‘’Ketahuilah, di dalam jasad ada mudzghah (segumpal daging) yang jika dia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika dia jelek maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah dia itu adalah Qalb.’’
Hadits ini dimaknai oleh orang-orang yang berpikir tekstual berkaitan dengan organ bersifat fisik yang disebut jantung. Kaum sufi, tidak menggunakan makna Al-Qalbu (hati) dengan menunjuk organ fisik yang terdapat di dalam dada manusia yang disebut jantung. Kaum sufi memberi makna Al-Qalbu sebagai substansi yang bukan materi yang berfungsi untuk mengenal segala sesuatu serta memiliki kemampuan untuk merefleksikan sesuatu sebagaimana cermin yang memantulkan gambar-gambar. Pemaknaan Al-Qalbu sebagai sesuatu yang bukan materi didasarkan pada Hadits: “Ketahuilah, di dalam jazad ada al-mudzghah, di dalam al-mudzghah ada Al-Qalbu, di dalam Al-Qalbu ada Fuad, di dalam Fuad ada Ruh, di dalam Ruh ada Sirr, di dalam Sirr ada Akfa, di dalam Akfa ada Aku (Inna fii al-jazad al-mudzghah, wa fii mudzghah al-qalb, wa fii al-qalb fuad, wa fii fuad ar-ruuh, wa fii ruuh sirr, wa fii sirr akfa, wa fii akfa ana).
Hati (Al-Qalbu) adalah sumber cahaya atau sumber dari ma’rifat, yang di dalamnya terdapat tujuh kota cahaya. Tujuh kota itu dikelilingi oleh Nuur Al-Awwal, di mana cahaya pertama itu dimuliakan di dalam pusat hati. Setiap kota dari tujuh kota yang terdapat di dalam hati, masing-masing memperoleh sinar dari Nuur al-Awwal tersebut. Setiap kota dari dari tujuh kota itu sama-sama memiliki pintu cahaya untuk membuka apa yang terdapat di dalam masing-masing kota. Tiap-tiap pintu dari tiap-tiap kota memiliki pagar yang menghadang cahaya. Setiap pintu kota memiliki kunci untuk membuka pintu kota. Tujuh kota di dalam hati itu adalah kota raja (Madinat Al-Mulk), yaitu Al-Qalbu.Al-Hakim At-Tirmidzi memaknai Al-Qalbu sebagai isim jami’ (sesuatu yang meliputi), yang di dalamnya terdapat maqamat al-bathin secara keseluruhan.
Hati (Al-Qalbu ibarat lampu, di mana lampu itu akan baik jika cahayanya baik. Untuk memperbaiki lampu haruslah dengan memperbaiki cahayanya. Dalam konteks hati, cahaya yang dimaksud adalah cahaya taqwa dan cahaya yaqin. Jika hati manusia kosong dari nilai-nilai taqwa dan yakin, maka hati tersebut ibarat lampu yang padam. Itu sebabnya, setiap amal perbuatan dari jiwa yang jauh dari hati (Al-Qalbu), maka amal perbuatan itu tidak mendapat penilaian akhirat. Sebab yang mendapat sanksi dari amal perbuatan bukan pelakunya melainkan hati, begitu pula yang mendapatkan pahala dari amal perbuatan bukanlah pelakunya melainkan hatinya sebagaimana firman Allah :
“Allah akan memberikan balasan terhadap apa yang telah diperbuat oleh hati kalian (Q.S.Al-Baqarah: 225)”
Tidak ada yang melebihi kebaikan manusia yang hatinya bertaubat disinari cahaya tauhid, ma’rifat dan iman. Tidak ada sesuatu yang lebih terang, bersih, jernih, dan lapang yang dicipta-Nya selain hati yang disucikan Tuhan dari segala bentuk kekotoran. Lalu hati memiliki rasa malu di dalamnya terdapat Nuur al-Haqq. Itulah hati mu’min yang senantiasa dijaga Allah dan disinari dengan cahaya yang tanpa batas akhir. Itulah hati yang mampu menembus khazanah gaib-Nya karena kunci pintunya telah berada di sana. Demikianlah, Al-Qalbu itu sumber cahaya iman dan merupakan pangkal segala pemahaman. Firman Allah: “Dulu kalian tidak mengenal apakah kitab itu, dan juga (tidak mengenal) apakah iman itu. Akan tetapi, Kami jadikan hati itu cahaya (Q.S.Asy-Syura:52).
Al-Qalbu adalah khazanah ilmu, baik ilmu hikmah maupun ilmu isyarat, setelah yang memperoleh anugerah memperoleh petunjuk dari Allah. Seseorang yang hatinya telah dibuka oleh Allah sehingga dapat menyaksikan sesuatu yang terdapat di balik hijab-Nya, maka ia seperti melihat sesuatu yang gaib dengan penglihatan matanya. Ibarat tempayan berisi air diletakkan di tengah tanah lapang yang memantulkan cahaya matahari, demikianlah hati yang dibersihkan Allah dari kotoran seibarat air jernih di dalam tempayan. Sementara kotoran benda-benda seperti daun kering, kertas, potongan kayu, perca, dan segala benda yang menutupi permukaan air akan menutupi pantulan cahaya matahari. Itulah hati yang tertutup dan buta sebagaimana firman-Nya: “Maka sesungguhnya mereka itu tidak buta (matanya), akan tetapi hati merekalah yang buta, yang terdapat di dalam as-shadru (Q.S.Al-Hajj:46).
Lepas dari keinginan dan harapan kuat agar memiliki hati yang senantiasa bersih, di zaman yang serba materialistik ini, mampukah kita menjaga kebersihan hati kita dari pengaruh materi dalam bentuk komoditas-komoditas yang membanjir, hasrat kesenangan syahwat yang mengepung, dorongan ambisi berkuasa yang mengrahdik, dan desakan-desakan nafsu rendah duniawiah lain yang membuat hijab kita tersingkap dari-Nya? Meski sangat berat, kita harus berjuang keras dan berharap agar di tengah kepungan atmosfir yang materialistik ini jangan sampai kita diper budak materi duniawi apalagi menjadi pemuja dan penyembahnya! Naudzubillah!
Posted by Agus Sunyoto
You have read this article Agama
with the title Qalbu - dalam ranah sufisme. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/08/qalbu-dalam-ranah-sufisme.html. Thanks!
No comment for "Qalbu - dalam ranah sufisme"
Post a Comment