing tiga kali dan dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa di masjid.
             Perayaan dugderan ini semakin lama semakin menarik minat masyarakat Semarang dan sekitarnya karena untuk menunggu penanda awal puasa itu, masyarakat banyak yang berdatangan ke alun-alun yang diikuti kedatangan  para pedagang yang menjajakan dagangannya yang beraneka ragam seperti minuman, makanan, dan mainan anak-anak seperti perahu-perahuan, celengan, seruling dan gangsing. Untuk memeriahkan perayaan dugderan dibuatlah simbol berupa “warak ngendhog” yaitu hewan warak (sejenis badak berkaki empat dengan kepala mirip naga). Warak ngendhog memperlihatkan adanya perpaduan kultur Arab, Islam, Jawa, dan Tionghoa. Keberadaan warak ngendhog tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan yang harmonis antar-etnis sehingga membuka jalinan kontak budaya yang lebih intensif sehingga memungkinkan adanya proses akulturasi. Begitulah, perayaan dugderan akhirnya menjadi arak-arakan berbagai macam tontonan yang melibatkan tidak saja masyarakat santri melainkan juga masyarakat di kampung-kampung yang acapkali bukan muslim.



You have read this article Budaya with the title Aneka Tradisi Ruwahan Menyongsong Ramadhan. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/07/aneka-tradisi-ruwahan-menyongsong.html. Thanks!

No comment for "Aneka Tradisi Ruwahan Menyongsong Ramadhan"

Post a Comment