Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Tengara Ramadhan telah menggelegar sebagai penanda umat Islam memasuki bulan suci yang penuh kelimpahan ampunan, pahala, rahmat, dan kemuliaan yang tidak terhitung karena Allah telah bersabda,”Aku wajibkan puasa atas orang-orang beriman, sebagaimana telah Aku wajibkan atas orang-orang sebelumnya agar mereka menjadi orang yang taqwa (Q.S.Al-Baqarah:183) dan Allah telah bersabda pula di dalam Hadits Qudsy,”Puasa adalah milik-Ku, dan Aku yang paling berhak memberi ganjaran untuknya.”
Berpuasa pada hakikatnya adalah keberpantangan. Yang dimaksud keberpantangan dalam berpuasa adalah menjaga perut tanpa makanan dan minuman, menjaga mata dari pandangan kesyahwatan, menjaga telinga dari kata-kata buruk tentang seseorang, menjaga lidah dari kata-kata yang sia-sia dan kotor, dan menjaga tubuh dari menuruti hal-hal duniawi dan ketidak-taatan kepada Tuhan. Rasul Saw bersabda,”Jika engkau berpuasa, biarlah telingamu berpuasa, matamu, lidahmu, tanganmu, dan juga setiap anggota tubuhmu berpuasa.” Rasul Saw juga bersabda,”Berapa banyak orang yang tidak memperoleh kebaikan dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.”
Bagi kebanyakan kita orang-orang Indonesia, berpuasa di bulan Ramadhan lebih difahami sebagai sekedar tradisi tahunan mengosongkan perut dari makanan dan minuman dalam sehari selama tigapuluh hari. Berpuasa dengan pemahaman seperti ini memiliki implikasi sangat luas, di mana esensi beribadah cenderung direduksi menjadi sekedar aktivitas ritual dengan seperangkat tuntutan keharusan tambahan yang ditradisikan yang sejatinya jauh dari apa yang dianjurkan agama
Setiap kali Ramadhan datang, misal, tuntutan keharusan tambahan yang sudah mentradisi menuntut keberadaan hal-hal yang menyertai pelaksanaan aktivitas puasa mulai dari kewajiban takjil dengan beragam menu seperti aneka jenis kolak, aneka jenis es buah, aneka jenis cendol, aneka kurma dari jenis Yaman sampai Ajwa, aneka buah-buahan, aneka makanan utama dari jenis gulai hingga rawon; beragam menu makanan untuk sahur dari jenis mie sampai bubur oatmeal hingga keharusan menggunakan perangkat shalat tarawih yang serba baru seperti mukenah, sajadah, sarung, baju takwa, sandal, kopiah, kalung tasbih, jam alarm dengan suara adzan; keharusan menyediakan aneka ragam jenis kue dari jenis roti sampai kacang-kacangan dan jadah beserta aneka macam tempat kue; keharusan menyediakan parsel untuk hadiah bagi rekan sejawat; keharusan menyulut petasan dan kembang api; keharusan membeli pakaian baru untuk lebaran; keharusan menyiagakan aneka macam keperluan mudik lebaran mulai transportasi, oleh-oleh untuk keluarga di kampung, uang recehan untuk dibagikan kepada anak-anak kampung, dan yang terbesar adalah keharusan membeli aneka jenis barang mewah untuk dipamerkan kepada kerabat di kampung; belakangan yang marak adalah keharusan melakukan umroh bulan Ramadhan yang biayanya dua kali lipat umroh di bulan lain.
Aneka jenis tuntutan keharusan yang mengikuti aktivitas ritual puasa Ramadhan ini, tidak saja menimbulkan dampak ekonomi berupa keniscayaan supply and demand yang mengarah kepada kapitalisasi religiusitas tetapi telah pula menciptakan fenomena religionomic di mana term-term keagamaan diubah menjadi aneka jenis komoditas yang menenggelamkan masyarakat beragama ke dalam lautan komoditas yang ditandai berbagai tindak manipulatif dan eksploitatif. Sejak menjelang masuk awal Ramadhan, misal, mulai dari spanduk-spanduk, baliho-baliho, brosur-brosur, poster-poster, liflet-liflet, umbul-umbul yang memenuhi jalanan sampai kantor-kantor, toko-toko swalayan, mal, plaza, hotel-hotel, rumah sakit, iklan-iklan di televisi, sampai facebook. Muara dari semaraknya aneka macam komoditas dalam memeriahkan tradisi puasa Ramadhan adalah terjadinya peningkatan frekuensi keniscayaan dari supply and demand, di mana semua hal yang berkaitan dengan tradisi puasa Ramadhan yang berpuncak pada lebaran Idul Fitri senantiasa ditandai lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok mulai sembako, pakaian, sepatu, tas, kue-kue, parsel, sampai transportasi angkutan lebaran.
Tidak bisa diingkari bahwa aktualisasi religiositas yang diperlihatkan masyarakat dalam bentuk semarak tradisi berpuasa Ramadhan yang berpuncak pada lebaran Idul Fitri, telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh para kapitalis untuk mengeksploitasi masyarakat muslim pendukung tradisi tersebut. Itu artinya, tradisi puasa Ramadhan telah memberikan berkah tersendiri bagi kalangan kapitalis untuk menambah kekayaan mereka karena tuntutan-tuntutan keharusan tradisi yang diciptakan masyarakat muslim telah dimanfaatkan sedemikian rupa baiknya dalam wujud komodifikasi segala aspek yang dibutuhkan. Bukan hanya komoditas berupa produk-produk makanan, pakaian, aksesoris, parsel, dan transportasi bahkan keuntungan perusahaan komunikasi pun meningkat tinggi frekuensinya lewat ucapan-ucapan selamat berpuasa, nuzulul Qur’an, lailatul qadar, sampai selamat lebaran Idul Fitri yang dikirim lewat SMS.
Berkah tradisi puasa Ramadhan yang dinikmati para kapitalis itu ternyata tidak serta merta dinikmati oleh umat Islam pendukung tradisi. Sebab di tengah hiruk kesenangan sesaat, kenikmatan sementara, kepuasan pribadi, dan pelampiasan hasrat nafsu duniawi itu terpampang fakta riil di mana sebagian besar pendukung tradisi harus kehabisan uang simpanan sehingga terpaksa menggadaikan barang ke pegadaian atau menjual barang-barang berharga dan bahkan terjerat utang rentenir. Bahkan sudah bukan rahasia, jika memasuki Ramadhan tingkat kejahatan kriminal sampai kejahatan kerah putih cenderung tidak berkurang malah meningkat frekuensinya.
Gemuruh masyarakat muslim Indonesia dalam menjalankan tradisi berpuasa Ramadhan dengan puncak lebaran Idul Fitri, tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai sebuah reduksi dari aktualisasi religiositas masyarakat muslim dalam memaknai ibadah agama mereka. Amanah esensial dari puasa Ramadhan yang memacu orang-orang beriman untuk meningkatkan derajat ruhaninya menjadi orang-orang yang taqwa melalui keberpantangan, yang ditandai kembalinya manusia kepada fitrah dalam bentuk Idul Fitri (kembali kepada fitrah), telah tereduksi dan bahkan terabaikan oleh hasrat nafsu yang sekedar mencari kesenangan dan kepuasan ragawi semata. Semakin dimanjakan indera-indera alamiah dengan kesenangan dan kepuasan ragawi, semakin kuatlah jiwa rendah dari nafsu-nafsu menguasai tubuh dan menutupi kesadaran ruhani, yang pada akhirnya menjadikan setiap pembuluh darah maujud sebagai hijab yang menutupi fitrah Tauhid manusia. Sungguh sebuah kerugian besar yang tidak ternilai jika sebuah amaliah ibadah berakhir dengan keterhijaban ruhani akibat bersimaharajalelanya hasrat-hasrat nafsu duniawi yang sangat menghegemoni.
Ali ibn Utsman Al-Jullabi Al-Hujwiri yang berbicara tentang puasa menyatakan bahwa buah lapar adalah kontemplasi tentang Tuhan (musyahadah), sedang perintisnya adalah penundukan hawa nafsu (mujahadah). Sementara yang dilakukan masyarakat muslim Indonesia dalam menjalankan ibadah puasa dengan tradisi-tradisi yang penuh tuntutan keharusan itu, tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda keberpantangan dalam penundukan hawa nafsu (mujahadah), sehingga dipastikan akan jauh dari buah puasa yang disebut musyahadah,yaitu kembali kepada fitrah (Idul Fitri) sebagai Adam Ma’rifat, Adam yang berkedudukan ruhani sangat tinggi – disujudi para malaikat dan membuat iblis iri hati – dapat berwawansabda dengan Tuhan, sebuah kedudukan mulia sebelum ia memakan secuil buah yang membuatnya jatuh ke derajat rendah dan terhijab dari Rabb-nya.
You have read this article Budaya
with the title Konsumerisme Ramadhan dan Kembali Meraih Fitrah. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/08/konsumerisme-ramadhan-dan-kembali.html. Thanks!
No comment for "Konsumerisme Ramadhan dan Kembali Meraih Fitrah"
Post a Comment