Blog Pesantren Budaya Nusantara adalah sebuah inovasi pendidikan non formal berbasis Budaya Islam Nusantara di dunia maya yang memiliki tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan secara inovatif warisan budaya Nusantara yang adiluhung di tengah arus gelombang globalisasi yang akan menghapus identitas etnis, budaya, bahasa, agama, negara

Post Hegemony XXVI: Diponegoro Pelopor Kebangkitan Nasional Pertama

 Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Pangeran Diponegoro

       Sarasehan bertema “NU dan Perjuangan Menegakkan NKRI” terasa mulai menghangat  sewaktu Dr Nuchter van Oogkleppen mempersoalkan paparan Sufi tua yang menetapkan satu pandangan aneh yang menyalahi konsensus nasional, yaitu menetapkan Hari Kebangkitan Nasional pada 19 Juli dengan dalih hari itulah Perang Jawa yang disulut Pangeran Diponegoro dimulai. Sufi tua beranggapan bahwa tanggal 19 Juli 1825 itulah embrio nasionalisme yang sudah memiliki akar pada suku bangsa – suku bangsa di Indonesia diledakkan oleh Pangeran Diponegoro sebagai gerakan perlawanan nasional. “Maaf Opa Sufi, dasar logika apa yang menjadikan Opa berkesimpulan bahwa gerakan perlawanan Pangeran Diponegoro adalah sebuah Kebangkitan Nasional yang pertama? Bukankah itu menyalahi konsensus Nasional bahwa Kebangkitan Nasional Indonesia dimulai 20 Mei 1908. Mohon pertanggung jawaban, Opa,” kata Dr Nuchter van Oogkleppen dengan nada ditekan tinggi.
    “Sebelum saya jawab,” sahut Sufi tua balik bertanya,”Saya ingin bertanya kepada Bapak Doctor, alasan apa kira-kira yang dijadikan dasar berdirinya Boedi Oetomo sebagai tonggak Kebangkitan Nasional. Maksud saya, kenapa berdirinya Boedi Oetomo dijadikan tonggak sejarah Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia?”


    “Sesuai catatan sejarah,” jawab Dr Nuchter van Oogkleppen memaparkan,”Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, jam 09.00, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya yang menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Itulah momentum bersejarah yang dianggap sebagai embrio bagi lahirnya Boedi Oetomo. Mahasiswa Kedokteran STOVIA mengembangkan gagasan Soetomo itu sampai Boedi Oetomo berdiri dengan cabang-cabang tersebar di Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo.”

Aanval van de colonne Luitenant Kolonel Le Bron de Velaxa
    “Siapakah pimpinan Boedi Oetomo waktu itu?” tanya Sufi tua.
   “Pada  tanggal 3-5 Oktober 1908 diselenggarakan Kongres Boedi Oetomo I di Jogjakarta. Dalam Kongres itu terpilih Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan bupati Karanganyar sebagai presiden Budi Utomo yang pertama.”
    “Berarti presiden pertama Boedi Oetomo itu seorang pensiunan ambtenaar, mantan pegawai kolonial  yang sudah tua ya?” tanya Sufi tua minta penjelasan dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan,”Apakah anggota Boedi Oetomo saat itu terdiri dari rakyat biasa dan golongan feodal atau hanya golongan feodal saja? Adakah suku bangsa lain yang terlibat dalam organisasi Boedi Oetomo selain Suku Jawa? Adakah secara eksplisit Boedi Oetomo menyatakan diri sebagai organisasi pergerakan nasional yang menginginkan kemerdekaan negeri dan bangsanya?”
    “Ya presiden pertama Boedi Oetomo memang ambtenaar, mantan bupati Karanganyar,” sahut Dr Nuchter van Oogkleppen menarik nafas berat,”Bahkan presiden kedua, Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman adalah ambtenaar juga. Anggota Boedi Oetomo sendiri memang dari kalangan feodal dan semua berasal dari etnis Jawa. Tentu pada jaman itu mustahil Boedi Oetomo secara eksplisit menyatakan diri sebagai organisasi pergerakan nasional yang menginginkan kemerdekaan negeri dan bangsanya, karena pasti akan diberangus pemerintah kolonial. Yang pasti dari tokoh-tokoh yang aktif di Boedi Oetomo tercatat sejarah sebagai pelopor bagi berdirinya partai-partai politik seperti Indische Partij, Insulinde.”
    “Asal Tuan tahu, Indische Partij sudah disiapkan Douwes Dekker jauh sebelum ia mempengaruhi tokoh-tokoh aktivis Boedi Oetomo seperti Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soerjadi Soerjaningrat. Bahkan harus diakui, Douwes Dekker adalah tokoh yang mempengaruhi pemaknaan ‘tanah air Hindia’ ke dalam pemahaman orang Jawa di Boedi Oetomo,” kata Sufi tua menjelaskan.

Aamkomst van de Diponegoro te Magelang
     “Tapi apa pun kelemahan dan kekurangan Boedi Oetomo,” sahut Dr Nuchter van Oogkleppen, ”Tetaplah Boedi Oetomo dicatat sejarah sebagai organisasi pertama, yaitu ikatan persatuan manajerial modern yang menjadi cikal-bakal persatuan nasional.”
     “Kalau urusannya organisasi, Pangeran Diponegoro-lah perintis organisasi yang lebih awal dibanding Boedi Oetomo, yaitu organisasi yang mengikat persatuan dan kesatuan anggota-anggota pengikutnya ke dalam organisasi militer yang meniru model Janissari (pasukan elit Turki Usmani), termasuk menggunakan nama-nama kesatuan dan kepangkatan yang disesuaikan dengan kondisi Jawa seperti nama-nama korps militer Bulkio (Boluki), Arkio (Ardia), Turkio (Oturaki), gelar Alibasah (Ali Pasha), Basah (Pasha), Seh (Syekh), Barjumungah, dan nama-nama khas pasukan Jawa seperti pasukan Mantrijero, Daeng, Nyutro, Mandung, Ketanggung, Kanoman, Kajineman sebagaimana dicatat dalam Babad Dipanegara dan  catatan A.W.P.Weitzel (1855),” kata Sufi tua.

Alibasah Sentot Prawirodirdjo
Johnson yang sejak kecil di sekolah sudah dijejali dogma dan doktrin yang menyatakan bahwa Kebangkitan Nasional diawali oleh Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, sulit memahami pandangan Sufi tua. Johnson tetap berkeyakinan bahwa Kebangkitan Nasional pertama adalah ditandai lahirnya Boedi Oetomo. “Saya keberatan Pakde, karena Diponegoro itu seorang pemberontak yang berambisi menjadi Sultan Jawa dengan merampas kekuasaan adiknya. Jadi dia itu bukan melawan Belanda karena ingin memerdekakan bangsanya dan tanah airnya, melainkan semata-mata ingin menjadi penguasa. Di samping itu pakde, perang yang disulut Diponegoro itu adalah perang Jawa alias Java Oorlog, yang terjadi di Jawa dan diikuti oleh orang Jawa saja. Jadi jangan  dilebih-lebihkan bahwa pemberontakan Diponegoro itu adalah gerakan perlawanan nasional untuk mengusir kolonial Belanda.”
    Sufi tua ketawa. Setelah diam sejenak, ia menjelaskan,”Pertama-tama yang penting kita fahami bersama, bahwa dewasa itu  Pemerintah Kolonial Belanda memposisikan Kesultanan Jogjakarta yang disebut vorstenlanden sebagai vassal, yaitu ‘bawahan’ sekali pun tidak secara eksplisit memposisikan Sultan Jogja seperti para bupati sebagai inlandschbestuur bawahan Residen dan Asisten Residen. Setiap pergantian sultan, Belanda memiliki kewenangan untuk menyetujui dan mengangkat seorang calon sultan sehingga calon sultan yang tidak disetujui Belanda, tidak bakal bisa menjadi sultan. Nah kita harus melihat pandangan Pangeran Diponegoro dalam konteks ini ketika beliau menolak tawaran John Crawfurd dan Baron de Salis.”
    “Maksudnya bagaimana, pakde? Siapa itu John Crawfurd dan siapa pula itu Baron de Salis?” sergah Johnson kurang faham,”Dan bagaimana seandainya saat itu yang diangkat Belanda sebagai Sultan Jogjakarta adalah Pangeran Diponegoro? Apakah beliau akan melakukan pemberontakan?”

Illustratie - Java Oorlog
     “Belanda lebih faham tentang Pangeran Diponegoro daripada kamu Son,” sahut Sufi tua ketawa,   “Maksudnya, Belanda faham bahwa Pangeran Diponegoro memiliki pendirian dan pandangan tersendiri tentang Negara dan sistem kenegaraan  yang berbeda dengan seumumnya pangeran-pangeran Jogjakarta y dewasa itu. Belanda faham bahwa Pangeran Diponegoro sangat tidak suka dengan otoritas pemerintah kolonial yang ikut campur dalam masalah pengangkatan Sultan Jogjakarta, yang menjadikan negara warisan kakek buyutnya itu kehilangan kebebasan.”
   “Bagaimana Belanda tahu itu pakde?” tanya Johnson.
   “Belanda punya catatan, sewaktu Jogjakarta di bawah kekuasaan Inggris, pada tahun 1812 Residen John Crawfurd pernah mencalonkan Pangeran Diponegoro sebagai putera mahkota yang akan menjadi pengganti sultan, tetapi Pangeran Diponegoro menolak. Ketika Inggris mengembalikan Hindia Belanda kepada Belanda, Residen Baron de Salis pada tahun 1822, tegas mencalonkan Pangeran Diponegoro  menjadi Sultan Jogjakarta, tetapi lagi-lagi Pangeran Diponegoro menolak. Jadi kalau gerakan perlawanan Pangeran Diponegoro dianggap sebagai ambisi untuk menjadi penguasa, tidak perlu beliau  bersusah payah mengangkat senjata, cukup menyetujui usulan John Crawfurd atau Baron de Salis, beliau sudah pasti tinggal ongkang-ongkang menjadi sultan. Jadi jangan sekali-kali menuduh beliau seorang ambisius yang melakukan pemberontakan untuk kekuasaan pribadi, karena sejarawan Belanda sendiri tidak pernah menganggap beliau pemberontak. Sehingga perlawanan Pangeran Diponegoro itu tidak disebut “Java Opstand” (Pemberontakan Jawa) melainkan “Java Oorlog” (Perang Jawa),” kata Sufi tua menjelaskan.

Penangkapan P.Dipoengoro lewat penipuan Khas Belanda
      “Apa pun alasannya, Perang Diponegoro tetap disebut Perang Jawa alias Java Oorlog, yaitu perang di Jawa yang melibatkan orang Jawa melawan Belanda,” kata Johnson menyimpulkan.
     “Kita tidak bisa berpikir tekstual seperti pikiranmu Son,” kata Sufi tua dengan suara merendah, “Sebab sebuah istilah atau sebutan tidak praktis identik maknanya dengan bunyi teks. Penting kita ketahui bersama, bahwa sekali pun Belanda menyebut perang itu dengan sebutan Perang Jawa alias Java Oorlog, bukan berarti itu perangnya etnik Jawa di tanah Jawa karena dalam fakta yang bertempur dalam Java Oorlog itu bukan hanya etnis Jawa semata. Menurut catatan Pangeran Diponegoro dalam Babad Dipanegara, catatan Daghregister Belanda, laporan Militair Archive Belanda dan buku-buku yang ditulis orang-orang Belandan,  pasukan-pasukan yang bahu-membahu mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro bukan hanya orang-orang Jawa melainkan orang-orang Bugis, Bali, Sunda, peranakan Tionghoa, India, bahkan para Syarif, Sayyid dan Syekh keturunan Arab yang karena latar kesamaan agama dan kesamaan perasaan dalam membenci Belanda, mereka mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro. Sejarah mencatat sebagian di antara pasukan elit Pangeran Diponegoro adalah  resimen pasukan Bugis yang dipimpin dua orang panglima, yaitu Ronggo Daeng Makincing dan Ngabehi Daeng Marewa; terdapat pula resimen  pasukan Bali dari Klungkung yang beragama Hindu; tidak kurang dari 17 orang keturunan Arab bergelar Syekh dan Syarif serta Sayyid yang menjadi penasehat perang dan pemimpin pasukan, bahkan oleh para Sayyid Pangeran Diponegoro diberi gelar nama Assegaf; penasehat  Pangeran Diponegoro, adalah seorang asal India bernama Nurngali yang disebut dukun Benggala; sementara penduduk peranakan Tionghoa – pasca pecahnya serangan terhadap etnis Cina --   telah  menjadi pemasok mesiu dan senjata terbesar  bagi Pangeran Diponegoro sebagaimana semua itu tercatat dalam Babad Dipanegara dan tulisan Louw & de Klerck (1894-1909), J.S.Z.S vanDeventer (1866) dan Peter Carey (2012),” papar Sufi tua. 
    “Maaf pakde,” sergah Johnson mengernyitkan kening,”Benarkah di dalam pasukan Diponegoro ada resimen dari Bali yang prajurit-prajuritnya beragama Hindu?”

Akibat Percaya Penipu bernama Clerens, P.Diponegoro Ditangkap
    “Ya, Resimen dari Klungkung,” sahut Sufi tua,”Memangnya aneh, dalam Perang Jawa ada etnis Bali beragama Hindu dan etnis Cina beragama Konghucu? Apa kamu belum tahu, salah seorang isteri Pangeran Diponegoro itu perempuan Cina?”
    “Itu yang saya belum tahu, pakde,” sahut Johnson kecut.
    “Kamu juga pasti belum tahu bahwa di dalam darah Pangeran Diponegoro itu terdapat genetika dari Raja-raja Madura dan Raja-raja Bima selain tentu saja Raja-raja Jawa?” tanya Sufi tua.
    “Itu yang saya belum tahu pakde.”
    “Jadi atas pertimbangan fakta-fakta historis itulah, aku memiliki anggapan bahwa tanggal 19 Juli 1825 itulah yang harus diperingati sebagai Kebangkitan Nasional pertama, yaitu kebangkitan pribumi dari berbagai unsur etnik yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial asing. Yang dilakukan Pangeran Diponegoro bukan hanya konsep dan angan-angan ideal untuk meraih kemerdekaan bangsa dan tanah air, melainkan sudah pada tingkat fakta riil perlawanan bersenjata yang hampir membuat pemerintah Belanda bangkrut,” kata Sufi tua menjelaskan.
    “Tapi organisasi yang dibentuk Pangeran Diponegoro adalah organisasi militer pakde, itu tidak demokratis dan jauh dari gagasan civil society,” sahut Johnson sekenanya.
    “Semprul kamu Son, mana ada jaman itu orang bicara civil society sebagai isu tunggal yang dilempar kapitalisme Global seperti yang kamu fahami,” sahut Sufi tua menjelaskan berbagai alasan yang mendasari pandangannya,”Yang pasti, dalam rangka pengorganisasian kekuatan perlawanannya, Pangeran Diponegoro selain membentuk  pasukan elit dan pasukan reguler, beliau juga membentuk kesatuan-kesatuan lasykar rakyat yang terdiri dari petani, tukang, pedagang kecil, buruh, kuli yang dipersenjatai. Itu bukti kehebatan Pangeran Diponegoro dalam mengorganisasi kekuatan perlawanan. Sementara organisasi modern seperti PKI, tidak pernah berhasil mewujudkan impian membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari Buruh dan Tani. Ya begitulah fakta sejarah selalu menunjuk, bahwa apa yang digagas organisasi modern cenderung hanya sampai pada tingkat angan-angan ideal yang tak pernah terwujud dalam kenyataan faktual.”

Makam P.Diponegoro di Makassar
 Setelah diam mendengar perdebatan Sufi tua dengan Johnson, Dr Nuchter van Oogkleppen tiba-tiba menyela,”Saya faham latar argumen yang Opa Sufi jadikan dasar. Tapi yang membuat saya heran, bagaimana kuatnya organisasi militer yang dibangun Pangeran Diponegoro pada akhirnya kalah juga ketika berhadapan dengan kekuatan militer Belanda. Bagaimana ini alasan rasionalnya?”
    “Menurut hemat saya,” kata Sufi tua yang mantan militer,”Kesalahan Pangeran Diponegoro dalam meniru organisasi militer Turki hanya sampai pada tingkat meniru struktur dan stratifikasi kepangkatan serta fungsi-fungsi dari resimen-resimen Turki. Pangeran Diponegoro tidak menindak-lanjuti usahanya meniru keunggulan militer Turki itu dengan mendatangkan pelatih-pelatih militer Turki untuk melatih pasukan-pasukan yang dibentuknya dalam menggunakan senapan, meriam, pestol, pedang yatagan, belati, granat tangan, dan tentu saja taktik dan strategi perang modern Turki. Jika pasukan Pangeran Diponegoro saat itu dilatih oleh pelatih militer Turki, dipastikan pasukan Belanda akan lari terbirit-birit dari Indonesia.” 
     Dr Nuchter van Oogkleppen manggut-manggut membayangkan bagaimana seandainya penjelasan Sufi tua itu dijalankan oleh Pangeran Diponegoro. Yang pasti, sewaktu anak-anak muda Indonesia dilatih militer oleh tentara pendudukan Jepang dalam  Kesatuan PETA dan Hisbullah, Belanda akhirnya harus pergi meninggalkan Indonesia selama-lamanya.








You have read this article Sejarah with the title Post Hegemony XXVI: Diponegoro Pelopor Kebangkitan Nasional Pertama. You can bookmark this page URL http://pesantren-budaya-nusantara.blogspot.com/2013/11/post-hegemony-xxvi-diponegoro-pelopor.html. Thanks!

2 comment for "Post Hegemony XXVI: Diponegoro Pelopor Kebangkitan Nasional Pertama"