Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

POST HEGEMONY XXII: Perang Mata Uang’ di Balik Krisis Regional ASEAN



                                            Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
 
US - China Currency War
Ahad pagi usai kajian Subuh, para santri berkerumun di depan Mading membaca berita bertajuk ‘Latihan Perang Cina memanaskan Asia Tenggara’ dan ‘Indonesia Dikirimi Helikopter Serang Apache AH-64’. Setelah itu mereka masuk aula mengikuti diskusi public yang menampilkan dua orang pembicara, Dr Permana L. el-Bahluli, seorang pengamat militer dari ibukota, dan Sufi tua, mantan intelijen Negara yang setelah pensiun tinggal di pesantren menjalani suluk.    
        Pada awal diskusi, Dr Permana L. el-Bahluli, menyinggung tentang pertemuan para Menteri Pertahanan ASEAN  pada akhir Agustus 2013  lalu di Brunei Darussalam,  untuk menyikapi perkembangan kawasan Asia Tenggara yang mulai menghangat sejak akhir Juli 2010, yaitu sewaktu  perayaan ulang tahun ke-85 Angkatan Perang China (People’s Liberation Army),  Negeri Tirai Bambu ini meluncurkan kapal patroli terbaru berukuran 5.400 dwt, yang diikuti pernyataan  Menhan China bahwa kapal tersebut merupakan  “a regular combat-readiness patrol system” yang dirancang khusus  untuk memelihara wilayah yurisdiksi China. 

    Negara-negara di kawasan ASEAN, menurut Dr Permana L. el-Bahluli,  merasa gelisah dengan pernyataan tersebut apalagi dua bulan kemudian, China  meluncurkan kapal induk hasil peremajaan bekas Uni Soviet, Varyag, yang berbobot 67.500 ton yang diberi nama Liaoning. Tentang kapal induk Liaoning ini Menhan China  menegaskan lagi  bahwa kapal bekas milik Uni Soviet yang sudah dimodifikasi itu  akan digunakan mendongkrak secara keseluruhan kemampuan operasional Angkatan Laut China, dan akan efektif melindungi kedaulatan nasional, keamanan dan perkembangan  kepentingan Cina. “Dengan dua kasus itu, China tampaknya berusaha memberikan kesan yang kuat bahwa sebagai Negara adidaya China  tidak segan untuk menggunakan kekuatan angkatan lautnya, khususnya fighting instruments, untuk memperkuat klaim sebagai penguasa tunggal atas Laut China Selatan,” ungkap Dr Permana L. el-Bahluli.
Pernyataan China itu, lanjut Dr Permana L. el-Bahluli didukung oleh  laporan bahwa China secara khusus telah  mengeluarkan dana besar untuk melengkapi kebutuhan militernya seperti mengembangkan pertahanan udara yang canggih, kapal selam, senjata anti satelit, senjata anti-kapal permukaan, yang  semuanya disiapkan untuk  menghadapi musuh yang berani memasuki area strategis seperti Laut Cina Selatan.  Diperkirakan dana anggaran militer yang disiapkan China sebesar US$ 120-180 milyar. “Para pengamat militer menilai peristiwa tersebut, merupakan suatu indikator yang kuat bahwa China sangat berambisi untuk membangun blue water navy yang dapat dioperasikan ke berbagai penjuru dunia,” kata Dr POermana L el-Bahluli.
             Menurut Dr Permana L. el-Bahlouli, tengara  China memperkuat angkatan perangnya ini, meningkatkan kegelisahan  Negara-negara di sekitarnya, terutama Negara-negara ASEAN yang terlibat saling klaim atas Kepulauan Spratley dengan China. Negara-negara ASEAN masih ingat,  bagaimana pada tahun 1980-an  Laksamana  Liu   Huaqing, komandan Angkatan Laut   Cina (People’s Liberation Navy) telah   memaparkan strategi   pertahanan China yang disebut Island Chains, di mana dalam strategi tersebut China mengasumsikan bahwa  negaranya memiliki dua (2) level perimeter     (garis   pertahanan) yang membentang di lepas pantai China. Sekalipun  pemerintah China belum memberikan penjelasan resmi mengenai batas definitive Island Chains, para pakar pertahanan  meyakini bahwa level perimeter pertama (first island chain) meliputi wilayah laut yang membentang dari utara ke selatan mencakup kepulauan Jepang, Taiwan, Filipina, dan Indonesia (Kalimantan). Sementara  level perimeter kedua  (second island chain) meliputi wilayah laut yang membentang melewati   kepulauan   Bonin,   kepulauan   Mariana, Guam, dan kepulauan Caroline.
    Semenjak kemunculan kekuatan laut China secara terbuka pada Juli 2010, fenomena konflik regional di kawasan ASEAN terasa semakin memanas, terutama sewaktu berlangsung musim menangkap ikan di Laut Cina Selatan, di mana seperti pengalaman yang sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, bentrokan antara nelayan China dengan nelayan dari negara-negara tetangga di kawasan sekitar Laut Cina Selatan kian meningkat. Pada akhir April, sebuah armada yang terdiri dari 32 kapal penangkap ikan China kedapatan bergerak menuju ke kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Aksi yang dilakukan China tersebut, memancing kemarahan Filipina yang langsung mengajukan protes diplomatik. Dalam protes tertanggal 10 Mei itu, Filipina mengatakan bahwa China telah mengirim sebuah kapal militer, dua kapal pengintai dan beberapa kapal nelayan di sekitar Dangkalan Thomas, yaitu  wilayah yang  menurut Filipina,  berada di dalam zona ekonomi eksklusifnya.  Juru Bicara Departemen Luar Negeri Filipina, Raul Hernandez,  menyebutkan bahwa  kehadiran kapal-kapal China itu sangat provokatif dan ilegal. "Keprihatinan Filipina adalah bahwa wilayah ini, dangkalan ini, merupakan bagian integral dari kedaulatan nasional kami,” kata Raul Hernandez. Sementara. awal September 2013 ini, pemerintah Vietnam sudah mengajukan protes diplomatik dan mengatakan salah satu kapalnya disenggol oleh sebuah kapal perang China. “Menanggapi berbagai protes diplomatic Negara-negara tetangganya,  Departemen Luar Negeri China secara konsisten mengatakan bahwa kedaulatan China atas Spratly - yang disebutnya sebagai Kepulauan Nansha - adalah "tidak dapat dibantah" oleh siapa pun,” kata Dr Permana.
           Di tengah kondisi regional yang semakin memanas itulah,  Menhan Negara-negara ASEAN  bertemu di Brunei dengan  dihadiri Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Chuck Hagel, yang ingin  mempererat hubungan dan stabilisasi kawasan Asia Tenggara. Amerika Serikat lewat Menhannya berharap konflik di Laut China Selatan dapat lebih dikendalikan.
               Belum diketahui pasti apa yang dibicarakan Chuck Hagel dengan para Menhan Negara-negara ASEAN yang bertemu di Brunei Darussalam itu. Yang pasti, sewaktu Chuck Hagel  ke Indonesia dan berada di Jakarta, ia menyatakan komitmennya untuk mengirim skuadron heli serang Apache AH -64. “Pernyataan Chuck Hagel “mengirim” skuadron heli serang Apache itu  wajib didukung karena Indonesia sebagai bagian dari ASEAN juga potensial menghadapi kekuatan militer China,” kata Dr Permana L. el-Bahluli menjelaskan,”Selain itu, Indonesia juga akan mendapat sejumlah senjata pelengkap heli serang Apache. Sesuai rencana, delapan unit pesawat Apache AH-64 akan tiba di Indonesia pada Oktober 2014”.
 

                                                                *    *    *    *
         
                 Ketika giliran Sufi tua bicara, ia langsung mengutip pandangan Martin van Creveld dalam Transformation of  War: The Most Radical Reinterpretation of Armed Conflict Since Clausewitz (1991), yang memiliki sudut pandang baru dalam memaknai peperangan, di mana dalam sub bab berjudul The Metamorphoses of interest, Creveld  mengemukakan: “From machiavelli to Kissinger, the term which more than any other sums up the purpose for which war has been waged is "interest" . "Interest" is the Ark of the covenant in the temple of policy, the stock-in-trade of decision markers at all level,” di mana semenjak Machiavelli sampai ke Kissinger, tidak ada istilah yang melebihi jumlah istilah lain sampai ke tujuan  perang yang  telah dilancarkan (suatu negara)  selain  "kepentingan". "Kepentingan", menurut Creveld,  adalah tabut perjanjian di kuil kebijakan, saham-dalam-perdagangan,  penanda keputusan di semua tingkat.
               Setelah itu Sufi tua mengutip pandangan Song Hongbing yang menulis buku  Currency War  yang mengungkap  bagaimana para bankir  melakukan ‘perang’ dalam menelikung Amerika Serikat, dengan menguasai Feredal Reserve, sehingga Bank Central Amerika Serikat itu tidak berfungsi sebagat lembaga Negara melainkan dikendalikkan oleh bankir-bankir swasta terutama dari kelompok Rothschild, yang diperkirakan memiliki kekayaan sekitar  US$ 5 triliun.
          Sufi tua juga mengutip padangan  James G. Rickards dalam buku Currency Wars: The Making of the Next Global Crisis, yang mengindikasikan bahwa Perang Mata Uang ke depan nanti akan menimbulkan krisis global.
             
Battleship of Currency War
Lepas dari pro kontra tentang tulisan Song Hongbing dan James G. Rickards, yang pasti ada frame of reference baru dalam memandang apa yang disebut ‘perang’ dengan paradigm, dogma dan doktrin baru. Maksudnya, dengan berpijak pada pandangan Martin van Creveld, Song Hongbing dan James G. Rickards, ranah perang tidak lagi harus difahami hanya sebagai pertempuran bersenjata dengan menggunakan alat-alat penghancur yang dijalankan oleh manusia-manusia yang disebut tentara. Perang, dalam konteks ini, bisa dimaknai sebagai pertarungan di bidang moneter yang menggunakan taktik dan strategi baru yang benar-benar berbeda dengan taktik dan strategi militer.
               Fakta sekarang ini menunjuk bahwa Cina bukanlah Negara Tirai Bambu sekutu Negara Tirai Besi Uni Soviet Sosialis-Komunis yang dalam Perang Dingin bermusuhan dengan Negara-negara Blok Barat Liberal-Kapitalis yang dimotori Amerika Serikat dan Eropa Barat. Cina diketahui diam-diam telah ‘menanam investasi’ di Amerika Serikat lewat pembelian surat utang   yang dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat, yang diumumkan oleh  Kementerian Perdagangan dan Transaksi Valuta Asing Cina, bahwa utang AS kepada Cina mengalami lonjakan pasca pembelian surat utang  negara itu oleh Beijing senilai US$ 1.200 milyar.
    Angka sebesar  US$  1.200 milyar  ini setara dengan sepertiga dari total cadangan valuta asing Cina, sebagai negara dengan cadangan valuta asing terbesar di dunia selain Jepang. Dalam jangka waktu dua bulan, Oktober dan November tahun 2012, Cina meningkatkan pembelian surat-surat utang pemerintah  Amerika, dan untuk bulan Oktober saja, jumlah utang Amerika ke Cina meningkat  US$ 16 milyar. Cina bahkan menambah kepemilikan surat utang AS dalam dua bulan berturut-turut sejak awal tahun 2013 ini. Bagi AS, naiknya minat Cina atas surat utangnya itu sangat penting demi membantu pembiayaan anggaran negara, yang tahun ini kembali bakal defisit lebih dari US$1 triliun. 
           Menurut stasiun berita BBC, mengutip data dari Departemen Keuangan AS, Beijing kembali membeli obligasi mereka sebesar US$12,7 miliar. Dengan demikian hingga Februari  2013 lalu, kepemilikan Cina atas surat utang AS sudah mencapai lebih dari US$1,17 triliun.

                                                   *    *    *

                Para santri tertegun-tegun mendengar paparan Sufi tua tentang fenomena Currency War di balik ketegangan politik antara Negara-negara ASEAN dengan Cina.  Dr Permana L. el-Bahlouli pun tak kurang tertegunnya mendengar paparan Sufi tua sampai berkali-kali ia menggeleng-gelengkan kepala.Setelah tidak  ada satu orang pun yang bertanya, Sufi tua melanjutkan analisisnya dengan menjelaskan sebagai berikut:
”Bertolak dari pandangan Song Hongbing, James G Rickards dan James van Creveld yang ditopang fakta bahwa Cina telah ‘menanam’ investasi ke Amerika Serikat dalam bentuk surat-surat utang Negara Paman Sam yang sedang mengalami krisis ekonomi itu, dapat diasumsikan bahwa aksi-aksi  provokatif  yang dilakukan Cina dengan pamer kekuatan angkatan lautnya yang memicu ketegangan di Negara-negara Asia Tenggara dalam konflik Kepulauan Spratly tidak dimaksudkan lain oleh Cina kecuali sebagai bagian dari manuver strateginya dalam perang mata uang modern.”
          “Maksudnya, dengan meningkatkan ketegangan di kawasan Laut Cina Selatan, yang mendapat respons serius dari Negara-negara ASEAN yang terbukti dengan diselenggarakannya pertemuan Menhan se ASEAN di Brunei Darussalam, sesungguhnya tersembunyi  ‘kepentingan’ Cina untuk  menyelamatkan Amerika Serikat dari krisis moneter melalui pemberian peluang bagi Amerika Serikat untuk menjual Alutsista kepada Negara-negara ASEAN yang sedang gelisah oleh manuver angkatan laut Cina. Bahkan Indonesia yang tidak ikut terlibat dalam konflik Kepulauan Spratly dikirimi helikopter serang Apache AH-64 yang tentu saja tidak gratis.”
             “Dengan menggunakan frame of reference baru yang menggunakan paradigma, dogma dan doktrin currency war dan  transformation of war, tindakan Cina memberi peluang kepada Amerika Serikat untuk menjual alutsista kepada Negara-negara ASEAN menjadi sangat masuk akal. Sebab dengan ‘menanam investasi’ ke Amerika Serikat senilai US$ 1,17 triliun, Cina dipastikan tidak ingin Negara Paman Sam itu guncang dan tidak mampu keluar dari krisis. Dengan pandangan baru ‘Perang Mata Uang’, Cina justru menginginkan ekonomi Amerika Serikat normal kembali – meski Negara-negara ASEAN di sekitar Cina melengkapi kekuatan militernya dengan alutsista bikinan Amerika Serikat – karena yang paling utama dari berbagai ‘kepentingan’ yang dimiliki Cina bukanlah mencemaskan kekuatan militer Negara-negara tetangga, tetapi lebih kepada investasi senilai US$ 1,17 trilun yang sudah ‘ditanam’ dalam bentuk surat utang negara Amerika Serikat, di mana hal itu terindikasi pada pernyataan pemerintah Cina  yang menyatakan jika terpaksa Cina  akan menggunakan senjata ekonomi untuk menghadapi lawan-lawannya, yang hal itu bisa ditafsirkan bahwa Amerika Serikat tidak akan lagi bersikap keras terhadap Cina sebagaimana terjadi pada saat Perang Dingin berdasar ideology masa lalu, sehingga bisa difahami kenapa Menhan Amerika Serikat Chuck Hagel sewaktu hadir dalam pertemuan Menhan ASEAN di Brunei Darussalam menggunakan alasan  ‘mendinginkan’ ketegangan tetapi diam-diam menjual alutsistanya kepada Negara-negara yang dicekam ketegangan itu.”
.        “Jadi Amerika Serikat sekarang ini bukanlah musuh Cina seperti saat perang dingin dulu, sebaliknya merupakan mitra kerja dalam kesepahaman yang saling menguntungkan satu sama lain.Itu berarti, era ideology sudah berakhir digantikan era money, duit, fulus, uang…sebagai rajadiraja penguasa dunia.”





You have read this article Sejarah with the title POST HEGEMONY XXII: Perang Mata Uang’ di Balik Krisis Regional ASEAN . You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/09/post-hegemony-xxii-perang-mata-uang-di.html. Thanks!

No comment for "POST HEGEMONY XXII: Perang Mata Uang’ di Balik Krisis Regional ASEAN "

Post a Comment